Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
Indonesia adalah Negara agraris yang terdapakaht banyak sumber daya alam
yang melimpah namun masih belum bias mengelola sendiri.Indonesia juga sebagai
Negara yang menjadi urutan pertama setelah arab sebagai mayoritas agama Islam
namun dinegara Indonesia tidak berpedoman dengan hukum Islam tapi berpedoman
pada hukum pemerintahan karena terdapakaht agama agama lain yang menjadi warga
Negara Indonesia contohnya : Hindu, Budha, dan Kristen.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan profetik.
2. Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan agama.
3. Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan hukum.
4. Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan profetik agama.
5. Untuk memahami bagaimana fungsi profetik agama dalam hukum.
6. Untuk mengetahi tujuan profetik agama dalam hokum.
7. Untuk mengetahui Pesan Profetik Agama.
8. Untuk mengetahui Kesadaran Profetik.
LANDASAN TEORI
2.1. Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur
tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta
tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta gama yang berarti "tradisi".
Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari
bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat
kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Artinya definisi ini
diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapakaht dikenakan kepada
agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu.
Untuk itu terhadap apakah yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik
persamaannya dan titik perbedaannya.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan
dengan cara menghambakan diri, yaitu: menerima segala kepastian yang menimpa diri
dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan menaati segenap ketetapakahn, aturan,
hukum dll yang diyakini berasal dari tuhan
2.2. Profetik
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata agama. Namun akan
sedikit sulit mendefenisikan pengertian agama itu sendiri. Hal tersebut diakui sendiri
oleh Mukti Ali, salah seorang pakar ilmu perbandingan agama di Indonesia yang
mengatakan; Barangkali tak ada kata yang paling sulit diberikan pengertian dan
defenisi selain dari kata agama.
Mohammad Natsir pernah mengatakan agama adalah hal yang disebut sebagai
problem of ultimate concern, suatu problem kepentingan mutlak, yang berarti jika
seseorang membicarakan soal agamanya maka ia tidak dapakaht tawar menawar.
Namun begitu bukan berarti agama tidak dapakaht diberikan pengertian secara umum.
Dalam memberikan defenisi tersebut, para ahli menempuh beberapakah cara; Pertama
dengan menggunakan analisis etimologis, yaitu menganalisis konsep bawaan dari kata
agama atau kata lainnya yang digunakan dalam arti yang sama. Kedua, analisis
deskriptif, menganalisis gejala atau fenomena kehidupan manusia secara nyata.
Berbicara mengenai agama maka terdapakaht tiga padanan kata yang semakna
dengannya yaitu religi, al-din dan agama. Walaupun sebagian pendapakaht ada yang
mengatakan bahwa ketiganya berbeda satu sama lainnya seperti pendapakaht Sidi
Gazalba dan Zainal Arifin Abbas yang mengatakan al-din lebih luas pengertiannya
daripada religi dan agama. Agama dan religi hanya berisi hubungan manusia dengan
Religi berasal dari kata religie (bahasa Belanda) atau religion (bahasa Inggris),
masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia dibawa oleh orang-orang Barat yang
menjajah bangsa Indonesia. Religi mempunyai pengertian sebagai keyakinan akan
adanya kekuatan gaib yang suci, menentukan jalan hidup dan mempengaruhi
kehidupan manusia yang dihadapi secara hati-hati dan diikuti jalan dan aturan serta
norma-normanya dengan ketat agar tidak sampai menyimpang atau lepas dari
kehendak jalan yang telah ditetapkan oleh kekuatan gaib suci tersebut.
Din berasal dari bahasa Arab yang berarti undang-undang atau hukum yang
harus ditunaikan oleh manusia dan mengabaikannya berarti hutang yang akan dituntut
untuk ditunaikan dan akan mendapakaht hukuman atau balasan jika ditinggalkan.
Dari etimologis ketiga kata di atas maka dapakaht diambil pengertian bahwa
agama (religi, din): (1) merupakan jalan hidup yang harus ditempuh oleh manusia
untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tentram dan sejahtera; (2) bahwa jalan
hidup tersebut berupa aturan, nilai atau norma yang mengatur kehidupan manusia yang
dianggap sebagai kekuatan mutlak, gaib dan suci yang harus diikuti dan ditaati. (3)
aturan tersebut ada, tumbuh dan berkembang bersama dengan tumbuh dan
berkembangnya kehidupan manusia, masyarakat dan budaya.
2.3.Hukum
Hukum adalah peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan
tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban, keadilan, mencegah
terjadinya kekacauan.
Hukum memiliki tugas untuk menjamin bahwa adanya kepastian hukum dalam
masyarakat. Oleh sebab itu setiap masyarat berhak untuk memperoleh pembelaan
didepan hukum. Hukum dapakaht diartikan sebagai sebuah peraturan atau
ketetapakahn/ ketentuan yang tertulis ataupun yang tidak tertulis untuk mengatur
kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi untuk orang yang melanggar hukum.
PEMBAHASAN
1. Integrasi. Agama rakyat dalam hal ini di posisikan sebagai kekuatan penyatu dan
kekuatan tarik-menarik (kohesi) sosial. Bahwa agama berfungsi sebagai perekat
yang menyatukan dan menjaga harmoni dalam masyarakat, meskipun menghadapi
perubahan sosial dan kekacauan. Dari itu masyarakat memiliki keyakinan dan
kesadaran kolektif yang berfungsi mempersatukan sistem sosial.
Klaim fungsional ini memang memiliki akibat, tetapi masih memerlukan kualifikasi
tertentu, sebab meski agama rakyat dalam konteks Indonesia bergerak ke arah
integrasi negara, agama rakyat ternyata secara simultan mengalami disfungsional,
sehingga justru memberikan kontribusi yang kuat bagi timbulnya pengkotakan-
pengkotan, yang di situ muncul kelompok tertentu yang menganggap agama rakyat
tidak memiliki makna selain retorika kosong dari elit politik.
Legitimasi ini tidak hanya dalam hubungan penguasa dan yang dikuasai, melainkan
juga menyangkut proses suatu sistem sosial dalam memberikan persetujuan
masyarakat dan institusi yang ada di dalamnya. Bahwa agama rakyat merupakan
fenomena episodik yang muncul tatkala keadaan menghadapi krisis, tetapi berubah
kembali ketika keadaan telah normal kembali. Selanjutnya munculnya agama rakyat
mirip dengan manuver kontrol sosial oleh elit politik dan bukan gerakan massa yang
mencerminkan perjuangan rakyat dalam mencoba mencari instrumen makna bagi
kehidupan masyarakat.
Olehnya itu perlu diwaspadai ketika agama itu sekedar dijadikan sebagai instrumen
legitimasi tindakan penguasa yang tidak menggambarkan realitas sosial yang
autentik, dan di pakai tidak secara konsisten melainkan hanya secara episodik sesuai
kebutuhan elit politik ketika harus menghadapi krisis. Sebaiknya dalam hal ini,
pemimpin politik dalam masyarakat mendasarkan legitimasi kekuasaan dan
otoritasnya pada efektifitas dalam memperjuangkan kebutuhan dan kepentingan
masyarakat, ketimbang mengkaitkan dengan agama dan nilai moral.
3. Profetik. Fungsi profetik agama rakyat sebagai sumber penilaian profetik bagi
sebuah bangsa. Ia memperlihatkan jarak antara potensi bangsa dan apakah yang
sedang dicapakahinya. Sistem keyakinan dalam hal ini dibutuhkan untuk menjamin
moralitas kesatuan dalam suatu negara. Oleh karena itu diperlukan otoritas untuk
menciptakan dan menjalankan hukum yang berlaku bagi semua anggota masyarakat.
Moralitas individu yang dibutuhkan, dengan meninggalkan egoisme dan lebih
memberi simpati kepada semua manusia atas penderitaan dan kenestapakahan.
Oleh karena itu, ketika agama memasuki ruang publik dalam rangka
memperjuangkan kepentingan umum (maupun kepentingan agama itu sendiri) harus
melalui perdebatan rasional, dan tidak boleh melampaui nalar publik (public reason).
Yang dimaksud nalar publik di sini yaitu syarat yang harus dipenuhi oleh alasan dan
tujuan sebuah kebijakan publik (atau undang-undang) dalam bentuk penalaran yang
menyediakan kemungkinan bagi setiap warga negara untuk menerima, menolak,
bahkan membuat usulan tandingan melalui mekanisme debat publik yang setara dan
bebas paksaan.
Karena argumen publik bersifat intersubjektif, maka apakah pun yang berasal
dari agama tidak boleh "diutamakan" hanya karena ia berasal dari Tuhan. Iya hanya
dapakaht diberlakukan setelah terbukti dapakaht diterima oleh penalaran publik.
Hukum agama (agar bisa diberlakukan secara publik, misalnya), harus terlebih dahulu
memenuhi prinsip resiprokalitas, diterima menurut nalar publik. Baik individu maupun
kelompok agamawan yang hendak memublikkan agama juga harus melakukan
persuasi melalui nalar publik, dan tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang
melampaui nalar publik, misalnya koersi.
Dengan kata lain, nilai atau pesan publik agama tidak boleh melampaui prinsip
"kewarganegaraan", yaitu harus mengakui adanya kesamaan status warga negara jika
mereka ingin diperlakukan sama. Karena itulah, kesediaan menerima paham
Pada konteks inilah misi profetik agama tentu akan mampu berkontribusi bagi
pembangunan, karena peran publik agama tidak lagi dipaksakan terhadap seluruh warga
negara, tetapi diposisikan sebagai milik bersama melalui nalar publik, tanpa harus
diklaim sebagai bagian dari salah satu agama tertentu. Dengan demikian, ruang publik
dipelihara dan diperkaya oleh nilai-nilai profetik agama tanpa dibajak oleh
kepentingan-kepentingan atau simbol-simbol agama tertentu, sehingga ruang publik
bisa dinikmati bersama oleh berbagai kelompok dan seluruh warga negara. Pada saat
yang sama, nalar publik ini menyelamatkan martabat agama yang mengemban misi
profetik. Dengan kata lain, masing-masing agama memberi kontribusi pada ruang
publik tanpa adanya klaim-klaim atau menyertakan simbol agamanya masing-masing.
Paralel dengan hal tersebut, tak pelak lagi misi profetik agama bisa dilibatkan dalam
pembangunan dengan pengaturan yang tepat seperti di atas. Apakahbila tidak menjadi
bagian dari pembangunan, agama-agama itu tidak dapakaht memainkan peranan
profetik ke arah terbentuknya wajah batin kesadaran sebuah negara.
Kepekatan politik negeri ini dan kekuatannya untuk bertahan pada akhirnya
tidak semata-mata bergantung pada keberhasilan material semata, tetapi juga pada
kemampuan kaum agamawan dalam menerjemahkan misi profetik agama ke dalam
kehidupan bernegara dan berbangsa (pembangunan). Jika agama gagal memainkan
peran ini, maka akan membuka jalan bagi kekuasaan despotik -yang dangkal misi
profetik- dan negara akan berhenti melaksanakan agenda pembangunan yang
membebaskan, tapi malah destruktif.
Secara substantif, polarisasi dua kutub aliran itu bermuara pada keharusan
agama tetap keep updated dengan etos kehidupan publik serta mempertahankan
relevansinya di ranah publik. Dari sinilah muncul tuntutan agar agama mampu
bersenyawa dengan fitur-fitur demokrasi seperti good governance, hak asasi manusia
(HAM), ketertiban sipil, dan ketaatan hukum. Pertanyaan selanjutnya, seberapakah
jauh agama bisa dan diperbolehkan memainkan perannya di ruang publik?.
Buku Islam Profetik, Substansiasi Nilai-nilai Agama dalam Ruang Publik karya
Masdar Hilmy ini berusaha mengurai masalah itu dengan agak tuntas. Buku ini
terbagi dalam empat bagian dengan bahasan yang cukup menohok pola keberagamaan
Indonesia kontemporer. Bagian pertama berisi tentang berbagai fenomena kehidupan
yang makin menjauh dari pesan profetik agama, serta bagaimana santri menafsir
makna zaman pada bagian kedua. Sedangkan bagian ketiga membahas kesalehan sosial
masyarakat multikultural, dan ditutup dengan bahasan ruang publik yang tidak privat.
Melihat beragam bahasannya, buku ini bisa dikatakan sebagai salah satu upaya
menempatkan teks suci tidak berhenti pada kodratnya sebagai teks saja. Lebih daripada
itu, teks harus dijadikan sebagai kekuatan substansial yang mendorong perubahan di
ranah publik. Upaya imperatif ini penting dilakukan karena tidak sedikit kenyataan
sosial yang menunjukkan adanya paradoks keagamaan, seperti maraknya korupsi yang
dilakukan orang yang justru dikenal agamis. Padahal dalam tataran normatif, agama
Bagi umat muslim yang mayoritas di negeri ini, Masdar menyatakan bahwa
cermin besar keteladanan itu sesungguhnya bisa dilacak dalam diri Nabi
Muhammad Saw dalam segala aspek kehidupannya. Dosen Pascasrajana IAIN Sunan
Ampel Surabaya ini menekankan, pemaknaan terhadap keteladanan itu tidak boleh
dilakukan secara harfiah dan sepotong-potong, tetapi harus elastis, komprehensif,
substansial, dan kontekstual. Yang diambil dari pribadi Nabi adalah dimensi
keteladanan profetiknya yang berupa hikmah, kearifan, pesan, dan pelajaran hidup;
bukan sekadar physical performance yang artifisial dan karikatif.
Untuk memunculkan kesadaran profetik setidaknya ada dua jalan yang mesti
ditempuh. Yaitu membebaskan agama dan mengkonstruksinya menjadi agama yang
membebaskan. Langkah pertama meniscayakan pembacaan agama yang selaras dengan
misi dan kepentingan umat manusia secara keseluruhan, serta pembacaan harus
dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi umat manusia secara keseluruhan. Artinya,
pembacaan agama yang bersifat teosentris (manusia untuk agama) harus diubah
menjadi antroposentris (agama untuk manusia).
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Fungsi profetik agama adalah bahwa agama sebagai sarana menuju kebahagiaan dan
juga memuat peraturan peraturan mengkondisikan terbentuknya batin manusia yang
baik, yang berkualitas, yaitu manusia yang bermoral (agama sebagai sumber moral)
4.2 Saran
Saran yang dapakaht disaikan adalah:
Kami menyarankan agar pembaca dapakaht mengetahui lebih dalam tentang
makalah yang kami sajikan
Kami menyarankan agar pembaca bisa menambah wawasan dengan
menerapkan ajaran agama didalam lingkup hukum