Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Hari/Tanggal :
Tanda tangan :
Oleh :
Rini Puspita Anggraini
04021481518011
2. Patofisiologi
Peranan surfaktan ialah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus
sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu untuk menahan sisa udara fungsionil pada akhir
ekspirasi. Defisiensi substansi surfaktan yang ditemukan pada penyakit membrane hialin
menyebabkan kemampuan paru untuk mempertahankan stabilitasnya terganggu. Alveolus
akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk pernafasan berikutnya
dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar yang disertai usaha inspirasi yang
lebih kuat. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi
hipoksia, retensi CO2 dan asidosis.
Hipoksia akan menimbulkan: (1) oksigenasi jaringan menurun sehingga akan
terjadi metabolisme anaerob dengan penimbunan asam laktat dan asam organik lainnya
yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi, (2) kerusakan endotel kapiler
dan epitel duktus alveolaris yang akan menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam
alveoli dan terbentuknya fibrin dan selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan
epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Asidosis dan
atelektasis juga menyebabkan terganggunya sirkulasi darah dari dan ke jantung. Demikian
pula aliran darah paru akan menurun dan hal ini akan mengakibatkan berkurangnya
pembentukan substansi surfaktan.
Penyebab utama HMD adalah defisiensi surfaktan di paru yang belum matang.
Paru-paru yang secara struktural belum matang dan defisiensi surfaktan memiliki
compliance yang rendah dan kecenderungan untuk atelektasis; faktor lain pada bayi
prematur yang meningkatkan risiko atelektasis adalah penurunan radius alveolar dan
dinding dada yang lemah. Dengan atelektasis, bagian paru dengan perfusi baik tetapi
ventilasi yang buruk mengarah ke ketidaksesuaian V/Q (dengan shunting intrapulmonal)
dan hipoventilasi alveolar dengan akibat hipoksemia dan hiperkarbia. Hipoksemia berat
dan hipoperfusi sistemik menyebabkan penurunan transportasi O2, metabolisme anaerob
dan menyusulnya asidosis laktat.
Hipoksemia dan asidosis lebih lanjut dapat memperburuk oksigenasi melalui
vasokonstriksi paru sehingga menyebabkan right-to-left shunt pada foramen ovale dan
duktus arteriosus. Faktor lain seperti barotrauma atau volutrauma dan FiO2 tinggi mungkin
mengawali pelepasan sitokin dan kemokin inflamasi yang menyebabkan lebih banyak
kecederaan sel endotel dan epitel. Kecederaan ini mengurangkan sintesis dan fungsi
surfaktan serta peningkatan permeabilitas endotel yang mengarah ke edema pulmonal.
Kebocoran protein ke dalam ruang alveolar memperburuk lebih lanjut defisiensi surfaktan
dengan mengakibatkan inaktivasi surfaktan. Secara makroskopis, paru terlihat padat dan
atelektasis. Secara mikroskopis, dapat dilihat atelektasis alveolar difus dan edema
pulmonal (Christian, 2013)
3. Penyebab/ Etiologi
Hyaline Membrane Disease(HMD) sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens
berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia
kehamilan ibu. Semakin tinggi kejadian HMD pada bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua
usia kehamilan, semakin rendah kejadian HMD (Surasmi, 2003).
Hyaline Membrane Disease(HMD) sekitar 60-80% terjadi pada bayi yang umur
kehamilannya kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi antara 32 dan 36 minggu, sekitar
5% pada bayi yang lebih dari 37 minggu dan jarang pada bayi cukup bulan. Kenaikan
frekuensi dihubungkan dengan bayi dari ibu diabetes, persalinan sebelum umur kehamilan
37 minggu, kehamilan multi janin, persalinan seksio sesaria, persalinan cepat, asfiksia,
stress dingin dan adanya riwayat bahwa bayi sebelumnya terkena, insidens tertinggi pada
bayi preterm laki-laki atau kulit putih (Nelson, 1999).
Menurut Cristian (2013) etologi dari HMD adalah:
1) Prematuritas dengan paru-paru yang imatur (gestasi dibawah 32 minggu).
2) Gangguan atau defisiensi surfactan
3) Bayi prematur yang lahir dengan operasi caesar
4) Penurunan suplay oksigen saat janin atau saat kelahiran pada bayi matur atau prematur.
4. Klasifikasi Penyakit
Sindrom gawat nafas Respiratory Distress Syndrome (RDS) dikelompokkan
sebagai berikut(Bobak, 2005) :
1) Syndrom Gawat Nafas Klasik (Clasik Respyratory Distress Syndrome)
Thoraks atau dada berbentuk seperti bel disebabkan karena kekurangan aerasi
(underaration). Volume paru-paru menurun, parenkim paru-paru memiliki pola
retikulogranuler difusi, dan terdapat gambaran broncho gram udara yang meluas ke
perifer.
2) Sindrom Gawat Nafas Sedang - Berat (Moderately Severe Respiratory Distress
Syndrome)
Pola retikulogranuler lebih menonjol dan terdisribusi lebih merata. Paru-paru
hypoaerated. Dapat dilihat pada bronkhogram udara meningkat.
3) Sindrom Gawat Nafas Berat (Severe Respiratory Distress Syndrome)
Terdapat retikulogranuler yang berbentuk opaque pada kedua paru-paru area cystic pada
paru-paru kanan bisa manunjukan alveoli yang berdilatasi atau empisema interstitial
pulmonal dini.
Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium HMD yaitu :
1) Stadium 1. Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara,
2) Stadium 2. Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran
airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi
bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
3) Stadium 3. Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru
terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara
lebih luas.
4) Stadium 4. Seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak dapat
dilihat.
5. Manifestasi Klinik
Adapun manifestasi klinis Hyaline Membrane Disease (HMD) adalah sebagai
berikut (Staf Pengajar IKA, FKUI, 2005).:
1) Penyakit membran hialin ini mungkin terjadi pada bayi prematur dengan berat badan
1000-2000 gram atau masa gestasi 30-36 minggu. Jarang ditemukan pada bayi
dengan berat badan lebih dari 2500 gram.
2) Riwayat asfiksia pada waktu lahir atau tanda gawat bayi pada akhir kehamilan.
Tanda gangguan pernapasan mulai tampak dalam 6-8 jam pertama.
3) Gangguan pernapasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis dan perfusi
paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran klinis seperti
dispnea atau hiperpneu, sianosis karena saturasi O2 yang menurun dan karena pirau
vena-arteri dalam paru atau jantung, retraksi suprasternal, epigastrium, interkostal
dan respiratory grunting. Selain tanda gangguan pernapasan, ditemukan gejala lain
misalnya bradikardia (sering ditemukan pada penderita penyakit membran hialin
berat), hipotensi, kardiomegali, pitting oedema terutama di daerah dorsal tangan/kaki,
hipotermia, tonus otot yang menurun, gejala sentral dapat terlihat bila terjadi
komplikasi.
Gejala klinis yang timbul yaitu :
1) Adanya sesak napas pada bayi prematur segera setelah lahir yang ditandai dengan
2) Takipnea (> 60 x/menit).
3) Pernapasan cuping hidung
4) Grunting
5) Retraksi dinding dada
6) Sianosis
7) Gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir.
6. Pemeriksaan Diagnostik
1) Gambaran Radiologis
(1) Foto Rontgen
Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit
lain yang diobati dan mempunyai gejala yang mirip penyakit membran hialin,
misalnya pneumotoraks, hernia diafragmatika dan lain-lain. Gambaran klasik
yang ditemukan pada foto rontgen paru ialah adanya bercak difus berupa infiltrate
retikulogranuler ini, makin buruk prognosis bayi.
2) Gambaran Laboratorium
(1) Pemeriksaan Darah
Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih dari 45 mg%,
prognosis lebih buruk, kadar bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi
normal dengan berat badan yang sama. Kadar PaO2 menurun disebabkan
kurangnya oksigenasi di dalam paru dan karena adanya pirau arteri-vena. Kadar
PaO2 meninggi, karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2 sebagai akibat
atelektasis paru. pH darah menurun dan defisit biasa meningkat akibat adanya
asidosis respiratorik dan metabolik dalam tubuh.
(2) Pemeriksaan Fungsi Paru
Perhatikan pula perubahan pada fungsi paru lainnya seperti,volume tidal yang
menurun, lung complianceberkurang, fungsi residu merendah disertai kapasitas
vital yang terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi paru akan
terganggu.
(3) Pemeriksaan Fungsi Kardiovaskuler
Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperhatikan beberapa perubahan
dalam fungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus paten, pirau dari kiri ke
kanan atau pirau kanan ke kiri (bergantung pada lanjutnya penyakit), menurunnya
tekanan arteri paru dan sistemik.
(4) Gambaran Patologi atau Histopatologi
Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis dan membran
hialin di dalam alveolus dan duktus alveolaris. Di samping itu terdapat pula
bagian paru yang mengalami enfisema. Membran hialin yang ditemukan yang
terdiri dari fibrin dan sel eosinofilik yang mungkin berasal dari darah atau sel
epitel ductus yang nekrotik.
(Staf Pengajar IKA, FKUI, 2005).
7. Komplikasi
Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi (Leiver Gloria, 2007):
1) Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi dengan
RDS yang tiba2 memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi atau
adanya asidosis yang menetap.
2) Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan
adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul karena
tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat2 respirasi.
3) Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan intraventrikuler
terjadi ada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan
ventilasi mekanik.
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan yang
tinggi dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang menuju ke otak
dan organ lain. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi (Leiver Gloria, 2007):
1) Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang
disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD
berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu
menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A.
Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.
2) Retinopathy premature
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa
gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.
8. Penatalaksanaan Medis
Menurut Ngastiyah (2005) penatalaksanaan dari klien dengan Hyaline Membrane
Disease (HMD) adalah
1) Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar
tetap dalam batas normal (36,5o-37oC) dengan cara meletakkan bayi dalam inkubator.
Kelembaban ruangan juga harus adekuat (70-80%)
2) Pemberian Oksigen
Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati karena berpengaruh kompleks
terhadap bayi prematur. Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan
komplikasi seperti: fibrosis paru, kerusakan retina (fibroplasias retrolental)
3) Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk mempertahankan homeostasis dan
menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan glukosa 5-10% dengan jumlah
yang disesuaikan dengan umur dan berat badan ialah 60-125 ml/kg BB/hari. asidosis
metabolik yang selalu dijumpai harus segera dikoreksi dengan memberikan NaHCO3
secara intravena
4) Pemberian antibiotic untuk mencegah infeksi sekunder. Dapat diberikan penisilin
dengan dosis 50.000-100.000 u/kgBB/hari atau ampisilin 100 mg/kg BB/hari, dengan
atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kg BB/hari
5) Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien HMD adalah pemberian surfaktan
eksogen (surfaktan dari luar), obat ini sangat efektif, namun harganya amat mahal
9. Masalah Keperawatan
Masalah keperawatan yang mungkin timbul dari Hyaline Membrane Disease
(HMD) menurut Nurarif dan Kusuma (2015) adalah sebagai berikut:
1) Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakadekuatan kadar surfaktan,
ketidakseimbangan perfusi ventilasi.
2) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan energi atau kelelahan,
keterbatasan, dan pengembangan otot.
3) Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan lemak subkutan, dan peningkatan
upaya pernapasan sekunder akibat HMD.
4) Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh inadekuat
Kolaborasi :
5. Pantau pemeriksaan
laboratorium sesuai indikasi,
misalnya GDA, glukosa
serum, elektrolit, dan kadar
bilirubin
Bobak, Lowdermik. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta: EGC.
Christian.2013. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Idiopatic Respiratory Distress
Doenges dan Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal Pedoman untuk Perencanaan
dan Dokumentasi Perawatan KlienEdisi 2. Jakarta: EGC.
Leifer, Gloria. 2007. Introduction to Maternity andPediatric Nursing. Saunders Elsevier: St.
Louis Missouri.
Nelson. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Volume I. Edisi 15. Jakarta : EGC.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit Edisi 2. Jakarta: EGC.
Nurarif, A.H. dan Kusuma. H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2005. Buku Kuliah 3Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI.
Surasmi, A, dkk. 2003. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta: EGC.
Suriadi S.Kp, dan Rita Yuliani S.Kp. 2001.Asuhan Keperawatan pada Anak Edisi 1. Jakarta:
PT. Fajar Interpratama.