Вы находитесь на странице: 1из 60

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam peraturan Menteri Kesehatan No.370 Tahun 2010 tentang
pengendalian vektor disebutkan bahwa upaya penyelenggaraan pengendalian
vector (fogging) dapat dilakukan oleh pemerintah, pemerintah Daerah
dan/atau pihak swasta oleh tenaga entomology kesehatan dan tenaga lain
yang terlatih yaitu yang telah mengikuti pelatihan pengendalian vector dari
institusi pelatihan yang terakreditasi. Di kabupaten Jombang penyakit
Demam Berdarah Dengue DBD masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang cukup serius karena jumlahnya sangat banyak dan
menimbulkan kematian sehingga mudah menimbulkan Kejadian Luar Biasa
(KLB). Jumlah kasus DBD dari tahun ke tahun cenderung menunjukkan
kecenderungan meningkat.
Pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD ada 3 cara yaitu secara
biologi, kimiawi dan fisik. Pencegahan biologi dengan memelihara ikan
pemakan jentik yang diletakkan di tempat-tempat penampungan air seperti
bak mandi dan WC. Secara kimiawi ada 2 (dua) cara yaitu melalui kegiatan
pengasapan atau fogging. Sedangkan pencegahan dan pemberantasan DBD
secara fisik yaitu dengan kegiatan pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
dengan gerakan 3 MM Plus, yaitu menguras tempat-tempat penampung air
minimal seminggu sekali, menutup rapat tempat-tempat penampungan air dan
mengubur barang-barang bekas yang dapat menampung air yang bisa menjadi
tempat berkembang biaknya nyamuk Aedes.
Pestisida selain bermanfaat, juga menghasilkan dampak lingkungan.
Disamping bermanfaat untuk meningkatkan hasil pertanian, ia juga
menghasilkan dampak buruk baik bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
Lebih dari 98% insektisida dan 95% herbisida menjangkau tempat selain
yang seharusnya menjadi target, termasuk spesies non-target, perairan, udara,
makanan, dan sedimen. Pestisida dapat menjangkau dan mengkontaminasi

1
lahan dan perairan ketika disemprot secara aerial, dibiarkan mengalir dari
permukaan ladang, atau dibiarkan menguap dari lokasi produksi dan
penyimpanan. Penggunaan pestisida berlebih justru akan menjadikan hama
dan gulma resistan terhadap pestisida (https://id.wikipedia.org).
Data yang dikumpulkan WHO (2000), menunjukkan 500.000-
1.000.000 orang per tahun di seluruh dunia telah mengalami keracunan
pestisida dan sekitar 500-1000 orang per tahun diantaranya mengalami
dampak yang sangat fatal seperti kanker, cacat, kemandulan dan gangguan
pada hati. Menurut World Health Organization (WHO) (2003), Malathion
adalah salah satu insektisida organofosfat non-sistemik. Hal ini digunakan
dalam pertanian untuk mengontrol dan membunuh hama serangga dalam
berbagai bidang, buah tanaman dan sayuran. Sebuah studi di Kanada
menunjukkan bahwa hampir 60% kasus keracunan terdaftar di sebuah rumah
sakit anak adalah karena pestisida dan efek dari kebanyakan pestisida yang
akut dan parah. Di negara berkembang, kejadian nyata keracunan pestisida
sulit untuk menilai, tapi diasumsikan tinggi. Sejumlah besar anak dan remaja
pekerja terpapar pestisida melalui pekerjaan pertanian, seperti yang biasa
terlibat informal dalam penyusunan dan penerapan pestisida. Anak-anak juga
terkena sebagai pengamat selama penyemprotan untuk pengendalian hama
pertanian (WHO, 2015).
Menurut Keputusan Dirjen PPM dan PLP No. 451-
I/PD.03.04/IF/1991 tentang Kejadian Luar Biasa, disebutkan jika terjadi
kejadian satu atau lebih penderita keracunan pestisida sudah dapat
dikategorikan Kejadian Luar Biasa atau KLB.
Berdasarkan kejadian kasus surveilens Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Timur pada kegiatan fasilitasi penanggulangan keracunan pestisida akibat
fogging liar di Kabupaten Jombang. Pada penyelidikan Epidemiologi
keracukan pestisida akibat fogging liar di wilayah Dusun Tambak Beras,
Desa Tambak Rejo, Kecamatan Jombang di konfirmasikan hasil data korban
kasus keracunan massal santri Pondok Pesantren Tambak Beras yakni ada 30
korban santri putri. Riwayat kejadian pada tanggal 20 november 2016 pukul
14.00 WIB Pelaksanaan fogging di asrama Pondok Pesantren Putra dan pukul

2
14.00 WIB di asrama putri. Kemudian ada 2 orang satriwati pingsan, 3 orang
kemudian berturut-turut 26 orang dan 4 orang di RS pelengkap dikarenakan
UGD RSUD jombang penuh. Setelah itu pada pukul 19.00 WIB tidak ada lagi
yang pingsan. Sehingga pada pukul 20.00 WIB ada 14 orang diperbolehkan
pulang dan 16 orang menjalani perawatan dalam menjalani rawat inap secara
insentif.
Pada faktor risiko fogging liar yang terjadi tanpa izin puskesmas dan
tidak ada surat pendamping dari petugas puskesmas terdekat. Kondisi medis
para santri putri yang mendasari (sesak nafas, kelelahan, stress/ujian
tahassus), tidak memakai alat pelindung diri (masker dan sarung tangan), ada
kemungkinan mengkonsumsi obat tertentu (tidak terpantau, satu orang
pemakai oxycan), konsumsi makanan yang terkontaminasi dengan cairan
pertisida yang tercecer (tidak memungkinkan). Sedangkan kontak beresiko
tidak ada ditemukan di kandang (hewan pemeliharaan) ayam yang mati
setelah di fogging.
Tindakan kebijakan dan langkah-langkah pengaturan harus diletakkan
di tempat untuk mengurangi atau menghilangkan paparan polutan kimia
prioritas yang mempengaruhi kesehatan dan perkembangan kejadian
keracunan pestisida di Wilayah Puskesmas Tambakrejo Kabupaten Jombang.
Sebagai langkah pertama dalam mengurangi paparan masyarakat untuk
mengurangi ketergantungan pada penggunaan pestisida beracun.Di tingkat
lokal, tindakan harus diambil untuk mempromosikan penggunaan yang aman
dari bahan kimia melalui penyediaan informasi berbasis bukti pada risiko
kesehatan dari paparan bahan kimia dan intervensi efektif untuk pengambil
keputusan.

3
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Menganalisis surveilens epidemiologi sebagai deteksi dini KLB
keracunan pestisida di Wilayah Puskesmas Tambakrejo Kabupaten
Jombang 2016.

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Mengidentifikasi masalah keracunan pestisida akibat fogging liar yang
sesuai dengan data surveilens dalam penyelidikan epidemiologi.
2. Menganalisis kronologi dari penyebab, gejala, keracunan pestisida,
tindakan yang dilakuakan dan langkah-langkah investigasi keracunan
pestisida akibat fogging liar.

1.3 Manfaat
Memberikan informasi tentang sistem informasi surveilens pada
penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) dalam penyelidikan epdemiologi
sebagai pendukung kewaspadaan dini pada keracunan pestisida akibat
fogging liar, di Kabupaten Jombang Provinsi Jawa Timur.

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kejadian Luar Biasa


2.1.1 Definisi Kejadian Luar Biasa
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1501/MENKES/PER/X/2010, Kejadian Luar Biasa adalah timbulnya atau
meningkatnya kejadian kesakitan dan/ atau kematian yang bermakna secara
epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu dan merupakan
keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1501/MENKES/PER/X/2010 dan Keputusan Dirjen PPM No. 451 tahun
1991 tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar
Biasa, suatu daerah dapat ditetapkan dalam keadaan KLB apabila
memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:
1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada
atau tidak dikenal pada suatu daerah.
2. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 (tiga) kurun
waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis
penyakitnya
3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan
dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari atau minggu
menurut jenis penyakitnya.
4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka
rata-rata jumlah per bulan dalam tahun sebelumnya.
5. Rata-rata jumlah kejadian per bulan selama 1(satu) tahun menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah
kejadian kesakitan perbulan pada tahun sebelumnya.
6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam
1(satu) kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50%( lima puluh

5
persen) atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu
penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
7. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu
periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu
periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
8. Beberapa penyakit khusus: Kolera, Dengue Hemoragic Fever/ Dengue
Shock Syndrome:
Setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya (pada daerah
endemis)
Terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada periode empat
minggu sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit
yang bersangkutan.
9. Beberapa penyakit yang dialami satu atau lebih penderita:
Keracunan makanan
Keracunan pestisida

2.1.2 Penanggulangan KLB/Wabah

Penanggulangan KLB/Wabah dilakukan secara terpadu oleh


Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.. Penanggulangan
KLB/Wabah ,meliputi penyelidikan epidemiologi dan surveilan;
penatalaksananpenderita; pencegahan dan pengebalan; penanganan
jenazah akibat wabah; penyuluhan kepada masyarakat; dan upaya
penanggulangan lainnya.

Penyelidikan epodemiologi dilaksanakan sesuai dengan tatacara


penyelidikan epidemiologi untuk mendukung upaya penanggulangan
wabah, termasuk tatacara bagi petugas penyelidikan epidemiologi agar
terhundar dari penularan wabah.

Surveilans di daerah wabah dan daerah yang beresiko terjadi


wabah dilaksanakan lebih intensif untuk mrngetahui perkembangan
penyakit menurut waktu dan tempat dan dimanfaatkan untuk mendukung

6
upaya penanggulangan yang sedang dilaksanakan, meliputi kegiatan
seperti:

Menghimpun data kasus baru pada kunjungan berobat di pos-pos


kesehatan dan unit kesehatan lainnya, melakukan analisis
kecenderungan wabah dari waktu ke waktu.
Mengadakan pertemuan berkala petugas lapangan dengan kepla
desa, kader, dan masyarakat untuk membahas penyakit dan hasil
dari upaya penanggulangan wabah.
Memanfaatkan hasil surveilans tersebut dalam upaya
penanggulangan wabah.

Hasil penyelidikan epidemiologi dan surveilans secara teratur disampaikan


kepada dinas kesehatan kabupaten/kota, kepala dinas kesehatan
provinsidan Menteri yp. Direktur Jendral sbagai laporan perkembangan
penanggulangan wabah.

2.1.3 Tata Cara Pelaporan Penderita Atau Tersangka Penderita Penyakit


Menular Tertentu Yang Dapat menimbulkan Wabah

Laporan adanya penderita atau tersangka penderita penyakit


menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah disebut laporan
kewaspadaan.

Laporan kewaspadaan dilaporkan kepada lurah atau kepala desa dan atau
fasilitas pelayanan kesehatan terdekat selambat-lambatnya 24 jam sejak
mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita (KLB), baik dengan
cara lisan maupun tertulis.

Isi laporan kewaspadaan antara lain:

1. Nama penderita atau yang meninggal


2. Golongan umur
3. Tempat dan lamat kejadian
4. Waktu kejadian
5. Jumlah yang sakit dan meninggal

7
Laporan kewaspadaan tersebut selanjutnya harus diteruskan kepada
kepada puskesmas setempat.

Gambar 1: Alur Laporan Kewaspadaan (Permenkes 1501/2010)

Dinas kesehatan

Rumah Sakit Camat

Puskesmas

Puskesmas Pembant Desa/Lurah

Dusun RT/RW

Penyelidikan Epidemiologi
Dan
Penanggulangan KLB

Masyarakat

Kepala Puskesmas yang menerima laporan kewaspadaan harus


segera memastikan adanya KLB. Bila dipastikan telah terjadi KLB, kepala
Puskesmas harus segera membuat laporan KLB, melaksanakan
penyelidikan epidemiologis, dan penanggulangan KLB.

Laporan KLB disampaikan secara lisan ataupun tertulis. Laporan


KLB puskesmas dikirimkan secara berjenjang kepada menteri dengan
berpedoman pada laporan KLB (Formulir W1).

Formulir laporan KLB adalah sama untuk Puskesmas,


kabupaten/kota dan provinsi, namun dengan kode yang berbeda. Formulir

8
berisi nama daerah KLB, jumlah penderita dan meinggal pada saat
laporan, nama penyakit dan gejala-gejala umum yang ditemukan diantara
penderita dan langkah-langkah yang sedang dilakukan. Satu formulir W1
berlaku untuk satu jenis penyakit saja.

2.2 Pengertian Pestisida


Menurut Dirjend Prasaran dan Sarana Pertanian Kementerian
Pertanian, 2011 Pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad
renik dan virusyang dipergunakan untuk :
1. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit yang merusak
tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian;
2. Memberantas rerumputan;
3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan;
4. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian
tanaman, tidak termasuk pupuk;
5. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan
peliharaan dan ternak;
6. Memberantas atau mencegah hama-hama air;
7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik
dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan; dan
atau
8. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan
penggunaan pada tanaman, tanah atau air.
Undang-Undang No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman, yang dimaksud dengan Pestisida adalah zat pengatur dan
perangsang tumbuh, bahan lain, serta organisme renik, atau virus yang
digunakan untuk melakukan perlindungan tanaman. Pestisida merupakan
bahan yang banyak memberikan manfaat sehingga banyak dibutuhkan
masyarakat pada bidang pertanian (pangan, perkebunan, perikanan,
peternakan), penyimpanan hasil pertanian, kehutanan (tanaman hutan dan

9
pengawetan hasil hutan), rumah tangga dan penyehatan lingkungan,
pemukiman, bangunan, pengangkutan dan lain-lain.
Insektisida merupakan salah satu jenis pestisida yang digunakan
dalam bidang kesehatan terutama untuk pengendalian vektor penyakit. Dalam
Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1973 tentang Pengawasan atas
Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Insektisida, insektisida adalah
semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik, serta virus yang
dipergunakan untuk memberantas atau mencegah binatang-binatang yang
dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Insektisida kesehatan masyarakat
adalah insektisida yang digunakan untuk pengendalian vektor penyakit dan
hama permukiman seperti nyamuk, serangga pengganggu lain (lalat,
kecoak/lipas), tikus,dan lain-lain yang dilakukan di daerah permukiman
endemis, pelabuhan, bandara, dan tempat-tempat umum lainnya.

2.2.1 Klasifikasi Pestisida


Aplikasi pengendalian vektor penyakit secara umum dikenal dua jenis
insektisida yang bersifat kontak/non-residual dan insektisida residual.
Insektisida kontak/non-residual merupakan insektisida yang langsung
berkontak dengan tubuh serangga saat diaplikasikan.
Aplikasi kontak langsung dapat berupa penyemprotan udara (space
spray) seperti pengkabutan panas (thermal fogging), dan pengkabutan
dingin (cold fogging) / ultra low volume (ULV). Jenis-jenis formulasi yang
biasa digunakan untuk aplikasi kontak langsung adalah emusifiable
concentrate (EC), microemulsion (ME), emulsion (EW), ultra low volume
(UL) dan beberapa Insektisida siap pakai seperti aerosol (AE), anti nyamuk
bakar (MC), liquid vaporizer (LV), mat vaporizer (MV) dan smoke.
Insektisida residual adalah Insektisida yang diaplikasikan pada permukaan
suatu tempat dengan harapan apabila serangga melewati/hinggap pada
permukaan tersebut akan terpapar dan akhirnya mati. Umumnya insektisida
yang bersifat residual adalah Insektisida dalam formulasi wettable powder
(WP), water dispersible granule (WG), suspension concentrate (SC),
capsule suspension (CS), dan serbuk (DP).

10
Menurut Kemenkes, 2012 Jenis insektisida untuk pengendalian vektor
antara lain :
1. Organofosfat (OP).
Insektisida ini bekerja dengan menghambat enzim kholinesterase. OP
banyak digunakan dalam kegiatan pengendalian vektor, baik untuk
space spraying, IRS, maupun larvasidasi. Contoh: malation, fenitrotion,
temefos, metil-pirimifos, dan lain lain.
2. Karbamat.
Cara kerja Insektisida ini identik dengan OP, namun bersifatreversible
(pulih kembali) sehingga relatif lebih aman dibandingkanOP. Contoh:
bendiocarb, propoksur, dan lain lain.
3. Piretroid (SP).
Insektisida ini lebih dikenal sebagai synthetic pyretroid(SP) yang
bekerja mengganggu sistem syaraf. Golongan SPbanyak digunakan
dalam pengendalian vector untuk seranggadewasa (space spraying dan
IRS), kelambu celup atau InsecticideTreated Net (ITN), Long Lasting
Insecticidal Net (LLIN), danberbagai formulasi Insektisida rumah
tangga. Contoh: metoflutrin,transflutrin, d-fenotrin, lamda-sihalotrin,
permetrin, sipermetrin,deltametrin, etofenproks, dan lain-lain.
4. Insect Growth Regulator (IGR).
Kelompok senyawa yang dapat mengganggu prosesperkembangan dan
pertumbuhan serangga.IGR terbagi dalam dua klas yaitu :
a. Juvenoid atau sering juga dikenal dengan Juvenile
Hormone Analog (JHA). Pemberian juvenoid padaserangga berakibat
pada perpanjangan stadiumlarva dan kegagalan menjadi pupa. Contoh
JHAadalah fenoksikarb, metopren, piriproksifen danlain-lain.
b. Penghambat Sintesis Khitin atau Chitin Synthesis
Inhibitor (CSI) mengganggu proses ganti kulit dengancara menghambat
pembentukan kitin. Contoh CSI:diflubensuron, heksaflumuron dan lain-
lain.

11
5. Mikroba
Kelompok Insektisida ini berasal dari mikroorganisme yangberperan
sebagai insektisida. Contoh: Bacillus thuringiensis varisraelensis (Bti),
Bacillus sphaericus (BS), abamektin, spinosad, danlain-lain.
6. Neonikotinoid.
Insektisida ini mirip dengan nikotin, bekerja pada sistem saraf pusat
serangga yang menyebabkan gangguan pada reseptor post synaptic
acetilcholin. Contoh: imidakloprid, tiametoksam, klotianidin dan lain-
lain.
7. Fenilpirasol
Insektisida ini bekerja memblokir celah klorida pada neuron yang diatur
oleh GABA, sehingga berdampak perlambatan pengaruh GABA pada
sistem saraf serangga. Contoh: fipronil dan lain-lain
8. Nabati
Insektisida nabati merupakan kelompok Insektisida yang berasal dari
tanaman Contoh: piretrum atau piretrin, nikotin, rotenon, limonen,
azadirachtin, sereh wangi dan lain-lain.
9. Repelen
Repelen adalah bahan yang diaplikasikan langsung ke kulit, pakaian
atau lainnya untuk mencegah kontak dengan serangga. Contoh: DEET,
etil-butil-asetilamino propionat dan ikaridin. Repelen dari bahan alam
adalah minyak sereh/sitronela (citronella oil) dan minyak eukaliptus
(lemon eucalyptus oil).

2.2.2 Pengelolaan Insektisida (Pestisida)


Pengelolaan dan penanganan insektisida perlu dilakukan dengan baik
untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dan menjamin mutu
insektisida yang akan digunakan. Proses penyimpanan insektisida yang
digunakan dalam pengendalian vektor harus memenuhi persyaratan berikut
ini:

12
1. Gudang
Gudang tempat penyimpanan insektisida harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
- Aman dari pencurian,
- Tidak bocor,
- Tidak kena banjir,
- Cukup ventilasi/penerangan atau pencahayaan,
- khusus untuk gudang penyimpanan insektisida, terletak tidak menyatu
dengan tempat permukiman
- Tidak digabung dengan bahan non-insektisida
2. Konstruksi bangunan Gudang, meliputi:
a. Lantai dan dinding harus kedap air dan mudah dibersihkan
b. Langit langit atap terbuat dari bahan yang ringan dan tidak tembus
cahaya.
c. Bangunan dilengkapi dengan exhause fan (kipaspenghisap)
d. Bahan bangunan sedapat mungkin tidak mudah terbakar
3. Sanitasi
a. Tersedia air bersih yang cukup
b. Tersedia tempat cuci tangan yang dilengkapi dengansabun dengan
kain lap
c. Tersedia tempat sampah
4. Tata letak tempat penyimpanan
Penempatan insektisida harus ditata dengan baik:
a. Insektisida yang akan disimpan dikelompokkanberdasarkan bentuk
formulasi (padat atau cair),secara tepat dan aman
b. Setiap kemasan insektisida tidak boleh diletakanlangsung di atas
lantai, untuk kemasan yang berat(drum, bags, boxes)
diletakkan/disusun di atas balok-balokkayu (pallet), untuk kemasan
kecil diletakkan /disusun di dalam rak
c. Tinggi rak/susunan kemasan besar, maksimal 2meter dan jarak dari
atap gudang minimal 1 meter,

13
d. Insektisida dengan kemasan bungkusan yangberbentuk kotak disusun
dengan sistem berkaitdengan diberi jarak di antara tumpukan,
untuksirkulasi udara.
e. Jarak tumpukan insektisida dari dinding minimal 50cm, untuk lewat
orang
f. Cara meletakan dan menyusun kemasan insektisidaharus diatur untuk
memudahkan pemeriksaan dansirkulasi barang (FEFO, first expired
first out).
g. Penyimpanan insektisida harus dilengkapi dengankartu stok, kartu
gudang dan kartu barang
h. Di antara tumpukan insektisida harus ada lorong/gang yang dapat
dilalui dengan lebar minimal 50 cm.
5. Distribusi
Distribusi perlu dilakukan dengan baik agar kualitasinsektisida tetap
terjamin. Untuk itu harus diperhatikanbahwa dalam pendistribusian
insektisida, kemasan harusdijaga dari kerusakan atau kebocoran dan
terlindungdari pengaruh cuaca luar (panas, hujan dll).
Penempataninsektisida dalam sarana angkutan harus diatur sehinggatidak
mudah terjadi benturan-benturan selama perjalanan
6. Penanganan insektisida di lapangan
Penanganan insektisida selama operasional di lapanganperlu
memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penyimpanan sementara di lapangan/desaditempatkan pada ruangan
atau peti yang dapatdikunci
b. Harus ada petugas yang mengawasi sisa Insektisida segera
dikembalikan ke gudang asal
c. Sisa larutan Insektisida dan wadahnya harus dikuburminimal setengah
meter di dalam tanah, jauh darisumber air.
7. Pemusnahan
Pemusnahan insektisida dapat dilakukan dengan berbagaicara
seperti dengan penguburan dalam tanah (landfill),panas (thermal
decomposition), dan kimiawi (chemicalneutralization). Di antara cara-

14
cara tersebut, yang palingmungkin dilakukan di lapangan adalah
penguburan dalamtanah (landfill).
a. Penguburan dalam tanah (Landfill)
Cara ini pada dasarnya dipergunakan bila belumdiperoleh cara lain
yang lebih tepat. Untuksuatu jumlah sisa insektisida yang sedikit,
makapenguburan dilakukan minimal setengah meter didalam tanah,
jauh dari sumber air.
b. Pemanasan (thermal decomposition)
Pemusnahan insektisida dengan pemanasandilakukan dengan suhu
tinggi (9000C-10000C) melaluiincinerator (instalasi pembakaran).
c. Kimiawi (Chemical Neutralization)
Cara ini hanya dapat dilakukan oleh instansi yangkompeten.

2.2.3 Dampak pestisida terhadap Kesehatan


Pada umumnya pestisida yang digunakan untuk mengendalikan
organisme pengganggu tersebut adalah biosida yang tidak saja bersifat racun
terhadap organisme pengganggu sasaran, tetapi juga dapat memberikan
pengaruh yang tidak diinginkan terhadap organisme bukan sasaran,
termasuk manusia serta lingkungan hidup.
Keracunan pestisida yang digunakan secara kronik maupun akut
dapat terjadi pada pemakai dan pekerja yang berhubungan dengan pestisida,
misalnya petani, pengecer pestisida, pekerja pabrik/gudang pestisida, dan
sebagainya serta manusia yang tidak bekerja pada pestisida. Keracunan akut
terhadap pemakai dan pekerja dapat terjadi karena kontaminasi kulit,
inhalasi (pernafasan) dan mulut/ saluranpencernaan, dan apabila mencapai
dosis tertentu dapat mengakibatkan kematian.

2.2.4. Keracunan Pestisida


Keracunan pestisida adalah masuknya bahan-bahan kimia kedalam
tubuh manusia melalui kontak langsung, inhalasi, ingesti dan absorpsi
sehingga menimbulkan dampak negatif bagi tubuh.

15
Penggunaan pestisida dapat mengkontaminasi pengguna secara
langsung sehingga mengakibatkan keracunan. Dalam hal ini keracunan
dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu:
a. Keracunan akut ringan, menimbulkan pusing, sakit kepala, iritasi kulit
ringan, badan terasa sakit dan diare.
b. Keracunan akut berat, menimbulkan gejala mual, menggigil, kejang
perut, sulit bernafas, keluar air liur, pupil mata mengecil dan denyut
nadi meningkat, pingsan.
c. Keracunan kronis, lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan
menimbulkan gangguan kesehatan. Beberapa gangguan kesehatan yang
sering dihubungkan dengan penggunaan pestisida diantaranya: iritasi
mata dan kulit, kanker, keguguran, cacat pada bayi, serta gangguan
saraf, hati, ginjal dan pernafasan.
Keracunan ditentukan oleh tingkat kontaminasi, juga ditentukan oleh
daya racun pestisida yang berbeda antara satu formulasi dengan formulasi
lainnya. Keracunan kronik (antara lain karsinogenik, teratogenik,
onkogenik, mutagenik, kerusakan jantung, ginjal dan lain-lain) disamping
dapat terjadi pada pemakai dan pekerja, juga dapat terjadi pada konsumen
yang mengkonsumsi produk tertentu yang mengandung residu pestisida.

2.2.5 Patofisiologi
Pestisida masuk kedalam tubuh melalui beberapa cara, Pertama
absorpsi melalui kulit berlangsung terus selama pestisida masih ada dikulit.
Kedua melalui mulut (tertelan) karena kecelakaan, kecerobohan atau
sengaja (bunuh diri) akan mengakibatkan keracunan berat hingga
mengakibatkan kematian. Ketiga melalui pernafasan dapat berupa bubuk,
droplet atau uap dapat meyebabkan kerusakan serius pada hidung,
tenggorokan jika terhisap cukup banyak.
Pestisida meracuni tubuh manusia dengan mekanisme kerja sebagai
berikut:
a. Mempengaruhi kerja enzim/hormon. Enzim dan hormon terdiri dari
protein komplek yang dalam kerjanya perlu adanya activator atau

16
cofaktor yang biasanya berupa vitamin. Bahan racun yang masuk
kedalam tubuh dapat menonaktifkan aktivator sehingga enzim atau
hormon tidak dapat bekerja atau langsung non aktif. Pestisida masuk
dan berinteraksi dengan sel sehingga akan menghambat atau
mempengaruhi kerja sel, contohnya gas CO menghambat haemoglobin
dalam mengikat atau membawa oksigen.
b. Merusak jaringan sehingga timbul histamine dan serotine. Ini akan
menimbulkan reaksi alergi, juga kadang-kadang akan terjadi senyawa
baru yang lebih beracun.
c. Fungsi detoksikasi hati (hepar). Pestisida yang masuk ketubuh akan
mengalami proses detoksikasi (dinetralisasi) di dalam hati oleh fungsi
hati (hepar). Senyawa racun ini akan diubah menjadi senyawa lain
yang sifatnya tidak lagi beracun terhadap tubuh

2.3 Jenis jenis fogging


Fogging/pengasapan sesuai dengan peraturan Gubenur Nomor 20
Tahun 2011 Tanggal 25 Februari 2011 Tentang Pengendalian Penyakit DBD
di Provinsi Jawa Timur adalah pemberantasan nyamuk yang menggunakan
mesin/alat, insektisida khusus pada waktu dan area tertentu dengan pelaku
yang terlatih baik berupa pengasapan/fogging fokus maupun
pengasapan/fogging massal. Fogging/pengasapan merupakan salah satu
kegiatan penanggulangan DBD yang dilaksanakan pada saat terjadinya
penularan DBD dalam bentuk pengasapan/fogging fokus dan
pengasapan/fogging massal pada terjadi kejadian luar biasa (KLB) DBD.
Dalam menanggulangi KLB DBD, terdapat beberapa jenis foging di
Kabupaten Jombang:
1. Fogging fokus
Adalah kegiatan fogging yang dilaksanakan atas dasar di Wilayah tersebut
ada penderita DBD dengan hasil Penyelidikan Epidemiologi (PE)
menunjukkan hasil positif. PE dinyatakan positif bila ditemukan 1 atau
lebih penderita infeksi dengue lainnya dan /atau >=3 penderita demam
tanpa sebab yang jelas dan ditemukan jentik (HI) >=5%. Luas cakupan

17
fogging adalah radius minimal 200 (dua ratus) meter sekitar penderita
DBD. Biaya fogging fokus dibebankan pada anggaran Pemerintah
Kabupaten Jombang sedangkan pelaksana fogging fakus adalah
Puskesmas.
2. Fogging massal
Adalah fogging yang dilaksanakan saat terjadi kejadian luar biasa (KLB)
DBD secara massal di Wilayah yang terjadi KLB DBD tersebut. Yang
dimaksud dengan KLB DBD adalah terjadinya penngkatan jumlah
penderita DBD di suatu wilayah sebanyak 2 (dua) kali atau 1 (satu)
minggu/bulan dibandingkan dengan minggu/bulan sebelumnya atau bulan
yang sama pada tahun yang lalu.
3. Fogging mandiri
Fogging yang dilaksanakan atas inisiatif masyarakat atau desa. Fogging ini
diperbolehkan dengan syarat Wilayah tersebut ada penderita infeksi
dengue, hasil PE Positif dan jika anggaran yang telah disediakan oleh
Pemerintah Kabupaten Jombang tidak mencukupi untuk fogging fokus
atau memang masyarakat menghendaki adanya perluasan area fogging.
Namun, sudah dikomunikasikan dengan puskesmas dan Camat setempat
sebagai pengawas lapangan. Luas cakupan seluas fogging fokus, 1 (satu)
dusun atau beberapa dusun bahkan bisa seluas 1 (satu) desa/kelurahan.
Biaya fogging berasal dari murni partisipasi masyarakat atau swadaya.
Pelaksanaan fogging mandiri bisa dari pihak desa bekerjasama dengan
pihak Puskesmas atau diserahkan ke pihak swasta.

2.4 Fogging sebagai langkah pengendalian vektor


a. Fog/kabut/asap adalah semprotan aerosol yang menyebarkan droplet
dengan sebuah Diameter Rata-rata Isi (VMD) di rentang kurang dari 50
mikron (biasanya 5-15 mikron). Thermal fog sangat dapat mengganggu
pandangan sehingga akan dapat dapat menimbulkan bahaya bagi lalu
lintas. Fogging dianggap sebagai pilihan terakhir dalam metode
pengendalian kimia oleh karena keterbatasannya sebagai berikut:
Keberadaaanya hanya sementara di lingkungan tanpa adanya efek sisa.

18
Efek utamanya hanya terhadap nyamuk dewasa kontak dengan droplet.
Dibutuhkan aplikasi ulangan.
Biayanya besar.
Efek terhadap vektor sangat tergantung pada faktor iklim seperti
kecepatan angin, arah angin, kelembababan, suhu dan lain-lain.
Kecepatan pergerakan dari petugas fogging
Penyebaran asapnya
Kualitas dari alat fogging
Akan tetapi, fogging telah dianggap berguna dalam situasi khusus
seperti kendali vektor saat wabah penyakit Dengue atau DHF.
Pelaksanaan yang efektif dari pengendalian vektor ini
membutuhkan teknik pelaksanaan yang tepat dan alat yang cocok dengan
kondisi lokal. Bentuk-bentuk cakupan dari area target tergantung pada
spesies vektor dan bionomiknya, level kendali yang diinginkan serta
priode penularan penyakit untuk menjaga biaya serendah mungkin.
Manejemen dan perencanaan yang baik, pelatihan operator dalam hal
teknik operasi serta kalibrasi dan penggunaan alat yang efisien adalah
faktor yang penting dalam aplikasi insektisida yang tepat.
Berdasarkan pandangan di atas, fogging bukanlah metode yang
dipilih dalam pengendalian vektor sebagai metode rutin. Fogging
sebaiknya dipilih hanya untuk memutus (melokalisir) epidemik yang
sifatnya sementara, sebagai pelengkap dan pencegahan epidemi yang lain.
Fogging hanya digunakan dalam waktu yang terbatas di area yang sudah
teridentifikasi dengan jelas.
b. Thermal Fogging
Teknik ini berdasar prinsip bahwa insektisida diuapkan lalu
diembunkan menjadi awan tipis berupa droplet ketika kontak dengan
udara pendingin saat keluar dari mesin. Insektisida tersebut diuapkan pada
suhu yang sangat tinggi di dalam mesin. Begitu asap keluar dari mesin,
langsung menyebar sesuai arah angin.
Insektisida yang dipilih untuk fogging adalah malathion atau
pyrenthum ekstrak oleh karena toksisitasnya yang rendah terhadap

19
mammalia dan karena dapat didegradasi sehingga tidak terus berada di
lingkungan dalam jangka waktu yang lama. Thermal fogging ini secara
psikologi lebih dapat diterima oleh karena asapnya yang lebih nampak.
Jenis alat nya yang paling sering digunakan adalah portabel dan mist
blower. Sedangkan yang terangkai dengan kendaraan, penggunaannya
hanya terbatas pada jalan-jalan umum. Meskipun thermal fogging
menghasilkan asap yang lebih tebal dan jelas, tapi secara epidemiolgy
kurang efektif dan biayanya lebih mahal dari ULV.
Keuntungan thermal fogging:
Formulasi semprotannya mengandung bahan aktif insektisida yang
lebih sedikit sehingga mengurangi ekspos ke operator.
Asapnya lebih nampak.
Adapun kerugiannya:
Formulasinya terdiri dari lebih banyak zat pelarut sehingga biaya lebih
mahal.
Asap yang tebal akan mengganggu pandangan dan mengganggu lalu
lintas.
Pembakaran banyak zat pelarut bukanlah ramah lingkungan.
Berisiko tinggi terjadinya kebakaran oleh karena mesin beroperasi
dalam temperatur yang sangat tinggi.
c. Indikasi Fogging
Wabah dengue atau DHF
Fogging dipilih hanya untuk pengendalian wabah yang ditimbang
sangat diperlukan. Fogging pyranthrum di dalam ruangan hendaknya
dilaksanakan sekali dua minggu dengan maksimum 3 putaran. Bila
memngkinkan, fogging dilaksanakan pada kepadatan nyamuk yang tinggi
dan untuk kejadian yang bersamaan dari beberapa kasus pada suatu area.
Harus digunakan alat yang tepat. Alat yang portabel lebih efektif
dan lebih murah daripada yang tergabung dengan kendaraan. Ketika
sedang membatasi area target, diperlukan identifikasi pusat wabah melalui
investigasi yang tepat dengan tetap mempertimbangkan waktu kebiasaan
menggigit dari vektor.

20
d. Area Target
Sangat penting untuk mempersiapkan dengan layak sebuah peta area target
yang akurat dan lengkap. Sebuah peta seharusnya mengidentifikasi:
Jalan, struktur bangunan, batas dari area yang diproteksi, tempat bertelur
dsb.
Dimana adanya kondisi yang baik bagi vektor untuk bertelur seperti
kumpulan air, tumbuhan air dll.

2.5 Prosedur tetap (Protap)penanggulangan DBD fogging


Tahapan kegatan fogging fokus adalah sebagai berkut :
1. Setelah hasil PE dinyatakan positip dan disetujui oleh Dinas Kesehatan
untuk diadakan fogging fokus, maka Puskesmas segera membuat daftar
KK/rumah yang akan dilakukan fogging (radius 200 meter dari rumah
pendderita)
2. Puskesmas segera mengajukan usulan dana dan kebutuhan insektisida
ke Dinas Kesehatan
3. Satu hari sebelum pelaksanaan fogging Puskesmas mengadakan siaran
keliling/ledang di Wilayah yang akan difogging fokus dan masyarakat
diharapkan dapat melaksanakan kegiatan PSN
4. Isi atau pesan dari siaran keliling adalah mengenai penyakit DBD dan
cara pencegahannya serta hal-hal yang harus dilakukan oleh masyarakat
sebelum pelaksanaan, pelaksanaan dan setelah fogging.
5. Kemudian diadakan pelaksanaan fogging seluas radius 200 meter di
sekitar rumah penderita DBD yang dilakukan oleh petugas Puskesmas
dan petugas harian lepas sebagai penyemprot, pada waktu pelaksanaan
dimohon juga perangkat desa untuk mendamping petugas.
6. Segera setelah pelaksanaan penanggulangan fokus, Puskesmas
melaporkan kegiatannya dan menyelesaikan SPJnya untuk di setor ke
Dinas Kesehatan.

21
Tahapan kegiatan fogging mandiri adalah sebagai berikut :
1. Desa yang akan melaksanakan fogging harus berkoordinasi dengan
Camat dan Kepala Puskesmas setempat, yang dibuktikan dengan
adanya surat pemberitahuan fogging mandiri.
2. Selanjutnya pemerintah desa bisa bekerja sama dengan puskesmas
mengadakan siaran keliling/ledang di Wilayah yang akan diadakan
fogging.
3. Isi atau pesan dari siaran keliling adalah mengenai penyakit DBD dan
cara pencegahannya serta hal-hal yang harus dilakukan oleh masyarakat
sebelumnya pelaksanaan, pelaksanaan dan setelah pelaksanaan fogging.
4. Minimal 1 (satu) hari sebelumnya dilaksanakan fogging, desa atau
wilayah yang akan di fogging harus dilakukan kegatan PSN;
5. Kemudian diadakan pelaksanaan fogging mandiri, pada waktu
pelaksanaan dimohon juga perangkat desa untuk mendampingi petugas.
6. Kegiatan fogging mandiri harus mendapat pengawasan dari Camat dan
Kepala Puskesmas.
7. Segera setelah pelaksanaa fogging mandiri, desa dimohon melaporkan
kegiatannya ke Puskesmas dan Dinas Kesehatan.
Pada umumnya program pemberantasan penyakit DBD belum berhasil,
terutama karena masih tergantung pada penyemprotan dengan insektisida
untuk membunuh nyamuk dewasa. Penyemprotan membutuhkan
pengoperasian khusus, membutuhkan biaya cukup tinggi, dan detail teknis
yang harus dikuasai pelaksana program. Berikut beberapa informasi yang
perlu diketahui tentang pemberantasan vektor DBD secara kimia, khususnya
melalui metode fogging.
Menurut Iskandar (1985), pemberantasan vektor dengan mesin fogging
merupakan metode penyemprotan udara berbentuk asap yang dilakukan untuk
mencegah penyakit DBD. Pelaksanaannya dilakukan pada rumah penderita
dan lokasi sekitarnya serta tempat-tempat umum. Tujuan pelaksanaan fogging
adalah untuk membunuh sebagian besar vektor yang infektif dengan cepat
(knock down effect). Disamping memutus rantai penularan dan menekan

22
kepadatan vektor sampai pembawa virus tumbuh sendiri sehingga tidak
merupakan reservoir yang aktif lagi.
Sementara menurut Depkes RI (2007), kegiatan pengendalian vektor
dengan pengasapan atau fogging fokus dilakukan di rumah
penderita/tersangka DBD dan lokasi sekitarnya yang diperkirakan menjadi
sumber penularan. Fogging (pengabutan dengan insektisida) dilakukan bila
hasil PE positif, yaitu ditemukan penderita/tersangka DBD lainnya atau
ditemukan tiga atau lebih penderita panas tanpa sebab dan ditemukan jentik >
5 %. Fogging dilaksanakan dalam radius 200 meter dan dilakukan dua siklus
dengan interval + 1 minggu.
Sedangkan prosedur dan tata laksana pelaksanaan pengasapan atau
fogging antara lain sebagai berikut :
Sebagai langkah awal pengasapan/fogging dalam suatu area tertentu,
dengan membuat gambaran atau memetakan area yang disemprot. Area
yang tercakup sedikitnya berjarak 200 meter di dalam radius rumah yang
terindikasi sebagai lokasi dengue. Kemudian dilakukan peringatan kepada
warga terlebih dahulu untuk keluar ruamh dengan terlebih dahulu menutup
makanan atau mengeluarkan piaraan.
Berbagai bahan insektisida yang dipergunakan dalam pelaksanaan
operasional fogging fokus adalah golongan sintentik piretroit dengan dosis
penggunaan 100 ml/Ha. Semaentara perbandingan campuran 100 ml : 10
liter solar.
Sasaran fogging adalah semua ruangan baik dalam bangunan rumah
maupun di luar bangunan (halaman/pekarangan), karena obyek sasaran
adalah nyamuk yang terbang. Sifat kerja dari fogging adalah knock down
effect yang artinya setelah nyamuk kontak dengan partikel (droplet)
isektisida diharapkan mati setelah 24 jam.
Terdapat dua macam peralatan yang digunakan untuk pengasapan atau
fogging antara lain mesin fog dan ULV (Ultra Low Volume). Mesin fog
dipergunakan untuk keperluan operasional fogging dari rumah ke rumah
(door to door operation). Untuk keperluan ini dipergunakan swing fog
machine SN 11, KeRF fog machine, pulls fog dan dina fog. Beberapa jenis

23
peralatan ini mempunyai prinsip kerja yang sama yakni menghasilkan fog
(kabut) racun serangga sebagai hasil kerja semburan gas pembakaran yang
memecah larutan racun serangga (bahan kimia yang digunakan), menjadi
droplet yang sangat halus dan berwujud sebagai fog. Rata-rata alokasi
waktu yang diperlukan dengan penggunaan peralatan ini adalah 2-3 menit
untuk setiap rumah dan halamannya. Sementara Ultra Low Volume (ULV)
menghasilkan cold fog. hasil ini didaptkan dengan mekanisme terjadinya
tekanan mekanik biasa terhadap racun serangga melewati system nozzle.
Dengan alat ini droplet racun serangga yang dihasilkan jauh lebih halus
daripada fog biasa. ULV sangat cocok dipergunakan pada area out door
atau luar ruangan.
Menurut Depkes RI (2005), untuk membatasi penularan virus dengue
dilakukan dua siklus pengasapan atau penyemprotan, dengan interval satu
minggu. Penentuan siklus ini dengan asumsi, bahwa pada penyemprotan
siklus pertama semua nyamuk yang mengandung virus dengue atau
nyamuk infektif, dan nyamuk-nyamuk lainnya akan mati. Kemudian akan
segera diikuti dengan munculnya nyamuk baru yang akan mengisap darah
penderita viremia yang masih ada yang berpotensi menimbulkan
terjadinya penularan kembali, sehingga perlu dilakukan penyemprotan
siklus kedua. Penyemprotan yang kedua dilakukan satu minggu sesudah
penyemprotan yang pertama, agar nyamuk baru yang infektif tersebut akan
terbasmi sebelum sempat menularkan pada orang lain.
Sedangkan persyaratan waktu penyemprotan menurut WHO (2003)
sebagai berikut :
Kondisi yang Kondisi Kondisi yang
Paling baik rata-rata tidak baik
Waktu Pagi hari Pagi sampai tengah Pertengahan pagi
(06.30-08.30) Hari/sore hari,awal sampai
malam hari pertengahan sore hari
Kecepatan Tetap 0-3 km/jam Medium sampai
Angin (3-13 km/jam) kuat, diatas 13 km/jam

Hujan Tidak ada hujan Gerimis kecil Hujan lebat

Suhu udara Dingin Sedang Panas

24
Dalam pelaksanaannya, kegiatan fogging dilakukan minimal oleh
dua orang petugas, dengan perhitungan setiap hari dapat menyelesaikan
30-40 rumah (1-1,5 Ha).
Hal-hal yang perlu dperhatikan dalam pengasapan/fogging fokus
dan mandiri;
I. Syarat dilakukan pengasapan
Apabila ada penderita DBD dan disertai :
a. Ada penderita DBD lain di lokasi penderita (20 rumah sekitar
penderita) atau
b. Ada penderita panas tanpa sebab jelas sebanyak >=3 orang dan ada
jentik
II. Persiapan sebelum pengasapan
1. Satu hari sebelumnya pelaksanaan fogging diharapkan ada
kegiatan PSN dan penyuluhan keliling/ledang di Wilayah yang
akan di fogging
2. Pada hari pelaksanaan sebelumnya fogging dilaksanakan,
hendaknya semua tempat penampungan air dikosongkan
3. Tenaga fogging adalah tenaga terlatih dan memakai APD saat
pelaksanaan fogging dan data surat perintah kerja/surat tugas dari
kepala puskesmas setempat.
4. Mesin yang dipakai berstandar SNI atau WHO
5. Insektisida yang digunakan terdaftar di Kemenkes atau
Kementerian Pertanian
6. Buat larutan insektisida sesuai terdaftar di Kemenkes dan
Kementerian pertanian
7. Koordinasi dengan pihak desa/Kepala Desa agar warga juga ikut
berpartisipasi dalam kegiatan fogging dengan menunjuk salah satu
pamong/perangkat atau warga sebagai pendamping petugas
fogging.
8. Pendamping tersebut mempunyai tugas memastikan bahwa rumah
yang akan difogging:

25
a. Semua makanan dan minuman harus disimpan di tempat yang
tertutup rapat (misal : almari dll)
b. Kompor dan lampu (berbahan bakar minyak) yang menyala
harus dimatikan.
c. Bahan yang mudah terbakar (premium dn lain-lain) hendaknya
diamankan.
d. Binatang piaraan seperti : burung, ayam, kucing, anjing,
hendaknya dikeluarkan dari rumah. Untuk ikan/aquarium bisa
ditutup rapat.
e. Mainan anak-anak hendaknya disimpan ditempan di tempat
yang aman dari percikan/semprotan pengasapan.
f. Kasur, bantal, seprei hendaknya dilipat.
g. Piring, gelas, sendok, dll. Hendaknya ditutup dengan koran atau
penutup lain
h. Semua jendela ditutup, sedangkan pintu dibuka.
III. Selama Pengasapan/Fogging
1. Semua penghuni hendaknya di luar rumah
2. Semua penghuni tidak diperkenakan mengikuti petugas pengasap
atau keluar masuk rumah
3. Operasional pengasapan/fogging;
a. Sasaran fogging; rumah/bangunan dan halaman/perkarangan
sekitarnya
b. Waktu operasional; pagi hari atau sore (Ae Aegypti) dan malam
hari (Anopheles atau culex)
c. Kecepatan gerak fogging; seperti orang berjalan biasa (2-3
km/jam)
d. Temperatur/suhu udara ideal; 18 oC, Maksimal 28 oC
e. Fogging di dalam rumah; dimulai dari ruangan yang paling
belakang, jendela dan pintu kecuali pintu depan untuk keluar
masuk petugas.
f. Untuk rumah dua lantai atau lebih, fogging dimula dari lantai
atas

26
g. Fogging diluar rumah; tabung pengasap harus searah dengan
arah angin, dan petugas berjalan mundur.
IV. Selesai pengasapan/fogging
1. Menutup pintu depan setelah selesai pengasapan (bila petugas
pengasapan belum sempat menutup)
2. Menununggu sampai +/- 1 jam setelah penyemprotan selesai atau
asap fogging sudah habis, penghuni rumah diperbolehkan masuk
rumah.
3. Menyapu/membersihkan lantai terutama apabila ada binatang
kecil/serangga yang mati agar dikubur di tanah atau dibuang di
tempat sampah yang aman dari jangkauan binatang piaraan.
4. Membersihkan/mengepel lantai dan kotoran bekas penyemprotan
agar penghuni rumah terhindar dari keracunan.
5. Bila ada makanan/minuman, air minum yang terkena semprot
harus dibuang di tempat yang aman dari jangkauan binatang
piaraan
6. Air di kamar mandi bila terkena obat semprot hendaknya dibuang /
dikuras.

2.6 Peralatan perlindungan diri terhadap fogging


Cara mengatasi/mencegah terjangkitnya penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) yang paling penting adalah menanamkan pengetahuan kepada
masyarakat, agar masyarakat berperilaku hidup bersih dan sehat, yaitu
menjaga kebersihan lingkungan yang dapat menjadi sarang dan tempat
berkembangbiaknya vektor penyakit termasuk nyamuk Aedes aegypti. Hal ini
dilakukan untuk memutus rantai penularan penyakit, yaitu memutus mata
rantai perkembangbiakan jentik nyamuk menjadi nyamuk dewasa.
Berikut beberapa Peralatan Perlindungan Diri pada petugas/pelaksana
pengendalian vektor sesuai Permenkes 374/MENKES/PER/III/2010 Tentang
Pengendalian Vektor. Peralatan perlindungan diri yang harus digunakan oleh
petugas/ pelaksana pengendalian vektor sesuai dengan jenis pekerjaannya
harus mengacu pada kriteria klasifikasi pestisida berdasarkan bentuk fisik,

27
jalan masuk kedalam tubuh dan daya racunnya, maka harus dipilih
perlengkapan pelindung diri seperti tertera pada Tabel berikut;

Keterangan:
1 Sepatu boot, 2 Sepatu kanvas, 3 Baju terusan lengan panjang dan celana
panjang (coverall), 4 Topi, 5 Sarung tangan, 6 Apron/celemek, 7 pelindung
muka, dan 8 Masker.
+ = harus digunakan, - = tidak perlu, * = bila tidak menggunakan pelindung
muka, ** : bila tidak memakai sepatu boot. (KEPMENKES RI,No.
1350/Menkes/SK/XII/2001, Tentang Pestisida, 11 Desember 2001)
Perlengkapan pelindung dikelompokkan menjadi 4 tingkat berdasarkan
kemampuannya untuk melindungi penjamah dari pestisida, yaitu :
1. Highly-Chemical Resistance: digunakan tidak lebih dari 8 jam kerja, dan
harus dibersihkan dan dicuci setiap selesai bekerja.
2. Moderate-Chemical Resistance: digunakan selama 1-2 jam kerja. dan
harus dibersihkan atau diganti apabila waktu pemakaiannya habis.
3. Slightly-Chemical Resistance: dipakai tidak lebih dari 10 menit.
4. Non-Chemical Resistance: tidak dapat memberikan perlindungan terhadap
pemaparan tidak dianjurkan untuk dipakai.

28
Baju terusan berlengan panjang dan celana panjang dengan kaos kaki
dan sepatu dapat berupa seragam kerja biasa yang terbuat dari bahan katun
apabila menggunakan pestisida klasifikasi II atau III. Apabila menggunakan
pestisida klasifikasi 1.a dan 1.b maka dianjurkan memakai baju terusan yang
dapat menutup seluruh badan dari pangkal lengan hingga pergelangan kaki
dan leher, dengan sesedikit mungkin adanya bukaan, jahitan atau kantong
yang dapat menahan pestisida. Baju terusan tersebut (coverall) dipakai diatas
seragam kerja diatas dan pakaian dalam.
Kaca mata yang menutup bagian depan dan samping mata atau
googles dianjurkan untuk menuang atau mencampur pestisida konsentrat atau
pada kategori 1.a dan 1.b. Apabila ada kemungkinan untuk mengenai muka
maka faceshield sangat dianjurkan untuk dipakai.
Perlu juga untuk menyediakan peralatan dan bahan untuk
menanggulangi tumpahan/ceceran pestisida, antara lain : kain majun, pasir /
serbuk gergaji, sekop dan kaleng/kantong plastik penampung.
Kotak P3K berisi obat-obatan, kartu emergency plan yang memuat
daftar telepon penting, alamat dan nama yg di dapat dihubungi untuk
meminta pertolongan dalam keadaan darurat / keracunan. Misalnya Pusat
Keracunan (Poison center), ambulans, rumah sakit terdekat dengan lokasi
kerja, polisi, pemadam kebakaran. Penyediaan pemadam kebakaran portable
juga dianjurkan apabila bekerja dengan mesin semprot yang dapat
menimbulkan bahaya kebakaran.
Bahan yang digunakan dalam upaya pengendalian vektor berupa
insektisida, baik sasaran terhadap nyamuk vektor dewasa maupun terhadap
larva/jentik nyamuk, sebagai berikut :
1. Insektisida yang digunakan untuk penyemprotan residual dalam program
pengendalian malaria adalah Bendiocarb 80 %, Lamdacyhalothrine 10 %,
Etofenprox 20 %, Bifenthrine 10 %, Alfacypermethrine 5 % dan
Deltamethrin 5 %
2. Insektisida yang dicelupkan pada kelambu dan kelambu berinsektisida
(LLINs = Long Lasting Insecticidal dan Permethrine) dalam program
pengendalian malaria adalah Deltamethrine dan Permethrine

29
3. Insektisida yang digunakan untuk mengendalikan larva/jentik nyamuk
vektor malaria adalah Pyriproxyfen, S-Metoprene, Bacillus thuringiensis
sub sp israelensis
4. Insektisida yang digunakan untuk pengendalian vektor Demam
5. Berdarah Dengue adalah Malathion, Metil pyrimifos, Cypermetrin,
Alfacypermetrin
6. Insektisida yang digunakan untuk mengendalikan larva/jentik nyamuk
vektor Demam Berdarah Dengue adalah Temephos, Pyriproxyfen,
Bacillus thuringiensis sub sp israelensis.

2.7 Penyelidikan KLB pada keracunan pestisida di Indonesia


2.7.1 Langkah-langkah Investigasi KLB Keracunan
1. Persiapan lapangan
Penyelidikan KLB dikerjakan secepat mungkin karena diharapkan
dalam 24 jam pertama sudah adanya informasi mengenai kejadian
tersebut.
Persiapan lapangan meliputi :
a. Pemantapan (konfirmasi) Informasi.
b. Pembuatan rencana kerja penyelidikan, minimal berisikan :
- Tujuan penyelidikan KLB meliputi mamastikan diagnosis penyakit,
menetapkan KLB, menentukan sumber dan cara penularan,
mengetahui keadaan penyebab KLB.
- Definisi kasus awal, merupakan arahan pada pencarian kasus
- Hipotesis awal mengenai agent penyebab penyakit, cara dan sumber
penularan
- Macam dan sumber data yang diperlukan
- Startegi penemuan kasus
- Sarana dan tenaga yang diperlukan
c. Pertemuan dengan pejabat setempat untuk membicarakan rencana dan
pelaksanaan penyelidikan KLB, kelengkapan sarana dan tenaga di
daerah serta memperoleh ijin dan pengamanan.
2. Menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB

30
Kejadian keracunan pestisida dapat di suatu kelompok masayrakat yang
dapat menyebabkan kesakitan ataupun kematian dapat di tetapkan suatu
kejadian luar biasa.
3. Memastikan diagnosis etiologis
Laporan tentang adanya peristiwa keracunan pestisida dapat berasal dari
berbagai sumber. Seriap laporan dari manapun datangnya hendaknya di
cek kebenarannya dan dicoba untuk menegakan diagnosa dengan
anamnesa yang baik, bila mungkin disesuaikan gejala, hasil pemeriksaan
laboratorium dan masa Inkubasi
Penetapan etiologi KLB keracunan dapat dilakukan berdasarkan 4
langkah kegiatan yaitu :
a) Wawancara dan pemeriksaan fisik terhadap kasus-kasus yang
dicurigai
Pada saat berada di lapangan, dilakukan wawancara dan
pemeriksaan pada penderita yang berobat ke unit pelayanan. Dari
hasil pemeriksaan ini dapat diperkirakan gejala dan tanda penyakit
yang paling menonjol diantara penderita yang berobat dan kemudian
dapat ditetapkan diagnosis banding awal.
b) Distribusi gejala-tanda kasus-kasus yang dicurigai
Wawancara kemudian dapat dilakukan pada kasus-kasus yang
lebih luas dan sistematis terhadap semua gejala yang diharapkan
muncul pada penyakit keracunan yang termasuk dalam diagnosis
banding. Dari seluruh gejala tersebut di atas disusun sebuah daftar
pertanyaan. Wawancara dengan daftar pertanyaan ini dilakukan
terhadap kasus yang dicurigai (definisi kasus), dan kemudian
dipindahkan dalam tabel distribusi gejala sebagai berikut :
Tabel 2. Distribusi gejala kercunan akibat pestisida
No Gejala dan tanda Jumlah kasus Persentasi (%)
1 Mual
2 Muntah
3 Pusing
Dst Dst

31
c) Gambaran epidemiologi
Setiap daerah mempunyai pengalaman epidemiologi yang
berbeda dengan daerah lain. Data epidemiologi ini diketahui
berdasarkan surveilans KLB keracunan di daerah tersebut. Misalnya
KLB keracunan malation (insektisida), akan banyak terjadi di daerah
dengan program penanggulangan malaria atau demam berdarah,
sedang pada daerah lain akan sangat kecil kemungkinan terjadi KLB
keracunan pangan malation. Golongan umur juga seringkali dapat
digunakan untuk identifikasi etiologi KLB keracunan pestisida
Gambaran epidemiologi menurut ciri pekerjaan, kebiasaan makan
dan minum, serta ciri epidemiologi lain, dapat digunakan sebagai
cara untuk identifikasi etiologi KLB keracunan pestisida.
d) Pemeriksaan pendukung, termasuk laboratorium
Pemeriksaan spesimen urine, darah atau jaringan tubuh
lainnya, serta pemeriksaan muntahan dapat igunakan sebagai cara
untuk identifikasi etiologi KLB keracunan pestisida. Tim penyelidik
mengambil, menangani, mengemas dan mengirimkan spesimen ke
laboratorium dengan tepat dan cepat. Kondisi spesimen diharapkan
tidak berubah, baik secara fisik, kimia dan biologis, selama
pengiriman sampai saat dianalisis. Penanganan spesimen harus
dilakukan secara aseptis. Secara sistematis, seharusnya spesimen
yang diambil dan diperiksa laboratorium adalah digunakan untuk
memperkuat pemeriksaan etiologi yang telah ditetapkan dalam
diagnosis banding. sebaiknya pemeriksaan laboratorium diarahkan
oleh investigator untuk identifikasi kemungkinan penyebab tersebut
sebagai penyebab, termasuk prosedur pengambilan sampel dan
pengamanan dalam penyimpanan dan pengiriman spesimen.
4. Mengidentifikasi dan menghitung kasus atau paparan
Identifikasi kasus digunakan untuk mengitung jumlah kasus yang
selanjutnya mendeskripsikan KLB berdasarkan waktu, tempat dan orang
dengan lebih teliti, sedangkan identifikasi paparan dapat mengarahkan

32
untuk identifikasi sumber penularan yang lebis spesifik dan membantu
dalam penegakan diagosis suatu penyakit/keracunan.
Gambaran epidemiologi KLB deskriptif dapat ditampilkan menurut
karakteristik tempat dan orang dan akan lebih banyak ditampilkan
dengan menggunakan bentuk tabel dan peta.
Attack rate
Attack rate adalah sama dengan incidance rate tetapi hanya dalam
periode KLB saja.
Jumlah kasus keracunan pestisida
Attack Rate = ----------------------------------------------------- x k
Jumlah polulasi risk keracunan pestisida

Case Fatality Rate


Jumlah yang meninggal karena keracunan pestisida
Case Fatality Rate = ------------------------------------------------------------- x k
Jumlah kasus keracuan pestisida

Identifikasi kelompok rentan (attack rate) dimanfaatkan untuk menuntun


kepada sumber keracunan dengan mengajukan pertanyaan :
- Adakah suatu kondisi yang menyebabkan kelompok tertentu lebih rentan
dibandingkan kelompok lain ?
- Adakah keadaan yang dicurigai tersebut berhubungan dengan sumber
keracunan ?
Identifikasi sumber keracunan berdasarkan karakteristik pada
langkah pertama, seringkali tidak langsung menemukan sumber
keracunan tetapi menemukan karakteristik lain yang dicurigai
berhubungan dengan sumber keracunan yang dicari (hipotesis).
Kemudian hasil analisis pada identifikasi karakteristik terakhir ini dapat
juga menghasilkan karakteristik baru yang dicurigai berhubungan dengan
sumber keracunan yang dicari (hipotesis), demikian seterusnya.
Seorang penyelidik, setelah mencermati berbagai kondisi yang
berhubungan dengan sumber keracunan, dapat saja sekaligus

33
memperkirakan beberapa karakteristik yang dicurigai berhubungan
dengan sumber keracunan yang dicari (beberapa hipotesis).
5. Mendeskripsikan kasus berdasarkan orang, waktu dan tempat (analisis
data)
Merupakan penggambaran kasus berdarkan waktu pada peroide
lamanya KLB berlangsung dalam bentuk kurva epidemik. kurva ini
berguna untuk menentukan/memperkirakan sumber atau cara penularan
dan mengidentifikasikan waktu paparan atau pencarian kasus awal
dengan cara menghitung berdasarkan masa inkubasi rata-rata atau masa
inkubasi minimum dan maksimum.
Gambar 1. Kasus keracunan pestisida menurut masa inkubasi
25

20
Jumlah Kasus

15

10

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Jam Mulai sakit

Orang dideskripsikan menurut variabel umur, jenis kelamin, ras,


status kekebalan, tingkah laku atau kebudayaan setempat. Tempat
dideskripsikan berdasarkan tempat tinggal, tempat kerja, tempat-tempat
umum seperti sekolah, tempat rekreasi, tempat pembuangan limbah, dan
sebagainya. sedangkan waktu dideskripsikan berdasarkan jam, hari,
bulan dan tahun.
Contoh tabel distribusi kasus :
Tabel 3. Kecarunan Pestisisda Menurut Golongan umur
Gol Populasi Kasus Meninggal Atteck CFR
Umur Rentan Rate

34
Tabel 4. Keracunan pestisida menurut Jenis kelamin
Jenis Populasi Kasus Meninggal Atteck CFR
Kelamin Rentan Rate
Laki-laki
Perempuan
Total

Tabel 5. Keracunan pestisida menurut Jenis pekerjaan


Jenis Populasi Kasus Meninggal Atteck CFR
pekerjaan Rentan Rate
Pengangkut
pestisida
Tenaga
pencampur
Tenaga
Penyemprot
Pencuci alat
yg digunakan
Dst
Total

6. Membuat cara menanggulangan sementara dengan segera (jika


diperlukan)
Penatalaksanaan keracunan pestisida:
a. Bila organofospat tertelan dan penderita sadar, segera muntahkan
penderita dengan mengorek dinding belakang tenggorokan dengan jari
atau alat lain dan atau memberikan larutan garam dapur satu sendok
makan penuh dalam segelas air hangat. Bila penderita tidak sadar,
tidak boleh dimuntahkan karena bahaya spirasi
b. Bila penderita berhenti bernapas, segeralah dimulai pernapasan
buatan, terlebuh dahulu bersihkan mulut dari airliur, lendir atau

35
makanan yang mneyumbat jalan napas. Namun bila organofospat
tertelan jagan lakukan pernapasan dari mulut ke mulut.
c. Bila kulit yang terkena, segera lepaskan pakaian yang terkena dan
kulit di cuci dengan air sabun
d. Bila mata yang terkena, segera cuci dengan banyak air selama 15
menit.
7. Mengidentifikasi sumber dan cara penularan
Identifikasi sumber penularan dan cara penularan dilakukan dengan
membuktikan adanya agent pada sumber penularan keracunan pestisida,
golongan pestisida yang digunakan, apakah keracunan terjadi karena
tertelan pestisida atau keracunanan melalui pernapasan, bagaimana
dengan alat pelinding diri yang digunakan pada saat bekerja
menggunakan pestisida.
8. Mengidentifikasi keadaan penyebab KLB
Mengecek kondisi lingkungan, apakah proses kerja dengan menggunakan
pestisida di lakukan di dalam ruangan atau di luar ruangan, jika di dalam
ruangan bagaimana kondisi ruangan (keadaan ventilasi), jika di luar
ruangan bagaimana kondisi lingkungan misalnya pada saat melakukan
penyemprotan apakah berlawanan arah dengan arah angin.
9. Merencanakan penelitian lain yang sistemati KLB merupakankejadian
yang alami (natural), oleh karenanya selain untuk mencapai tujuan
utamanya penyelidikan epidemiologi KLB merupakan kesempatan baik
untuk melakukan penelitian.Mengingat hal ini sebaiknya pada
penyelidikan epidemiologi KLB selalu dilakukan:
a. Pengkajianterhadapsystemsurveilans yang ada, untuk mengetahui
kemampuannya yang ada sebagai alat deteksi dini adanya KLB,
kecepatan ini formasi dan pemenuhan kewajiban pelaksanaan system
surveilans.
b. Penelitian factor risiko kejadian penyakit KLB yang sedang
berlangsung.
c. Evaluasi terhadap program kesehatan.
10. Menetapkan saran cara pencegahan atau penanggulangan

36
Cara-cara pencegahan keracunan pestisida :
a. Penyimpana pestisida : pestisida harus disimpan dalam wadah tertutup
yang diberi tanda, sebaiknya tertutup dan dalam lemari terkunci,
campuran pestisida dengan tepung atau makanan tidak boleh
disimpandekat makanan (tanda harus jelas juga untuk mereka yang
buta huruf), tempat bekas penyimpanan yang tidak dipakai lagi harus
dibakaragar sisa pestisida musnah sama sekali.
b. Pemakaian alat pelindung diri (APD)
- Menggunakan masker dan ruangan tempat melakukan
pencampuran harus mempunyai ventilasi yang cukup,
- Memakai pakaian pelindung, kacamata, dan sarung tangan terbuat
dari neopren (karet) dalam melakukan pencampuran
maupunpenyemprotan.
- Penyemrotan dilakukan mengikuti arah angin, sehingga perstisida
tidak terhitup atau mengenai kulit pekerja.
- Bekerja dengan menggunakan pestisida tidak boleh lebih dari 8 jam
perhari dalam ruangan tertutup.
- Sasaran penyemprotan tidak boleh pada tempat yang bisa
bersentuhan langsung dengan manusia.
11. Menetapkan sistem penemuan kasus baru atau kasus dengan komplikasi
Dengan melakukan sitem survailens yang bertujuan untuk
mengevaluasi tindakan penanggulangan yang telah dijalankan serta
dapat memantau kasus baru dan komplikasinya. Tenaga survailens
terdiri dari tenaga kesehatan maupun dari masyarakat.
12. Melaporkan hasil penyelidikan kepada instansi kesehatan setempat dan
kepada sistem pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. Isi laporan terebut
meliputi :
a. Pendahuluan (gambaran peristiwa)
b. Latar belakang (geografis, politis, ekonomi, demografis, historis)
c. Uraian tentang investigasi yang dilakukan (alasan,metode, sumber
informasi)

37
d. Hasil investigasi (fakta, karakteristik kasus, angka serangan,
tabulasi, kalkulasi, kurva, pemeriksaan laboratorium, kemungkinan
sumber infeksi)
e. Analisis data dan simpulan
f. Uraian tentang tindakan (penanggulangan)
g. Uraian dampak dan rekomendasi

38
BAB 3
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Gambaran Umum Lokasi Kejadian


3.1.1 Gambaran umum Kabupaten Jombang
3.1.1.1.Keadaan Geografi
Kabupaten Jombang mempunyai letak yang sangat strategis, karena berada
pada bagian tengah Jawa Timur dan dilintasi Jalan Arteri Primer Surabaya
Madiun dan Jalan Kolektor Primer MalangBabat. Adapun batas-batas
wilayah Kabupaten Jombang adalah:

Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Lamongan


Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Nganjuk
Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Malang dan Kabupaten
Kediri
Secara geografis, Kabupaten Jombang terbentang pada 1120 03 46,57 sampai
1120 27 21,26 Bujur Timur dan berada di sebelah selatan garis Khatulistiwa
yaitu pada 07 0
20 37 dan 07 0
46 45 Lintang Selatan dan dengan luas
wilayah 1.159,50 km2 atau sekitar 2,4 % luas wilayah Propinsi Jawa Timur.
Ibukota Kabupaten Jombang terletak pada ketinggian 44 m di atas
permukaan laut.

Secara administrasi, Kabupaten Jombang terbagi menjadi 21 kecamatan yang


terdiri dari 302 desa dan 4 kelurahan serta meliputi 1.258 dusun. Ditinjau dari
komposisi jumlah desa/kelurahan, Kecamatan Sumobito memiliki jumlah desa
terbanyak yaitu 21 desa. Namun bila ditinjau dari luas wilayah, terdapat 3
Kecamatan yang memiliki wilayah terluas, yaitu Kecamatan Wonosalam
dengan luas 121,63 km2, Kecamatan Plandaan dengan luas 120,40 km2 dan
Kecamatan Kabuh dengan luas 97,35 km2.

Secara topografis, Kabupaten Jombang dibagi menjadi tiga sub area, yaitu :

39
1. Kawasan Utara, bagian pegunungan kapur muda Kendeng yang sebagian
besar mempunyai fisiologi mendatar dan sebagian besar berbukit, meliputi
Kecamatan Plandaan, Kabuh, Ploso, Kudu dan Ngusikan.
2. Kawasan Tengah, sebelah selatan sungai Brantas, sebagian besar
merupakan tanah pertanian yang cocok bagi tanaman padi dan palawija
karena irigasinya cukup bagus, meliputi Kecamatan Bandar Kedung
Mulyo, Perak, Gudo, Diwek, Mojoagung, Sumobito, Jogoroto,
Peterongan, Jombang, Megaluh, Tembelang, dan Kesamben.
Kawasan Selatan, merupakan tanah pegunungan, cocok untuk tanaman
perkebunan, meliputi Kecamatan Ngoro, Bareng, Mojowarno dan Wonosalam
3.1.1.2. Keadaan demografi
Proyeksi penduduk Kabupaten Jombang berdasar sensus BPS Propinsi Jawa
Timur tahun 2010 untuk tahun 2015 adalah 1.240.985 jiwa, dengan 368,211
rumah tangga/KK atau rata-rata 3,37 jiwa per rumah tangga. Tingkat
kepadatan penduduk mencapai 1.071/ Km dengan tingkat kepadatan
penduduk tertinggi di Kecamatan Jombang sebesar 3.628 jiwa/ Km
sedangkan yang terendah adalah di Kecamatan Wonosalam sebesar 267 jiwa/
Km.

Rasio jenis kelamin di Kabupaten Jombang pada tahun 2015 adalah 98.94
artinya setiap 100 penduduk perempuan terdapat 99 penduduk laki-laki.
Berdasarkan komposisi penduduk, kelompok umur remaja (15 19 tahun)
mendominasi presentase jumlah penduduk (8,45%) dan prosentase
kelompok umur bayi (<1 tahun) merupakan yang terkecil (1,6%).

40
Gambar 3.1
Priamida Penduduk Kabupaten Jombang menurut Kelompok Umur
Lima Tahunan Tahun 2015

Estimasi Piramida Penduduk


Kabupaten65Jombang Tahun 2015
55-59
45-49
35-39
25-29
Perempuan
15-19
Laki-Laki
5-9
<1
60000.0 40000.0 20000.0 0.0 20000.0 40000.0 60000.0

Sumber : BPS Propinsi Jawa Timur

3.1.1.3.Pendidikan
Kondisi pendidikan adalah salah satu indikator yang sering ditelaah dalam
mengukur tingkat pembangunan manusia suatu daerah. Melalui pengetahuan,
pendidikan berkontribusi terhadap perubahan perilaku kesehatan. Pengetahuan
yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan adalah salah satu faktor yang
berperan dalam mempengaruhi keputusan seseorang untuk berperilaku sehat

Data dari Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang diketahui angka melek huruf
kabupaten Jombang tahun 2015 pada penduduk usia 10 tahun ke atas sebesar
99,53%. Kondisi ini meningkat dibanding tahun 2014 dimana angka melek
huruf Kabupaten Jombang adalah 95,97%. Capaian tersebut berada dalam
kategori tingkat atas.

3.1.1.4. Ekonomi
Kondisi perekonomian di Kabupaten Jombang tahun 2013 tumbuh sebesar
6,44%.Berikut ini kronologi laju pertumbuhan ekonomi di Kabupaten
Jombang semakin cepat selama tahun 2009 2013.

41
Tahun Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)
2009 5,28
2010 6,12
2011 6,83
2012 6,97
2013 6,44

Untuk menghitung pertumbuhan ekonomi, digunakan PDRB (Produck


Domestic Regional Bruto) atas dasar harga konstan, karena untuk
menghitung pertumbuhan ekonomi faktor kenaikan harga barang dan jasa
harus dihilangkan. Nilai laju implisit sendiri dapat dikatakan sebagai tingkat
inflasi.
PRDB kabupaten Jombang atas dasar harga berlaku (ADHB) tahun 2014
mencapai Rp. 26.339,07. Sedangkan PRDB atas dasar harga konstan
(ADHK) tahun 2014 mencapai 21.793,19, dengan inflasi (laju implisit)
sebesar 4,85%. (Data dan Informasi Sektoral Kabupaten Jombang, 2015)
Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan kesempatan kerja. Berdasarkan
data dari BPS Kabupaten Jombang tahun 2014, jumlah penduduk usia 15
tahun ke atas yang bekerja sebanyak 577.679 orang, sedangkan jumlah
pengangguran terbuka sebanyak 26.493 orang. Sedangkan jumlah pencari
kerja terdaftar dengan pendidikan SD-SMA sebanyak 1419 orang, dari
pendidikan Diploma-Sarjana sebanyak 2494 orang. (Data dan Informasi
Sektoral Kabupaten Jombang, 2015).
Struktur ekonomi Kabupaten Jombang bertumpu pada empat sektor utama,
yaitu sektor pertanian, sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan,
yang keempat adalah sektor jasa. Sektor pertanian masih menunjukkan
dominasinya sebagai sektor terbesar dalam perekonomian Kabupaten
Jombang. Disusul perdagangan dan reparasi serta industry pengolahan yang
merupakan penyumbang tertinggi kedua dan ketiga. Sektor-sektor tersebut
sangat dominan di Kabupaten Jombang karena jumlah dari ketiganya
mencapai 64,3% dari total PRDB. Sedangkan jumlah keempat belas sector
lainnya hanya mampu menyumbang 35,7% dari total PRDB.

42
3.1.1.5. Sosial Budaya
Data sosial budaya ini meliputi data tentang pendidikan, kesehatan,
keagamaan.
Di bidang pendidikan, mencakup kegiatan pendidikan formal baik dibawah
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan maupun di bawah naungan lembaga
yang lain. Data tahun 2014 menunjukkan pada tingkat Tempat Penitipan
Anak (TPA) terdapat 7 TPA dengan 61 orang guru, dan 105 murid. Pada
tingka Kelompok Bermain (KB) terdapat 448 KB, 3.422 guru, dan 13.576
murid. Pada tingkat Taman Kanak Kanak (TK) terdapat 3 TK Negeri dan
428 TK Swasta. Pada tingkat Sekolah Dasar (SD) terdapat 525 SD Negeri
dan 33 SD Swasta, 2 SD LB Negeri dan 4 SD LB Swasta. Pada tingkat
Sekolah Menengah Pertama (SMP) jumlah sekolah yang ada sebanyak 48
SMP Negeri dan 71 SMP Swasta, serta 3 SMP LB Swasta. Ditingkat
Sekolah Menengah Atas ada sebanyak 12 SMA Negeri dan 34 SMA Swasta
serta 3 SMA LB, 8 SMK Negeri serta 56 SMK Swasta.

3.1.1.6. Lingkungan
Jalan merupakan sarana penunjang transportasi dan sebagai urat nadi
perekonomian secara umum. Secara keseluruhan panjang jalan utama di
Kabupaten Jombang (tidak termasuk jalan Desa dan jalan Lingkungan)
adalah 785,561 Km (data tahun 2014), yang terdiri dari 42.152 Km jalan
Negara, 60.350 Km Jalan Propinsi; dan 462.600 Km Jalan Kabupaten.
(buku Data dan Informasi Sektoral Kabupaten Jombang Tahun 2015).
Sumber Air minum untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat
Jombang sebagian disediakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
melalui air Leding Meteran 1,9%; selain itu sumber air minum adalah dari
sumur terlindung 22,98%; dan Air Isi Ulang 0,67%.
Akses masyarakat Jombang terhadap penggunaan jamban mengalami
peningkatan, dimana tahun 2014 keluarga yang memiliki jamban sehat
sebesar 71,0%, pada tahun 2015 ini Keluarga yang memiliki jamban sehat
sebanyak 80.1%

43
3.1.2 Gambaran umum lokasi kejadian
Kejadian luar biasa keracunan pestisida akibat fogging mandiri terjadi di
lingkungan Pondok Pesantren Putri Bahrul Ulum Tambak Beras, Jombang.
Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas mempunyai luas area 10
hektar, terletak di dusun Tambakberas, desa Tambakrejo, kecamatan
Jombang, kabupaten Jombang, propinsi Jawa Timur, 3 Km sebelah utara
kota Jombang, dan merupakan pintu masuk Jombang dari arah utara yaitu
Ploso, Babat, Lamongan, Bojonegoro, Gresik dan Tuban.

3.2.Epidemiologi Kasus Keracunan Pestisida


3.2.1.Kronologi kasus
3.2.1.1.Kronologi kasus penderita DBD
Berdasarkan laporan petugas Puskesmas Tambak Rejo, awal kasus
ditemukan suspek penderita DBD berasal dari dusun Petengan, yang
berobat di Puskesmas Tambak Rejo. Penemuan suspek penderita DBD
ditindaklanjuti dengan Penyelidikan Epidemiologi DBD diwilayah sekitar
rumah penderita dusun Petengan, Kec. Jombang, setelah melalui tahapan
sebagai berikut;
1. Identifikasi suspek penderita klinis DBD dengan penegakan diagnose
melalui pemeriksaan laboratorium, yang memberikan hasil pasien
positif menderita DBD.
2. Puskesmas memberikan feedback berdasarkan penemuan kasus dari
pasien yang berobat di Fasyankes.
3. Pelaporan masyarakat melalui kader kesehatan di wilayah setempat
Hasil Pnyelidikan Epidemiologi DBD memuat;
1. Karakteristik penderita : Nama; umur jenis kelamin Nama KK dan
alamat Rumah
2. Kronologis /telusur PE ; riwayat sakit penderita, penelusuran aktivitas
dan lokasi kejadian berdasarkan waktu, tempat dan orang
3. Penelusuran penemuan kasus baru disekitar rumah penderita : 4x5
rumah samping kiri kanan, depan dan belakang (20 rumah), apakah
ditemukan suspek penderita baru DBD atau tidak

44
4. Survei jentik disekitar rumah penduduk
Keluaran dari penyelidikan epidemiologi tersebut kemudian menjadi dasar
penetapan wilayah tersebut perlu foging atau tidak. Kegiatan fogging
dilaksanakan atas jika di wilayah tersebut ada penderita DBD dengan hasil
Penyelidikan Epidemiologi (PE) menunjukkan hasil positif. Penyelidikan
Epidemiologi dinyatakan positif bila ditemukan 1 atau lebih penderita
infeksi dengue lainnya dan /atau >=3 penderita demam tanpa sebab yang
jelas dan ditemukan jentik (HI) >=5%. Luas cakupan fogging adalah radius
minimal 200 (dua ratus) meter sekitar penderita DBD.
Berdasarkan hasil Penyelidikan Epidemiologiyang dilakukan oleh petugas
Puskesmas, tidak ditemukan ditemukan penderita baru disekitar rumah
penderita infeksi dengue lainnya dan/ atau penderita demam tanpa sebab
yang jelas, hasil survey jentik (HI) <5%, sehingga tidak di rekomendasikan
fogging. Hasil Penyelidikan Epidemiologi dilaporkan kepada Dinas
Kesehatan, perangkat desa dan tembusan ke Camat, kemudian
ditindaklanjuti dengan kegiatan kerja bakti dan pemberantasan sarang
nyamuk, lomba kebersihan lingkungan tentang pengendalian penyakit DBD,
dan pembagian ikan pemakan jentik dari Kepala Desa (Program ikanisasi).
Namun meski hasil PE tidak merekomdasikan fogging namun pada
kenyataanya, masyarakat desa setempat menginginkan fogging untuk
pemberatasan DBD.Fogging dilaksanakan atas inisiatif masyarakat atau
desa, dengan biaya swadaya masyarakat, tanpa pemberitahuan ke petugas
kesehatan dan instansi terkait. Kegiatan fogging dilaksanakan di dusun
Petengan (lokasi penderita DBD), dan dusun sekitarnya yaitu dusun Nglugu,
Gedang, Tambak rejo, dan wilayah Tambak rejo Timur/selatan, (kriteria
minimal, luas cakupan fogging adalah radius minimal 200 (dua ratus) meter
sekitar penderita DBD).

3.2.1.2.Kronologi kasus keracunan Pestisida


Kasus keracunan pestisida terjadi di Pondok Pesantren Putri Bahrul
Ulum, dusun Tambak Beras, Desa Tambak Rejo. Pondok Pesantren Bahrul
Ulum merupakan salah satu Pondok Pesantren besar di Kabupaten

45
Jombang, dengan jumlah pondok 26; masing masing pondok dihuni sekitar
200 an santri/santriwati. Lokasi Pondok Pesantren di dusun Tambak
beras,berjarak lebih 1 km dari dusun Petengan, lokasi penderita infeksi
DBD.
Pelaksanaan fogging pada tanggal 20 November 2016; pukul
14.00 di asrama pesantren putra, kemudian di asrama putri pada pukul
14.15. Pada pukul 14.30 dua orang santri putri masuk ke dalam kamar,
pingsan dan dirujuk ke RSUD Jombang. Menyikapi hal tersebut, pengasuh
ponpes mengarahkan santriwati melakukan kerja bakti untuk
membersihkan ruangan dengan mengepel lantai dan menguras bak mandi.
Perkembangan selanjutnya jumlah santri pingsan semakin
banyak,sehingga dirujuk di RSUD Jombang dan RS Pelengkap.Kronologi
kejadian sebagai berikut :
20 November 2016
14.00 WIB : Pelaksanaam fogging di asrama pondok pesantren putra
14.15 WIB : Pelaksanaan fogging di asrama pondok pesantren putri
14.30 WIB : 2 orang santriwati pingsan dan segera dirujuk ke RSUD
Jombang
15.30 WIB : Kerja bakti (Mengepel, Menguras bak mandi)
15.35 WIB : 3 Orang santriwati dirujuk segera ke RSUD Jombang
: berturut-turut santriwati dirujuk ke RSUD total 26 orang
: 4 orang di RS Pelengkap dikarenakan UGD RSUD Jombang penuh
19.00 WIB : Tidak ada lagi santriwati yang pingsan
20.00 WIB : 14 orang diperbolehkan pulang
: 11 orang menjalani rawat inap
21 November 2016
08.00 WIB : 7 orang kembali dirujuk ke RSUD
: 4 orang dipindah dari RSPelengkap ke RSUD Jombang
: 3 orang dirawat di R. Dahlia
: 2 orang dirawat di R. Edelweis

46
Tabel 1. Daftar Penderita suspek keracunan Pestisida
No Nama Jenis Kelamin Usia Pekerjaan Alamat asal
(P=Perempuan) (Th)
1 Widhatul Chasanah P 14 Santri Sumobito
2 Aktila Lilatussa adah P 15 Santri Mojokerto
3 Dewi Lailatul Azizah P 15 Santri Nganjuk
4 Amelia Jihan P 13 Santri Mojokerto
5 Nita Noviatul P 16 Santri Jambi
6 Masfufah Shinta P 13 Santri Jombang
7 Adinda Rizki Zulfani P 14 Santri Subang
8 Nabila Shofia M. P 14 Santri Kesamben
9 Naila Iklima Rizqi R. P 16 Santri Kalimantan
10 Yasmin Khuriroh S. P 13 Santri Kediri
11 Khofifatun Nikmah P 15 Santri Sidoarjo
12 Aliyatul Fadhila P 16 Santri Kediri
13 Shintia Ayu P 16 Santri Surabaya
14 Hanum Wahda P 13 Santri Jombang
15 Lintang Qotrun N. P 13 Santri Mojoagung
16 Ishwar Bidri P 13 Santri Lamongan
17 Chicha Arzilala P 14 Santri Sumobito
18 Khoirotin Afifa P 13 Santri Lamongan
19 Lailatul Izzah P 13 Santri Sidoarjo
20 Hayyu Putri Aisyah P 13 Santri Gresik
21 Dian Nuralita P 13 Santri Lamongan
22 Rohmah Muhazah P 15 Santri Lamongan
23 Kholifatul Rosidah P 13 Santri Jombang
24 Kharismatul Sadiyah P 16 Santri Mojokerto
25 Zidatul Maslakhah P 16 Santri Tuban
26 Hafidatul Ilma A. P 17 Santri Mojokerto
27 Muhimatul P 13 Santri Sidoarjo
28 Alisah P 13 Santri Jombang
29 Ziana Nada P 14 Santri Jombang
30 Heni Ria P 15 Santri Jombang
Sumber : Dinas Kesehatan kab. Jombang tahun 2016

47
3.2.2.Epidemiologi Kasus keracunan Pestisida

1. Deskripsi kasus
Kasus keracunan fogging pestisida di Kabupaten Jombang mulai ditemukan
pada tanggal 20 November 2016. Sampai tanggal 21 November 2016
dilaporkan 30 penderita dengan gejala mual, pusing, lemas, hingga pingsan
yang dirujuk ke RSUD Jombang dan RS Pelengkap.
a.Distribusi menurut orang
1) Menurut jenis kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, suspek penderita keracunan pestisida dengan
gejala klinis semua berjenis kelamin perempuan (100%)
2)Menurut umur
Sebagian besar kasus klinis suspek keracunan pestisida berada pada
kelompok umur 13 tahun (43,33 %) dengan umur termuda 13 tahun dan
tertua 17 tahun. Distribusi kasus berdasarkan umur adalah sebagai
berikut :

3% 13 th
20%
14 th
43%
15 th
17%
16 th
17%
17 th

Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang


Gambar 1. Distribusi Suspek penderita keracunan pestisida menrut umur
di Kabupaten Jombang tahun 2016

b.Distribusi menurut tempat


Kasus keracunan pestisida berasal dari dusun Tambak Beras, wilayah
Puskesmas Tambak rejo. Berdasarkan wilayah yang di fogging, seluruh

48
suspek penderita keracunan pestisida merupakan santriwati Ponpes
Bahrul Ulum Tambak beras, Desa Tambak Rejo, Kecamatan Jombang.

30

0 0 0 0

Sumber : Dinas Kesehatan Kab. Jombang


Gambar 2. Distribusi suspek penderita keracunan Pestisida Berdasarkan dusun
yang melaksanakan fogging mandiri di Kab. Jombang tahun 2016

Jika ditelusur, sebaran kasus keracunan fogging berasal dari satu


lokasi yang sama, sedangkan daerah lain yang difogging tidak
ditemukan kasus keracunan pestisida.

2. Pemastian diagnostik
Pemastian disgnostik keracunan pestisida di RSUD Jombang dan RS
Pelengkap belum dapat dilakukan karena keterbatasan alat pemeriksaan dan
durasi waktu keracunan yang telah lewat.

3.2.3. Penanganan kasus


Berdasarkan laporan petugas kesehatan dan masyarakat setempat,
Dinas Kesehatan Jombang pada tanggal 20 November 2016
menindaklanjuti dugaan kasus keracunan akibat fogging Pestisida; dengan
melakukan koordinasi pada Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur dan
BBTKLPP Surabaya. Pada tanggal 22 November 2016 Dinas Kesehatan
Jombang dan BBTKLPP Surabaya melakukan kegiatan Penyelidikan

49
Epidemiologi dan konfirmasi dugaan keracunan pestisida di dusun
Tambak Beras, Desa Tambak rejo yang bertujuan menyelidiki sumber
pencemar untuk menentukan upaya penanggulangan.Kegiatan tersebut
antara lain surveilans faktor risiko, surveilans kualitas air bersih, jejaring
dan sosialisasi penggunaan pestisida (insektisida) dalam pengendalian
vektor melalui metode wawancara, pemeriksaan specimen dan
pengamatan lingkungan.

3.3 Identifikasi data kasus


Pada kegiatan PE dilakukan pengambilan kualitas air bersih dan air minum
dilingkungan Ponpes Putri Bahrul Ulum. Hal ini dilakukan untuk membantu
penegakan diagnose keracunan massal akibat fogging pestisida. Spesimen
kemudian diperiksa di BBTKLPP Surabaya. Hasil pemeriksaan specimen
masih dalam pengerjaan di laboratorium BBTKLPP Surabaya.

3.4 Tahap tahap perencanaan PE KLB Fogging


3.4.1. Langkah-langkah Investigasi KLB Fogging
A. Prosedur tetap penyelidikan Epidemiologi (PE) yaitu;
1. Setelah menerima laporan adanya penderita DBD, petugas
Puskesmas/koordiantor DBD segera mencatat dalam Buku Catatan
Harian penderita DBD
2. Menyiapkan peralatan survei, seperti tensimeter, termometer, senter,
formulir PE dan surat tugas
3. Memberitahukan kepada Kades/Lurah dan Ketua RT/RW setempat
bahwa di wilayahnya ada penderita DBD dan akan dilaksanakan PE
4. Masyarakat di lokasi tempat tinggal penderita DBD membantu
kelancaran pelaksanaan PE
5. Pelaksanaan PE-nya adalah sebagai berikut;
a. Petugas puskesmas memperkenalkan diri dan selanjutnya
melakukan wawancara dengan keluarga untuk mengetahui ada
tidaknya penderita DBD lainnya (sudah ada konfirmasi dari RS

50
atau unit pelayanan kesehatan lainnya) dan ada penderita demam
saat itu dalam kurun waktu 1 minggu sebekumnya.
b. Bila ditemukan penderita demam tanpa sebab yang jelas, dilakukan
pemeriksaan kulit (petekie) dan uji torniquet
c. Melakukan pemeriksaan jentik pada tempat penampungan air
(TPA) dan Aegypti baik di dalam maupun di luar rumah/bangunan
d. Kegiatan PE dilakukan dalam radius 100 meter (+/- 20 rumah) dari
lokasi tempat tinggal penderita.
e. Bila penderita adalah siswa sekolah dan pekerja, maka PE selain
dilakukan dirumah PE juga dilakukan di sekolah/tempat kerja
penderita oleh puskesmas setempat.
f. Hasil pemeriksaan adanya penderita DBD lainnya dan hasil
pemeriksaan terhadap penderita demam (tersangka DBD) dan
pemeriksaan jentik dicatat dalam formulir PE
g. Hasil PE segera dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan, untuk
tindak lanjut lapangan dikoordinasikan dengan Kades/Lurah
h. Bila hasil PE positif (ditemukan 1 atau lebih penderita DBD
lainnya dan/atau >= 3 orang tersangka DBD, dan ditemukan
jentik>=5 %), dilakukan penanggulangan fukus (fogging,
penyeuruhan, PSN dan Larvasidasi selektif, sedangkan bila negatif
dilakukan penyuluhan, PSN dan larvasidasi selektif.
B. Prosedur tetap tindak lanjut hasil PE Positif yaitu;
1. Setelah kades/lurah menerima laporan hasil PE dari Puskesmas dan
rencana koordinasi penanggulangan fokus, meminta ketua RW/RT
agar warga membantu kelancaran pelaksanaan penanggulangan
fokus
2. Ketua RW/RT menyampaikan jadwal kegiatan yang diterima dari
petugas puskesmas setempat dan mengajak warga untuk
berpatisipasi dalam kegiatan penanggulangan fokus
3. Kegiatan penanggulangan fokus sesuai hasil PE :
3.1 Pergerakan masyarakat dalam PSN DBD dan larvasida

51
a. Ketua RW/RT, Toma dan kader memberikan pengarahan
langsung kepada warga pada waktu PSN DBD
b. Penyuluhan dan pergerakan masyarakat PSN DBD dan
larvasida dilaksanakan sebelum dilakukan
pengabutan/fogging dengan insektisida
3.2 Penyuluhan
Penyuluhan dilaksanakan oleh petugas Kesehatan/kader atau
kelompok kerja (pokja) DBD Desa/Kelurahan berkoodinasi
dengan petugas Puskesmas, dengan materi antara lain:
a. Situasi DBD di Wilayahnya;
b. Cara cara pencegahan DBD yang dapat dilaksanakan oleh
individu, keluarga dan masyarakat disesuaikan kondisi
setempat
3.3 Pengabutan dengan insektisida/fogging
a. Dilakukan oleh petugas Puskesmas atau bekerja sama
dengan pihak swasta.
b. Ketua RT, Toma atau kader mendampingi petugas dalam
kegiatan pengabutan/fogging
4. Hasil pelaksanaan tindak lanjut PE (hasil penanggulangan
DBD/fokus ) segera dilaporkan oleh puskesmas kepada Dinas
Kesehatan dengan tembusan kepada Camat atau Kepala
Desa/Lurah setempat paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya.

3.5 Identifikasi Faktor risiko pada keracunan Pestisida


Analisis kecenderungan :
Jumlah penderita suspek keracunan pestisida yang berobat di
RSUD Jombang dan RS Pelelngkap sebanyak 30 orang, dengan keluhan
mual, pusing, lemas dan pingsan. Penegakan diagnose melaui pemeriksaan
cholinesterase dalam darah suspek belum dapat dilakukan karena
keterbatasan sarana dan durasi waktu keracunan telah lewat.

52
Pemeriksaan cholinesterase sangat penting dalam penegakan
diagnose kasus, karena aktivitas enzim cholinesterase merupakan salah
satu indicator penting dalam keracunan pestisida.
Diagnosa keracunan pestisida yang tepat harus dilakukan lewat
proses medis baku, kebanyakan harus dilakukan di laboratorium. Jika
seseorang yang mula-mula sehat kemudian selama atau setelah
berinteraksi dengan pestisida merasakan salah satu atau beberapa gejala
keracunan pestisida, diduga telah keracunan pestisida. Untuk pestisida
yang bekerja dengan menghambat enzim cholinesterase (misalnya
pestisida dari kelompok organofosfat dan carbamat), diagnosa gejala
keracunan biasa dilakukan dengan uji (test) cholinesterase.Umumnya
gejala keracunan organofosfat atau karbamat baru akan dilihat jika
aktivitas kolinestrase darah menurun sampai 30%.
Suspek keracunan pestisida berada pada kelompok umur 13 -17
tahun, dengan umur termuda 13 tahun dan tertua 17 tahun. Kelompok
umur terbesar pada kasus dugaan keracunan pestisida adalah kelompok
umur 13 tahun, sebanyak 43 %. Hal ini dimungkinkan usia muda lebih
rentan terhadap keracunan, dan ditunjang kondisi fisik penderita yang
kurang prima pada saat kejadian.
Sebagaian besar kondisi fisik kurang prima ini karena sehari
sebelumnya para santri focus belajar hingga larut malam untuk persiapan
ujian sekolah dan pagi hari tidak makan pagi. Pulang sekolah dalam
kondisi kelelahan dan perut kosong hingga pukul 15.00, saangat
dimungkinkan kondisi ini menyebabkan mual, pusing hingga pingsan. Hal
ini dapat menyebabkan bias pada penegakan diagnosa kasus keracunan
pestisida, selaian gejala klinis yang umum dan mirip dengan kasus
keracunan pestisida, tidak ada pemeriksaan laboratorium enzim
cholinesterase untuk melihat bahwa kasus tersebut diesebabkan karena
keracunan pestisida atau bukan. Selain itu, tidak ditemukan hewan
peliharaan (ayam) mati setelah fogging.
Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian keracunan :
-Tidak memakai alat pelindung diri (masker, sarung tangan)

53
-Proses fogging belum usai (satu jam), santri masuk ke dalam ruangan
-Sisa pestisida yang tercecer (interaksi pada saat pengepelan)
-Kondisi medis yang mendasari (sesak nafas, kelelahan, stress setelah ujian)
-Konsumsi obat tertentu (tidak terpantau, satu orang memakai oxycan)
-Konsumsi makanan yang terkontaminasi (tidak memungkinkan)

3.6.Pelaporan Hasil PE KLB


Penyelidikan Epidemiologi kasus keracunan pestisisda dilakukan pada
tanggal 22 November 2016 oleh BBTKLPP dan Dinas Keseehatan Jombang,
bertujuan untuk konfirmasi dan pengumpulan data faktor risiko guna mencari
dugaan sumber pencemaran.

3.7.Perbandingan dan penyesuaian data kasus dengan CDC dan analogi


dengan kasus sejenis pada jurnal internasional

3.8.Identifikasi dan kelemahan system


Surveilens merupakan kegiatan pemantauan yang dilakukan secara
terus-menerus untuk mendapatkan informasi yang cepat dan akurat
(valid).Surveilens sangat besar manfaatnya untuk menyediakan data
mengenai kesehatan secara cepat dan akurat guna menyusun program dan
mengambil keputusan yang sesuai dengan permasalahan di lapangan.
Ketepatan dan keberhasilan suatu program sangat bergantung pada
ketersediaan data dan informasi yang valid serta reliabel. Dengan adanya
informasi yang cepat dan akurat, maka Dinas Kesehatan atau para pengambil
kebijakan (stake holder) dapat segera merespon kejadian dengan membuat
program-program yang tepat dan sesuai dengan permasalahan di lapangan.
3.8.1 AspekSumber Daya Manusia
Sumber daya manusia meliputi kecukupan baik kualitas maupun
kuantitas petugas kesehatan yang dapat melingkupi seluruh kelompok
masyarakat. Permasalahan yang sering terjadi adalah sedikitnya jumlah

54
tenaga kesehatan yang benar-benar memahami masalah surveilans dan
kurangnya kemampuan (skill) dapat menjalankan surveilans lapangan.

3.8.2.Aspek kebijakan
Kebijakan kesehatan merupakan pedoman yang menjadi acuan
bagi semua pelaku pembangunan kesehatan, baik pemerintah, swasta, dan
masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan dengan
memperhatikan kerangka desentralisasi dan otonomi daerah (Depkes RI,
2009).
Implementasi adalah proses untuk melaksanakan kebijakan supaya
mencapai hasil. Namun kadang kebijakan yang telah direkomendasikan
untuk dipilih oleh policy makersbukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut
pasti berhasil dalam implementasinya.Tahap implementasi kebijakan dapat
dicirikan dan dibedakan dengan tahap pembuatan kebijakan. Pembuatan
kebijakan di satu sisi merupakan proses yang memiliki logika bottom-up,
dalam arti proses kebijakan diawali dengan penyampaian aspirasi,
permintaan atau dukungan dari masyarakat. Sedangkan implementasi
kebijakan di sisi lain di dalamnya memiliki logika top-down, dalam arti
penurunan alternatif kebijakan yang abstrak atau makro menjadi tindakan
konkrit atau mikro (Parsons, 2008). Implementasi kebijakan dipengaruhi
oleh beberapa variabel dan masing-masing variabel tersebut saling
berhubungan satu sama lain, yaitu komuikasi,sumber daya, disposisi (watak
dan karakteristik implementor), dan struktur birokrasi. Keempat variabel
diatas dalam memiliki keterkaitandan saling bersinergi satu dengan yang
lain dalam mencapai tujuan dari kebijakan. Namun tidak semua kebijakan
berhasil dilaksanakan secara sempurna karena pelaksanaan kebijakan pada
umumnya memang lebih sukar dari sekedar merumuskannya. Proses
perumusan memerlukan pemahaman tentang berbagai aspek dan disiplin
ilmu terkait serta pertimbangan mengenai berbagai pihak namunpelaksanaan
kebijakan tetap dianggap lebih sukar. Dalam kenyataannya sering terjadi
implementation gap yaitu kesenjangan atau perbedaan antara apa yang
dirumuskan dengan apa yang dilaksanakan. Kesenjangan tersebut bisa

55
disebabkan karena tidak dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya (non
implementation) dan karena tidak berhasil atau gagal dalam pelaksanaannya
(unsuccessful implementation).
Menurut UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan bahwa
kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial
dan ekonomi.
Menurut UU Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 14 disebutkan
bahwa pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur,
menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya
kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.
Pada awalnya strategi utama pemberantasan DBD adalah
memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan. Kemudian strategi
diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke TPA (Tempat
Penampungan Air). Kedua metode ini sampai sekarang belum
memperlihatkan hasil yang memuaskan terbukti dengan peningkatan kasus
dan bertambahnya jumlah wilayah yang terjangkit DBD. Mengingat obat
dan vaksin untuk membunuh virus dengue belum ada maka cara yang paling
efektiv untuk mencegah penyakit DBD. ialah dengan PSN (Pemberantasan
Sarang Nyamuk) yang dilaksanakan oleh masyarakat atau keluarga secara
teratur setiap seminggu sekali. Oleh karena itu saat ini Departemen
Kesehatan lebih memprioritaskan upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk
(Ditjen PP & PL, 2004).

3.8.3.Aspek hukum dan prosedur

56
57
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di

Indonesia. Jakarta ; Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes RI. 2007. Modul Pelatihan bagi Pengelolan program Pen gendalian

Penyakit Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta; Departemen

Kesehatan Republik Indonesia.

Iskandar, H.A., dkk. 2005. Pemberantasan Serangga dan Binatang pengganggu.

Jakarta ; Balai Penerbit FKUI.

Iskandar, H.A., dkk. 1985. Pemberantasan Serangga dan Binatang pengganggu,

Depkes. RI.

Susanti L dan Boesri H. 2012. Insektisida Sipermethrin 100 G/L Terhadap

Nyamuk Dengan Metode Pengasapan. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7

(2) 157-163.

Pai HH, Hong YJ, Hsu EL. 2006. Impact of a short term community-based

cleanliness campaign on the sources of dengue vectors: an

entomological and human behavior study. Journal of Environmental

Health: Academic Research Library ; 68: 6.

Kementerian Kesehatan. Pedoman Penggunaan Insektisida Pestisida dalam

Pengendalian Vektor. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan. 2012

Kementerian Kesehatan. Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan

Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Keracunan Makanan

58
(Pedoman Epidemiologi Penyakit. Edisi Revisi 2011. Sub Direktorat

Surveilans dan Respon KLB Direktorat Surveilans, Imunisasi,

Karantina, dan Kesehatan Matra Direktorat Jenderal Pengendalian

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia Tahun 2011.

Kumar R, Krishnan SK, Rajashree N, Patil RR. 2003. Perceptions of mosquito

borne diseases. Journal of Epidemiology and Community Health. 57, 5:

392.

Leon RB. 2001. Promoting health: evidences for a fairer society. Promotion &

Education. ProQuest Nursing & Allied Health Source : 24.

WHO. 2003. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan

Demam Berdarah Dengue,

WHO. Children's environmental health, Chemical hazards. 2015

http://www.who.int/ceh/risks/cehchemicals/en/ diunduh pada tanggal

28 Desember 2016

WHO. Who Specifications and Evaluations for Public Health Pesticides

(Malathion). Geneva : Word Health Organization.

2003http://www.who.int/whopes/quality/newspecif/en/ diunduh pada

tanggal 28 Desember 2016

WHO. Clinical Managementof Acute Pesticide Intoxication:Prevention of

Suicidal Behaviours. Geneva : Word Health Organization 2008.

http://www.who.int/mental_health/prevention/suicide/pesticides_intoxi

cation.pdf diunduh pada tanggal 27 Desember 2016

https://inspeksisanitasi.blogspot.co.id/2015/06/apd-fogging.html

59
https://inspeksisanitasi.blogspot.co.id/2013/02/standar-fogging.html

60

Вам также может понравиться