Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PELECEHAN SEKSUAL
Pegangan Fasilitator
untuk Populasi Remaja dengan Perilaku Risiko Tinggi
BUKU SUPLEMEN BIMBINGAN TEKNIS
KESEHATAN REPRODUKSI:
PELECEHAN SEKSUAL
November 2012
Publikasi ini didukung oleh BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional) bekerjasama dengan UNESCO Jakarta sebagai sebuah bagian dari proses
multi sektor menuju pengembangan buku Panduan Nasional untuk Pendidikan
Seksualitas Komprehensif yang merujuk kepada buku ITGSE (International
Technical Guidance on Sexuality Education) yang diproduksi oleh UNESCO,
UNICEF, UNFPA, WHO, dan UNAIDS pada tahun 2009.
Editor
1. Allan Taufiq Rivai, dr
2. Desi Lokitasari, dr
3. Tim Adaptasi Buku BKKBN
4. Nia Reviani, dr, MAPS
5. Fitri Adinda Novianti, dr
6. Allan Taufiq Rivai, dr
7. Desi Lokitasari, dr
8. Alifah Nuranti, S.Psi, MPH
9. Dwi Ariyanti, dr
PELECEHAN SEKSUAL 3
10. Azora Ferolita, dr, Akp
11. Popy Irawati, dr, MPH
12. Lhuri Dwianti Rahmartani, dr
13. Samuel Josafat Olam, dr
Ilustrasi
Priagi Pertama Constadi, ST
Ucapan Terimakasih
Publikasi dari buku ini dapat terlaksana atas kontribusi teknis dari BKKBN melalui
pendanaan Unified Budget, Results and Accountability Framework (UBRAF) dari
UNAIDS dan anggaran program rutin UNESCO.
Hak Cipta
UNESCO 2012 Hak Cipta Dilindungi
Konsep Sampul/Rancangan: BKKBN
Ilustrasi/Tata Letak Sampul: BKKBN
ISBN xxxxxxxxxxx (Versi Elektronik)
Disclaimer
Judul yang digunakan dan penyajian materi di dalam publikasi ini tidak diartikan
sebagai pendapat pribadi dari pihak BKKBN ataupun UNESCO terkait dengan status
hukum dari negara, wilayah, kota atau area mana pun, atau terkait penetapan
batas-batasnya.
B
uku Panduan Kesehatan Reproduksi dan Kesehatan Seksualitas yang
Komprehensif ini dikembangkan atas kerjasama BKKBN dan UNESCO. Panduan
ini merupakan hasil adaptasi dari International Technical Guidance on Sexuality
Education (ITGSE).
Dalam hal ini BKKBN dan UNESCO mengucapkan terima kasih kepada Panitia
Pengarah dalam hal ini Subagyo, Sekretaris Utama BKKBN; Julianto Witjaksono AS,
Deputi Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi ; Soedibyo Alimoeso, Deputi
Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga ; Wendy Hartanto, Deputi
Bidang Pengendalian Penduduk ; Perwakilan UNESCO.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Tim Penyusun Panduan ini yaitu Nia
Reviani, Fitri Adinda Novianti, Allan Taufiq Rivai, Desi Lokitasari, Alifah Nuranti, Popy
Irawati, Azora Ferolita, Dwi Ariyanti, Samuel Josafat Olam, Lhuri Dwianti Rahmartani.
Terimakasih sebesar besarnya juga kami tujukan kepada Tim Penelaah yang terdiri
dari berbagai unsur dan lembaga yang berkepentingan. Rudi Amin, PKBI ; Liris Kinasih,
PKBI ; Bangkit Purwandari, Kementerian Kesehatan Sub direktorat AIDS ; Dhito Pemi
Aprianto, Kementerian Kesehatan Sub Direktorat Bina Ketahanan Anak Usia Sekolah
Remaja ; Kurnia Wijiastuti, Aliansi Remaja Independen ; Rahardhika A.U, Aliansi Remaja
Independen ; Siti Handayani, Aliansi Remaja Independen ; Ryan Fajar Febrianto, Aliansi
Remaja Independen ; Lieska Prasetya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak ; Ida. M. Kosasih, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ; Susy
Farida, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ; Tini Setiawan, WHO ; Margaretha
Sitanggang, UNFPA ; Anissa Elok Budiyani, UNICEF ; Andri Yoga Utama, Rutgers WPF ;
Kheri Marifah, BKKBN ; Robertha, BKKBN ; Afif MM, BKKBN ; Nurlaila Susilowati, BKKBN
; Kartono, BKKBN ; Yuliana Slamet, BKKBN.
Tidak lupa juga kami mengucapkan banyak terimakasih atas dukungan UNESCO
dalam hal ini kepada Hubert J. Gijzen, Mee Young Choi, Ahmed Afzal, Ade Sandra.
PELECEHAN SEKSUAL 5
PENGANTAR
Upaya untuk mengatasi merebaknya infeksi HIV dilakukan secara konkret salah
satunya oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) yang sedang dalam
proses penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN) Penanggulangan AIDS untuk orang
muda berisiko usia 15-24 tahun. Langkah ini merupakan langkah yang signifikan dalam
upaya mengidentifikasi kebutuhan populasi remaja dengan perilaku yang berisiko
tinggi.
BKKBN sebagai lembaga Pemerintah yang memiliki tugas dan fungsi dalam Kesehatan
Reproduksi juga turut berperan nyata dalam upaya peningkatan kesadaran dan
kepedulian untuk mengendalikan infeksi HIV, salah satunya melalui pembuatan buku-
buku dengan tema Kesehatan Reproduksi hasil kerjasama dengan UNESCO. Buku
ini merupakan suplementasi dari buku Bimbingan Teknis Kesehatan Reproduksi dan
Seksualitas yang Komprehensif hasil kerjasama BKKBN dan UNESCO.
Buku suplemen ini dikembangkan sebagai usaha untuk meningkatkan pengetahuan
populasi dengan perilaku risiko tinggi dalam hal kesehatan reproduksi, sehingga diharapkan
terjadi pengaruh positif dalam perilaku keseharian remaja tersebut. Buku suplemen ini
juga menjadi suatu bentuk dukungan terhadap inisiatif RAN Penanggulangan AIDS yang
dikembangkan KPAN.
Buku suplemen ini terdiri dari 5 judul buku yakni:
Keterampilan Komunikasi dan Penolakan
Pelecehan Seksual
Pubertas
Dorongan Seksual
Infeksi Menular Seksual dan HIV/AIDS.
Buku suplemen ini merupakan pegangan untuk fasilitator dan pembimbing. Sasaran
dari kandungan buku ini adalah populasi remaja berusia 15-24 dengan perilaku risiko
tinggi, antara lain anak jalanan, remaja di lembaga pemasyarakatan, pengguna jarum
suntik, pekerja seks, dan remaja pria homoseksual. Buku ini tidak ditujukan untuk
pendidikan formal sehingga tidak untuk dipergunakan oleh siswa di sekolah.
P
erempuan dan laki-laki sama-sama mempunyai kebutuhan seksual. Apabila
pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan atas dasar kesepakatan atau
kesukarelaan antarakedua belah pihak (laki-laki dan perempuan), maka tidak
akan timbul permasalahan. Akan tetapi, apabila tindakan-tindakan yang berkaitan
dengan kebutuhan seksual tidak dilakukan atas dasar kesukarelaan (misalkan ada unsur
pemaksaan atau kekerasan), maka akan menimbulkan permasalahan dan keresahan.
Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau
mengarah kepada hal-hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan
oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan reaksi negatif seperti malu,
marah, benci, tersinggung, dan sebagainya pada diri individu yang menjadi korban
pelecehan tersebut. Rentang pelecehan seksual ini sangat luas, yakni meliputi: main
mata, siulan nakal, komentar berkonotasi seks atau gender, humor porno, cubitan,
colekan, tepukan atau sentuhan di bagian tubuh tertentu, gerakan tertentu atau isyarat
yang bersifat seksual, ajakan berkencan dengan iming-iming atau ancaman, ajakan
melakukan hubungan seksual hingga perkosaan. Pelecehan seksual bisa terjadi di
mana saja dan kapan saja.
Meskipun pada umumnya korban pelecehan seksual adalah kaum perempuan bukan
berarti bahwa kaum pria kebal (tidak pernah mengalami) terhadap pelecehan seksual.
Seorang manusia, siapapun atau dari kalangan apapun, sejak lahir telah memiliki hak
yang melekat dalam dirinya yang harus dipenuhi dan dihormati oleh siapapun, yang
disebut hak asasi manusia. Salah satu hak asasi adalah hak untuk bebas dari penyiksaan
dan perilaku buruk. Pelecehan dan kekerasan seksual termasuk dalam penyiksaan dan
perilaku buruk. Oleh karena itu, kepada siapapun pelecehan seksual dilakukan, hal itu
selalu merupakan tindakan yang salah.
PELECEHAN SEKSUAL 9
gerik yang bersifat seksual.
b. Bentuk Verbal: siulan, gosip, gurauan seks, pernyataan yang bersifat mengancam.
PELECEHAN SEKSUAL 11
10. Pemaksaan berhubungan seksual dengan iming-iming atau ancaman kekerasan
atau ancaman lainnya agar korban bersedia melakukan hubungan seksual, dan
sebagainya. Perkosaan adalah pelecehan paling ekstrem.
c. Faktor Lingkungan
1) Eksternal korban
Fenomena yang ada pada perilaku pelecehan seksual tersebut disebabkan
oleh banyak masalah pelecehan seksual yang di mengerti hanya sebagai
masalah perorangan serta kurang informasi pada masyarakat tentang
masalah pelecehan seksual. Kebanyakan masyarakat cenderung lebih
menyalahkan kaum perempuan sebagai korban sekaligus pemicu sehingga
terjadi pelecehan seksual terhadapnya.
Penyebab terjadinya pelecehan seksual pada perempuan, dapat pula
dikarenakan adanya struktur sosial dan sosialisasi dalam masyarakat yang
mengutamakan dan menomorsatukan kepentingan dan cara pandang laki-
3) Interaksi
Interaksi juga merupakan penyebab terjadinya pelecehan seksual yang
dialami oleh perempuan di lingkungannya, melalui tiga model teoritis, yaitu :
1. Dampak Psikologis
Beberapa penelitian menemukan bahwa korban pelecehan seksual merasakan
PELECEHAN SEKSUAL 13
beberapa gejala yang sangat bervariasi,
diantaranya merasa menurunnya harga
diri, menurunnya kepercayaan diri, depresi,
kecemasan, ketakutan terhadap perkosaan
serta meningkatnya ketakutan terhadap
tindakan-tindakan kriminal lainnya.
2. Dampak Fisik
Dampak fisik berikut ini telah tercatat
dalam literatur yang membahas tentang pelecehan seksual di antaranya yaitu
sakit kepala, gangguan makan, gangguan pencernaan (perut), rasa mual, serta
menurun atau bertambahnya berat badan tanpa sebab yang jelas.
Jika telah terjadi pelecehan seksual yang terbilang serius, selain mengalami sakit
kepala, gangguan makan, gangguan pencernaan (perut), dan naik turunnya berat
badan, dapat pula timbul kecenderungan bunuh diri pada korban. Ini semua
terjadi karena perbuatan tersebut menimbulkan rasa bersalah pada diri sendiri
yang amat sangat.
3. Dampak Sosial
Dampak pelecehan seksual di tempat kerja adalah menurunnya kepuasaan kerja,
mengganggu kinerja, mengurangi semangat bekerja, menurunnya produktivitas
kerja, merusak hubungan antara teman/rekan kerja, menurunnya tingkat
kepercayaan diri, dan menurunnya motivasi.
Korban pelecehan seksual di tempat kerja juga dapat memiliki komitmen yang
rendah terhadap tempat kerjanya, dan korban dengan tingkat frekuensi pelecehan
yang tinggi lebih memilih untuk mengundurkan diri dari pekerjaan mereka.
Remaja yang lebih dewasa harus mampu bersikap asertif, berani menolak dan berbicara
dengan tegas atau bahkan bila perlu melakukan pembelaan diri secara fisik.
Kemudian bila memungkinkan, gunakan pakaian yang cukup tertutup terutama bila
berada di tempat yang rawan kejahatan atau sepi. Bila tak dapat menghindari tempat
yang rawan kejahatan, gelap dan sunyi, sedapat mungkin minta ditemani oleh rekan
yang dapat dipercaya dan bisa memberi perlindungan saat berada di tempat-tempat
tersebut.
Hal lain yang penting untuk mencegah pelecehan seksual adalah mengenal hak
pribadi dan hak orang lain serta memahami bahwa hak seseorang adalah hal yang
harus dihormati, dihargai dan tidak boleh dirampas. Dengan pemahaman akan
hak-hak pribadi dan orang lain, seseorang
akan dapat menjaga dan menahan diri dari
tindakan pelecehan seksual terhadap orang
lain, sekaligus juga mengetahui bahwa
dirinya berhak untuk bebas dari pelecehan
seksual oleh orang lain.
PELECEHAN SEKSUAL 15
terhadap perempuan merampas hak perempuan sebagai warga negara
untuk bebas dari perlakuan diskriminatif dan untuk mendapatkan
perlindungan dari perlakuan diskriminatif itu (Pasal
28I(2)). Akibat dari pelecehan seksual itu, korban dapat
kehilangan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin
(Pasal 28H(1)), hak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia
(Pasal 28G(2)), dan bahkan mungkin kehilangan haknya untuk
hidup (Pasal 28A). Banyak pula korban yang kehilangan
haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum (Pasal 27(1) dan Pasal 28D(1)) karena tidak
dapat mengakses proses hukum yang berkeadilan.
Untuk pelecehan seksual bentuk fisik yang lebih berat, khususnya yang terdapat unsur
pemaksaan dan kekerasan di dalamnya, hendaknya dilaporkan ke pihak
yang berwajib. Jika mengalami kekerasan, korban hendaknya
tidak melenyapkan, tidak membuang dan tidak menghilangkan
bekas-bekas atau barang bukti kekerasan. Korban harus segera
melaporkan diri ke polisi. Bila korban enggan melapor sendirian
ke kantor polisi, korban harus segera mengadukan hal ini ke
pihak yang dapat melindungi korban, misalkan guru, orang tua,
orang lain yang dipercaya oleh korban ataupun rekan sebaya
untuk selanjutnya bersama korban melapor ke kantor polisi
terdekat.
PELECEHAN SEKSUAL 17
dari tindak kejahatan yang pernah dilakukan oleh keluarga atau para leluhurnya,
khususnya pada kasus pelecehan berat. Menceritakan tindak pelecehan seksual
yang ia alami dianggap membongkar aib yang ada di dalam keluarganya. Situasi
ini pula yang mendorong keluarga untuk mengambil keputusan bagi korban
untuk tidak melapor. Cara pikir tentang aib seringkali menyudutkan korban,
dikucilkan, atau diusir dari lingkungannya atau bahkan dipaksa untuk menjalani
hidupnya dengan pelaku pelecehan, misalnya dengan memaksakan korban
menikahi pelakunya.
Sekalipun ada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, berbagai jenis pelecehan seksual belum dikenali oleh hukum
Indonesia, ataupun pengakuan pada tindak pelecehan tersebut masih belum
utuh. Misalnya saja tentang perkosaan, hukum Indonesia hanya mengakomodir
tindak pemaksaan hubungan seksual yang berbentuk penetrasi penis ke vagina
dan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat penetrasi tersebut. Padahal,
ada banyak keragaman pengalaman perempuan akan perkosaan, sehingga
perempuan tidak dapat menuntut keadilan dengan menggunakan hukum yang
hanya memiliki pengertian yang sempit atas tindak pelecehan seksual itu.
Lembaga penegak hukum mulai membuat unit dan prosedur khusus untuk
menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya pelecehan
seksual. Sayangnya, unit dan prosedur ini belum tersedia di semua tingkat
penyelenggaraan hukum dan belum didukung dengan fasilitas yang memadai.
Adanya penyelenggara hukum yang mengadopsi cara pandang masyarakat
tentang moralitas dan pelecehan seksual. Akibatnya, penyikapan terhadap kasus
tidak menunjukkan empati pada perempuan korban, bahkan cenderung ikut
menyalahkan korban. Persoalan lain adalah masalah ketersediaan perlindungan
saksi dan korban yang memadai. Pada sejumlah kasus, korban tidak mau
melaporkan kasusnya karena khawatir balas dendam pelaku. Tindakan suap atau
penyogokan dalam proses penegakan hukum juga dapat menjadi hambatan bagi
korban yang kehilangan keyakinan bahwa ia akan memperoleh proses hukum
yang adil dan terpercaya.
Beberapa cara yang dapat dilakukan oleh anggota masyarakat untuk ikut mencegah
dan menangani pelecehan seksual antara lain :
Bangun pemahaman tentang pelecehan seksual
Jangan tinggal diam bila
mengetahui adanya tindak
pelecehan seksual. Segera
laporkan pada pihak berwajib
Temani korban pelecehan
seksual, bangun keyakinan
korban untuk tidak
menyalahkan dirinya sendiri
Temani dan dukung korban
bila ia hendak melapor.
Bila korban enggan
melapor, jangan dihakimi
keputusannya itu.
Berikan informasi kepada
korban hak-haknya dan
juga keberadaan lembaga-lembaga yang dapat ia hubungi untuk memperoleh
informasi lebih lanjut ataupun masukan bagi upaya pencarian keadilan dan
pemulihan
Berikan informasi tentang pelecehan seksual kepada anggota keluarga,
teman,tetangga, teman sekerja atau lainnya
Ajak mereka untuk ikut mendukung korban dengan cara tidak menyalahkan
korban, tidak menstigma, tidak mengucilkan apalagi mengusir korban
Ikut serta dalam advokasi perubahan hukum untuk kepentingan korban
pelecehan, termasuk dengan memantau jalannya proses penegakan hukum
Dukung kerja-kerja lembaga pengada layanan bagi korban pelecehan dengan
mengumpulkan informasi tentang pelecehan seksual yang terjadi disekelilingnya,
memberikan dukungan, ikut serta dalam kampanye atau dalam penggalangan
dana bagi penanganan korban.
PELECEHAN SEKSUAL 19
Tindakan Apa yang Dapat Dilakukan untuk Menangani Korban
Pelecehan Seksual?
Beberapa tindakan dapat dilakukan untuk menangani dampak yang dialami korban
pelecehan seksual.
PELECEHAN SEKSUAL 21
Catatan :
Untuk informasi lebih lanjut silakan hubungi kami di :
Kantor UNESCO Jakarta
Jl. Galuh II No. 5 Kebayoran Baru
Jakarta Selatan 12110, Indonesia
Telepon: +62 21 739 9818;
Fax: +62 21 7279 6489
Email: jakarta@unesco.org
www.unesco.org / Jakarta