Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Rudy Susanto
Bagian IKA FK Undip / RS dr. Kariadi
Semarang
PENDAHULUAN
Gagal ginjal kronik merupakan penyakit yang progresif dan terjadi destruksi
ginjal yang menetap. Pada sekitar tahun 1965 banyak pasien gagal ginjal kronik melanjut
ketahap akhir penyakit ini dan kemudian menuju ke kematian. Tingginya angka kematian
saat itu karena terbatasnya pengobatan dan mahalnya biaya pengobatan. Pada sekitar
tahun 1972, mulai dilakukan dialisis dan transplantasi ginjal, sejak saat ini angka
kematian menurun. Jumlah pasien seluruh dunia yang dilakukan dialisis dan transplantasi
meningkat 340.000 pasien pada tahun 1999, diperkirakan pada tahun 2010 menjadi
651.000 pasien [1]. Dalam sistem data renal Amerika Serikat (USRDS), angka kejadian
gagal ginjal tahap akhir pada populasi anak yang berusia 0 19 tahun terus meningkat,
pada tahun 1980 angka kejadian 1,5 / 100.000 anak, dan pada tahun 2002 menjadi 8,2 /
100.000 anak [2]. Dengan semakin meningkatnya angka kejadian, menurunnya angka
kematian dan meningkatnya fasilitas pengobatan, maka morbiditas yang berhubungan
gagal ginjal kronik juga bertambah. Morbiditas yang berhubungan dengan gagal ginjal
kronik pada anak adalah malnutrisi, anemia, gagal tumbuh, osteodistrofi dengan
deformitas tulang, gangguan keseimbangan cairan dan kelainan neurologik antara lain:
kejang, tuli, retardasi mental dan gangguan belajar, dan lain-lain [3].
Keterlibatan sistem endokrin sudah mulai terjadi pada awal gagal ginjal kronik
dengan insufisiensi ginjal sedang, menjadi lebih manifes bila gagal ginjal melanjut.
Mekanisme patofisiologi kelainan ini terjadi akibat menurunnya sintesis hormon-hormon
endogen dan eksogen ginjal, berkurangnya kliren metabolik oleh mekanisme renal dan
ekstrarenal, perubahan mekanisme sinyal homeostasis pada gagal ginjal kronik,
perubahan ikatan hormon dan perubahan respon jaringan terhadap hormon [4]. Walaupun
banyak sekali kelainan endokrin yang terjadi pada gagal ginjal kronik, namun relatif
sedikit yang menimbulkan problem klinik.
Karena terbatasnya waktu maka hanya dibahas masalah yang menonjol, yang
merupakan tantangan untuk dokter yang merawat, dan yang mempengaruhi morbiditas,
mortalitas serta kualitas hidup.
Defisiensi eritropoietin
Eritropoitin adalah hormon yang secara endogen disintesis oleh ginjal dan hepar
fetus. Eritropoitin merupakan stimulus penting sebagai prekursor eritroid pada sumsum
tulang untuk mempertahankan eritropoisis normal. Pengaturannya melalui mekanisme
rangsang jaringan terhadap oksigen, mungkin diperantarai oleh keadaan intracellular
redox dan protein heme, sinyal memodulasi pengaturan transkripsi gen eritropoitin
melalui hypoxia inducible factor 1 (HIF-1) [15, 16]. Produksi eritropoitin sebagian
besar berasal dari sel-sel interstitial dalam korteks ginjal [17]. Apabila gagal ginjal
melanjut, maka produksi eritropoitin juga menurun. Menurunnya produksi eritropoitin
sangat berarti, karena akan berakibat anemia pada gagal ginjal kronik, namun kadang
pada gagal ginjal kronik lanjut tidak terjadi anemia berat, keadaan ini umumnya
disebabkan karena penyakit kista ginjal karena masih ada pemeliharaan pembentukan
eritropoitin dan rangsang iskemik pada sel-sel didaerah sekitar kumpulan kista dan sel-sel
inilah yang dapat mempertahankan produksi eritropoitin [18].
Sebagian besar pasien dengan gagal ginjal kronik terjadi anemia normositik
normokromik, penyebab primernya adalah kekurangan produksi eritropoietin oleh ginjal
[2]. Faktor-faktor lain yang menyebabkan anemia pada gagal ginjal kronik adalah
defisiensi zat besi, kehilangan darah, kelainan hormonal dan peradangan. Anemia
berakibat pada kesehatan jantung, tingkat energi, fungsi imun, dan fungsi intelektual,
juga untuk perkembangan otak dan pertumbuhan fisik pada anak. Bila kadar hemoglobin
kurang dari 11 g% maka harus dilakukan pemeriksaan [2]. .
Pengobatan anemia karena gagal ginjal kronik, saat ini sudah dimungkinkan
dengan adanya rekombinan human erythropoietin (EPO) sejak tahun 1980-an, ini
sangat penting dalam pengelolaan gagal ginjal [19]. Biasanya diberikan secara subkutan
atau intravena, satu sampai 3 kali seminggu. Banyak keuntungan dengan penggunaan
preparat ini, antara lain menghindari anemia simptomatik dan besi yang berlebihan akibat
transfusi, risiko infeksi dan sensitisasi antigen HLA yang biasanya meningkat, sambil
menunggu waktu transplantasi, meningkatkan kualitas hidup serta fungsi kognitif [19].
Efek sampingnya sangat sedikit, yang sangat menonjol adalah naiknya tekanan darah,
namun umumnya dapat dikelola tanpa menghentikan atau mengurangi dosis EPO.
Preparat yang dianjurkan adalah epoetin alfa dan Darbepoetin alfa. Dosis yang dianjurkan
pada anak yang berusia lebih dari 5 tahun adalah 80 120 Unit/kgBB/minggu, diberikan
secara subkutan dibagi dalam dua sampai 3 dosis, sampai tercapai target kadar
hemogloblin 11 12 g%, keluhan yang sering terjadi adalah rasa sakit saat diberikan
suntikan, sehingga perlu diberikan anestesi lokal pada tempat suntikan. Dianjurkan
diberikan juga preparat besi peroral 3 6 mg/kgBB/hari sampai saturasi transferin
mencapai 20% dan serum feritin paling sedikit 100 ng/mL [2].
RINGKASAN
Keterlibatan sistem endokrin sudah mulai terjadi pada awal gagal ginjal kronik,
lebih manifes bila gagal ginjal melanjut. Kelainan ini terjadi akibat menurunnya sintesis
hormon-hormon endogen dan eksogen ginjal, berkurangnya kliren metabolik renal dan
ekstrarenal, perubahan mekanisme sinyal homeostasis pada gagal ginjal kronik,
perubahan ikatan hormon dan perubahan respon jaringan terhadap hormon.
Dalam makalah ini dibahas kelainan yang mengenai fosfat, kalsium, vitamin D
dan hormon paratiroid, yang mengakibatkan osteodistrofi dan fraktur. Perawakan pendek
yang terjadi pada gagal ginjal kronik, walaupun kadar GH normal, dengan terapi GH
memberikan hasil yang baik sebelum dilakukan transplantasi ginjal. Defisiensi
eritropoietin, menyebabkan anemia pada pasien ini, yang bila diberikan EPO memberikan
hasil yang baik, dapat mempertahankan kadar hemoglobin sekitar 11 g% sehingga
tumbuh kembang anak dapat tetap baik. Pubertas terlambat dan Hipogonadisme, yang
terjadi pada gagal ginjal kronik karena kurang baiknya fungsi sel Leydig, bila terjadi
hipogonadisme dan pubertas terlambat dapat diberikan hormon seks yang dapat
memperbaiki keadaan kesehatan pasien..
Akhir kata, yang kita kelola adalah pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik
dengan berbagai masalah dan komplikasinya. Keterlibatan endokrin pada pasien ini
hanya salah satu yang perlu diamati dan dipantau kemungkinan terjadinya, bukan
masalah utama.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Levey AS, Coresh J, Balk E, etal. National Kidney Foundation practice guidelines
for chronic kidney disease: Evaluation, classification, and stratification. Annals of
Internal Medicine. 2003;139:13747.
[2] Miller D, MacDonald D. Management of Pediatric Patients With Chronic Kidney
Disease. Pediatric Nursing. 2006;32:128-34.
[3] Tisher CC, Bastl CP, Bistrian BR, Chesney R, Coggins C, Diener-West M, et al.
Morbidity and Mortality of Dialysis. NIH Consens Statement 1993 Nov 1-3. 1993;11:1-
33.
[4] Leavey SF, Weitzel WF. Endocrine abnormalities in chronic renal failure.
Endocrinol Metab Clin N Am. 2002;31:10719.
[5] Norman AW. The Vitamin D Endocrine System. The Physiologist. 1985;28:219-
31.
[6] Ahmad R, Hammond JM. Primary, secondary, and tertiary hyperparathyroidism.
Otolaryngol Clin N Am. 2004;37:70113.
[7] Bricker NS. On the pathogenesis of the uremic state. An exposition of the trade-
off hypothesis.. N Engl J Med. 1972;286:10939.
[8] Lopez-Hilker S, Dusso AS, Rapp NS, Martin KJ, Slatopolsky E. Phosphorus
restriction reverses hyperparathyroidism in uremia independent of changes in calcium
and calcitriol. Am J Physiol. 1990;259:432 - 7.
[9] Felsenfeld AJ. Considerations for the treatment of secondary hyperparathyroidism
in renal failure. J Am Soc Nephrol. 1997;8:9931004.
[10] Brown EM, Gamba G, Riccardi D, Lombardi M, Butters R, Kifor O, et al.
Cloning and characterization of an extracellular Ca(2+)sensing receptor from bovine
parathyroid. Nature. 1993;366:57580.
[11] Goldsmith D. Vascular Calcification in Renal Failure. Business Briefing: US
Kidney & Urological Disease 2005.
[12] Block GA, Port FK. Re-evaluation of risks associated with hyperphosphatemia
and hyperparathyroidism in dialysis patients: Recommendations for a change in
management. Am J Kidney Dis. 2001;35:122637.
[13] Contiguglia SR, Alfrey AC, Miller NL, Runnells DE, LeGeros RZ. Nature of soft
tissue calcification in uremia. Kidney Int. 1973;4:22935.
[14] Jones G, Strugnell SA, DeLuca HF. Current understanding of the molecular
actions of vitamin D. Physiol Rev. 1998;78:193231.
[15] Daghman NA, Elder GE, Savage GA, Winter PC, Maxwell AP, Lappin TR.
Erythropoietin production: Evidence for multiple oxygen sensing pathways. Ann
Hematol. 1999;78:2758.
[16] Geiszt M, Kopp JB, Varnai P, Leto TL. Identification of renox, an NAD(P)H
oxidase in kidney. Proc Natl Acad Sci USA. 2001;97:80104.
[17] Maxwell PH, Osmond MK, Pugh CW, Heryet A, Nicholls LG, Tan CC, et al.
Identification of the renal erythropoietin-producing cells using transgenic mice. Kidney
Int. 1993;44:114962.
[18] Eckardt KU, Mollmann M, Neumann R, Brunkhorst R, Burger HU, Lonnemann
G, et al. Erythropoietin in polycystic kidneys. J Clin Invest. 1989;84:11606.
[19] Macdougall LC. Higher target haemoglobin level and early anaemia treatment:
Different or complementary concepts? Nephrol Dial Transplant. 2000;15:37.
[20] Kemp S. Growth Failure. Pediatric Endocrinology 2007 Nov 16 [cited; Available
from: http://www.emedicine.com/ped/topic902.htm
[21] Nissel R, Lindberg A, Mehls O, Haffner D. Factors predicting the near-final
height in growth hormone treated children and adolescents with chronic kidney disease. J
Clin Endocrin Metab. 2008;1:1-14.
[22] Nshoff BT, Cronin MJ, Reichert M, Haffner D, Wingen A-M, Blum WF, et al.
Reduced Concentration of Serum Growth Hormone (GH)-Binding Protein in Children
with Chronic Renal Failure: Correlation with GH Insensitivity. J Clin Endocrinol Metab.
1997;82:100713.
[23] Tonshoff B, Cronin MJ, Reichert M, Haffner D, Wingen A-M, Blum WF, et al.
Reduced Concentration of Serum Growth Hormone (GH)-Binding Protein in Children
with Chronic Renal Failure: Correlation with GH Insensitivity. J Clin Endocrinol Metab.
1997;82:100713.
[24] Powell DR, Durham SK, Liu F, Baker BK, Lee PDK, Watkins SL, et al. The
Insulin-Like Growth Factor Axis and Growth in Children with Chronic Renal Failure: A
Report of the Southwest Pediatric Nephrology Study Group. J Clin Endocrinol Metab.
1998;83:165461.
[25] McKeever MO. Delayed Puberty. Pediatr Rev. 2000;21:250.
[26] Kalyani RR, Gavini S, Dobs AS. Male Hypogonadism in Systemic Disease.
Endocrinol Metab Clin N Am. 2007;36:33348.
[27] Dunkel L, Raivio T, Laine J, etal. Circulating luteinizing hormone receptor
inhibitor(s) in boys with chronic renal failure. Kidney Int. 1997;22:14561.
[28] Ferraris J, Saenger P, Levine L, New M, Pang S, B.Saxena B, et al. Delayed
puberty in males with chronic renal failure. Kidney International. 1980;18:344-50.
[29] Johansen KL, Mulligan K, Schambelan M. Anabolic effects of nandrolone
decanoate in patients receiving dialysis: a randomized controlled trial. JAMA.
1999;281:127581.
[30] Reiter EO, Lee PA. Delayed puberty. Adolesc Med. 2002;13:101-18.