Вы находитесь на странице: 1из 21

MAKALAH FARMASI

DEKSAMETASON

Oleh :

Dennys Flowerentina Hillary

NPM : 11700404

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

SURABAYA

2015
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang

telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami. Sehingga tugas

makalah ini sebagai tugas mata kuliah dengan judul DEKSAMETASON

dapat diselesaikan pada waktunya.

Makalah ini dibuat untuk mempelajari dan mengetahui seperti apa gambaran

dan kegunaan obat Deksametason. Makalah ini juga dibuat agar pembaca dapat

memperluas pengetahuannya.

Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Farmasi Bu

Lusiani Tjandra, S.Si, Apt, M.Kes yang telah membimbing kami, sehingga

kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

kritik dan saran dari dosen dan teman-teman yang bersifat membangun selalu

saya harapkan demi lebih baiknya makalah ini.

Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan mohon maaf

jika sekiranya masih terdapat kesalahan dalam penulisan, terimakasih.

` Surabaya, 30 Juni 2015

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ..i

DAFTAR ISI.................................................................................................................ii

I. PENDAHULUAN.
1
II. FARMASIFARMAKOLOGI...
...4
2.1 Sifat Fisiko Kimia dan Rumus Kimia Obat .........4
II.2Farmakologi Umum.......5
II.3Farmakodinamik,,,..7
II.4Farmakokinetik...........8
II.5Taksisitas..14
III. PEMBAHASAN..
...16
IV. KESIMPULAN...
....17

DAFTAR PUSTAKA..18
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Istilah alergi digunakan pertama kali oleh Clemens Vons Pirquet tahun

1906 diartikan sebagai reaksi pejamu yang berubah bila terpajan dengan

bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. Reaksi alergi dapat

mempengaruhi hampir semua jaringan atau organ dalam tubuh, dengan

manifestasi tergantung pada organ target.Manifestasi klinis umum dari alergi

termasuk asma, dermatitis atopik, rinitis alergik, dan urtikaria / angioedema.

Alergi makanan dan dermatitis atopik adalah umum pada anak usia dini, dan

berisiko terjadinya asma dan rinitis pada anak di kemudian hari. Manifestasi

alergi dapat mengancam hidup seperti asma parah dan reaksi anafilaksis

(Ridho,2010)
Kegunaan kortikosteroid pada gangguan fungsi adrenal merupakan

suatu fungsi kemampuan mereka untuk menekan respons inflamasi dan imun.

Pada kasus dengan respons inflamasi atau imun, penting dalam mengontrol

proses patologis, terapi dengan kortikosteroid dapat berbahaya, tetapi

dipertimbangkan untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat diperbaiki dari

suatu respons inflamasi jika dalam hubungannya dengan terapi khusus untuk

proses penyakit tersebut. Penggunann steroid dapat mebuat sistem immun kita

melemah, dan mempermudah kita mendapat infeksi yang lain. Untuk

memastikan kita aman menggunakan deksamethasone,penggunaan

deksmethasone sebaiknya dengan sepengetahuan dokter, sehingga dapat

disesuaikan antara dosis pemakaian dan kebutuhannya, jika digunakan tanpa


sepengetahuan dokter, dan penggunaannya sudah lama, jika dihentikan akan

membuat tubuh menjadi sangat lemah dan bisa berakibat karena kematian.

Deksametason, seperti kortikosteroid lainnya memiliki efek anti

inflamasi dan anti alergi dengan pencegahan pelepasan histamine.

Deksametason merupakan salah satu kortikosteroid sintetis terampuh.

Kemampuannya dalam menaggulangi peradangan dan alergi kurang lebih

sepuluh kali lebih hebat dari pada yang dimiliki prednisone. Penggunaan

deksametason di masyarakat sering kali kita jumpai, antara lain pada terapi

arthritis rheumatoid, systemic lupus erithematosus, rhinitis alergica, asma,

leukemia, lymphoma, anemia hemolitik atau auto immune, selain itu

deksametason dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sindroma

cushing. Efek samping pemberian deksametason antara lain terjadinya

insomnia, osteoporosis, retensi cairan tubuh, glaukoma dan lain-lain.

(Ridho,2010)

1.2 Tujuan

Berdasarkan latar belakang diatas maka tujuan dari makalah ini adalah

untuk mengetahui gambaran dan kegunaan obat deksametason.

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat bagi mahasiswa

Mahasiswa dapat lebih memahami dan mengerti tentang obat

deksametason lebih mendalam. Mahasiswa mampu mendefinisikan secara

benar tentang obat deksametason serta mengetahui cara penggunaan obat

generik secar benar dalam membantu proses penembuhan penyakit.


1.3.2 Bagi Pembaca
Dapat menjadi sumber informasi agar mengetahui obat deksametason.
1.3.3 Bagi Instansi Kesehatan
Dapat menjadi tolak ukur dalam pemberian obat deksametason kepada

pasien.

BAB II

FARMASI - FARMAKOLOGI

2.1 Sifat Fisiko Kimia dan Rumus Kimia Obat

Rumus Molekul : C22H29FO5


Berat Molekul : 392,47
Nama Kimia : 9-Fluoro-11,17,21-trihidroksi-16-
Metilpregna-1,4-diena-3,20-dion
Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai praktis putih,
Tidak berbau, stabil diudara. Melebur pada
Suhu kurang dari 2500 diserati peruraian.

Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, agak sukar larut


Dalam aseton, dalam etanol, dalam dioksan

Dan dalam methanol; sukar larut dalam

Kloroform ; sangat sukar larut dalam eter

( Ditjen POM, 1995 )

2.2 Farmakologi Umum


Deksametason, seperti kortikosteroid lainnya memiliki efek anti

inflamasidan anti alergi dengan pencegahan pelepasan histamine (Anonim,

2009). Deksamtesaon merupakan salah satu kortikosteroid sintetis termapuh.

Kemampuannya dalam menanggulangi peradangan dan alergi kurang lebih

sepuluh kali lebih hebat daripada yang dimiliki prednisone (Katzung, 1998).

Penggunaan deksametason di masyarakat sering kali kita jumpai, antara lain:

pada terapi arthritis rheumatoid, systhemik lupus erithematosus, rhinitis

alergika, asma, leukemia, anemia hemolitik, selain itu deksametason dapat

digunakan untuk menegakkan diagnosis syndroma cushing. Efek samping

pemberian deksametason antara lain terjadinya insomnia, osteoporosis, retensi

cairan tubuh, glaukoma dan lain lain (Suherman, 2007)


Deksametason adalah kortikosteroid kuat dengan khasiat

immunosupresan dan anti inflamasi yang digunakan untuk mengobati berbagai

kondisi peradangan (Samtani, 2005). Menurut Muschler (1991), makna

terapeutik kortikosteroid terletak pada kerja antiflogistiknya (antireumatik),

antialergi, dan imunsupresiv, bila terapi substitusi pada insufiensi korteks

adrenal diabaikan.
Kortikosteroid seperti deksametason bekerja dengan cara

mempengaruhi kecepatan sintesis protein . Molekul hormon memasuki sel

jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target,


kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel

jaringan dan membentuk kompleks reseptor steroid. Kompleks ini mengalami

perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan

kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein

spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologik

steroid (Suherman,2007).
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup

baik, Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan

ruang sinovial. Metabolitnya merupakan senyawa inaktif atau berpotensi

rendah. Setelah penyuntikan IV, sebagian besar dalam waktu 72 jam diekskresi

dalam urin, sedangkan di feses dan empedu hampir tidak ada. Diperkirakan

paling sedikit 70% kortisol yang dieksresi mengalami metabolisme di hepar

(Suherman, 2007).
Efek terapeutik glukokortikoid seperti deksamtesaon yang paling

penting adalah kemampuannya untuk mengurangi respon peradangan secara

dramatisdan untuk menekan imunitas. Telah diketahui bahwa penurunan dan

penghambatan limfosit dan makrofag perifer memegang peranan. Juga

penghambatan fosfolipase A2 secara tidak langsung yang menghambat

pelepasan asam arakidonat, prekurson, prostaglandin dan leukotrien, dari

fosfolipid yang terikat pada membran (Mycek,2001).


Glukokortikoid memiliki efek anti inflamasi dan ketika pertama kali

diperkenalkan dianggap sebagai jawaban terkahir untuk pengobatan artritis

yang beradang (Daniel dan Tino, 2002). Deksamtesaon merupakan

glukokortikoid sintetis yang memiliki efek antiinflamasi , antialergi,

antirematik, dan antishock yang sangat kuat (Anonim, 2010). Menurut

Suherman (2007), penggunaan klinik kortikosteroid sebagagi antiinflmasi

merupakan terapi paliatif, dalam hal ini penyebab penyakit tetap ada hanya
gejalanya yang dihambat. Hal inilah yang menyebabkan obat ini banyak

digunakan untuk berbagai penyakit, bahkan sering disebut life saving drug,

tetapi juga mungkin menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan.

2.3 Farmakodinamik

Kerja utama deksametason adalah untuk menekan proses peradangan

akut. Awitan kerja dan obat ini belum ditentukan; tetapi, bentuk obat yang

diberikan secaraoral dan intramuskular memiliki lama kerja yang panjang

(beberapa hari). Pada waktumemasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau

ditranspor menembus sel membrandan terikat pada kompleks reseptor

sitoplasmik glukokortikoid heat-shock proteinkompleks. Heat shock protein

dilepaskan dan kemudian kompleks hormon reseptor ditranspor ke dalam inti,

dimana akan berinteraksi dengan respon unsur responglukokortikoid pada

berbagai gen dan protein pengatur yang lain dan merangsang ataumenghambat

ekspresinya. Pada keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor dihambat

dari ikatannya dengan DNA, jadi hormon ini tidak menghambat kerja

reseptor pada DNA. Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan

dianggapdipengaruhi oleh protein spesifik jaringan lain yang juga harus terikat

pada gen untuk menimbulkan ekspresi unsur respons glukokortikoid utama.

Kortikosteroid mempengaruhi mebolisme karbohidrat, protein

danlemak;dan mempengaruhi juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot

lurik, sistemsaraf,dan organ lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatik,

artinya penting bagiorganisme untuk dapat mempertahankan diri dalam

menghadapi perubahanlingkungan. Efek kortikosteroid kebanyakan

berhubungan dengan besarnya dosis, makin besar dosis terapi makin

besar efek yang didapat, tetapi disamping itu juga ada keterkaitan kerja
kortikosteriod dengan hormon homron yang lain. perna kortikosteriod

dama kerjasama ini disebut permissife effects, yaitu kortikosteroid

diperlukan agar supaya terjadi suatu efek lain, diduga mekanismenya

melalui pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah

respon jaringan terhadap hormon lain. Misalnya otot olos bronkus tidak akan

berespon terhadap katekolamin bila tidak ada kortikosteroid , dan pemberian

kortikosteroid dosisi fisiologisnya akan mengembalikan respon tersebut. Suatu

dosis kortikosteroid dapat memberikan efek fisiologik atau farmakologik

tergantung keadaan sekitar dan aktivitas individu.

2.4 Farmakokinetik

Farmakokinetik dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang

dilakukan tubuh terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan

ekskresi. Dalam arti sempit farmakokinetika khususnya mempelajari

perubahan perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya di dalam darah

dan jaringan sebagai fungsi dari waktu (Tjay dan Rahardja, 2002).

Profil keberadaan bahan obat dalam darah sebagai fungsi dari waktu

menggambarkan interaksi antara fase ketersediaan zat aktif dan fase

disposisinya. Selain itu profil tersebut juga mengungkapkan nasib obat di

dalam tubuh. Oleh karena fenomena penyerapan zat aktif dari darah menuju

jaringan dapat terjadi secara bolak balik (reversible), maka selalu terjadi

hubungan dinamik antara konsentrasi zat aktif dalam jaringan dan konstentrasi

zat aktif dalam darah ( Aiache, 1993).

Absorpsi sistemik suati obat dari saluran cerna atau tempat

ekstravaskuler yang lain pada bentuk sediaan, anatomi dan fisiologi tempat

absorpsi. Faktor faktor lain seperti luas permukaan dinding usus, kecepatan
pengosongan lambung, pergerakan saluran cerna dan aliran darah ke tempat

absorpsi, semuanya mempengaruhi laju dan jumlah absorpsi obat (Shargel,

2005).

Absorpsi merupakan suatu fenomena yang memungkinkan zat aktif

melewati jalur pemberian obat menuju sistem peredaran darah, dan

penyerapan obat terjadi secara langsung dengan mekanisme perlintasan

membran. Tanpa mengabaikan masalah ketersediaan hayati, amak harus

dibahas pentingnya bentuk sediaan, perlunya zat aktif berada dalam bentuk

yang sesuai agar dapat menembus membran dan pentingnya kelarutan atau

keterlarutan zat aktif padat (Aiache, 1993).

Informasi tentang kecepatan dan absorpsi obat jarang mempunyai

kepentingan klinis. Namun absorpsi biasanya terjadi selama 2 jam pertama

setelah dosis obat dan bervariasi menurut asupan makanan, posisi tubuh dan

aktivitas. Oleh karena itu tidak boleh mengambil darah sebelum absorpsi

lengkap kira kira 2 jam setelah dosis oral. (Hloford, 1998).

Proses-proses absorpsi,distribusi dan eliminasi (metabolisme dan

ekskresi) yang dialami oleh hampir semua obat pada dosis terapi mengikuti

kinetika orde pertama (first order), artinya kecepatan proses proses tersebut

sebanding dengan jumlah obat yang ada (yang tinggal), Jadi jumlah obat yang

diabsorpsi, didistribusi dan dieliminasi persatuan waktu makin lama makin

sedikit, sebanding dengan jumlah obat yang masih belum mengalami proses

tersebut ( Setiawati, 2005).

Absorpsi obat adalah perpindahan obat dari tempat pemberian menuju

ke daerah target aksinya. Untuk memasuki aliran sistemik (darah), obat harus

dapat melintasi membran (barier) yang merupakan faktor terpenting bagi obat
untun mencapai tempat aksinya (misalnya otak, jantung, dan anggotan badan

yang lain). Obat harus dapat melewati berbagai membran sel (misalnya sel

usus halus,pembuluh darah, dan sel saraf) (Shargel, 2005).

Pada distribusi khusunya melalui peredaran darah, obat yang telah

melalui hati bersamaan dengan metabolitnya disebarkan secara merata ke

seluruh jaringan tubuh. Melalui kapiler dan cairan ekstrasel (yang mengelilingi

jaringan) obat diangkut ke tempat kerjanya di dalam sel (cairan intrasel), yaitu

organ atau otot yang sakit. Tempat kerja ini hendaknya memiliki penyaluran

darah yang baik karena obat hanya dapat melakukan aktivitasnya bila

konsentasi setempatnya cukup tinggi selama waktu yang cukup lama (Tjay

dan Rahardja, 2002).

Pada tahap distribusi ini penyebarannya sangat peka terhadap berbagai

pengaruh yang terkait dengan tahap penyerapandan tahap yang terjadi

sesudahnya yaitu peniadaan, serta terkait pula dengan komposisi biokimia

serta keadaan fisiopatologi subyeknya, disamping itu perlu diingat

kemungkinan adanya interaksi dengan molekul lainnya. Pada tahap ini

merupkan fenomena dinamik yang selalu terdiri dari fase peningkatan dan

penurunan kadar zat aktif (Aiache, 1993).

Obat yang digunakan secara oral akan melalui lever (hepar) sebelum

masuk kedalam darahmenuju ke daerah lain dari tubuh (misalnya otak,

jantung, paru paru dan jaringan lainnya). Di dalam lever terdapat enzim

khusus yaitu sitokrom p-450yang akan mengubah obat menjadi bentuk

metabolitnya. Metabolit umumnya menjadi lebih larut dalam air (polar) dan

akan dengan cepat diekskresi ke luar tubuh melalui urin, feses, keringat dan

lain-lain. Hal ini akan secara dramatik mempengaruhi kadar obat dalam
plasma dimana obat yang mengalami first pass metabolism akan kurang

bioavailabilitasnya sehingga efek yang dihasilkan juga berkurang (Hinz, 2005)

Efektivitas suatu senyawa obat pada pemakaina klinik berhubungan

dengan farmakokinetiknya. Efek obat terhadap tubuh dasarnya merupakan

akibat interaksi obat dengan reseptornya, maka secara teoritis intensitas efek

obat baik efek terapi maupun efek toksik tergantung dari kadar obat di tempat

reseptor atau tempat kerjanya. Oleh karena kadar obat ditempat kerja belum

dapat diukur, maka sebagai gantinya diambil kadar obat dalam plasma/serum

yang umum dalam keseimbangan dengan kadarnya di tempat kerja (Setiawati,

2005).

Pada umumnya zat aktif suatu obat akan menunjukkan efek

farmakologik pada titik tangkap jaringan bila bahan tersebut telah mencapai

tempat tersebut dengan perantaraan darah. Peredaran darah bagaikan

lempeng berputar dari perjalana obat. Fenomena penyerapan sebagai tahap

awal farmakokinetika, ditentukan oleh penembusan zat aktif ke dalam darah

yang selanjutnya oleh darah dihantarkan menuju sasaran kerja farmakologik,

mengalami perubahan hayati dan selanjutnya ditiadakan (Aiache, 1993)

Tipe metabolisme dibedakan mejadi dua bagian yaitu Nonsynthetic

Reactions (Reaksi fase I) dan Synthetic Reactions (Reaksi fase II). Reaksi fase

I terdiri dari oksidasi, reduksi, hidrolisa, alkali dan dealkilasi. Metabolitnya

bisa lebih aktif dari senyawa asalnya. Umumnya tidak dieliminasi dari tubuh

kecuali dengan adanya metabolisme lebih lanjut. Reaksi fase Iiberupa

konjugasi (glukoronidasi dan sulfatasi) yaitu penggabungan suatu obat dengan

molekul lain. Metabolit umumnya lebih larut dalam air dan mudah

diekskresikan (Hinz, 2005).


Faktor yang mempengaruhi metabolisme obat yaitu induksi enzim

yang dapat meningkatkan kecepatan biotransformasi dirinya sendiri, atau obat

lain yang dimetabolisme oleh enzym yang sama yang dapay menyebabkan

toleransi. Selain itu,inhibisi enzym yang merupakan kebalikan dari induksi

enzym, biotransformasi obat diperlambat, menyebabkan bioavailabilitasnya

meningkat, menimbulkan efek menjadi lebih besar dan lebih lama. Kompetisi

(interkasi obat) juga berpengaruh terhadap metabolime dimana terjadi oleh

obat yang dimetabolisir oleh sistem enzym yang sama. Perbedaan individu

juga berpengaruh terhadap motebolisme karena adanya genetik polymorphism,

dimana seseorang mungkin memiliki kecepatan metabolisme berbeda untuk

obat yang sama (Hinz, 2005)

Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh, terutama dilakukan

oleh ginjal melalui air seni yang disebut dengan ekskresi. Lazimnya tiap obat

diekskresi berupa metabolitnya dan hanya sebagian kecil dalam keadaan asli

yang utuh. Tapi adapula cara lain, yaitu melalui kulit bersama dengan keringat,

paru paru melalui pernafasan, melalui hati dengan empedu (Tjay dan Rahrdja,

2002).

Untuk dapat menilai suatu obat secara klinis, menetapkan dosis dan

skemapenakarannya yang tepat, perlu adanya sejumlah keterangan

farmakokinetik. Khusunya mengenai kadara obat di tempat tujuan kerja (target

site) dan dalam darah, serta perubahan kadar ini dalam waktu tertentu. Pada

umumnya besarnya efek obat tergantung pada konsentrasi plasma (Wadon,

2008)

Turunnya kadar plasma obat dan lama efeknya tergantung pada

kecepatan metabolisme dan ekskresi . Kedua faktor ini menentukan kecepatan


eliminasi obat yang dinyatakan dengan pengertian plasma half life eliminasi

(waktu paruh = t1/2-nya tergantung dari kecepatan biotransformasi dan

ekskresi. Obat dengan metabolisme cepat half lifenya juga pendek. Sebaliknya

zat yang tidak mengalami biotransformasi atau yang diresorpsi kembali oleh

tubuli ginjal,dengan sendirinya t1/2-nya panjang (waldon, 2008)

A. Indikasi dan Dosis


Deksametason digunakan sebagai imunosupresan/antialergi, anti-

inflamasi padakeadaan-keadaan yang memerlukan terapi dengan

glukokortikoid: Reaksi alergi, sepertiasmabronkial, dermatitis atopik,

alergiobat, rinitis alergi. Gangguan kolagen, seperti reumatik , karditis

akut,lupuseritematosus sistemik. Reumatik, seperti rematoid arthritis,

ankilosing spondilitis, arthritis gout akut. Gangguan dermatologik,

sepertieksim, neurodermatitis, pemfigus. Alergi dan inflamasi akut dan kronik

pada mata,seperti konjungtivitis, keratitis, neuritis optik. Gangguan

pernafasan, seperti gejala-gejala sarkoidosis, pneumonitis. Gangguan

hematologik, seperti trombositopenia,eritoblastopenia. Gangguan neoplastik,

seperti leukemia, limfoma. Gangguangastrointestinal, seperti kolitis,

enteritis.Edema serebral.
Untuk pengobatan alergi :
Pemberian oral :
D e w a s a : Aw a l , 0 , 7 5 - 9 m g / h r P O , t e r b a g i d a l a m 2 - 4 d o s i s .

P e n y e s u a i a n d a p a t dilakukan tergantung respon pasien.


Anak-anak : 0,024-0,34 mg/kg/hari PO atau 0,66-10 mg/m2/hari PO, terbagi

dalam 2-4dosis.
Pemberian parenteral :
Dewasa : Awal, 0,5-9 mg/hr IV atau IM, terbagi dalam 2-4 dosis. Penyesuaian

dapat dilakukan tergantung respon pasien.Anak-anak : 0,06-0,3 mg/kg/hr atau

1,2-10 mg/m2/hr IM atau IV dalam dosis terbagitiap 6-12 jam.


Untuk pengobatan anafilaksis akut atau reaksi anafilaksis :
Dosis oral dan IM :
Dewasa : 4-8 mg IM dosis tunggal pada hari pertama. Kemudian diberikan

dosis oral,1.5 mg PO 2X sehari pada hari ke 2 dan ke 3; kemudian 0,75 mg PO

2X sehari padahari ke 4; kemudian 0,75 mg PO sekali sehari pada hari ke 5

dan 6, kemudian hentikan.


Untuk pengobatan syok anafilaksis : IV.
Dewasa : dosis bervariasi 1-6 mg/kg IV atau 40 mg IV tiap 4-6 jam. Alternatif

lain, 20mg IV dilanjutkan dengan infus IV 3 mg/kg dalam waktu 24 jam.


B. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap deksametason atau komponen lain

dalam formulasi;infeksi jamur sistemik, cerebral malaria; jamur, atau

penggunaan pada mata denganinfeksi virus (active ocular herpes simplex).

Pemberian kortikosteroid sistemik dapatmemperparah sindroma Cushing.

Pemberian kortikosteroid sistemik jangka panjangatau absorpsi sistemik dari

preparat topikal dapat menekan hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) dan

atau manifestasi sindroma Cushing pada beberapa pasien. Namunr i s i k o

penekanan HPA pada penggunaan deksametason topikal

s a n g a t r e n d a h . Insufisiensi adrenal akut dan kematian dapat terjadi

apabila pengobatan sistemik dihentikan mendadak

2.5 Taksisitas

Kardiovaskuler : Aritmia, bradikardia, henti jantung, kardiomiopati,

CHF,kolaps sirkulasi, edema, hipertens, ruptur miokardial (post-MI),

syncope,tromboembolisme, vasculitis. Susunan saraf pusat : Depresi,

instabilitas emosional,euforia, sakit kepala, peningkatan tekanan intracranial,

insomnia, malaise, neuritis, pseudotumor cerebri, perubahan psikis, kejang,

vertigo. Dermatologis : acne, dermatitis alergi, alopecia, angioedema, kulit

kering, erythema, kulit pecah-pecah,hirsutism, hiper-/hipopigmentasi,

hypertrichosis, perianal pruritus (pemberian IV), petechiae, rash, atrofi kulit,


striae, urticaria, luka lama sembuh.Sebanyak 20% pasien mengalami

gangguan kognitif setelah menerima deksametason dalam jangka waktu lama.

Bakteri meningtis dapat menyebabkan gangguan kognitif, bahkan setelah

kesembuhan total. Obat kortikosteroid deksametason yang rutin digunakan

untuk pengobatan infeksi hingga kini masih banyak digunakan. Berbagai efek

samping yang pernah dilaporkan akibat penggunaan deksametason antara lain

adalah osteoporosis, kenaikan gula darah, sembab akibat retensi air. Belum

lama ini laporan yang dipublikasikan dalam Archives of Neurological tahun

2006 lalu memaparkan bahwa penggunaan jangka panjang deksametason

berhubungan dengan efek samping kognitif. Namun, para peneliti dari

Universitas Amsterdam mengatakan bahwa keprihatinan tersebut tidak

diperingatkan. Para peneliti menguji efek bahaya potensial deksametason yang

diberikan sebagai terapi tambahan dalam jangka panjang dengan hasil kognitif

pada 99 pasien dengan infeksi meningitis pneumococal Dari Pasien yang ikut

serta dalam penelitian ini, sebanyak 87 pasien dimasukkan dalam pengamatan,

46 pasien menerima deksametason dan sisanya 41 pasien menerima plasebo.

Pemeriksaan neurologik pada median delapan tahun setelah keluar dari

rumahsakit (30 hingga 146 bulan) terbukti bahwa 17 pasien (20%) mengalami

gangguankognitif. Sebanyak 38 pasien (21%) yang pernah mengalami infeksi

meningitis pneumococus sebanyak delapan mengalami disfungsi kognitif

dibanding dengan tigadari 49 pasien (6%) yang pernah mengalami

meningococal meningitis. Tapi, tak ada perbedaan yang ditemukan antara

kedua kelompok pengobatan. Para penelitimengatakan bahwa peneliti mereka

terdiri jumlah pasien terbesar yang pernah dievaluasi dalam waktu jangka

panjang. Temuan mereka menduga bahwa gangguanneuropsikologikal


membaik dalam tahun pertama setelah bakteri meningitis dan menjadi relatif

stabil dengan waktu.

BAB III

PEMBAHASAN

Deksametason adalah glukokortikoid sintetik dengan aktivitas

imunosupresandan anti-inflamasi. Sebagai imunosupresan Deksametason

bekerja dengan menurunkanrespon imun tubuh terhadap stimulasi rangsang.

Aktivitas anti-inflamasi Deksametason dengan jalan menekan atau mencegah

respon jaringan terhadap proses inflamasi danmenghambat akumulasi sel yang

mengalami inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit pada tempat inflamasi.

Deksametason seperti kortikosteroid lainnya memiliki efek anti inflamasi

dananti alergi dengan pencegahan pelepasan histamine. Deksametason

merupakan salahsatu kortikosteroid sintetis terampuh. Kemampuannya dalam


menaggulangi peradangandan alergi kurang lebih sepuluh kali lebih hebat dari

pada yang dimiliki prednisone. Penggunaan deksametason di masyarakat

sering kali kita jumpai, antara lain: pada terapi arthritis rheumatoid,

systemic lupus erithematosus, rhinitis alergica,a s m a , leukemia,

lymphoma, anemia hemolitik atau auto immune, selain

i t u deksametason dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sindroma

cushing. Efek samping pemberian deksametason antara lain terjadinya

insomnia, osteoporosis, retensicairan tubuh, glaukoma dan lain-lain

BAB IV

KESIMPULAN

Manfaat yang diperoleh dari penggunaan deksametason sangat

bervariasi, Harus dipertimbangkan dengan berhati hati pada setiap penderita

terhadap banyaknya efek pada setiap bagian organism ini, Efek utama yang

tidak diinginkan dari glukokortikoidnya dan menimbulkan gambaran klinik

syndrome cushing iatrogenik.

Pemberian deksametason juga dapat menimbilkan efek samping, untuk

mengurangi efek samping kortikosteroidnya adalah dengan melakukan

penurunan konsumsi dosis kortikosteroid secara perlahan lahan (tappering-

off). Jika timbul diabetes, diobati dengan diet dan insulin. Sering penderita
yang resisten dengan insulin, namun jarang berkembang menjadi ketoasidosis.

Pada umumnya penderita yang diobati dengan kortikosteroid seharusnya

diberi diet protein tinggi, dan peningkatan pemberian kalium serta rendah

natrium seharusnya digunakan apabila diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Farmakologi dan terapi. Ed 5. Jakarta: Gaya Baru ; 2007;


502 13.

Dewanti, Tri . 2006. Deksamethason Umum. Universita Sumatera Utara.


Sumatera.

Farmakope Indonesia. Edisi III tahun 1978. Jakarta : Departemen Kesehatan


Republik Indonesia Halaman 920 994

Informasi Spesialit Obat. Volume 45 tahun 2010-2011. Jakarta : Departemen

50. [29 Juli 2010].

Suherman. 2007. Studi Deksamethason Cermin Dunia Kedokteran. 151:48-55.

Joyce L. Kee. 2008. Steroid hormone. www.miking.at.iupui.edu [1 Juni 2011]

Katzung GB. Farmakologi dasar dan klinik; penerjemah dan editor: Bagian

Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Ed 8. Jakarta:

Salemba Medika; 2002; 582-90.

Ridho. 2010. Pengaruh Pemberian Deksametason Dosis Bertingkat . Semarang

Вам также может понравиться