Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TINJAUAN PUSTAKA
I. Fibroadenoma Mammae
Fibroadenoma mammae merupakan neoplasma jinak yang terutama terdapat
pada wanita muda, dan jarang ditemukan setelah menopause. Fibroadenoma
adalah kelainan pada perkembangan payudara normal dimana ada pertumbuhan
berlebih dan tidak normal pada jaringan payudara dan pertumbuhan yang berlebih
dari sel-sel yang melapisi saluran air susu di payudara. Fibroadenoma merupakan
jenis tumor jinak mamma yang paling banyak ditemukan, dan merupakan tumor
primer yang paling banyak ditemukan pada kelompok umur muda.
Etiologi
Penyebab pasti fibroadenoma tidak diketahui. Namun, terdapat beberapa
faktor yang dikaitkan dengan penyakit ini, antara lain peningkatan mutlak
aktivitas estrogen, yang diperkirakan berperan dalam pembentukannya. Selain itu,
diperkirakan terdapat prekursor embrional yang dorman di kelenjar mammaria
yang dapat memicu pembentukan fibroadenoma yang akan berkembang mengikuti
aktivitas ovarium.
Patofisiologi
Fibroadenoma adalah tumor jinak yang menggambarkan suatu proses
hiperplasia dan proliferasi pada satu duktus terminal, perkembangannya
dihubungkan dengan suatu proses aberasi perkembangan normal. Penyebab
proliferasi duktus tidak diketahui, diperkirakan sel stroma neoplastik
mengeluarkan faktor pertumbuhan yang memengaruhi sel epitel. Peningkatan
mutlak aktivitas estrogen, diperkirakan berperan dalam pembentukannya. Kira-
kira 10% fibroadenoma akan menghilang secara spontan tiap tahunnya dan
kebanyakan perkembangan fibroadenoma berhenti setelah mencapai diameter 2-3
cm. Fibroadenoma hampir tidak pernah menjadi ganas.
Fibroadenoma dapat berkembang cepat selama proses kehamilan, pada terapi
pergantian hormon, dan pada orang-orang yang mengalami penurunan kekebalan
imunitas, bahkan pada beberapa kasus, dapat menyebabkan keganasan.
Common Fibroadenoma
6
Common fibroadenoma memiliki ukuran 1-3 cm, disebut juga dengan simpel
fibroadenoma. Sering ditemukan pada wanita kelompok umur muda antara 21-25
tahun. Ketika fibroadenoma dapat dirasakan sebagai benjolan, benjolan itu
biasanya berbentuk oval atau bulat, halus, tegas, dan bergerak sangat bebas.
Sekitar 80% dari seluruh kasus fibroadenoma yang terjadi adalah fibroadenoma
tunggal.
Giant Fibroadenoma
Giant fibroadenoma adalah tumor jinak payudara yang memiliki ukuran dengan
diameter lebih dari 5 cm. Secara keseluruhan insiden giant fibroadenoma sekitar
4% dari seluruh kasus fibroadenoma. Giant fibroadenoma biasanya ditemui pada
wanita hamil dan menyusui. Giant fibroadenoma ditandai dengan ukuran
yang besar dan pembesaran massa enkapsulasi payudara yang cepat. Giant
fibroadenoma dapat merusak bentuk payudara dan menyebabkan tidak simetris
karena ukurannya yang besar, sehingga perlu dilakukan pemotongan dan
pengangkatan terhadap tumor ini.
Juvenile Fibroadenoma
Juvenile fibroadenoma biasa terjadi pada remaja perempuan, dengan insiden 0,5-
2% dari seluruh kasus fibroadenoma. Sekitar 10-25% pasien dengan juvenile
fibroadenoma memiliki lesi yang multiple atau bilateral.18 Tumor jenis ini lebih
banyak ditemukan pada orang Afrika dan India Barat dibandingkan pada orang
Kaukasia. Fibroadenoma mammae juga dapat dibedakan secara histologi antara
lain:
a. Fibroadenoma Pericanaliculare
Yakni kelenjar berbentuk bulat dan lonjong dilapisi epitel selapis atau beberapa
lapis.
b. Fibroadenoma intracanaliculare
Yakni jaringan ikat mengalami proliferasi lebih banyak sehingga kelenjar
berbentuk panjang-panjang (tidak teratur) dengan lumen yang sempit atau
menghilang. Pada saat menjelang haid dan kehamilan tampak pembesaran sedikit
dan pada saat menopause terjadi regresi.
7
Gambar 2.2. Fibroadenoma Gambar 2.3. Common Fibroadenoma (Massa
yang ditunjukkan berbatas tegas )
Gejala Klinis
Gejala klinis yang sering terjadi pada fibroadenoma mammae adalah adanya
bagian yang menonjol pada permukaan payudara, benjolan memiliki batas yang
tegas dengan konsistensi padat dan kenyal. Ukuran diameter benjolan yang sering
terjadi sekitar 1-4 cm, namun kadang dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat
dengan ukuran benjolan berdiameter lebih dari 5 cm. Benjolan yang tumbuh dapat
diraba dan digerakkan dengan bebas. Umumnya fibroadenoma tidak menimbulkan
rasa nyeri atau tidak sakit.
Penatalaksanaan
Operasi eksisi merupakan satu-satunya pengobatan untuk fibroadenoma.
Operasi dilakukan sejak dini, hal ini bertujuan untuk memelihara fungsi payudara
dan untuk menghindari bekas luka. Pemilihan tipe insisi dilakukan berdasarkan
ukuran dan lokasi dari lesi di payudara, terdapat 3 tipe inisisi yang biasa
digunakan, yaitu :
1. Radical Incision, yaitu dengan menggunakan sinar
2. Circumareolar Incision
3. Curve/Semicircular Incision
8
Tipe insisi yang paling sering digunakan adalah tipe radikal. Tipe
circumareolar hanya meninggalkan sedikit bekas luka dan deformitas, tetapi hanya
memberikan pembukaan yang terbatas. Tipe ini digunakan hanya untuk
fibroadenoma yang tunggal dan kecil dan lokasinya sekitar 2 cm di sekitar batas
areola. Semicircular incision biasanya digunakan untuk mengangkat tumor yang
besar dan berada di daerah lateral payudara.
9
pertimbangan utamanya adalah memiliki anestetika ideal. Pemilihan ini
didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anastetika,
jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat
anastetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak mudah terbakar,
stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang baik, kesadaran cepat
kembali.1,7
2.2 Metode anestesi umum
I. Parenteral
Anestesia umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun
intramuskular biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk
induksi anestesia.
II. Perektal
Metode ini sering digunakan pada anak, terutama untuk induksi anestesia
maupun tindakan singkat.
III. Perinhalasi
Yaitu menggunakan gas atau cairan anestetika yang mudah menguap
(volatile agent) dan diberikan dengan O2. Konsentrasi zat anestetika
tersebut tergantung dari tekanan parsialnya; zat anestetika disebut kuat
apabila dengan tekanan parsial yang rendah sudah mampu memberikan
anestesia yang adekuat.6
10
Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan
darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan
sebagian kembali melalui vena.
Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam
darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan
seimbang.
Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.
C. Faktor Jaringan
Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan
Koefisien partisi jaringan/darah
Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan kaya
pembuluh darah/JKPD, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan
sedikit pembuluh darah/JSPD)
D. Faktor Zat Anestetika
Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC
(Minimal Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat anestetika
dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon)
terhadap rangsang rasa sakit. Semakin rendah nilai MAC, semakin poten zat
anestetika tersebut.6
E. Faktor Lain
Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi
Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan
pendalaman anestesia
Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga
pendalaman anestesia semakin cepat.6
11
b. Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya
kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.
c. Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang,
terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil
midriasis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring
dan muntah tidak ada, dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang
sempurna. (tonus otot mulai menurun).
Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi
di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi
otot sedang, dan refleks laring hilang sehingga dikerjakan intubasi.
Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal
mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral,
refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir
sempuma (tonus otot semakin menurun).
Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal
paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks
sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik
sempuma (tonus otot sangat menurun).
d. Stadium IV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. pada stadium ini tekanan
darah tak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi
kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi
dengan pernapasan buatan.
12
6.2 Kekurangan anestesi umum :
Memerlukan beberapa derajat persiapan pra operasi pasien
Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah,
sakit tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan memerlukan masa untuk
fungsi mental yang normal
Terkait dengan hipertermia di mana paparan beberapa (tetapi tidak semua)
agen anestesi umum menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi
mematikan, hiperkarbia, asidosis metabolik, dan hiperkalemia.
b. Komplikasi Respirasi
Obstruksi jalan nafas
Batuk
Cekukan (hiccup)
Intubasi endobronkial
Apnoe
13
Atelektasis
Pneumotoraks
Muntah dan regurgitas
c. Komplikasi Mata
Laserasi kornea, menekan bola mata terlalu kuat
d. Komplikasi Neurologi
Konvulsi, terlambat sadar, cedera saraf tepi (perifer)
e. Perubahan Cairan Tubuh
Hipovolemia, Hipervolemia
f. Komplikasi Lain-Lain
Menggigil, gelisah setelah anestesi, mimpi buruk, sadar selama operasi,
kenaikan suhu tubuh.7
14
Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin
dapat menjadi penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi,
diabetes mellitus, penyakit paru-paru kronik (asma bronchial,
pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (infark
miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan
penyakit ginjal.
Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya
kortikosteroid, obat antihipertensi, obat-obat antidiabetik, antibiotika
golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti digitalis,
diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor,
bronkodilator.
Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu,
berapa kali, dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami
komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif
pasca bedah.
Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi
jalannya anestesi seperti: merokok dan alkohol.1,7
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi,
tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui
apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan
kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua
sistem organ tubuh pasien.1,7
c. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang
mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk
bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan
dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada
anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek semacam ini harus
15
dikaji ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-
uji semacam ini.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi
yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes mellitus, induksi tidak
menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia. Pada penyakit
paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan teknik analgesia
regional daripada anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru
pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan
terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.
1,7
16
II Pasien dengan penyakit sistemik Hipertensi esensial,
ringan diabetes ringan
III Pasien dengan penyakit sistemik Angina, insufisiensi
berat yang tidak melemahkan pulmoner sedang
(incapacitating) sampai berat
IV Pasien dengan penyakit sistemik Penyakit paru
yang melemahkan dan merupakan stadium lanjut, gagal
ancaman konstan terhadap jantung
kehidupan
V Pasien sekarat yang diperkirakan Ruptur aneurisma
tidak bertahan selama 24 jam aorta, emboli paru
dengan atau tanpa operasi massif
E Kasus-ksus emergensi diberi
tambahan hurup E ke angka.
Tabel 1. Klasifikasi ASA dari status fisik
Skor Mallampati
Skor Mallampati adalah suatu perkiraan kasar dari ukuran relatif lidah
terhadap rongga mulut yang digunakan untuk memperkirakan tingkat
kesulitan intubasi. Skor Mallampati ditentukan dengan melihat anatomi
dari rongga mulut, khususnya berdasarkan visibilitas dari dasar uvula,
arkus tonsilaris anterior dan posterior, dan palatum mole. Semakin tinggi
skor mallampati, semakin tinggi pula tingkat kesulitan untuk dilakukan
intubasi.1
Kelas 1 tonsil, palatum mole, dan uvula terlihat jelas seluruhnya
17
Tabel 2. Klasifikasi skor mallampati
19
Berfungsi untuk menurunkan tekanan gas pasok yang masih tinggi, sesuai
karakteristik mesin anestesi.
4. Meter aliran gas (flowmeter), untuk mengatur aliran gas setiap menitnya.
5. Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers), dapat tersedia satu, dua,
tiga, sampai empat.
6. Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)
7. Kendali O2 darurat (oxygen flush control)
Berfungsi untuk keadaan darurat yang dapat mengalirkan O2 murni sampai 35-
37 liter/menit tanpa melalui meter aliran gas.
Tabung gas beserta alat tambahannya dan penguap diberi warna khusus untuk
menghindari kecelakaan yang mungkin timbul. Kode warna internasional yang telah
disepakati ialah:
Sirkuit anestesi
Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi ialah alat yang
bukan saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari mesin ke jalan
napas atas pasien, tetapi juga harus sanggup membuang CO2 dengan
mendorongnya dengan aliran gas segar atau dengan menghisapnya dengan kapur
soda.
Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:
1. Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea
2. Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring valve,
pop-off valve, APL, adjustable pressure limiting valve)
3. Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube)
4. Bahan karet hitam (karbon) atau plastik transparent anti statik, anti
tertekuk
5. Kantong cadang (reservoir bag)
6. Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet).
Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan gas yang
mendadak tinggi, katup membatasi tekanan sampai 50 cm H2O.
Sirkuit anestesi yang popular sampai saat ini ialah sirkuit lingkar (circle
system), sirkuit Magill, sirkuit Bain, dan system pipa T atau pipa Y dari Ayre.
20
Sungkup muka
Pemakaian sungkup muka berguna untuk menyalurkan oksigen atau gas
anestesi ke pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup. Dengan sungkup trasparan
berguna untuk obervasi kelembapan udara yang diekshalasi dan mengetahui jika
pasien muntah. Sungkup karet hitam dapat digunakan untuk mengadaptasi struktur
muka yang tidak biasa.
Ventilasi efektif memerlukan baik sungkup yang kedap udara dan jalan
nafas yang baik. Teknik sungkup muka yang salah dapat berakibat deflasi yang
berkelanjutan pada reservoir bag saat katup tekanan ditutup, biasanya
mengindikasikan adanya kebocoran di sekitar sungkup. Sebaliknya pembentukan
tekanan pernapasan yang tinggi dengan gerakan dada minimal dan suara
pernafasan menandakan obstruksi jalan nafas.
Sungkup dipegang melawan muka dengan tekanan ke bawah pada badan
sungkup dilakukan dengan jempol kiri dan jari telunjuk. Jari tengah dan manis
memegang mandibula untuk membantu ekstensi sendi atlantooksipital. Jari
kelingking diletakkan di bawah sudut rahang dan digunakan untuk menahan dagu
ke depan, maneuver paling penting untuk ventilasi pasien.
21
Gambar 2. Face mask atau sungkup wajah (kiri) dan Jackson-Rees Sirkuit
22
Gambar 3. ETT berbagai ukuran dan Laringoskop
23
Gambar 4. LMA dan cara pemasangannya
24
dengan intubasi oral tetapi memiliki perbedaan di jalur masuk alat yaitu melalui
hidung atau nasofaring kemudian menuju orofaring. Memasukkan NTT dibantu
dengan pemberian lubrikan/lidokain gel, pipa secara berangsur-angsur
dimasukkan hingga ujungnya terlihat di orofaring melalui laringoskop. Jika
terdapat kesulitan dalam memasukkan ujung pipa menuju pita suara dapat dibantu
dengan menggunakan forcep Magil yang dilakukan dengan hati-hati agar tidak
merusak balon. Memasukkan pipa nasal berbahaya pada pasien dengan trauma
wajah yang berat disebabkan adanya resiko masuk ke intracranial.
25
I : Introducer Mandrin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea mudah
dimasukkan
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
S : Suction Penyedot lender, ludah, dan lain-lainnya
Tabel 4. Persiapan induksi anastesi
2. Anestetik intravena
Beberapa obat anestetik diberikan secara intravena baik tersendiri maupun
dalam bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya untuk mempercepat tercapainya
stadium anestesi atau pun sebagai obat penenang pada penderita gawat darurat
yang mendapat pernafasan untuk waktu yang lama, Yang termasuk :
Barbiturat (tiopental, metoheksital)
Benzodiazepine (midazolam, diazepam)
Opioid analgesik dan neuroleptik
Obat-obat lain (profopol, etomidat)
Ketamin, arilsikloheksilamin yang sering disebut disosiatif
anestetik.
26
induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan
selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan kepekatan
2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak
dan manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi.
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan
dosis 2-3 mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri,
sehingga satu menit sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/kgBB secara
intravena.
Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan
ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan
menggunakan sedativa seperti midasolam (dormikum). Ketamin tidak dianjurkan
pada pasien dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah > 160 mmHg). Ketamin
menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.
27
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang
dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
4.1 Induksi per rektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam.
Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata
disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.
28
tonus otot; serta obat analgetik narkotik yang dapat menyebabkan efek depresan
pada pernafasan.tanda yang paling dapat diandalkan untuk mencapai stadium
operasi adalah hilangnya refleks kelopak mata dan adanya pernapasan yang dalam
dan teratur.
29
3. Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali
Teknik induksi anestesi dan intubasi sama seperti diatas.
Nafas dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila
menggunakan respirator setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan + 10
ml/kgBB dengan frekuensi 10/14 per menit. Apabila nafas dikendalikan secara
manual, harus diperhatikan pergerakan dada kanan dan kiri yang simetris.
Menjelang akhir operasi setelah menjahit lapisan otot selesai diusahakan nafas
spontan dengan membantu usaha nafas sendiri secara manual. Halotan dapat
dihentikan sesudah lapisan fasi kulit terjahit. N2O dihentikan kalau lapisan
kulit mulai dijahit.
Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali dengan
volume tidal 300 ml. O2 diberi terus 5-6 L selama 2-3 menit untuk mencegah
hipoksia difusi.
4. Ekstubasi
Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak
disertai batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas,
hipoksia sianosis.4,6
30
sevofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu
(assisted), atau dikendalikan (controlled). 4,6
Skor Aldrete
Skor aldrete adalah suatu kriteria untuk menilai keadaan pasien selama
observasi di ruang pemulihan (recovery room) yang digunakan untuk menentukan
boleh tidaknya pasien dikeluarkan dari ruang pemulihan. Kriteria yang digunakan
dan umumnya yang dinilai pada saat observasi di ruang pulih adalah warna kulit
atau saturasi O2, kesadaran, sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik. Idealnya,
pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor total adalah 10 (skor maksimal).
Namun, bila skor total telah di atas 8 , pasien boleh keluar dari ruang pemulihan.
4,6
Kriteria Skor
Kesadaran
Sadar penuh 2
Terangsang oleh stimulus verbal 1
Tidak terangsang oleh stimulus verbal 0
Respirasi
Dapat bernapas dalam dan batuk 2
Dispnea atau hanya dapat bernapas dangkal 1
Tidak dapat bernapas tanpa bantuan (apnea) 0
Tekanan Darah
Berbeda 20% dari tekanan darah sebelum operasi 2
Berbeda 20 50% dari tekanan darah sebelum operasi 1
Berbeda > 50% dari tekanan darah sebelum operasi 0
Oksigenasi
31
SpO2 > 92% pada udara ruangan 2
Memerlukan O2 tambahan untuk mencapai SpO2 > 90% 1
SpO2 < 90% meskipun telah mendapat O2 tambahan 0
Tabel 5. Aldretes Score
32