Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
MORBUS HANSEN
Oleh :
Preseptor:
2017
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Morbus Hansen (MH), yang dikenal juga dengan sebutan kusta dan lepra,
adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan
bermanifestasi pada kulit, saraf perifer, mukosa saluran nafas atas, dan mata.1,2,3
1.2 Etiologi
Morbus Hansen disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae. Kuman ini
merupakan gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora, tahan asam, berbentuk
batang, dengan ukuran 1-8, lebar 0,2-0,5 , biasanya berkelompok dan ada yang
tersebar satu-satu. Bakteri ini yang terutama berkembangbiak dalam sel Schwann
saraf, makrofag kulit, dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Distribusi lesi
yang secara klinik predominan pada kulit, mukosa hidung, dan saraf perifer
superfisial menunjukkan pertumbuhan basil ini cenderung menyukai temperatur
kurang dari 37C. Masa belah diri kuman ini memerlukan waktu yang sangat lama
dibandingkan dengan kuman lain yaitu 12-21 hari, oleh karena itu masa tunas
menjadi lama yaitu rata-rata 2-5 tahun.2
1.3 Epidemiologi
Secara internasional, menurut WHO, prevalensi di seluruh dunia pada awal
tahun 2010 adalah 192.246 kasus. Sementara itu, data WHO pada tahun 2013
menunjukkan penurunan prevalensi MH menjadi 180.618 kasus, namun pada tahun
yang sama, dilaporkan 215.656 kasus baru. Eliminasi MH secara global sebenarnya
telah tercapai pada tahun 2000 (prevalensi kurang dari 1 per 10.000 orang). Dari data
Kemenkes RI tahun 2012, kasus baru Morbus Hansen di Indonesia pada tahun 2011
sebesar 20.023.3,4
1.4 Klasifikasi
Terdapat beberapa jenis klasifikasi MH sebagaimana yang tertera pada tabel
berikut ini.1
Tabel 2.1 Klasifikasi Morbus Hansen1
Madrid Ridley-Jopling WHO
Tuberkuloid Tuberkuloid polar (TT) Pausibasiler (PB)
Tuberkuloid Indefinite
(Ti)
Borderline Tuberkuloid
(BT)
Borderline Mid Borderline (BB) Multibasiler (MB
Borderline Lepromatous
(BL)
Lepromatous indefinite
(Li)
Lepromatosa Lepromatosa polar (LL)
Tuberculoid polar (TT) dan lepromatous polar (LL) merupakan tipe yang
stabil dan tidak mungkin berubah.Sedangkan borderline tuberculoid (BT), mid
borderline (BB), dan borderline lepramatous (BL) merupakan bentuk yang tidak
stabil sehingga dapat berubah tipe sesuai derajat imunitas.Tipe indeterminate (I) tidak
dimasukkan ke dalam spektrum.4,5,6
Klasifikasi WHO ditentukan oleh jumlah basil yang ditemukan dari
pemeriksaan slit skin smear.Tipe TT dan BT memiliki jumlah BTA yang rendah oleh
karena itu diklasifikasikan ke dalam pausibasilar. Sementara tipe BB, BL, dan LL
memiliki jumlah BTA yang tinggi sehingga diklasifikasikan ke dalam multibasilar.4
1.6 Patogenesis
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M.leprae, disamping
itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai
fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman
dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktifitas regenerasi saraf berkurang dan
terjadi kerusakan saraf yang progresif.2,6 Meskipun cara masuk M.leprae ke dalam
tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan
bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu
dingin dan melalui mukosa nasal. Bila kuman masuk kedalam tubuh maka tubuh akan
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala
yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi
dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang
sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta disebut sebagai
Seseorang yang terinfeksi M.leprae gejala klinis yang akan timbul tgejala
klinis yang akan timbul tergantung dari respon tubuh terhadap mikroorganisme
tersebut. Apabila imunitas seluler orang tersebut bagus dan kuat, maka gejala klinis
yang terjadi adalah MH tipe tuberkuloid. Apabila imunitas selulernya lemah, maka
Kuman masuk ke dalam tubuh melalui kontak langsung dengan kulit penderita
atau melalui inhalasi, kemudian masuk melalui pembuluh limfe dan darah kemudian
Apabila imunitas seluler penderita tersebut tinggi ditandai dengan uji lepromin
yang positif maka dalam waktu yang singkat sel-sel radang akan datang ke sekitar
makrofag atau sel Schwann tersebut. Tujuan sel radang tersebut adalah memfagosit
Namun, efek samping dari peradangan tersebut akan menyebabkan penekanan pada
saraf sehingga proses anestesinya terjadi lebih cepat dan berat. Peradangan yang
terjadi hanya sekitar sel Schwann yang terbatas pada saraf kulit saja, tidak masuk ke
pembuluh darah sehingga lesinya sedikit dan asimetris, berbatas tegas karena dibatasi
oleh sel radang, kelenjar ekrin dan pilosebaseus akan tertekan yang menyebabkan
Sistem imun seluler yang rendah dan ditandai dengan uji lepromin negative,
maka proses fagositasis yang terjadi lemah, sehingga kuman akan bermultiplikasi
lebih banyak di dalam sel makrofag atau sel Schwann. Makrofag akan berubah
menjadi sel Virchow atau Foam cell yang mengandung banyak kuman basil. Apabila
kuman basil sudah terlalu banyak Foam cell akan pecah sehingga kuman basil akan
keluar, lalu di tangkap oleh sel Schwann yang lain sehingga terjadi penyebaran sesuai
dengan jaras saraf tepi. Kemudian kuman basil akan masuk kedalam aliran darah dan
menimbulkan lesi pada kulit dengan jumlah banyak, simteris, batas tegas, dengan
Pada MH tipe ini klinisnya berada di antara tipe tuberkuloid dan lepromatosa.
Karena pemeriksaan slit skin smear tidak selalu tersedia, maka pada tahun
1995 WHO menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan lesi di kulit dan
kerusakan saraf.3
Tabel 2.2 Klasifikasi Klinis Kusta Berdasarkan WHO 19953
PB MB
1.Lesi kulit (makula 1-5 lesi > 5 lesi
yang datar, papul yang Hipopigmentasi/eritema Distribusi simetris
meninggi, infiltrat, plak Distribusi tidak simetris
eritem, nodus)
1.8 Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta didasarkan pada penemuan gejala-
gejala utama atau Cardinal signs, yaitu :
a. Lesi kulit yang mati rasa
Kelainan kulit dapat berupa bercak keputih-putihan (hipopigmentsi) atau
kemerahan (eritematous) yang mati rasa.
b. Penebalan saraf yang disertai dengan gangguan fungsi
Penebalan gangguan fungsi saraf yang terjadi merupakan akibat dari
peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer) dan tergantung area yang dilayani
oleh saraf tersebut, dan dapa berupa:
- Gangguan fungsi sensorik : mati rasa/ kurang rasa
- Gangguan fungsi motorik : paresis atau paralysis
- Gangguan fungsi otonom : kulit kering.
c. Basil tahan asam (BTA)
Bahan pemeriksaan diambil dari kerokan kulit (skin smear) pada cuping telinga
serta bagian aktif suatu lesi kulit. Bila pada kulit atau saraf seseorang ditemukan
kelainan yang tidak khas untuk penyakit kulit lain dan menurut pengalaman
kemungkinan besar mengarah ke kusta, maka kita dapat menetapkan seseorang
tersebut sebagai suspek kusta.
Untuk menegakkan diagnosis kusta, diperlukan paling sedikit satu tanda
utama.Tanpa tanda utama, seseorang hanya boleh ditetapkan sebagai tersangka
(suspek) kusta.
Saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri atau
tidak. Gejala-gejala kerusakan saraf adalah :
N. ulnaris :
a. Anestesi pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
b. Clawing kelingking dan jari manis
c. Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis media.
N. medianus:
a. Anesteshia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tangah.
b. Tidak mampu aduksi ibu jari.
c. Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah.
d. Ibu jari kontraktur.
e. Trofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
N. Radialis:
a. Anesthesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk.
b. Tangan gantung
c. Tak mampu ekstensi jari-jari
N. Poplitea lateralis:
a. Anesthesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis.
b. Kaki gantung
c. Kelemahan otot peroneus.
N. Tibialis Posterior:
a. Anesthesia telapak kaki
b. Claw toes
c. Paralisis otot intrinsic kaki dan kolaps arkus pedis.
N.Facialis:
a. Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus.
b. Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengatupkan bibir.
N. Trigeminus:
a. Anesthesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.
3. Pemeriksaan serologik1
a. Tes ELISA
b. Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Partikel Aglutination)
c. ML dipstick
1.10 Pengobatan
Paket terapi multiobat (MDT/Multi Drug Therapy)1,4
Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan
merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar.Yang pertama adalah
pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin,
dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan
rifampisin dan dapson
Keterangan:
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum diminum didepan petugas)
2 kapsul rifampisin @ 300mg (600 mg)
1 tablet dapson/DDS 100mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
1 tablet dapson/DDS100 mg
Satu blister untuk satu bulan, dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan.
Keterangan:
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)
3 tablet lampren @ 100mg (300 mg)
1 tablet dapson/DDS 100 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
1 tablet lampren50 mg
1 tablet dapson/DDS 100 mg
satu blister untuk satu bulan. Dibutuhkan 6 blister ya g diminum selam 6-9
bulandosis MDT MB untuk anak (10-15 tahun).
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminumdi depan petugas)
2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)
1 tablet dapson/DDS 50 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
1 tablet lampren 50 mg selang sehari
1 tablet dapson/DDS 50 mg
Satu blister untuk satu bulan.dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18 bulan
Monitoring dan Evaluasi Pengobatan
1. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat
2. Apabila pasien terlambat mengambil obat, paling lama dalam satu bulan harus
dilakukan pelacakan
3. RFT dapat dinyatakn setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan
labolatorium. Setelah RFT pasien dikeluarkan dari register kohort
4. Pasien yang sudah RFT namun memiliki faktor risiko:
Cacat tingkat 1 atau 2
Pernah mengalami reaksi
BTA pada awal pengobatan posisitf >3 (ada nodul atau infiltrat) dilakukan
pengamatan secara resmi
5. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9
bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium
6. Selama pengobatan PB, pemeriksaan klinis setiap bulan dan bakterioskopis
setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan minimal dilakukan setiap
tahun selama 2 tahun, jika tidak ada keaktivan baru secara klinis dan
bakterioskopis maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut release from
control (RFC)
7. Pasien MB yang telah mendapatkan pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam
waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium
8. Setelah RFT dilakukan tindak lanjut (tanpa pengobatan) pada MB secara klinis
dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Jika bakterioskopis
tetap negatif dan klinis keaktifan baru, maka dinyatakan RFC
9. Penderita MB yang resisten terhadap rifampisin biasanya akan resisten pula
dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin (lampren). Dalam hal ini
rejimen pengobatan menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan
minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan, diteruskan klofazimin 50 mg
ditambah ofloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg setiap hari selama 18 bulan.
10. Default
Jika seorang pasien PB tidak mengambil minum obatnya lebih dari 3 bulan dan
pasien MB lebih dari 6 bulan secara kumulatif (tidak mungkin baginya untuk
memnyelesaikan pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), maka yang
bersangkutan dinyatakan default
11. Relaps/kambuh
Pasien dinyatakan relaps bila setelah RFT timbul lesi baru pada kulit.untuk
menyatakanrelaps harus dikonfirmasikan kepada dokter kusta yang memiliki
kemampuan klinis dalam mendiagnosis relaps. Untuk relaps MB jika
pemeriksaan ulang BTA setelah RFT terjadi peningkatan IB 2+ atau lebih bila
dibandingkan dengan saat diagnosis. Pasien tersangka relaps sebaiknya
dikonsultasikan/dirujuk untuk mendapat kepastian diagnosis sebelum diobati.
12. Indikasi pengeluaran pasien dari register kohort adalah: RFT, meninggal, pindah,
salah diagnosis, ganti klasifikasi, default.
13. Pada keadaan-keadaan khusus (misalnya akses yang sulit ke pelayanan
kesehatan) dapat diberikan sekaligus beberapa blister disertai dengan penyuluhan
lengkap mengenai efek samping, tanda-tanda reaksi, agar secepatnya kembali
kepelayanan kesehatan.
Kulit Lesi kulit yang telah ada Lesi yang telah ada menjadi
dan menjadi eritematosa. eritematosa, timbul lesi baru
yang kadang-kadang disertai
panas dan malaise
Kulit dan saraf Lesi yang telah ada menjadi Lesi kulit yang eritematosa
lebih eritematosa, nyeri pada disertai ulserasi atau edem
saraf berlangsung kurang pada tangan / kaki. Saraf
dari 6 minggu. membesar, nyeri, dan
fungsinya terganggu,
Berlangsung sampai 6 minggu
atau lebih.
REAKSI TIPE 2
Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Seorang laki-laki berusia 32 tahun datang sendiri ke Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 3 Mei 2017 dengan:
2.2.1 KeluhanUtama
Bercak-bercak kemerahan yang menebal di kedua tangan, lengan, tungkai dan
kedua kaki yang mati rasa sejak 3 bulan yang lalu
I. PemeriksaanFisik
Status Generalis
Keadaan Umum : baik
Kesadaraan : komposmentis kooperatif
Tekanan darah : 120/80
Nadi : 88x/menit
Napas : 16x/menit
Suhu : afebris
Berat badan : 49 kg
Tinggi badan : 167 cm
Status gizi : kurang
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Kuku : Tidak ditemukan kelainan
KGB : Tidak ada perbesaran KGB
Pemeriksaan Thorak : Dalam batas normal
Pemeriksaan Abdomen : Dalam batas normal
Status Dermatologikus
Lokasi : punggung tangan kiri dan kanan, lengan bawah
kiri dan kanan, tungkai atas bagian depan kiri
dan kanan, tungkai bawah kiri dan kanan,
punggung dan telapak kaki kiri dan kanan
Distribusi : regional, bilateral asimetris
Bentuk : tidak khas
Susunan : tidak khas
Batas : tegas, tidak tegas
Ukuran : numular, plakat
Efloresensi : plak eritem, makula hipopigmentasi, skuama
keputihan
Pemeriksaan Sensibilitas
Rasa raba : anestesi pada lesi
Rasa tusuk : anestesi pada lesi
Rasa suhu : anestesi pada lesi
Kelainan Lain-lain
Kontraktur : (-)
Mutilasi : (-)
Absorbsi : (-)
Atrofi otot : (-)
Xerosis kutis : Ada
Ulkus trofik : (-)
Madarosis : (-)
Lagophtalmus : (-)
Claw hand : (-)
Ape hand : (-)
Wrist drop : (-)
Dropped foot : (-)
Fasies lenonina : (-)
Gambaran Klinis
V. Diagnosis
VI. Penatalaksanaan
Terapi
Umum :
- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, kemungkinan penyebab,
perjalanan penyakit, jenis dan cara penggunaan obat yang benar
- Menjelaskan pada pasien mengenai pencegahan dan perawatan kecacatan
Khusus :
Rifampisin 600 mg tiap bulan
DDS 100 mg/ hari
Klofazimin 300 mg setiap bulan, diteruskan 50 mg/hari
Pengobatan diberikan sebanyak 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan
VII. Pognosis
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad kosmetikum : dubia ad bonam
Quo ad functionum : dubia ad bonam
BAB 3
DISKUSI
DAFTAR PUSTAKA
1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta.
Dalam: Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh.
Juni 2015.