Korupsi, korupsi, korupsi berita itulah yang sering disiarkan di media
pemberitaan akhir-akhir ini baik korupsi di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, bahkan menteri pun ikut dalam kasus korupsi seperti Menteri Agama Suryadharma Ali dalam kasus dugaan korupsi dana haji. Lemahnya hukum atau lemahnya pengawasan pemerintah menjadikan korupsi sebagai sarana yang ampuh untuk menutupi kurangnya pendapatan, meskipun pekerjaannya sudah bagus tapi karena kerakusannya membuat para petinggi negara ini melakukan korupsi. Sebagai contoh, suami yang mempunyai istri atau anak yang berpola gaya hidup hedonis maka gengsi jika dia tidak menuruti permintaan sang istri atau anaknya. Banyaknya tuntutan untuk menuruti gaya hidup mewah sang istri atau anak membuat sang suami sebagai kepala keluarga akan merasa gengsi jika tidak bisa memenuhi permintaan atau keinginan keluarganya. Berdasarkan contoh tersebut maka seseorang melakukan tindakan korupsi. Tidak bisa dipungkiri bahwa vonis yang dijatuhkan kepada para tersangka korupsi itu sungguh sangat jauh dari perkiraan masyarakat. Kenyataannya selama ini vonis yang dijatuhkan untuk para koruptor membuat masyarakat merasa tidak mendapat keadilan, bagaimana tidak karena hukuman yang dijatuhkan untuk koruptor hanya berkisar 5-10 tahun seperti pada kasus penerimaan suap Dewi Yasin Limpo yang hanya dijatuhi hukuman 9 tahun penjara dan pencabutan hak politik. Seperti yang dilansir di laman www.antikorupsi.org ICW rutin melakukan pemantauan terhadap seluruh putusan pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) di Indonesia. Pada tahun 2015 lalu, ICW berhasil pemantauan terhadap 524 perkara korupsi. Menariknya, sebanyak 461 terdakwa (81,7%) dinyatakan bersalah atau terbukti melakukan korupsi. Namun, rata-rata tahun sebelumnya, vonis terhadap pelaku korupsi dapat dikatakan menurun. Pada tahun 2014 lalu misalnya, rata-rata vonis 32 bulan (2 Tahun 8 Bulan ). Lebih lanjut, dari putusan yang berhasil diidentifikasi, ICW mengklasifikasikan 4 kategori. Pertama, vonis yang dianggap berat. Yaitu penjatuhan vonis dengan pidana penjara diatas 10 tahun. Ada terdapat sekitar 3 putusan, atau 0,7%. kedua, vonis yang dianggap sedang. Yaitu pidana penjara yang dijatuhkan di rentang pidana 4 sampai 10 tahun, ada sekitar 56 putusan atau 9,9%. Ketiga, vonis yang dianggap ringan yaitu penjatuhan pidana 1 sampai 4 tahun. Pertimbangannya, dalam UU Tipikor pidana minimal yaitu 1 tahun sampai 4 tahun. Ada sekitar 401 orang atau 71,1%. Kategori ini merupakan penjatuhan pidana yang paling sering ditemukan. Pada posisi denda 309 terdakwa hanya dijatuhi denda rentang Rp 50 Juta. Jika mengacu pada pasal 3 UU Tipikor denda ini merupakan batas minimal. Hal lain juga penting untuk menjadi perhatian adalah kecenderungan Jaksa Penuntut umum untuk memberikan tuntutan. Pemantauan ICW menyebutkan bahwa rata-rata penuntutan perkara korupsi adalah 42 bulan atau 3 tahun 6 bulan. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi vonis yang akan diberikan oleh Majelis Hakim. Sulit rasanya bagi hakim untuk memberikan hukuman maksimal, jika penuntut umum menuntut minimal. (sumber : www.antikorupsi.org/id/content/bulletin-mingguan-anti-korupsi-4-10-februari-2016 diakses pada tanggal 28 Mei 2016 pkl 13.15) Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa memang hukum di Indonesia sangat lemah, bahkan hukuman pun bisa dibagi-bagi menjadi ringan, sedang, dan berat. Seharusnya, jika memang sudah terbukti melakukan korupsi maka sepatutnya sudah dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya baik itu korupsinya sedikit ataupun sedang karena itu merupakan perbuatan dimana pelaku sangat merugikan negara. Ada koruptor yang sudah melakukan tindakan korupsi yang sudah berat tapi hanya divonis pidana 8 tahun yaitu Anas Urbaningrum. Tapi, kemudian vonisnya ditambah jadi 14 tahun penjara dan membayar denda sebesar Rp 5 Milyar. Tapi seharusnya Anas menepati janjinya jika terbukti korupsi maka akan gantung diri di Monas. Tapi kenyataannya Anas tidak melakukan hal tersebut. Meskipun hakim sudah menjatuhkan vonis 14 tahun penjara tapi hal tersebut masih belum cukup untuk hukuman seorang koruptor yang sudah merugikan negara sampai milyaran rupiah. Perilaku korupsi sudah sangat menggejala dimana-mana. Entah antara pengusaha dan pejabat birokrat yang mempunyai kekuasaan ataupun antar warga masyarakat yang bertaraf ekonomi menengah ke bawah. Dalam perbincangan mengenai beragam topik, hampir tak aneh bila orang-orang selalu saja mendengar kata korupsi. Seolah, menjadi bahasa lumrah dalam setiap perbincangan bila ada berita mengenai korupsi. korupsi di Indonesia sudah membudaya atau tidak, bisa jadi dijawab ya dan tidak. Tapi di sini pertama-tama saya akan menjelaskan kenapa bisa dikatakan tidak. Karena, tidak bisa juga dikatakan korupsi membudaya atau memberi label yang buruk terhadap negara sendiri, karena para leluhur kita mengajarkan untuk selalu bersikap jujur, Nabi Muhammad mengajarkan kita untuk selalu Amanah dapat dipercaya, tabligh bersikap sebagai penyampai bisa diartikan transfaran kepada masyarakat, siddiq yaitu benar, dan fatanah yaitu bijaksana artinya selalu bijaksana dalam memikirkan dan mengambil tindakan. Alasan selanjutnya korupsi ini merupakan tindakan dimana hanya orang terkhusus saja yang melakukan tindakan korupsi tidak semuanya melakukan korupsi. Lalu bagaimana dengan kenyataan sekarang? Berdasarkan realita sekarang bisa dikatakan ya bahwa korupsi itu sudah membudaya. Bagaimana tidak korupsi sekarang makin kentara dan mencolok makin rata menggeroti bagai rayap yang menyerang rumah besar negara ini. Korupsi sudah hampir menerebos di semua lembaga. Kini korupsi bisa diliat dari cara operasinya yang semakin meningkat yang awalnya hanya uang pelicin, pungli, persekongkolan antar pengusaha atau antar pemerintah seperti anggota DPR yang akhirnya menjadi korupsi berjamaah, bahkan ada pula korupsi dimana pelakunya itu keluarga inti. Korupsi sekarang ini sudah melibatkan keluarga, seperti kasus hambalang Nazaruddin bendahara partai demokrat yang melibatkan istrinya, ada juga kasus korupsi yang melibatkan kakak-adik Ratu Atut dan Tubagus Wardana yaitu kasus penyuapan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Muhtar. Jika hukuman terhadap pelaku tindakan korupsi masih lemah maka orang- orang yang pikirannya pendek meskipun berpendidikan tinggi atau beragama Islam tidak segan-segan akan memakan uang rakyat, tanpa berpikir apakah tindakannya sebagai pemerintah misalnya sudah wajar atau tidak. Jika memang korupsi susah dihilangkan setidaknya bisa diminimalisir dengan cara perkuat hukum atau peraturan. Misalnya saja jika seseorang melakukan tindakan korupsi maka seharusnya dipenjara saja sampai seumur hidup dan semua hartanya di sita semua atau menaikkan denda setinggi-tingginya agar dia merasakan efek jera dari perbuatannya tersebut dan bisa merasakan bagaimana jika harta atau uangnya diambil seperti halnya ketika si koruptor tersebut mengambi uang negara tanpa berpikir.