Вы находитесь на странице: 1из 26

LAPORAN KASUS INDIVIDU

CVA INFARK

Oleh:
Nuraini Fatmawati
201210330311047

Pembimbing
dr. Irawan, Sp. S

SMF NEUROLOGI
RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya, penulisan laporan kasus stase syaraf ini dapat diselesaikan dengan
baik. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW,
keluarga, para sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman.
Laporan kasus yang akan disampaikan dalam penulisan ini mengenai
CVA Infark. Penulisan laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi tugas
individu stase syaraf.
Dengan terselesaikannya laporan kasus ini kami ucapkan terima kasih
yang sebesar besarnya kepada dr.Irawan, Sp.S, selaku pembimbing kami, yang
telah membimbing dan menuntun kami dalam pembuatan laporan kasus ini.
Kami menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kami tetap membuka diri untuk kritik dan saran yang membangun.
Akhirnya, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat.

Lamongan, 04 Agustus 2016

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Stroke adalah gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan


aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak dalam beberapa detik
atau secara cepat dalam beberapa jam dengan gejala atau tanda-tanda sesuai
dengan daerah yang terganggu. Menurut WHO: stroke adalah terjadinya gangguan
fungsional otak fokal maupun global secara mendadak dan akut yang berlangsung
lebih dari 24 jam akibat gangguan aliran darah otak.
Menurut Neil F. Gordon: stroke adalah gangguan potensial yang fatal pada
suplai darah bagian otak. Tidak ada satupun bagian tubuh manusia yang dapat
bertahan bila terdapat gangguan suplai darah dalam waktu relatif lama sebab
darah sangat dibutuhkan dalam kehidupan terutama oksigen pengangkut bahan
makanan yang dibutuhkan pada otak dan otak adalah pusat control system tubuh
termasuk perintah dari semua gerakan fisik.
Dengan kata lain stroke merupakan manifestasi keadaan pembuluh darah
cerebral yang tidak sehat sehingga bisa disebut juga cerebral arterial
diseaseatau cerebrovascular disease. Cedera dapat disebabkan oleh sumbatan
bekuan darah, penyempitan pembuluh darah, sumbatan dan penyempitan atau
pecahnya pembuluh darah, semua ini menyebabkan kurangnya pasokan darah
yang memadai (Irfan, 2010).
Sampai saat ini stroke masih merupakan masalah besar, sekaligus
tantangan di bidang kesehatan, karena stroke menduduki peringkat kedua setelah
penyakit jantung atau ketiga setelah kanker dalam urutan penyebab kematian
(Falluji, 2012).
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama Pasien : Tn. R
Umur : 63 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama/suku : Islam/Jawa
Alamat : Gondangtimur RT 2 RW 7 Randuagung, Singosari,
Lamongan
Tanggal pemeriksaan : 26 Juli 2016
2.2 Keluhan Utama
Bicara pelo
2.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan bicara pelo sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit, keluhan bicara pelo ini dirasakan mendadak saat pasien pulang dari kerja.
Pasien juga mengeluhkan sulit makan dan minum karena pasien merasakan
tersedak saat makan dan minum. Pasien tidak mengeluhkan nyeri kepala, mual,
muntah, rasa lemah pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah, rasa tebal pada
ekstremitas. Sebelumnya pasien belum pernah berobat.
2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Pneumonia, hipertensi tidak ada, diabetes tidak ada, penyakit jantung tidak ada
2.5 Riwayat Penyakit Keluarga :
Hipertensi tidak ada , diabetes tidak ada
2.6 Riwayat Penyakit Sosial :
Tidak merokok
2.7 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4 V5 M6
Vital sign
Tekanan Darah : 150/80 mmHg
Nadi : 81 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 37 C
Status Generalis
Kepala/Leher
Inspeksi : tidak ada anemia, tidak ada ikterus, tidak ada sianosis, tidak ada
dispsneu, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, JVP -
Thorax
Paru : Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris,
retraksi tidak ada
Palpasi : Thrill tidak ada
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler/vesikuler
Rh -/-, Wh -/-
Jantung : Inspeksi : Ictus cordis -, voussure cardiac -
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat, thrill / fremissment -
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : S1S2 Tunggal, Murmur -, gallop
Abdomen : Inspeksi : Flat
Palpasi : Soepel, nyeri tekan epigastrium -, hepar lien tidak
teraba
Perkusi : Thimpani
Auskultasi : BU + N
Ekstremitas : Inspeksi : Deformitas(-) oedem (-)
Palpasi : Hangat, kering, CRT<2 detik
Pemeriksaan Neurologis
1. Kepala : Posisi : Normal
Penonjolan : Tidak ada
Bentuk / Ukuran : Normal
2. Nervus Kranialis :
a. N.I (Olfaktorius)
Penghidu : dalam batas normal / dalam batas normal
b. N.II (Optikus)
Tajam Penglihatan : dalam batas normal / dalam batas normal (> 2/60 /
> 2/60)
Lapang Penglihatan : dalam batas normal / dalam batas normal
Funduskopi : Tidak dievaluasi
c. N. III (Okulomotorius)
Celah kelopak mata : Ptosis :-/-
Exoftalmus : - / -
Pergerakan bola mata : Normal / normal, diplopia (-)
Pupil
Ukuran / Bentuk : 3 mm/ 3 mm
Isokor / Anisokor : Pupil bulat isokor
Reflek cahaya : Langsung :+/+
Tidak langsung :+/+
Nistagmus : -/-
d. N.IV (Troklearis)
Posisi bola mata : Normal / normal
Pergerakan mata : Normal / normal, diplopia (-)
e. N.VI (Abdusen)
Pergerakan mata : Normal / normal, diplopia (-)
f. N.V (Trigeminus)
Sensibilitas : N. V I : normal / normal
N. V II : normal / normal
N. V III : normal / normal
Motorik : Inspeksi : wajah simetris
Palpasi : normal / normal
Mengunyah : normal
Menggigit : normal
Reflek dagu / masseter : tidak di evaluasi
Reflek kornea : tidak di evaluasi
g. N.VII (Fasialis)
Motorik
M. Frontalis : dalam batas normal
M. Oblik Okuli : dalam batas normal
M. Oblik Oris : parese
Pengecapan 2/3 lidah depan : dalam batas normal
h. N.VIII (Vestibulokoklearis)
Detik arloji : normal / normal
Suara berbisik : normal / normal
Tes Weber : tidak dievaluasi
Tes Rinne : tidak dievaluasi
i. N.IX (Glossofaringeus)
Pengecapan 1/3 (bagian belakang) : tidak dievaluasi
Sensibilitas faring : tidak dievaluasi
j. N.X (Vagus)
Posisi arkus faring : parese
Reflek telan / reflek muntah : terganggu
k. N.XI (Acsessorius)
Mengangkat bahu : normal / normal
Memalingkan kepala : normal / normal
l. N.XII (Hipoglossus)
Deviasi lidah : negatif
Fasceculasi : negatif
Tremor : negatif
Atrofi : negatif
Ataxia : negatif
3. Leher
Tanda perangsangan selaput otak :
- Kaku kuduk :-
- Brudzinski I,II :-
- Kernig :-
Kelenjar lymphe : tidak ada pembesaran
Arteri karotis :
- Palpasi : teraba kuat
- Auskultasi : bruit (-)
Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran
4. Abdomen
Reflek kulit dinding perut : dalam batas normal
5. Kolumna Vertebralis
- Inspeksi : tidak di evaluasi
- Palpasi : tidak di evaluasi
- Pergerakan : tidak di evaluasi
- Perkusi : tidak di evaluasi
6. Ekstremitas
Motorik
- Pergerakan : normal / normal
- Kekuatan : 5/5
5/5
- Tonus otot : normal
Otot yang terganggu :-
Reflek fisiologis :
- BPR : +2 / +2
- TPR : +2 / +2
- KPR : +2 / +2
- APR : +2 / +2
Reflek patologis
- Hoffman-tromner : - / -
- Babinski :-/-
- Chaddock :-/-
- Gordon :-/-
- Schaefer : - /-
- Oppenheim :-/-
- Mendel B :-/-
- Rossolimo :-/-
Sensibilitas
- Eksteroseptif
Nyeri : dalam batas normal / dalam batas normal
Suhu : tidak dievaluasi
Rasa raba halus : dalam batas normal / dalam batas normal
- Proprioseptif
Rasa sikap : dalam batas normal
Rasa nyeri dalam : dalam batas normal
- Fungsi kortikol
Stereognosis : normal / normal
Barognosis : normal / normal
7. Pergerakan abnormal spontan : negatif
8. Gangguan koordinasi
- Tes jari hidung : dalam batas normal / dalam batas normal
- Tes pronasi supinasi : dalam batas normal / dalam batas normal
- Tes tumit lutut : tidak dievaluasi
9. Gait : tidak dievaluasi
10. Pemeriksaan fungsi luhur
- Afek / emosi : dalam batas normal
- Kemampuan bahasa : dalam batas normal
- Memori : dalam batas normal
- Visuospasial : tidak dievaluasi
- Intelegensia : tidak di evaluasi
Pemeriksaan Laboratorium
- Darah Lengkap :
- Leukosit 13,5 MCV 81,70
- Neutropil 84,9 MCH 28,00
- Limposit 6,0 MCHC 34,30
- Monosit 3,3 RDW 12
- Eosinopil 4,9 Trombosit 294
- Basofil 0,9 MPV 4
- Eritrosit 5,14 LED 1 jam 11
- Hb 14,4 LED 2 jam 20
- HCT 42,0 SGOT 15
- GDA 143 SGPT 16

- Urea 50 Serum Creatinin 1,2


Pemeriksaan EKG :
Pemeriksaan Radiologi:

Diagnosis
Diagnosis Klinis : Parese N VII sinistra tipe central, Parese N IX/X,
Hipertensi
Diagnosis Topis : Pseudobulbar
Diagnosis Etiologis : CVA Infark
DD : Tumor Otak
Terapi :
- O2 nasal 3 lpm
- Inf. Asering 1500/24 jam
- Inj. Ranitidin 2x50 mg
- Inj. Antrain 3x1 gr
- Inj. Ceftriaxon 2x1 g iv
- Inj. Citicolin 3x250 mg
- PO. Asa 1x1 tab
Prognosis:
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanasionam : dubia ad bonam
Anjuran :
- MRS
- Bed rest
Planning Edukasi :
Menjelaskan tentang penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
terapi, komplikasi, dan prognosis penyakit yang diderita pasien
BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Pembuluh Darah Pensuplai Otak


Otak, seperti semua jaringan tubuh, tergantung pada pasokan darah yang
memadai untuk nutrisi dan untuk menghilangkan produk sisa metabolism.
Pasokan darah arteri ke otak sangat kompleks. Darah mengalir ke otak melalui
dua pasang pembuluh darah besar yaitu sepasang arteri karotis interna dan
sepasang arteri vertebralis. Darah vena mengalir ke sinus-sinus duralis, kembali
ke jantung melalui vena jugularis. Pembuluh darah besar tersebut adalah:
1. Dua arteri karotis (sistem karotis) yang membawa 80% darah yang diperlukan
oleh otak terutama memberi darah dari bagian depan, atas, dan lateral. Sistem
karotis ini memberi darah terutama ke area supra tentorial yang berisi otak besar.
2. Dua arteri vertebralis (system vertebra basiler) yang membawa darah terutama
untuk area infra tentorial yang berisi serebellum, batang otak, bagian belakang,
dan bagian bawah dari hemisfer otak membentuk system vertebrobasiler.
Arteri karotis kanan keluar dari pecahan trunkus brakhiochepalikus yang
menjadi arteri karotis komunis. Arteri karotis merupakan cabang langsung dari
arkus aorta.
Selanjutnya arteri karotis dan arteri vertebralis membentuk sirkulasi kolateral
dalam bentuk sirkulus dari willis (circulus arteriosus willisii). Dari bagian ini
keluar arteri serebri anterior , arteri serebri media, dan arteri serebri posterior.
Sirkulus dari willis ini dibentuk oleh arteri serebri anterior, arteri komunikating
anterior dan arteri komunikating posterior dan arteri serebri posterior
3.2 Definisi Stroke Iskemik
Stroke iskemik adalah penyakit yang disebabkan iskemik serebral yang fokal,
dimana terjadi penurunan aliran darah yang dibutuhkan untuk metabolisme
neuronal. Jika iskemik tidak diperbaiki dalam periode kritis, akan menyebabkan
infark serebral (Frtzsimmons, 2007).
3.3 Epidemiologi
Di antara penyakit-penyakit neurologi yang terjadi pada orang dewasa, stroke
menduduki rangking pertama baik pada frekuensinya maupun pada pentingnya
(emergensi) penyakit tersebut. Lebih dari 50 9 persen kasus stroke merupakan
penyebab dirawatnya penderita di bangsal neurologi (Victor & Ropper, 2001). Di
Amerika Serikat Stroke menduduki peringkat ke-3 penyebab kematian setelah
penyakit jantung dan kanker. Setiap tahunnya 500.000 orang Amerika terserang
stroke di antaranya 400.000 orang terkena stroke iskemik dan 100.000 orang
menderita stroke hemoragik (termasuk perdarahan intraserebral dan subarakhnoid)
dengan 175.000 orang mengalami kematian (Victor & Ropper, 2001).
Di Indonesia penelitian berskala cukup besar dilakukan oleh Survey ASNA di
28 Rumah Sakit seluruh Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada penderita stroke
akut yang dirawat di Rumah Sakit (hospital based study), dan dilakukan survey
mengenai faktor-faktor risiko, lama perawatan mortalitas dan morbiditasnya.
Penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan dan profil usia di bawah 45 tahun
cukup banyak yaitu 11,8%, usia 45-64 tahun berjumlah 54,2% dan di atas usia 65
tahun 33,5% (Misbach dkk., 2007).
3.4 Faktor Resiko Stroke
Menurut AHA (American Heart Association) Guideline (2006), faktor resiko
stroke adalah sebagai berikut:
I. Faktor resiko yang tak dapat diubah
1. Umur
2. Jenis Kelamin.
3. Faktor Keturunan
4. Ras
II. Faktor Resiko Yang Dapat Diubah
1. Hypertensi/ tekanan darah tinggi
2. Merokok
3. Diabetes
4. Penyakit Jantung/Atrial Fibrilation
5. Kenaikan kadar kolesterol/lemak darah
6. Penyempitan Pembuluh darah Carotis
7. Kegemukan
8. Pemakaian alkohol
9. Drug Abuse/narkoba
10. Obat kontrasepsi
11. Hypercoagubility
3.5 Klasifikasi
Berdasarkan klasifikasi modifikasi Marshall, stroke dibagi atas (Misbach,
2007):
I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya
1. Stroke Iskemik
a. Transient Ischemic Attack
b. Trombosis serebri
c. Emboli serebri
2. Stroke Hemoragik
a. Perdarahan intraserebral
b. Perdarahan subaraknoid
II. Berdasarkan stadium/ pertimbangan waktu
1. Transient Ischemic Attack
2. Stroke in evolution
3. Completed stroke
III. Berdasarkan sistem pembuluh darah
1. Sistem karotis
2. Sistem vertebro-basiler
3.5.1 Klasifikasi Stroke Iskemik Berdasarkan Penyebabnya
a. Stroke Trombosis
Stroke trombotik pembuluh darah besar dengan aliran lambat biasanya
terjadi saat tidur, saat pasien relatif mengalami dehidrasi dan dinamika sirkulasi
menurun. Stroke ini sering berkaitan dengan lesi aterosklerotik yang
menyebabkan penyempitan atau stenosis di arteria karotis interna atau, yang lebih
jarang di pangkal arteria serebri media atau di taut ateria vertebralis dan basilaris.
Stroke trombotik dapat dari sudut pandang klinis tampak gagap dengan gejala
hilang timbul berganti ganti secara cepat. Mekanisme pelannya aliran darah
parsial adalah defisit perfusi yang dapat terjadi pada reduksi mendadak curah
jantung atau tekanan darah sistemik. Agar dapat melewati lesi stenotik intra -
arteri, aliran darah yang mungkin bergantung pada tekanan intravaskular yang
tinggi. Penurunan mendadak tekanan darah tersebut dapat menyebabkan
penurunan generalisata CBF, iskemia otak, dan stroke (Sylvia A.P. & Lorraine
M.W., 2006).
b. Stroke embolik
Stroke embolik terjadi akibat embolus biasanya menimbulkan defisit
neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit. Embolus
berasal dari bahan trombotik yang terbentuk di dinding rongga jantung atau katup
mitralis. Karena biasanya adalah bekuan kecil, fragmen fragmen dari jantung
mencapai otak melalui arteria karotis atau vertebralis.
Dengan demikian, gejala klinis yang ditimbulkannya tergantung pada bagian
mana sirkulasi yang tersumbat dan seberapa dalam bekuan berjalan di
percabangan arteri sebelum tersangkut. Embolisme dapat terurai dan terus
mengalir sepanjang pembuluh darah sehingga gejala-gejala mereda. Namun,
fragmen-fragmen tersebut kemudian tersangkut di sebelah hilir dan menimbulkan
gejala-gejala fokal. Pasien dengan stroke kardioembolik memiliki risiko yang
lebih besar terkena stroke hemoragik, karena terjadi perdarahan petekie atau
bahkan perdarahan besar di jaringan yang mengalami infark beberapa jam atau
mungkin hari setelah emboli pertama. Perdarahan tersebut disebabkan karena
struktur dinding arteri sebelah distal dari okulasi embolus melemah atau rapuh
karena perfusi. Dengan demikian, pemulihan tekanan perfusi dapat menyebabkan
perdarahan arteriol atau kapiler di pembuluh tersebut. Stroke kriptogenik adalah
stroke iskemik akibat sumbatan mendadak pembuluh intrakranium besar tetapi
tanpa penyebab yang jelas (Sylvia A.P. & Lorraine M.W., 2006).
3.6 Etiologi
Stroke iskemik mempunyai berbagai etiologi, tetapi pada prinsipnya
disebabkan oleh aterotrombosis atau emboli, yang masing-masing akan
mengganggu atau memutuskan aliran darahotak atau cerebral blood flow (CBF).
Nilai normal CBF adalah 5060 ml/100 mg/menit. Iskemik terjadi jika CBF < 30
ml/100mg/menit. Jika CBF turun sampai < 10 ml/mg/menit akan terjadi
kegagalan homeostasis, yang akan menyebabkan influks kalsium secara cepat,
aktivitas protease, yakni suatu cascade atau proses berantai eksitotoksik dan pada
akhirnya kematian neuron. Reperfusi yang terjadi kemudian dapat menyebabkan
pelepasan radikal bebas yang akan menambah kematian sel. Reperfusi juga
menyebabkan transformasi perdarahan dari jaringan infark yang mati. Jika
gangguan CBF masih antara 1530 ml/100mg/menit, keadaan iskemik dapat
dipulihkan jika terapi dilakukan sejak awal (Wibowo dkk., 2001).
3.7 Patofisiologi
Pada stroke iskemik berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan
hipoksemia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi-reaksi berantai yang
berakhir dengan kematian sel-sel otak dan unsur-unsur pendukungnya. Secara
umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti (core) dengan
tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi nekrotik
dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar daerah core iskemik terdapat
daerah penumbra iskemik. Sel-sel otak dan jaringan pendukungnya belum mati
akan tetapi sangat berkurang fungsi-fungsinya dan menyebabkan juga defisit
neurologik. Tingkat iskeminya makin ke perifer makin ringan. Daerah penumbra
iskemik, di luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah hyperemic akibat adanya
aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah
yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat di reperfusi dan sel-
sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika
tak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur-angsur mengalami
kematian. Dipandang dari segi biologi molekuler, ada dua mekanisme kematian
sel otak. Pertama proses nekrosis, suatu kematian berupa ledakan sel akut akibat
penghancuran sitoskeleton sel, yang berakibat timbulnya reaksi inflamasi dan
proses fagositosis debris nekrotik. Proses kematian kedua adalah proses apoptosis
atau silent death, sitoskeleton sel neuron mengalami penciutan atau
shrinkagetanpa adanya reaksi inflamasi seluler. Nekrosis seluler dipicu oleh
exitotoxic injury dan free radicalinjury akibat bocornya neurotransmitter
glutamate dan aspartat yang sangat toksik terhadap struktur sitoskeleton otak.
Demikian pula lepasnya radikal bebas membakar membran lipid sel dengan segala
akibatnya. Kematian Apoptotic mungkin lebih berkaitan dengan reaksi rantai
kaskade iskemik yang berlangsung 15 lebih lambat melalui proses kelumpuhan
pompa ion Natrium dan Kalium, yang diikuti proses depolarisasi membran sel
yang berakibat hilangnya kontrol terhadap metabolisme Kalsium dan Natrium
intraseluler. Ini memicu mitokondria untuk melepaskan enzim caspase-apoptosis
(Misbach dkk., 2007)
3.8 Gejala Klinis
Tanda utama stroke iskemik adalah muncul secara mendadak defisit
neurologik fokal. Gejala baru terjadi dalam hitungan detik maupun menit, atau
terjadi ketika bangun tidur (Fitzsimmons, 2007). Defisit tersebut mungkin
mengalami perbaikan dengan cepat, mengalami perburukan progresif, atau
menetap (Price dan Wilson, 2002).
Gejala umum berupa baal atau lemas mendadak di wajah, lengan, atau
tungkai, terutama di salah satu sisi tubuh; gangguan penglihatan seperti
penglihatan ganda atau kesulitan melihat pada satu atau dua mata; bingung
mendadak; tersandung selagi berjalan; pusing bergoyang; hilangnya
keseimbangan atau koordinasi; dan nyeri kepala mendadak tanpa kausa yang jelas
(Price dan Wilson, 2002). Mual dan muntah terjadi, khususnya stroke yang
mengenai batang otak dan serebelum (Fitzsimmons, 2007). Aktivasi kejang
biasanya bukan sebagai gelaja stroke. Nyeri kepala diperkirakan pada 25% pasien
stroke iskemik, karena dilatasi akut pembuluh kolateral (Simon, 2009).
Perkembangan gejala neurologis tergantung dari mekanisme stroke iskemik
dan derajat aliran darah kolateral. Pada semua subtipe infark, dari embolik ke
lakunar, terdapat gejala fluktuatif setelah onset, memperlihatkan variasi derajat
aliaran darah kolateral ke jaringan iskemik. TIA dijumpai pada 20% kasus infark
iskemik, walaupun TIA lebih berhubungan dengan aterosklerosis, TIA dijumpai
pada subtipe yang lain. Diperkirakan 10-30% pasien stroke iskemik akut, defisit
neurologik yang progresif pada 24-48 jam pertama yang disebut stroke in
evolution (Fitzsimmons, 2007).
Gambaran klinis utama yang berkaitan dengan insufisiensi arteri ke otak
mungkin berkaitan dengan gejala dan tanda berikut yang disebut sindrom
neurovaskular. Walaupun perdarahan di daerah vaskular yang sama mungkin
menimbulkan banyak efek yang serupa, gambaran klinis keseluruhan cenderung
berbeda karena, dalam perluasannya ke arah dalam, perdarahan dapat mengenai
teritorial dari lebih satu pembuluh. Selain itu, perdarahan menyebabkan
pergeseran jaringan dan meningkatkan tekanan intra kranial (TIK) (Price dan
Wilson, 2002).
3.9 Diagnosis
Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
Semua pasien yang diduga stroke harus menjalani pemeriksaan MRI atau CT
scan tanpa kontras untuk membedakan antara stroke iskemik dan hemoragik serta
mengidentifikasi adanya efek tumor atau massa (kecurigaan stroke luas). Stroke
iskemik adalah diagnosis yang paling mungkin bila CT scan tidak menunjukkan
perdarahan, tumor, atau infeksi fokal, dan bila temuan klinis tidak menunjukkan
migren, hipoglikemia, ensefalitis, atau perdarahan subarakhnoid (Goldszmidt et
al., 2009).
Pencitraan otak atau CT scan dan MRI adalah instrumen diagnosa yang sangat
penting karena dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana stroke yang
diderita oleh seseorang. Hasil CT scan perlu diketahui terlebih dahulu sebelum
dilakukan terapi dengan obat antikoagulan atau antiagregasi platelet. CTscan
dibedakan menjadi dua yaitu, CT scan non kontras yang digunakan untuk
membedakan antara stroke hemoragik dengan stroke iskemik yang harus
dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan penyebab lain yang memberikan
gambaran klinis menyerupai gejala infark atau perdarahan di otak, misalnya
adanya tumor. Sedangkan yang kedua adalah CT scan kontras yang digunakan
untuk mendeteksi malformasi vaskular dan aneurisme (Lumbantobing., 2001).
3.10 Penatalaksanaan
Perawatan stroke terdiri dari perawatan medis dan nonmedis.
Perawatan medis pada awal serangan bertujuan menghindari kematian dan
mencegah kecacatan. Setelah itu, perawatan medis ditujukan untuk mengatasi
keadaan darurat medis pada stroke akut, mencegah stroke berulang, terapi
rehabilitatif untuk stroke kronis, dan mengatasi gejala sisa akibat stroke. Terapi
stroke secara medis antara lain dengan pemberian obat-obatan, fisioterapi, dan
latihan fisik untuk mengembalikan kemampuan gerak sehari-hari (Wiwit S.,
2010).
3.10.1 Terapi Non Farmakologi
a. Perubahan Gaya Hidup Terapeutik
Modifikasi diet, pengendalian berat badan, dan peningkatan aktivitas fisik
merupakan perubahan gaya hidup terapeutik yang penting untuk semua pasien
yang berisiko aterotrombosis. Pada pasien yang membutuhkan terapi obat untuk
hipertensi atau dislipidemia, obat tersebut harus diberikan, bukannya digantikan
oleh modifikasi diet dan perubahan gaya hidup lainnya (Goldszmidtet al.,2011).
Diet tinggi buah-buahan sitrus dan sayuran hijau berbunga terbukti
memberikan perlindungan terhadap stroke iskemik pada studi Framingham
(JAMA 1995;273:1113) dan studi Nurses Health (JAMA 999;282:1233), setiap
peningkatan konsumsi per kali per hari mengurangi risiko stroke iskemik sebesar
6%. Diet rendah lemak trans dan jenuh serta tinggi lemak omega-3 juga
direkomendasikan. Konsumsi alkohol ringan-sedang (1 kali per minggu hingga 1
kali per hari) dapat mengurangi risiko stroke iskemik pada laki-laki hingga 20%
dalam 12 tahun (N Engl J Med, 1999), namun konsumsi alkohol berat ( > 5 kali/
hari) meningkatkan risiko stroke.
b. Aktivitas fisik
Inaktivasi fisik meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke setara
dengan merokok, dan lebih dari 70% orang dewasa hanya melakukan sedikit
latihan fisik atau bahkan tidak sama sekali, semua pasien harus diberitahu untuk
melakukan aktivitas aerobik sekitar 30-45 menit setiap hari (Goldszmidtet
al.,2011). Latihan fisik rutin seperti olahraga dapat meningkatkan metabolisme
karbohidrat, sensitivitas insulin dan fungsi kardiovaskular (jantung). Latihan juga
merupakan komponen yang berguna dalam memaksimalkan program penurunan
berat badan, meskipun pengaturan pola makan lebih efektif dalam menurunkan
berat badan dan pengendalian metabolisme (Sweetman, 2009).
3.10.2 Terapi Farmakologi
Penatalaksanaan terapi stroke akut, antara lain: (1) mengurangi
progesivitas kerusakan neurologi dan mengurangi angka kematian, (2) mencegah
komplikasi sekunder yaitu disfungsi neurologi dan imobilitas permanen, (3)
mencegah stroke ulangan. Terapi yang diberikan tergantung pada jenis stroke
yang dialami (iskemik atau hemoragik) dan berdasarkan pada rentang waktu
terapi (terapi pada fase akut dan terapi pencegahan sekunder atau rehabilitasi).
Strategi pengobatan stroke iskemik ada dua, yang pertama reperfusi yaitu
memperbaiki aliran darah ke otak yang bertujuan untuk memperbaiki iskemik
dengan obat-obat antitrombotik (antikoagulan, antiplatelet, trombolitik). Kedua
dengan neuroproteksi yaitu pencegahan kerusakan otak agar tidak berkembang
lebih berat akibat adanya area iskemik (Fagan and Hess, 2008).
Berdasarkan guidelines American Stroke Association (ASA), untuk
pengurangan stroke iskemik secara umum ada dua terapi farmakologi yang
direkomendasikan dengan grade A yaitu t-PA dengan onset 3 jam dan aspirin
dengan onset 48 jam (Fagan and Hess, 2008).
a. Aktivator Plasminogen (Tissue Plasminogen Activator/ tPA)
Obat ini dapat melarutkan gumpalan darah yang menyumbat pembuluh
darah, melalui enzim plasmin yang mencerna fibrin (komponen pembekuan
darah). Akan tetapi, obat ini mempunyai risiko, yaitu perdarahan. Hal ini
disebabkan kandungan terlarut tidak hanya fibrin yang menyumbat pembuluh
darah, tetapi juga fibrin cadangan yang ada dalam pembuluh darah. Selain itu, tPA
hanya bermanfaat jika diberikan sebelum 3 jam dimulainya gejala stroke. Pasien
juga harus menjalani pemeriksaan lain, seperti CT scan, MRI, jumlah trombosit,
dan tidak sedang minum obat pembekuan darah (Wiwit S., 2010)
b. Antiplatelet
The American Heart Association/ American Stroke Association
(AHA/ASA) merekomendasikan pemberian terapi antitrombotik digunakan
sebagai terapi pencegahan stroke iskemik sekunder. Aspirin, klopidogrel maupun
extended-release dipiridamol-aspirin (ERDP-ASA) merupakan terapi antiplatelet
yang direkomendasikan (Fagan and Hess, 2008).
Berbagai obat antiplatelet, seperti asetosal, sulfinpirazol, dipiridamol,
tiklopidin, dan klopidogrel telah dicoba untuk mencegah stroke iskemik. Agen ini
umumnya bekerja baik dengan mencegah pembentukan tromboksan A2 atau
meningkatkan konsetrasi prostasiklin. Proses ini dapat membangun kembali
keseimbangan yang tepat antara dua zat, sehingga mencegah adesi dan agregasi
trombosit. Belum ada data penelitian yang merekomendasikan obat golongan
antiplatelet selain dari aspirin. Aspirin merupakan antiplatelet yang lebih murah,
sehingga akan berpengaruh pada tingkat kepatuhan jangka panjang. Bagi pasien
yang tidak tahan terhadap aspirin karena alergi atau efek samping pada saluran
cerna yaitu mengiritasi 28 lambung, dapat direkomendasikan dengan penggunaan
klopidogrel. Klopidogrel sedikit lebih efektif dibandingkan asetosal dengan penur
unan resiko serangan berulang 7,3% lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian
asetosal. Kombinasi asetosal dan klopidogrel tidak dianjurkan karena dapat
meningkatkan resiko perdarahan dan tidak menunjukkan hasil yang signifikan
dengan pemberian tunggal klopidogrel (Tatro, 2008).
c. Pemberian Neuroprotektan
Pada stroke iskemik akut, dalam batas batas waktu tertentu sebagian
besar jaringan neuron dapat dipulihkan. Mempertahankan fungsi jaringan adalah
tujuan dari apa yang disebut sebagai strategi neuroprotektif.
Cara kerja metode ini adalah menurunkan aktivitas metabolisme dan tentu
saja kebutuhan oksigen selsel neuron. Dengan demikian neuron terlindungi dari
kerusakan lebih lanjut akibat hipoksia berkepanjangan atau eksitotoksisitas yang
dapat terjadi akibat jenjang glutamat yang biasanya timbul setelah cedera sel
neuron. Suatu obat neuroprotektif yang menjanjikan, serebrolisin (CERE)
memiliki efek pada metabolisme kalsium neuron dan juga memperlihatkan efek
neurotrofik (Sylvia A.P. & Lorraine M.W., 2006). Beberapa diantaranya adalah
golongan penghambat kanal kalsium (nimodipin, flunarisin), antagonis reseptor
glutamat (aptiganel, gavestinel, selfotel), agonis GABA (klokmethiazol),
penghambat peroksidasi lipid (tirilazad), antibody anti-ICAM-1 (enlimobab), dan
aktivator metabolik (sitikolin). Pemberian obat golongan neuroprotektan sangat
diharapkan dapat menurunkan angka kecacatan dan kematian (McEvoy, 2008).
d. Pemberian Antikoagulan
Warfarin merupakan pengobatan yang paling efektif untuk pencegahan
stroke pada pasien dengan fibrilasi atrial. Pada pasien dengan fibrilasi atrial dan
sejarah stroke atau TIA, resiko kekambuhan pasien merupakan salah satu resiko
tertinggi yang diketahui. Pada percobaan yang dilakukan Eropa 29 Atrial Fibrilasi
Trial (EAFT), dengan sampel sebanyak 669 pasien yang mengalami fibrilasi atrial
nonvalvular dan sebelumnya pernah mengalami stroke atau TIA. Pasien pada
kelompok plasebo, mengalami stroke, infark miokardium atau kematian vaskular
sebesar 17% per tahun, 8% per tahun pada kelompok warfarin dan 15% per tahun
pada kelompok asetosal. Ini menunjukan pengurangan sebesar 53% risiko pada
penggunaan antikoagulan (Fagan & Hess, 2008).
Secara umum pemberian heparin, LMWH atau Heparinoid setelah stroke
iskemik tidak direkomendasikan karena pemberian antikoagulan (heparin,
LMWH, atau heparinoid) secara parenteral meningkatkan komplikasi perdarahan
yang serius. Penggunaan warfarin direkomendasikan baik untuk pencegahan
primer maupun sekunder pada pasien dengan atrial fibrilasi. Penggunaan warfarin
harus hati - hati karena dapat meningkatkan risiko perdarahan. Pemberian
antikoagulan rutin terhadap pasien stroke iskemik akut dengan tujuan untuk
memperbaiki outcome neurologic atau sebagai pencegahan dini terjadinya stroke
ulang tidak direkomendasi (PERDOSSI, 2007).
3.10.3 Rehabilitasi Pasca Stroke
Tujuan utama rehabilitasi adalah untuk mencegah komplikasi,
meminimalkan gangguan, dan memaksimalkan fungsi organ. Prioritas rehabilitasi
stroke dini adalah pencegahan stroke sekunder, managemen dan pencegahan
penyakit penyerta dan komplikasi. Pada dasarnya rehabilitasi pada pasien stroke
iskemik maupun stroke hemoragik memilki prinsip yang sama. Rehabilitasi
tersebut meliputi terapi berbicara, terapi fisik, dan terapi occupasional (Aminoff,
2009).
3.11 Komplikasi
Stroke dapat menyebabkan munculnya berbagai masalah kesehatan lainnya
atau komplikasi, dan sebagian besar komplikasi tersebut dapat membahayakan
nyawa si penderita.
Selain kematian, komplikasi stroke meliputi:
- Aritmia (detak jantung tidak beraturan) dan infark miokardial (kematian
sel-sel jantung)
- Pneumonia dan edema paru
- Disfagia (kesulitan menelan) dan aspirasi
- Trombosis vena
- Infeksi saluran kencing, tidak dapat menahan kencing (inkontinensia
urine), dan tidak dapat melakukan kegiatan seksual (disfungsi seksual)
- Perdarahan di saluran cerna
- Mudah jatuh sehingga mengalami patah tulang
- Depresi
3.12 Prognosis
Sekitar 30%-40% penderita stroke dapat sembuh sempurna pada
penanganan stroke dalam jangka waktu kurang dari 6 jam. Prognosis stroke
hemorrhagic ini jauh lebih baik daripada stroke infark bila mendapatkan
penanganan yang segera.
BAB 4

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

4.1 Pembahasan
Pada pasien ini diajukan pasien pria berusia 63 tahun yang datang ke IGD
RSML dengan keluhan bicara pelo sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit,
keluhan bicara pelo ini dirasakan mendadak saat pasien pulang dari kerja.
Pasien juga mengeluhkan sulit makan dan minum karena pasien merasakan
tersedak saat makan dan minum. Pasien tidak mengeluhkan nyeri kepala,
mual, muntah, rasa lemah pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah, rasa
tebal pada ekstremitas. Sebelumnya pasien belum pernah berobat. Riwayat
penyakit dahulu : pneumoni, hipertensi tidak ada , diabetes tidak ada. Riwayat
penyakit keluarga : hipertensi tidak ada , diabetes tidak ada. Riwayat sosial :
tidak merokok
Pada pemeriksaan umum yang dilakukan saat pasien diruangan didapatkan
GCS 456, dengan tekanan darah 150/80 mmHg, nadi 81x/menit, suhu badan
37 C, respiratory rate 20x/menit. Tidak didapatkan tanda-tanda ikterik dan
anemis pada konjungtiva dan sklera. Pada pemeriksaan leher, thoraks,
abdomen dan ekstremitas dalam batas normal. Pada pemeriksaan neurologis
tidak didapatkan meningeal sign dengan kaku kuduk negatif sedangkan pada
pemeriksaan motorik normal dengan kekuatan otot pada ekstremitas superior
5/5 dan kekuatan otot pada ekstremitas inferior yaitu 5/5. Reflek fisiologi
dalam batas normal. Tidak didapatkan reflek patologis. Pemeriksaan nervus
kranialis di dapatkan parese N VII sinistra tipe central, parese N IX/X.
Selama rawat inap, pasien mendapatkan O2 nasal 3 lpm, Infus Asering
1500/24 jam, Injeksi Ranitidin 2x50 mg, Inj. Antrain 3x1 gr, Injeksi
Ceftriaxon 2x1 g iv, Injeksi Citicolin 3x250 mg, PO. Asa 1x1 tab.
4.2 Kesimpulan
Pada pasien ini diajukan pasien pria berusia 63 tahun yang datang ke IGD
RSML dengan keluhan bicara pelo sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit,
keluhan bicara pelo ini dirasakan mendadak saat pasien pulang dari kerja.
Pasien juga mengeluhkan sulit makan dan minum karena pasien merasakan
tersedak saat makan dan minum. Pasien tidak mengeluhkan nyeri kepala,
mual, muntah, rasa lemah pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah, rasa
tebal pada ekstremitas. Sebelumnya pasien belum pernah berobat. Riwayat
penyakit dahulu : pneumoni, hipertensi tidak ada , diabetes tidak ada. Riwayat
penyakit keluarga : hipertensi tidak ada , diabetes tidak ada. Riwayat sosial :
tidak merokok
Pada pemeriksaan umum yang dilakukan saat pasien diruangan didapatkan
GCS 456, dengan tekanan darah 150/80 mmHg, nadi 81x/menit, suhu badan
37 C, respiratory rate 20x/menit. Tidak didapatkan tanda-tanda ikterik dan
anemis pada konjungtiva dan sklera. Pada pemeriksaan leher, thoraks,
abdomen dan ekstremitas dalam batas normal. Pada pemeriksaan neurologis
tidak didapatkan meningeal sign dengan kaku kuduk negatif sedangkan pada
pemeriksaan motorik normal dengan kekuatan otot pada ekstremitas superior
5/5 dan kekuatan otot pada ekstremitas inferior yaitu 5/5. Reflek fisiologi
dalam batas normal. Tidak didapatkan reflek patologis. Pemeriksaan nervus
kranialis di dapatkan parese N VII sinistra tipe central, parese N IX/X.
Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan
oleh iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi
fokal pembuluh darah otak yang menyebabkan turunnya suplai oksigen dan
glukosa ke bagian otak yang mengalami oklusi (Hacke, 2003).
DAFTAR PUSTAKA

Bahrudin, M. 2013. Buku Ajar Neurologi. Malang: UMM Press.

Bahrudin, M. 2013. Pemeriksaan Klinis di bidang Penyakit Syaraf.


Malang: UMM Press.

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 1999, Buku Ajar


Neurologi Klinis, Yogyakarta: UGM

Setyopranoto, Ismail, 2011, Continuing Medical Education (Stroke: Gejala


dan Penatalaksanaan) Yogyakarta: UGM

Sylvia AP, Lorraine MW, 2006, Patofisiologi Konsep Klinik Proses


Penyakit, Jakarta, EGC

Вам также может понравиться