Вы находитесь на странице: 1из 19

Pengertian dan Penatalaksaan Deep Vein Thrombosis (DVT)

Novalia
102012079
nova.kungkung@yahoo.com
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Terusan Arjuna No. 6, Jakarta 11510

Pendahuluan
Dalam pembuluh darah dapat terjadi bekuan atau pembekuan yang sering disebut
dengan trombosis. Thrombus atau bekuan darah ini dapat terbentuk pada pembuluh vena,
pembuluh arteri, pembuluh jantung atau mikrosirkulasi dan menyebabkan komplikasi akibat
obstruksi atau emboli. Di Amerika Serikat, thrombosis merupakan penyebab utama kematian
dengan angka kematian sekitar 2 juta penduduk tiap tahun akibat thrombosis arteri, vena atau
komplikasinya. Angka kejadian thrombosis vena dalam atau deep vein thrombosis (DVT)
yang baru berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan pada usia lebih dari 70 tahun
diperkirakan 200 per 100.000 penduduk.1
Thrombosis vena banyak sekali mempunyai komplikasi yang sangat fatal bagi tubuh
antara lain resiko trombo emboli pada pasien devisiensi antitrombin III dapat mencapai 80%,
70% pada gagal jantung kongestif dan 40% pada infark miocard akut. Pada pasien yang
menjalani operasi ginekologi dan obsetri, risiko DVT berkisar 7-45% sedangkan pada operasi
saraf anatara 9-50%.1 Makalah ini saya buat dengan tujuan memberikan informasi mengenai
apa itu deep vein thrombosis (DVT), gejala, serta penatalaksanaannya untuk masyarakat
umum dan mahasiswa kedokteran.

Anamnesis
Hal pertama yang perlu dilakukan oleh seorang dokter ketika pasien datang adalah
melakukan anamnesis. Anamnesis merupakan suatu bentuk wawancara antara dokter dan
pasien dengan memperhatikan petunjuk petunjuk verbal dan non verbal mengenai riwayat
penyakit pasien. Riwayat pasien merupakan suatu komunikasi yang harus dijaga
kerahasiaannya, yaitu segala hal yang diceritakan oleh pasien. Anamnesis atau medical
history adalah informasi yang dikumpulkan oleh seorang dokter dengan cara melakukan
wawancara dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan spesifik baik itu terhadap pasien itu
sendiri (auto-anamnesis) maupun dari orang yang dianggap dapat memberikan keterangan
yang berhubungan dengan keadaan pasien (allo-anamnesis/hetero-anamnesis). Berdasarkan
anamnesis yang baik, seorang dokter biasanya akan menanyakan identitas dan keadaan pasien
meliputi:2
- Nama lengkap - Status perkawinan
- Jenis kelamin - Pekerjaan
- Umur - Suku bangsa
- Tempat tanggal lahir - Agama
- Alamat tempat tinggal - Pendidikan

Hal pertama yang ditanyakan kepada pasien adalah mengenai riwayat pribadi pasien.
Riwayat pribadi adalah segala hal yang menyangkut pribadi pasien; mengenai peristiwa
penting pasien dimulai dari keterangan kelahiran, serta sikap pasien terhadap keluarga dekat.
Termasuk dalam riwayat pribadi adalah riwayat kelahiran, riwayat imunisasi, riwayat makan,
riwayat pendidikan dan masalah keluarga. Setelah mendapatkan data pribadi pasien,
anamnesis selanjutnya adalah menanyakan keluhan utama pasien, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, riwayat keluarga dan riwayat sosial. 2
Keluhan utama adalah gangguan atau keluhan yang terpenting yang dirasakan
penderita sehingga mendorong ia untuk datang berobat dan memerlukan pertolongan serta
menjelaskan tentang lamanya keluhan tersebut. Keluhan utama merupakan dasar untuk
memulai evaluasi pasien. Riwayat penyakit sekarang adalah penyakit yang bermula pada saat
pertama kali penderita merasakan keluhan itu. Tentang sifat keluhan itu yang harus diketahui
adalah: 2
- Lokasi - Situasi
- Kualitas penyakit - Faktor yang memperberat atau yang
- Kuantitas penyakit mengurangi keluhan
- Urutan waktu

Riwayat penyakit dahulu adalah riwayat penyakit yang pernah diderita di masa
lampau yang mungkin berhubungan dengan penyakit yang dialaminya sekarang. Riwayat
keluarga merupakan segala hal yang berhubungan dengan peranan herediter dan kontak antar
anggota keluarga mengenai penyakit yang dialami pasien. Dalam hal ini faktor-faktor sosial
keluarga turut mempengaruhi kesehatan penderita. Riwayat sosial mencakup keterangan
mengenai pendidikan, pekerjaan dan segala aktivitas di luar pekerjaan, lingkungan tempat
tinggal, perkawinan, tanggungan keluarga, dan lain-lain. Perlu ditanyakan pula tentang
kesulitan yang dihadapi pasien. 2
Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik umum adalah untuk mengidentifikasi keadaan umum pasien
saat pemeriksaan dengan penekanan pada tanda-tanda vital, keadaan sakit, gizi dan aktivitas
pasien. Setelah anamnesis selesai dilakukan, maka pemeriksaan fisik biasanya dimulai
dengan pemeriksaan objektif yaitu tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu dan tingkat
kesadaran, serta pemeriksaan tanda-tanda vital dengan inspeksi, palpasi, dan auskultasi. 2
Biasanya pada DVT akan ditemukan tanda tanda klinis yang klasik yaitu edema
tungkai yang unilateral, eritema, hangat, nyeri dan dapat pula diraba pembuluh darah
superficial. Pada pasien ditemukan inflasi dan eritema pada betis kirinya (unilateral).

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang atau pemeriksaan laboratorium dalam arti luas adalah setiap
pemeriksaan yang dilakukan di luar pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang dalam garis
besarnya dimaksudkan sebagai alat diagnostik, petunjuk tatalaksana, dan petunjuk prognosis.2
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus DVT antara lain :1
- Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang penting untuk mendiagnosis DVT.
Pada DVT pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan adalah venografi dan flebografi
pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan paling standart untuk DVT baik pada betis, paha,
maupun system ileofemoral lainnya, kerugiannya adalah pemasangan kateter vena dan resiko
alergi terhadap bahan radiokontras (yodium). Dapat pula dilakukan Ultrasoografi (USG)
Doppler maupun Ultrasonografi kompresi, pemeriksaan USG Doppler adalah pemeriksaan
USG yang dilakukan secara duplex dan mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi
untuk DVT proksimal. Ketepatan pemeriksaan USG Doppler untuk DVT proksimal yang
simtomatik adalah 94% dibandingkan dengan venografi. Sedangkan USG kompresi
mempunyai sensitivitas 89% dan spesifisitas 97% ada DVT proksimal yang simtomatik
sedangkan DVT pada daerah betis mempunyai hasil negative palsu 50%. Selain itu dapat pula
dilakukam MRI, biasanya MRI digunakan untuk mendiagnosis DVT pada perempuan hamil
atau DVT pada pelvis, iliaka dan vena kava dimana usg Doppler pada ekstremitas bawah
menunjukan hasil negative.
- Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium hemostasis didapatkan peningkatan D-dimer dan
penurunan anti thrombin. Peningkatan D-dimer merupakan indikator adanya thrombosis
aktif. Pemeriksaan ini sangat sensitive tapi tidak spesifik dan sebenarnya lebih berperan
untuk menyingkirkan adanya thrombosis jika hasilnya negative. Pemeriksaan ini mempunyai
sensitifitas 93%, spesifisitas 77% dan nilai prediksi negative 98% pada DVT proksimal,
sedangkan pada DVT daerah betis sensitivitasnya 70%. Pemeriksaan labolatorium lain
umumnya tidak teralu bermakna untuk mendiagnosis adanya thrombosis, tetapi dapat
membantu menentukan faktor risiko.

Diagnosis Kerja : Trombosis Vena Dalam (Deep Vein Trombosis/DVT)

Tanda dan gejala penyakit Deep Vein Thrombosis5


Sekitar 50% penderita tidak menunjukkan gejala sama sekali. Jika trombosis
menyebabkan peradangan hebat dan penyumbatan aliran darah, otot betis akan membengkak
dan bisa timbul rasa nyeri, nyeri tumpul jika disentuh dan teraba hangat. Pergelangan kaki,
kaki atau paha juga bisa membengkak, tergantung kepada vena mana yang terkena.
Beberapa trombus mengalami penyembuhan dan berubah menjadi jaringan parut,
yang bisa merusak katup dalam vena. Sebagai akibatnya terjadi pengumpulan cairan (edema)
yang menyebabkan pembengkakan pada pergelangan kaki. Jika penyumbatannya tinggi,
edema bisa menjalar ke tungkai dan bahkan sampai ke paha. Pagi sampai sore hari edema
akan memburuk karena efek dari gaya gravitasi ketika duduk atau berdiri. Sepanjang malam
edema akan menghilang karena jika kaki berada dalam posisi mendatar, maka pengosongan
vena akan berlangsung dengan baik.
Gejala lanjut dari trombosis adalah pewarnaan coklat pada kulit, biasanya diatas
pergelangan kaki. Hal ini disebabkan oleh keluarnya sel darah merah dari vena yang teregang
ke dalam kulit. Kulit yang berubah warnanya ini sangat peka, cedera ringanpun (misalnya
garukan atau benturan), bisa merobek kulit dan menyebabkan timbulnya luka terbuka (ulkus,
borok).
Trombosis vena dalam merupakan keadaan darurat yang harus secepat mungkin
didiagnosis dan diobati, karena sering menyebabkan terlepasnya trombus ke paru dan
jantung. Tanda dan gejala klinis yang sering ditemukan berupa :
- Pembengkakan disertai rasa nyeri pada daerah yang bersangkutan, biasanya pada
ekstremitas bawah. Rasa nyeri ini bertambah bila dipakai berjalan dan tidak berkurang
dengan istirahat.
- Kadang nyeri dapat timbul ketika tungkai di keataskan atau ditekuk.
- Daerah yang terkena berwarna kemerahan dan nyeri tekan
- Dapat dijumpai demam dan takikardi walaupun tidak selalu

Diagnosis Banding
1. Superfiscial trombopheblitis
Trombopheblitis adalah peradangan dan pembekuan dalam pembuluh darah.
Tromboflebitis berarti bahwa gumpalan darah telah terbentuk dalam vena dekat
dengan kulit. Mungkin juga ada infeksi pada pembuluh darah. Trombopheblitis
biasanya terdapat di vena kaki atau lengan. Dengan hati-hati, masalah ini harus
diselesaikan sampai dalam waktu 2 sampai 3 minggu. Trombopheblitis paling sering
mempengaruhi vena superfisial di kaki, tetapi dapat juga mempengaruhi vena
superfisial di paha. Sering kali, trombopheblitis terjadi pada orang dengan varises
tetapi tidak semua penderita varises menderita trombopheblitis. Trombopheblitis
superfisialis menyebabkan reaksi peradangan akut yang menyebabkan trombus
melekat dengan kuat ke dinding vena dan jarang pecah dan terlepas. Vena permukaan
tidak memiliki otot di sekitarnya yang bisa menekan dan membebaskan suatu
trombus. Karena itu trombopheblitis superfisialis jarang menyebabkan emboli.2
Trombopheblitis melibatkan reaksi inflamasi akut yang menyebabkan trombus
untuk tetap pada dinding pembuluh darah dan mengurangi kemungkinan thrombus
hilang. Tidak seperti dalam vena, vena superfisial tidak memiliki otot-otot sekitarnya
untuk menekan dan mengusir trombus. Karena ini, tromboflebitis superfisialis jarang
menyebabkan emboli. Trombopheblitis yang berulang kali terjadi di vena yang
normal disebut bermigrasi radang pembuluh darah atau migrasi trombopheblitis. Ini
mungkin menunjukkan kelainan yang mendasari serius, seperti kanker dari organ
internal.
Trombopheblitis dapat disebabkan oleh infeksi atau cedera vena. Penyebab
lainnya mungkin tidak bergerak cukup cepat setelah pembedahan atau beristirahat di
tempat tidur untuk waktu yang lama, mungkin mengenakan gips, merokok, minum pil
KB, obat-obatan mungkin melukai dinding pembuluh darah dan menyebabkan
tromboflebitis. Penyebab lainnya mungkin varises, kehamilan, atau iritasi dari infus di
pembuluh darah/ menggunakan intravena (IV) line, atau setelah trauma pada vena. Ini
melibatkan respons peradangan berhubungan dengan gumpalan di pembuluh darah. 2
Resiko yang menyebabkan kecenderungan peningkatan pembekuan darah,
infeksi, atau saat terakhir kehamilan, varises, dan kimia atau iritasi lainnya dari
daerah. Berkepanjangan duduk, berdiri, atau imobilisasi meningkatkan risiko.
Dangkal tromboflebitis mungkin kadang-kadang dikaitkan dengan kanker perut
(seperti karsinoma pankreas), deep vein thrombosis, thromboangiitis obliterans, dan
(jarang) dengan embolus paru. 2
Sakit dan pembengkakan lokal berkembang dengan cepat, kulit di atas vena
menjadi merah, dan hangat dan sangat keras. Karena darah di vena yang beku,
pembuluh darah terasa seperti tali yang keras di bawah kulit, tidak lembut seperti
normal atau varises vena.
Paling sering, trombopheblitis berkurang dengan sendirinya. Dengan
analgesik, seperti aspirin atau yang lain non-steroid anti-inflamasi (NSAID), biasanya
membantu mengurangi rasa sakit. Selain NSAID, antikoagulan dan antibiotic juga
harus diberikan. Untuk mempercepat penyembuhan, bisa disuntikkan anestesi (obat
bius) lokal, dilakukan pengangkatan trombus dan kemudian pemakaian perban
kompresi selama beberapa hari. Selain obat dan terapi operatif tersebut dapat pula di
tambahkan dengan meninggikan bagian kaki yang terkena agar aliran darah vena
menjadi lebih mudah. 2

2. Lymphedema
Limfedema adalah kondisi medis yang ditandai dengan pembengkakan pada
salah satu lengan atau tungkai. Adakalanya, kedua anggota gerak dapat membengkak.
Hal ini disebabkan karena tersumbatnya sistem getah bening, bagian dari sistem
kekebalan tubuh dan sistem peredaran darah. Sistem getah bening terbentuk dari
pembuluh-pembuluh getah bening dan kelenjar-kelenjar getah bening.5
Carian getah bening yang kaya akan protein dari aliran darah berpindah ke
dalam sistem getah bening dan mengangkut bakteri-bakteri, virus-virus dan produk-
produk sisa ke kelenjar getah bening, dimana patogen-parogen ini dihancurkan oleh
sel-sel kekebalan tubuh. Cairan getah bening yang telah disaring kemudian
dikembalikan ke aliran darah. Ketika sistem getah bening terseumbat, cairan tidak
dapat bergerak secara bebas dan tidak dapat diserap kembali ke dalam aliran darah.
Hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi cairan getah bening dan menyebabkan
pembengkakan. Penyebab obstruksi yang paling sering ditemukan adalah keganasan,
reseksi limfonodi regional, fibrosis pasca-radiasi, filariasis, thrombosis pasca-
inflamasi dengan pembentukan parut limfatik.
Terdapat dua tipe limfedema: Limfedema Diturunkan dan Limfedema
Didapat. Limfedema diturunkan disebabkan karena cacat kongenital dari sistem getah
bening, seperti penyakit Milroy (malformasi pada kelenjar getah bening) atau
penyakit Meige (malformasi pada pembuluh getah bening). Kelainan kongenital ini
hampir seluruhnya mengenai tungkai dan jarang pada lengan. Kelainan ini lebih
sering terjadi pada anak perempuan. Limfedema Didapat biasanya disebabkan oleh
jejas pada sistem getah bening, seperti sewaktu operasi atau terapi radiasi dapat pula
di karenakan pembentukan jaringan parut karena infeksi berulang pada pembuluh
getah bening, sehingga terjadi gangguan aliran cairan getah bening. Contohnya pada
infeksi parasit tropis filaria yang menyebabkan kaki gajah (filariasis). Selain itu
kumpulan cacing dewasa yang terjadi pada infeksi itu juga menyebabkan
penyumbatan pembuluh dan kelenjar limfe. Selain itu lymphedema bisa juga akibat
penyakit lain, seperti gagal jantung, sirosis hati, atau gagal ginjal, yang menyebabkan
kapasitas sistem limfe relatif tidak mencukupi beban limfe yang berlebihan.5
Untuk mendiagnosis limfedema maka diperlukan rangkaian pemeriksaan
mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksan penunjang. Akan ditanyakan
sejak kapan kelainan itu muncul, hal apa yang terjadi sebelum kelainan muncul, dan
pertanyaan yang mengarah pada pencarian penyebab. Pemeriksaan fisik tentu dengan
melihat dan meraba. Limfadema biasanya tidak disertai dengan pelebaran pembuluh
darah setempat, berbeda dengan pembengkakan yang disebabkan oleh kelainan
pembuluh darah. Kemudian dilakukan penekanan apakah bagian yang di tekan itu
bisa kembali seperti semula atau tidak. Biasanya kalau tahap awal bila ditekan masih
bisa kembali lagi. Jika sudah tahap lanjut dimana sudah tidak bisa kembali lagi,
berarti sudah ada pengerasan jaringan di dalamnya. Selain itu dapat pula dilakulan
pemeriksaan penunjang yaitu limfangiografi, yakni dengan memasukan zat kontras
kedalam pembuluh limfe kemudian di rontgen. Nantinya bisa dilihat pembuluh mana
yang tersumbat.5
Pengobatan untuk lymphedema tidak ada yang spesifik ini, dikarenakan
lymphedema hanya merupakan gejala dari suatu penyakit. Jadi yang hanya perlu kita
lakukan adalah memberikan pengobatan untuk sumber penyakitnya. Selain itu dapat
dilakukan terapi lainnya seperti drainase system limfe dan pemakaian stocking
pneumatic untuk mengurangi pembengkakan pada limfa.5

3. Peripheral arteri occlusive disease


Penyakit arteri perifer (peripheral arterial disease) adalah suatu kelainan
klinis akibat adanya stenosis atau oklusi pada aorta dan/atau arteri ekstremitas.
Aterosklerosis merupakan penyebab tersering dari penyakit ini pada usia >40 tahun.
Penyebab lainnya adalah thrombosis, emboli, vaskulitis, trauma. Prevalensi tertinggi
timbulnya penyakit ini pada usia dekade keenam dan ketujuh. Rokok telah diketahui
sebagai faktor risiko dari timbulnya penyakit arteri perifer, selain faktor lainnya
seperti diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, dan hipertensi.3,4
Manifestasi klinis tersering dari penyakit arteri perifer adalah adanya
klaudikasio intermiten, suatu rasa nyeri, keram, baal, atau letih pada otot yang muncul
dalam penggunaan otot untuk aktivitas, dan membaik saat keadaan istirahat, biasanya
setelah 2-5 menit. Gejala ini muncul pada daerah distal dari lokasi lesi oklusif,
misalnya klaudikasio pada betis akibat adanya kelainan pada arteri femoral-poplitea.
Karena lebih tingginya insidensi obstruksi pada pembuluh darah bagian inferior
tubuh, maka gejala klaudikasio intermiten ini lebih banyak didapatkan pada otot-otot
ekstremitas bawah.3,4
Pada pasien dengan oklusi yang berat, maka dalam keadaan istirahat pun,
aliran darah tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme basal dari jaringan,
sehingga dapat timbul critical limb ischemia. Pasien akan mengeluh nyeri pada saat
istirahat atau merasa dingin atau baal pada jari kaki dan kaki. Gejala ini lebih nyata
pada saat tidur (posisi tungkai horizontal), dan membaik saat tungkai dalam posisi
tergantung ke bawah. Ini dapat menjadi pembeda dengan kelainan pada vena pada
tungkai. Pada gangguan aliran vena tungkai, rasa nyeri lebih nyata dalam posisi
berdiri dan membaik saat tungkai dalam posisi elevasi. 3,4
Dapat juga dilakukan pemeriksaan yang dapat menunjang diagnostic penyakit
ini yaitu : 3,4

1. Angiografi
Pemeriksaan angiografi merupakan pemeriksaan gold standardalam kelainan
arteri perifer. Pemeriksaan angiografi adalah pemeriksaan invasif dan memerlukan
izin pasien. Pemeriksaan angiografi memberikan resiko kepada pasien dengan
gagal ginjal oleh karena menggunakan zat kontras.
2. Computed Tomography Angiography
Dalam pemeriksaan ini gambar yang didapat dihasilkan melalui pemeriksaan CT-
scan. Citra yang dihasilkan serupa dengan angiografi biasa hanya dalam 3
dimensi, dan sebenarnya tidak bermakna klinis yang lebih baik. Pemeriksaan ini
memiliki kerugian yang sama dengan pemeriksaan angiografi biasa yaitu;
berbahaya digunakan pada pasien dengan gagal ginjal.
3. Magnetic Resonance Angiography
Citra angiography diperoleh melalui pemeriksaan MRI. Sama dengan CTA; zat
kontras diberikan secara intravena. MRA atau CTA dapat diindikasikan apabila
pasien tidak dapat mentolerir tusukan intra-arterial, misal karena kelainan bilateral
atau kelainan perdarahan. MRA dikontraindikasikan pada pasien dengan alat pacu
jantung atau katup protesis metal.
Penatalaksanaan utama adalah menggunakan cara konservatif, yang terdiri
dari: stop merokok, olahraga, penghilangan faktor resiko, dan obat. Setelah
penatalaksanaan konservatif; sekitar 50% pasien menunjukkan perbaikan, 30% tidak
berubah, 25% memburuk, dan hanya 5% yang menjadi iskemia kritikal. Tindakan
intervensi bedah pada pasien yang hanya mengeluhkan klaudikasio hanya
diindikasikan bila: 3,4
kegagalan terapi konservatif
gejala klaudikasio yang hebat serta mempengaruhi kehidupan sehari-hari
lesi tidak multipel dan difus
unilateral
kelainan pada aorta atau iliaka
Pasien yang telah mengalami iskemik kritikal tungkai memiliki prognosis
yang buruk, yaitu: mortalitas 1 tahun sebesar 25%, dan 5 tahun sebesar 50%.
Penyebab utama kematian bukanlah akibat iskemia tungkai akan tetapi oleh karena
kelainan pada koroner atau serebrovaskular. Oleh karena itu penatalaksanaan iskemik
kritikal tungkai bertujuan untuk mencegah adanya amputasi tungkai, bukanlah untuk
meningkatkan angka harapan hidup pasien. 3,4
Penatalaksanaan untuk kelainan iskemik kritikal tungkai adalah tindakan
intervensi melalui pembedahan atau endovaskular atau kombinasi keduanya. Sebagai
patokan kasar adalah: bila pasien memiliki keadaan umum yang buruk, atau dengan
harapan hidup pendek karena faktor komorbid, dan tidak memerlukan tindakan lain
seperti amputasi atau debridement, sebaiknya intervensi dilakukan secara
endovascular. Pasien yang memiliki harapan hidup yang panjang (tanpa kelainan
kardiovaskular atau serebrovaskular yang mengancam) selayaknya segera menjalani
operasi bypass sehingga kualitas hidupnya dapat meningkat. Tindakan intervensi
endovaskular sebaiknya tidak dikerjakan pada kelainan arteri infrainguinal oleh
karena tingginya angka oklusi dan hanya boleh dipertimbangkan bila tidak
tersedianya vena autogen sebagai graft. 3,4

Patofisiologi
Faktor-faktor penyebab pada trombosis vena dikenal dengan virchow triad
(tigaserangkai Virchow) yaitu :

1. Perubahan dinding pembuluh darah


Pembuluh darah yang dilapisi oleh semacam lapisan khusus dari sel yang disebut sel endotel.
Ini adalah semacam sel yang memiliki sifat khusus, mencegah pembekuan darah normal di
atasnya. Apapun yang merusak sel endotel, dapat menyebabkan darah menggumpal pada
lapisan pembuluh darah di bawah sel endotel. Dinding pembuluh juga dapat berubah dengan
memiliki bekas luka di atasnya seperti memiliki bekas trombosis vena sebelumnya - atau
tonjolan dan narrowings dari dinding pembuluh darah seperti pada varises.
2. Perubahan aliran darah
Manusia, seperti semua binatang, benar-benar melakukan pergerakan yang cukup aktif.
Sayangnya dengan kehidupan modern, ada banyak contoh di mana mereka melakukan
pergerakan yang kurang aktif dari yang mereka harus lakukan.
Ini mungkin merupakan alasan mengapa seseorang tidak dapat menghindarinya, seperti sakit
atau patah kaki, cara hidup seseorang seperti duduk untuk waktu yang lama di depan
komputer atau televisi, perjalanan di mobil, pelatihan atau pesawat. Dengan mengurangi
aktivitas kaki, pompa infus dan otot sehingga aliran darah menjadi sangat lamban dalam vena
dalam. Penyebab lain perubahan dalam aliran darah adalah bila terjadi perubahan diameter
atau panjang pembuluh darah - seperti yang ditemukan pada varises. Darah mengalir lancar
pada pembuluh darah yang lurus dan sempit, varises dengan tonjolan narrowings dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan pada aliran darah dan dapat memungkinkan terjadinya
pembekuan darah.
3. Perubahan komposisi darah
Penyebab paling umum perubahan komposisi darah adalah dehidrasi. Hal ini sering
terjadi karena orang meminum alkohol atau meminuman minuman dengan kandungan kafein
di dalamnya seperti teh, kopi atau minuman ringan. Sayangnya alkohol dan kafein bertindak
sebagai diuretik, yang berarti bahwa meskipun fluida sedang diambil dalam, lebih banyak
dikeluarkan dalam bentuk urin. Oleh karena itu darah menjadi lebih terkonsentrasi dan lebih
mungkin untuk membeku.
Stasis vena dapat terjadi sebagai akibat dari apa pun yang memperlambat atau
menghambat aliran darah vena. Hal ini menyebabkan peningkatan viskositas dan
pembentukan microthrombi, yang tidak hanyut oleh pergerakan fluida, sedangkan thrombus
yang terbentuk kemudian dapat tumbuh dan merambat. Endotel (intimal) kerusakan di
pembuluh darah mungkin intrinsik atau sekunder terhadap trauma eksternal. Mungkin akibat
dari cedera atau dilakukannya pembedahan. Hiperkoagulasi dapat terjadi karena
ketidakseimbangan biokimia antara faktor yang beredar. Hal ini mungkin akibat dari
peningkatan sirkulasi aktivasi faktor jaringan, dikombinasikan dengan penurunan sirkulasi
plasma antithrombin dan fibrinolysins.
Seiring waktu, perbaikan telah dibuat dalam deskripsi faktor-faktor dan kepentingan
relatif mereka terhadap perkembangan trombosis vena. Asal trombosis vena sering
multifaktorial, dengan komponen dari Virchow triad pentingnya asumsi variabel pada
individual pasien, namun hasil akhirnya adalah interaksi awal trombus dengan endotelium.
Interaksi ini merangsang produksi sitokin lokal dan memfasilitasi adhesi leukosit ke endotel,
baik yang mempromosikan trombosis vena. Tergantung pada keseimbangan yang relatif
antara koagulasi dan trombolisis yang diaktifkan, sehingga propagasi trombus terjadi.
Penurunan kontraktilitas dinding pembuluh darah dan disfungsi katup vena
memberikan kontribusi pada pengembangan insufisiensi vena kronis. Kenaikan tekanan vena
menyebabkan berbagai gejala klinis seperti varises, edema tungkai bawah, dan ulserasi vena.
Pasien dengan faktor risiko tinggi untuk menderita trombosis vena dalam
yaitu apabila :
- Riwayat trombosis, stroke
- Paska tindakan bedah terutama bedah ortopedi
- Imobilisasi lama terutama paska trauma/ penyakit berat
- Luka bakar
- Gagal jantung akut atau kronik
- Penyakit keganasan baik tumor solid maupun keganasan hematologi
- Infeksi baik jamur, bakteri maupun virus terutama yang disertai syok.
- Penggunaan obat-obatan yang mengandung hormon esterogen
- Kelainan darah bawaan atau didapat yang menjadi predisposisi untuk terjadinya trombosis.
Keadaan ini dapat menyerang semua usia, tersering setelah usia 60 tahun,
dan tidak terdapat perbedaan angka kejadian antara laki-laki dan perempuan.

Etiologi
Jika keseimbangan dari pembentukan bekuan dan pemecahan dirubah,
pembekuan/penggumpalan yang signifikan dapat terjadi. Thrombus dapat terbentuk jika satu
atau kombinasi dari situasi-situasi berikut hadir:
1. Imobilitas (Keadaan Tak Bergerak)
Perjalanan dan duduk yang berkepanjangan, seperti penerbangan-penerbangan
pesawat yang panjang ("economy class syndrome"), mobil atau perjalanan kereta
api
Opname rumah sakit
Operasi
Trauma pada kaki bagian bawah dengan atau tanpa operasi atau gips
Kehamilan, termasuk 6-8 minggu setelah partum
Kegemukan
2. Hypercoagulability (Pembekuan darah lebih cepat daripada biasanya)
Obat-obat (contohnya, pil-pil pengontrol kelahiran, estrogen)
Merokok
Kecenderungan genetik
Polycythemia (jumlah sel-sel darah merah yang meningkat)
Kanker
3. Trauma pada vena
Patah tulang kaki
Kaki yang memar
Komplikasi dari prosedur yang invasif dari vena

Ada banyak faktor yang dapat berkontribusi terhadap terjadinya trombosis vena
dalam. Faktor-faktor ini dapat dikategorikan sebagai faktor didapat (obat-obatan, penyakit
penyerta) dan faktor congenital (variasi anatomis, defisiensi enzim, mutasi). Pengkategorian
berguna untuk membedakan kondisi akut dan kronik, yang akan berpengaruh pada durasi
pengobatan. Penyebab yang sering dari trombosis vena dalam yakni stasis vena karena
imobilisasi atau obstruksi vena sentral. Imobilisasi dapat terjadi sementara seperti pada
perjalanan di pesawat terbang atau dalam kondisi teranestesi sebagai bagian dari prosedur
pembedahan. Namun imobilisasi juga dapat terjadi dalam waktu yang lama, seperti pada
perawatan rumah sakit bagi orang yang menjalani operasi panggul, pinggang, atau spinal,
atau karena stroke serta paraplegia.3,4
Kurangnya aliran darah karena meningkatnya viskositas darah atau tekanan vena sentral
Meningkatnya viskositas atau kekentalan darah dapat menurunkan aliran darah
vena. Perubahan ini dapat terjadi akibat adanya peningkatan komponen selular dalam
darah pada polisitemia rubra vera atau trombositosis; atau adanya penurunan dalam
komponen cairan karena dehidrasi.
Meningkatnya tekanan vena sentral, baik secara mekanik maupun fungsional,
dapat mengurangi aliran vena di kaki. Efek massa di vena iliaka atau vena cava inferior
karena adanya neoplasma, kehamilan, stenosis, atau anomali congenital dapat
meningkatkan tahanan aliran vena (outflow resistance).3
Kontribusi variasi anatomis terhadap stasis vena
Variasi anatomi berupa pengurangan bagian atau bahkan hilangnya vena cava
inferior atau vena iliaka dapat berkontribusi terhadap stasis vena. Pada trombosis
iliocaval, kontributor anatomis yang mendasari ternyata teridentifikasi dalam 60-80%
pasien. Anomali yang paling dikenal adalah kompresi vena iliaka komunis kiri pada
persilangan arteri iliaka komunis kanan. Vena tersebut pada normalnya lewat di bawah
arteri iliaka komunis kanan. Pada beberapa orang, struktur anatomi seperti ini berujung
pada kompresi vena iliaka kiri dan dapat berakibat pada pembentukan pita atau jarring,
stasis berkelanjutan, dan trombosis vena dalam pada kaki kiri. Kompresi pada vena iliaka
juga biasa disebut sebagai May-Thurner syndrome atau Cockett syndrome.
Varian pada vena cava inferior sangat jarang. Perkembangan yang anomali
biasanya terdeteksi dengan cross-sectional imaging atau venografi. Evolusi embriologi
dari vena cava inferior adalah dari pembesaran atau atrofi dari sepasang vena supra- dan
subcardinal. Variasi seperti ini dapat meningkatkan risiko gejala-gejala trombosis karena
pembuluh yang sangat sempit sangat rentan terjadi obstruksi. Pada pasien di bawah 50
tahun yang mengalami trombosis vena dalam, insiden dari anomali vena cava ini sebesar
5%.3
Kerusakan mekanis pada vena
Kerusakan mekanis pada dinding vena dapat menjadi stimulus trombosis. Pasien
yang menjalani hip arthroplasty yang berhubungan dengan manipulasi vena femoralis
menjadi kelompok pasien yang berisiko tinggi yang tidak dapat dijelaskan hanya dari
sudut imobilisasi, dengan 57% trombus berasal dari vena yang terkena daripada tempat
stasis yang biasa ada di betis. Kerusakan endotel dapat mengkonversi agen
antitrombogenik endotel yang normal menjadi agen protrombotik dengan menstimulasi
produksi faktor jaringan, faktor von Willebrand, dan fibronektin.
Kerusakan juga dapat sangat nyata, seperti kerusakan karena trauma, intervensi
pembedahan, dan kerusakan iatrogenik. Peningkatan insiden trombosis vena yang terjadi
di traktus urinarius atau infeksi respiratori bisa disebabkan oleh perubahan yang diinduksi
oleh peradangan pada fungsi endotel. 3
Faktor risiko umum penyebab trombosis vena dalam
Faktor risiko umum penyebab trombosis vena dalam yakni adanya penyakit
infeksi akut, usia di atas 75 tahun, keganasan, riwayat penyakit trombosis vena
sebelumnya, obesitas, pembedahan, dan imobilitas. Trombosis yang berulang biasanya
disebabkan oleh keadaan hiperkoagulasi primer. Abnormalitas dalam jaras pembekuan
merupakan hasil langsung dari mutasi genetic pada kaskad koagulasi (coagulation
cascade). Defisiensi vitamin C, protein S, atau antitrombin III berpengaruh pada 5-10%
dari seluruh kasus trombosis vena dalam.

Epidemiologi
Trombosis vena dalam terjadi kira kira 1 per 1000 orang per tahun. Kira kira 1
5% menyebabkan kematian akibat komplikasi. Trombosis vena dalam sangat sedikit dijumpai
pada anak anak. Ratio laki laki dan perempuan yaitu 1:1,2. Trombosis vena dalam
biasanya terjadi pada umur lebih dari 40 tahun.4

Penatalaksanaan

1. Terapi Nonfarmakologi1
Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena untuk melancarkan aliran darah
vena (elevasi)
Kompresi : pemberian tekanan dari luar, seperti penggunaan stocking
Kompres hangat untuk meningkatkan sirkulasi mikrovaskular
Latihan lingkup gerak sendi (range of motion) seperti gerakan fleksi-ekstensi,
menggengam dan lain-lain. Tindakan ini akan meningkatkan aliran darah di
vena-vena yang masih terbuka (patent)
Pemakaian kaus kaki elastis (elastic stocking), alat ini dapat meningkatkan
aliran darah vena.1

2. Terapi Farmakologi
Pada thrombosis vena superficial hanya diperlukan istirahat, peninggian letak tungkai
dan pemanasan local. Pengobatan yang lebih serius ditujukan pada thrombosis venadalam.
Pada thrombosis vena dalam diperlukan terapi dengan antikoagulan sistemik seperti heparin
dan warfarin.
a) Terapi heparin
Terapi heparin harus diberikan dengan loading dose dati 10.000 unit diikuti dengan
infuse continuous yang awalnya berkecepatan 1.000 unit/jam. Dosis ini harus dapat
mempertahankan Partial Thromboplastin Time (PTT) antara 1,5 dan 2 kontrol waktu.
Manfaat setelah pemberian heparin ini adalah menjaga tingkat kesamaan dari antikoagulan
dan memperkecil manisfestasi perdarahan. Pada pasien yang tidak dapat menerima terapi
warfarin, heparin dapat diberikan 10.000 unit subkutan selam >12 jam untuk
mempertahankan PTT 1,5 kontrol waktu, 6 jam setelah pemberian heparin.
Heparin dapat membatasi pembentukan bekuan darah dan meningkatkan proses
fibrinolisis. Heparin lebih unggul dibandingkan dengan antikoagulan oral tunggal sebagai
terapi awal untuk DVT, karena antikoagulan oral dapat meningkatkan risiko tromboemboli
disebabkan inaktivasi protein C dan protein S sebelum menghambat faktor pembekuan
eksternal. Sasaran yang harus dicapai adalah activated PTT 1,5 sampai 2,5 kali lipat untuk
mengurangi risiko rekurensi DVT, biasanya dapat dicapai dengan dosis heparin 30.000
U/hari atau >1250 U/jam. Metode yang sering dipakai adalah bolus intravena inisial diikuti
dengan infus heparin kontinu. Selain itu metode pemberian subkutan dua kali sehari juga
efektif. Pada tahun 1991 Cruikshank dkk mempublikasikan normogram standar untuk dosis
heparin. Menurut protokol ini, pasien diberikan bolus inisial 5000 U UFH diikuti dengan
1280 U/jam UFH. Dosis heparin dititrasi menurut nilai aPTT selanjutnya. Pada penelitian
Cruikshank tersebut nilai aPTT sasaran tercapai dalam 24 sampai 48 jam. Untuk sebagian
besar pasien dengan DVT, heparin harus diberikan 5 hari dan tidak dihentikan sampai INR
(internationalized normalized ratio) pada kisaran terapeutik 2 hari. Low molecular weight
heparin (LMWH) juga efektif terhadap DVT, bila dibandingkan dengan UFH, maka LMWH
lebih mempunyai keuntungan yaitu pemberian subkutan satu atau dua kali sehari dengan
dosis yang sama dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium. Keuntungan yang lain
yaitu kemungkinan risiko perdarahan yang lebih sedikit dan dapat diberikan dengan sistem
rawat jalan di rumah tanpa memerlukan pemberian intravena kontinu.1
Komplikasi termasuk perdarahan, osteopenia, reaksi hipersensitivitas,
trombositopenia, dan thrombosis. Reaksi heparin dinetralisir/dihambat oleh pembeerian
protamin sulfat IV; 1 mg protamin sulfat akan menetralisir sekitar 100 unit heparin.
b) Terapi warfarin
Warfarin adalah antikoagulan oral yang paling sering digunakan untuk tatalaksana
jangka panjang DVT. Warfarin adalah antagonis vitamin K yang menghambat produksi
faktor II, VII, IX dan X, protein C dan protein S. Efek warfarin dimonitor dengan
pemeriksaan protrombin time (PT) dan diekspresikan sebagai internationalized normalized
ratio (INR). Terapi warfarin harus dimulai segera setelah PTT berada pada level terapeutik,
baiknya dalam 24 jam setelah inisiasi terapi heparin. Sasaran INR yang ingin dicapai adalah
2.0 sampai 3.0. Dosis inisial warfarin adalah 5 mg dan biasanya mencapai INR sasaran pada
hari ke-4 terapi. Dosis warfarin selanjutnya harus diindividualisasi menurut nilai INR.
Warfarin diberikan pada dosis 10 mg/hari sampai waktu protrombin memanhang.
Kemudian dosis dapat diturunkan menjadi 5 mg/hari diberikan untuk memperhatikan waktu
protrombin pada 1,2-1,5 kontrol waktu untuk trombrosis vena. Warfarin biasanya dilanjutkan
penggunaanya selama 3 bulan, namun sebaliknya pada kasus yang tanpa komplikasi.
Monitoring farmakologi obat sangat diperlukan pada pasien yang memakai warfarin,
karena banyak obat-obat lain yang dapat mempengaruhinefek warfarin, baik yang
menghambat maupun yang memperkuat seperti antibiotic, barbiturate, salisilat, rifampisin,
kontrasepsi oral dll.
Komplikasi berupa perdarahan harus diterapi dengan mengganti factor antikoagulan
dengan fresh frozen plasma. Apabila antikoagulan masih harus digunakan setelah episode
perdarahan berhenti, maka vitamin Ktidak boleh diberikan karena dapat membuat pasien
refrakter terhadap warfarin dalam waktu yang lama.
c) Trombolisis
Pengobatan dengan trombolisis, contohnya streptokinase, urokinase recombinant
tissue activator (tPA) dapat dipertimbangkan pada pasien bila disertai emboli paru masif dan
syok. Obat fibrinolisis mengurangi besarnya darah beku pada DVT kaki yang diperlihatkan
dengan angiografi, yaitu 30-40% terjadilisis komplet dan 30% terjadi lisis parsial. Obat
trombolisis diberikan langsung melalui kateter pada pasien dengan trombolisis iliofemoral
masif. Beberapa penelitian melaporkan pada pasien yang mendapatkan obat trombolisis,
angka kejadian sindrom pascatrombosis berkurang. Akan tetapi, saat ini pemberian obat
trombolisis vena hanya dianjurkan pada trombolisis vena iliofemoral.
d) Antiagregasi trombosit
Umumnya tidak diberikan pada DVT, kecuali ada indikasi. Seperti sindrom
antifosfolipid (APS) dan sticky platelet syndrome. Aspirin dapat diberikan dengan dosis
bervariasi mulai dari 80-320 mg.
e) Trombektomi vena
Trombektomi vena yang mengalami trombosis memberikan hasil yang baik bila dapat
dilakukan segera sebelum lewat tiga hari dengan tujuan pertama untuk mengurangi gejala
pascaflebitis, mempertahankan fungsi katup dan dengan demikian mencegah terjadinya
komplikasi seperti ulkus stasis padatungkai bawah dan untuk mencegah emboli paru.
Kadang trombektomi masih memberikan hasil yang baik,walaupun dilakukan setelah
lewat 5 hari bahkan sampai 4 minggu apalagi bila trombosis yang terjadi segmental. Bila
terjadi stenosis pada salah satu segmen vena dipertimbangkan untuk diatasi dengan balon dan
bidai. Kontraindikasi trombektomi adalah pada pasien dengan tumor yang inoperable atau
bila pemberian antikoagulan tidak dianjurkan.
Indikasi yang tepat untuk melakukan trombektomi pada thrombosis vena adalah pada
kasus phlegmasia cerulea dolens yaitu suatu kombinasi trombosis vena dalam dengan iskemi
yang sangat nyeri, hilangnya pulsasi distal dan ekimosis. Trombektomi (dengan membuat
fistula arteri-vena sementara) merupakan pilihan baik pula pada pasien dengan thrombosis
vena ileofemoral kurang dari satu minggu. Tindakan ini bertujuan mencegah meluasnya
trombosis serta terjadinya emboli dan rusaknya katup vena.
Kontraindikasi relative adalah perdarahan susunan saraf pusat, metastasis tumor, pada
pembedahan, hipertensi berat, perkarditis atau endokarditis dan perdarahan aktif atau
kecenderungan untuk mengalami perdarahan. Kontraindikasi relative pada penggunaan
antikoagulan jangka panjang adalah alkoholisme dan kehamilan trimester pertama karena
warfarin bersifat teratogenik.1

Prognosis
Semua pasien dengan trombosis vena dalam pada masa yang lama mempunyai resiko
terjadinya insufisiensi vena kronik. Kira-kira 20% pasien dengan DVT yang tidak ditangani
dapat berkembang menjadi emboli paru, dan 10-20% dapat menyebabkan kematian. Dengan
antikoagulan terapi angka kematian dapat menurun hingga 5 sampai 10 kali.1

Kesimpulan
Trombosis vena dalam adalah pembekuan darah di dalam pembuluh darah vena
terutama pada tungkai bawah. Faktor-faktor penyebab pada trombosis vena dikenal dengan
virchow triad (tigaserangkai Virchow) yaitu perubahan dinding pembuluh darah, perubahan
aliran darah dan perubahan komposisi darah. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan terbagi
dua, yaitu penatalaksanaan secara nonfarmakologi maupun penatalaksanaan secara
farmakologi (misalnya pemberian heparin dan warfarin).

Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid 2. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h.1354-8.
2. Santoso M. Pemeriksaan fisik diagnosis. Jakarta: Bidang Penerbitan Yayasan Diabetes
Indonesia; 2004.h.1-4,6,13-5,20,98.
3. Sabiston. Buku Ajar Bedah. Jilid 1. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 2005. h.
114-5.
4. Shires, Spencer. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Edisi 7 Jakarta: Jakarta: Penerbit
buku kedokteran EGC; 2005. h. 339-44.
5. Baughman DC, Hackley JC. Medikal-Bedah. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC;
2005. h. 184-8.

Вам также может понравиться