Вы находитесь на странице: 1из 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Desa memiliki hak otonomi asli berdasarkan hukum adat, dapat menentukan

susunan pemerintahan, mengatur dan mengurus rumah tangga, serta memiliki

kekayaan dan aset. Oleh karena itu, eksistensi desa perlu ditegaskan untuk

mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa. Namun, deregulasi dan penataan desa

pasca beberapa kali amandemen terhadap konstitusi negara serta peraturan

perundangannya menimbulkan perspektif baru tentang pengaturan desa di

Indonesia. Dengan di undangkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang

Desa, sebagai sebuah kawasan yang otonom desa diberikan hak untuk mengatur

dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul, adat istiadat, dan

nilai sosial budaya masyarakat desa; menetapkan dan mengelola kelembagaan desa;

dan mendapatkan sumber pendapatan. Sedangkan ruang lingkup kewajiban desa

adalah melindungi dan menjaga persatuan, kesatuan, serta kerukunan masyarakat

Desa dalam rangka kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia; meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat desa; mengembangkan

kehidupan demokrasi; mengembangkan pemberdayaan masyarakat desa; dan

memberikan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat desa.

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 56 Tahun 2015 tentang Kode

dan Data Wilyah Administrasi Pemerintahan diketahui bahwa di Indonesia terdapat

74.093 desa dan 8.412 kelurahan. Berikut ini, jumlah desa dan kelurahan yang

tersebar di 34 provinsi tersebut:

1
2

Tabel 1.2
Jumlah Desa di Indonesia Tahun 2015

No Provinsi Jumlah Jumlah No Provinsi Jumlah Jumlah


Desa Kelurahan Desa Kelurahan
(1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4)
1 Aceh 6.474 0 18 Nusa Tenggara 995 142
Barat
2 Sumatera Utara 5.418 692 19 Nusa Tenggara 2.995 318
Timur
3 Sumatera Barat 880 245 20 Kalimantan 1.977 99
Barat
4 Bengkulu 1.341 172 21 Kalimantan 1.434 138
Tengah
5 Riau 1.592 243 22 Kalimantan 1.866 143
Selatan
6 Kepulauan Riau 275 141 23 Kalimantan 447 35
Utara
7 Jambi 1.399 163 24 Kalimantan 836 196
Timur
8 Sumatera 2.859 377 25 Sulawesi Barat 576 71
Selatan
9 Lampung 2.435 205 26 Sulawesi 1.842 175
Tengah
10 Kepulauan 309 78 27 Sulawesi Selatan 2.253 785
Bangka Belitung
11 Banten 1.238 313 28 Sulawesi 1.846 377
Tenggara
12 Jawa Barat 5.319 643 29 Sulawesi Utara 1.505 332
13 DKI Jakarta 0 267 30 Gorontalo 657 72
14 Jawa Tengah 7.809 750 31 Maluku 1.198 33
15 DI Yogyakarta 392 46 32 Maluku Utara 1.064 117
16 Jawa Timur 7.724 777 33 Papua 5.419 110
17 Bali 636 80 34 Papua Barat 1.744 95
Total desa: 74.093 desa Total kelurahan: 8.412
sumber : Permendagri 56/2015, diolah

Dari tabel 1.2 tersebut di atas diketahui bahwa Provinsi Jawa Tengah

memiliki jumlah desa sebanyak 7.809 desa dan merupakan provinsi dengan jumlah

desa terbanyak di Indonesia tahun 2015. Pada posisi di bawahnya yaitu Provinsi
3

Jawa Timur (7.724 desa), Aceh (6.474 desa), Papua ( 5.419 desa) serta provinsi

lainnya.

Konsekuensi logis dari lahirnya konsep otonomi daerah adalah hadirnya

desentralisasi fiskal. dengan kata lain suatu pemerintahan memiliki kewenangan

lebih dalam mengatur keuangan daerahnya jika dalam lingkup desa maka desa

memiliki keleluasaan dalam mengelola keuangan desa. Hal ini tercantum pada

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menyebutkan bahwa

keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan

uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan

pelaksanaan hak dan kewajiban desa yang menimbulkan pendapatan, belanja,

pembiayaan dan pengelolaan keuangan desa. Sumber pendapatan desa terdiri atas

pendapatan asli desa (usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan

partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain), bagi hasil pajak daerah

Kabupaten/Kota, dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh

Kabupaten/Kota untuk Desa, bantuan keuangan dari Pemerintah (Pemerintah

Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan

pemerintahan), hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.

Dalam operasionalisasi desa untuk mewujudkan otonomi yang diberikan

kepada desa terdapat pembiayaan-pembiayaan, dimana pembiayaan tersebut

memiliki hubungan dengan Alokasi Dana Desa, sehingga Pemerintah Daerah

Kabupaten memberikan Alokasi Dana Desa kepada setiap Desa yang berada di

wilayahnya.
4

Namun dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan desa terdapat berbagai

permasalahan di berbagai daerah. KOMPAS (2016, 12 Mei) memberitakan bahwa:

Enam kepala desa di Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku, ditetapkan


menjadi tersangka atas dugaan korupsi penyalahgunaan dana desa pada
tahun 2015. Dari total anggaran berkisar Rp 250 juta-Rp 300 juta per desa,
sekitar 30 persennya disalahgunakan.

Lebih lanjut disebutkan enam kepala desa yang dimaksud adalah Kepala

Desa Kilimuri, Kepala Desa Undur, Kepala Desa Kian Darat, Kepala Desa Kilwaru,

Kepala Desa Miran Manaban dan Kepala Desa Rurat.

(http://regional.kompas.com/read/2016/05/12/15310001/Enam.Kepala.Desa.Jadi.

Tersangka.Dugaan.Korupsi.Dana.Desa)

Selain di Maluku terdapat juga penyelewengan oleh perangkat desa di

daerah lain. Kepala Desa (Kades) Padurenan, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus

Arif Khuzaimahtum ditahan akibat melakukan korupsi senilai Rp 432 juta. Kasus

dugaan korupsi uang dana desa yang dilakukan Arif, terjadi sejak pertengahan

tahun 2015 silam. Saat itu, Arif mencairkan dana desa serta ADD, dan kemudian

menggunakannya untuk kepentingan pribadi. (http://www.koranmuria.com

/2016/04/29/36658/setelah-buron-karena-diduga-korupsi-dana-add-kades-

padurenan-kudus-ditahan-kejari. html) Sementara itu di Sukoharjo, Kepala Desa

Palur nonaktif, Samidin di vonis penjara selama tujuh tahun dan denda senilai

Rp200 juta subsider enam bulan kurungan. Jaksa juga meminta terdakwa membayar

uang pengganti senilai Rp3.785.830.890 subsider dua tahun penjara. Terdakwa

Samidin terbukti melanggar pasal 2 ayat 1, UU No 31/1999 junto UU No. 20/2001

tentang Tipikor. Lebih lanjut dijelaskannya terdakwa Samidin diduga

menyelewengkan dana APBDes Palur 2007-2013 senilai Rp 3,78 miliar.


5

(http://www.solopos.com/2016/08/26/korupsi-sukoharjo-samidin-dituntut-7-tahun

-dan-bayar-uang-pengganti-rp37-miliar-747875)

BPK menyebutkan adanya permasalahan dalam pengelolaan keuangan desa

yang bersumber dari minimnya pengetahuan perangkat desa dalam tata kelola dan

pelaporan keuangan sehingga berpotensi terjadi penyelewengan/korupsi. Di

kalangan DPR, muncul kekhawatiran potensi penyalahgunaan anggaran dana desa

untuk kepentingan politik,khususnya saat pelaksanaan pemilihan kepala daerah

(Media Akuntansi dalam Abidin, 2015). Hal yang serupa juga dikemukakan oleh

Warsono & Ruksamin (2014) dalam The Obstacles of Implementation of Village

Allocation Fund Program in the North Konawe Southeast Sulawesi yaitu sebagai

berikut:

That is because of the following: 1) The low level of public


education 2) Weak managerial ability of the village and other village
institutions and 3) Failure mechanisms of socialization and increased
capacity building by BPMD to the village.

Dalam riset tersebut diketahui bahwa kegagalan pengelolaan keuangan desa

disebabkan oleh:

1. Rendahnya pengetahuan dari pejabat level bawah dalam hal ini adalah
aparat desa.
2. Lemahnya koordinasi baik secara horizontal, yakni dari desa dengan
desa yang lain, maupun secara vertical, yakni antara perangkat desa
dengan institusi daerah diatasnya.
3. Kegagalan mekanisme sosialisasi dan pemberdayaan dari Badan

Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) kepada desa-desa.

Dalam The Management of the Village Fund Allocation as an Instrument

towards Economic Independence Village (Case Studies in 2


6

villages in Siak Regency, Province Riau), Fauzi Asni, Maryunani, Sasongko, Dwi

Budi (2013) menjelaskan:

.. Although the macro glasses, this condition has not been offered
a relation between community cohesiveness and strong village
government as the complexity of problems, among others:
1. Inconsistencies between planning and financing programs;
2. Low levels of transparency and accountability in the utilization
of public financial resources;
3. The low level of involvement of interested actors and public
participation in policy formulation;
4. The lack of performance assessment policy, planning and
implementation, in a comprehensive and sustainable.
5. There is inconsistency between the policies adopted by the
various public organizations and between the macro and micro
policy and between policy and implementation, as well as
6. Ineffective performance assessment policy, planning, and
execution of the activity itself.

Kabupaten Wonogiri merupakan salah satu kabupaten yang berada di

Provinsi Jawa Tengah yang memiliki 251 desa dan 43 kelurahan yang tersebar di

25 kecamatan (BPS Kabupaten Wonogiri, 2016). Menurut solopos.com, dana desa

tahap I yang bersumber dari APBN untuk desa di Wonogiri senilai Rp 93 miliar

sudah ditransfer ke kas daerah sejak 19 April lalu. Sebanyak 31 desa sudah

menerima dana desa setelah pengajuan pencairan dinyatakan memenuhi

persyaratan. Pengajuan pencairan harus dilengkapi seluruh persyaratan baku,

seperti Peraturan Desa (Perdes) APB Desa 2016, Peraturan Kepala Desa (Perkades)

Penjabaran APB Desa 2016, dan Perdes Pertanggungjawaban Realisasi APB Desa

2015. Syarat lainnya adalah Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj)

Kades, Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (LPPD), Surat

Pertanggungjawaban (SPj) setahun, dan syarat administrasi lainnya.


7

(http://www.solopos.com/2016/04/30/dana-desa-wonogiri-dana-desa-tahap-i-rp93

-miliar-siap-ditransfer-715074)

Namun dua bulan setelah pendistribusian dana desa tersebut ke desa-desa,

Kejaksaan Negeri Kabupaten Wonogiri menemukan ada tindak pidana korupsi di

desa Songbledeg, Kecamatan Paranggupito pada tahun anggaran (TA) 2013-2015.

Hingga pada 8 Juni 2016, dalam okezone.com (http://news.okezone.com/read

/2016/06/08/512/1409448/ oknum-kades-di-wonogiri-terbukti-korupsi-dana-desa)

memberitakan bahwa:

Oknum Kepala Desa (Kades) Songbledek, Paranggupito, Wonogiri, Jawa


tengah, bernama Sutoto (34), resmi dinyatakan sebagai tersangka kasus
korupsi dana desa pada APBDes tahun anggaran 2013 hingga 2015. Ia
terbukti menimbulkan kerugian negara sebesar Rp416 Juta.Sutoto terbukti
menggelapkan dana senilai Rp 416 juta lebih. Seharusnya ada program yang
dikerjakan, namun tidak dilaksanakan, maupun pelaksanaan program yang
tidak dilakukan sepenuhnya.

Menurut Rahman (2011), ada empat penyebab terjadinya korupsi di tingkat

desa, pertama, kepala desa sering terkondisikan ujung tombak dan lebih ujung

tombok. Kedua, kepala desa terpilih berdasarkan sisi elektabilitas yang bagus,

namun sisi modalitas ekonomi sangat lemah sehingga terdorong untuk melakukan

tindak pidana korupsi. Ketiga, posisi kepala desa menjadi pundi-pundi partai politik

di akar rumput. Keempat, kurangnya pengawasan dan keterbukaan dalam

penyelenggaraan pemerintahan desa.Untuk poin keempat juga diamini oleh Hupe

& Hill, dimana pada era demokrasi, di mana masyarakat selalu menuntut

pemerintahan yang bersih, bertanggungjawab, dan transparan, kebutuhan terhadap

akuntabilitas keuangan pemerintah semakin tinggi (Hupe & Hill, 2007). Namun

kenyataannya di Indonesia sendiri, Basri dan Nabiha (2014) dalam Accountability


8

of Local Government: The Case of Aceh Province, Indonesia menyimpulkan

bahwa:

.that accountability practices of local government does not meet the


standards as set and required by the governmental regulations.

Padahal menurut Kearns (dalam Gibson, 2005), akuntabilitas dan

transparansi sangat erat hubungannya dengan pemenuhan harapan publik terkait

dengan kinerja, responsivitas, dan bahkan moralitas dari organisasi pemerintah.

Dengan adanya tuntutan dan urgensi tersebut yang mana diarahkan pada adanya

transparansi dan akuntabilitas pada semua tingkatan pemerintahan, mulai dari

pemerintah pusat hingga pemerintah desa termasuk dalam mengelola keuangan

desa. Maka riset ini akan mengkaji secara komprehensif bagaimana transparansi

dan akuntabilitas dari pengelolaan keuangan desa di Kabupaten Wonogiri.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan desa

di Kabupaten Wonogiri ?

C. Tujuan

Mengetahui transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan

desa di Kabupaten Wonogiri

D. Manfaat

1. Bagi Pemerintah Kabupaten Wonogiri

Memberikan bahan evaluasi mengenai pengelolaan keuangan desa di

Wonogiri khususnya pada transparansi dan akuntabilitas.

2. Bagi masyarakat
9

Menumbuhkan sikap peduli terhadap pengelolaan keuangan desa dan juga

turut aktif mengawasinya.

3. Bagi peneliti lain

Memberikan referensi dan juga fondasi untuk penelitian selanjutnya.

4. Bagi penulis

a. Menumbuhkan jiwa kritis terhadap fenomena sosial yang terjadi di

masyarakat.

b. Sebagai syarat guna meraih gelar sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan

Politik.

E. Penelitian Terdahulu

Salah satu data pendukung dalam riset ini adalah penelitian terdahulu yang

relevan dengan permasalahan dalam riset ini. Penelitian terdahulu ini menjadi salah

satu acuan dalam melakukan penelitian sehingga riset ini kaya akan teori yang

digunakan dalam mengkaji masalah. Berikut merupakan penelitian terdahulu yang

terkait dengan riset ini:

Tabel 1.3
Penelitian Terdahulu
No Penulis Judul Penelitian Tahun Hasil Penelitian
(1) (2) (3) (4) (5)
1 Hasan Basria Accountability of 2014 Proses penggaran tidak sesuai dengan
& A.K. Siti Local pedoman akuntansi yang tepat dan
Nabiha Government: The kurangnya penjelasan dari kegiatan-
Case of kegiatan tersebut, hal ini menunjukkan
Aceh Province, bahwa bahwa akuntabilitas pemerintah
Indonesia daerah tidak memenuhi standar yang
ditetapkan pemerintah. Namun, perlu
dicatat bahwa masalah perencanaan dan
penganggaran keuangan ini dipengaruhi
oleh berbagai pihak termasuk legislatif,
DPRD dan juga para politisi, ditambah
juga oleh kurangnya kapasitas dan
10

kapabilitas pejabat publik. Hal ini


kemudian mennujukkan kurangnya
akuntabilitas dan good governance
dalam pengelolaan dana masyarakat di
Aceh.
2 Hardi The Obstacles of 2014 Hambatan utama dalam pengelolaan
Warsono & Implementation of ADD adalah kurangnya keterlibatan
Ruksamin Village Allocation masyarakat. Hal ini disebabkan oleh:
Fund Program 1. Rendahnya pengetahuan dari pejabat
in the North level bawah dalam hal ini adalah
Konawe Southeast aparat desa.
Sulawesi 2. Lemahnya koordinasi baik secara
horisontal, yakni dari desa dengan
desa yang lain, maupun secara
vertikal, yakni antara perangkat desa
dengan institusi daerah diatasnya.
3. Kegagalan mekanisme sosialisasi
dan pemberdayaan dari Badan
Pemberdayaan Masyarakat Desa
(BPMD) kepada desa-desa.
3 Muhammad Tinjauan Atas 2015 Sejumlah studi yang telah diangkat
Zainul Abidin Pelaksanaan dalam kajian ini menunjukkan bahwa
Keuangan Desa penggunaan ADD masih menemui
dalam Mendukung sejumlah permasalahan dalam
Kebijakan Dana perencanaan, pelaksanaan, kualitas
Desa pelaporan, dan lemahnya kelembagaan
desa serta koordinasi dengan pemerintah
daerah kotamadya/ kabupaten.
4 Ray Septianis Partisipasi 2015 Masyarakat Desa Tegeswetan dan Desa
Kartika Masyarakat dalam Jangkrikan berinisiatif besar untuk
Mengelola berkontribusi dalam pengelolaan ADD.
Alokasi Dana Tidak hanya dalam perencanaan,
Desa (ADD) di pelaksanaan maupun pengawasan, tetapi
Desa Tegeswetan yang lebih penting adalah kesadaran
dan Desa masyarakat untuk terlibat dalam
Jangkrikan membangun desa merupakan solusi
Kecamatan Kepil untuk memajukan pembangunan desa.
Kabupaten
Wonosobo
5 Lina Akuntabilitas 2016 Pertanggungjawaban ADD baik secara
Nasihatun Pengelolaan teknis maupun administrasi sudah
Nafidah & Alokasi Dana berjalan dengan baik sesuai peraturan
Mawar Desa dalam Upaya yang berlaku dengan bukti adanya
Suryaningtyas Meningkatkan pertanggungjawaban secara tranparan
Pembangunan dan dan akuntabel.
11

Pemberdayaan Pemerintah Desa Dapurkejambon sudah


Masyarakat mempertanggungjawabkan pengelolaan
alokasi dana desa dengan baik sesuai
dengan peraturan yang ada, hal itu
terbukti dengan adanya Laporan
Pertanggung Jawaban (LPJ) yang isinya
terdapat buku kas pembantu, kwitansi,
dan kegiatan-kegiatan lainnya
sumber: diolah
Riset ini akan membahas tentang pengelolaan keuangan desa yang dilihat

dari paradigma Good Governance pada dimensi Akuntabilitas Kinerja. Variabel

yang akan digunakan dalam riset ini adalah transparansi dan akuntabilitas, yang

mana akan dijelaskan lebih lajut pada bab selanjutnya. Kemudian untuk locus riset

ini adalah di Kabupaten Wonogiri, dimana di kabupaten ini telah terbukti terdapat

tindak pidana korupsi.

Вам также может понравиться