Вы находитесь на странице: 1из 28

Case Report Session

MORBUS HANSEN

Oleh :

Prima Dewi Yuliani

Larisa Rahana Putri

Preseptor:

Dr.dr.Satya Wydya Yenny, Sp.KK(K), FINSDV FAADV

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR M. DJAMIL PADANG

2017
BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Morbus Hansen (MH), yang dikenal juga dengan sebutan kusta dan lepra,
adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan
bermanifestasi pada kulit, saraf perifer, mukosa saluran nafas atas, dan mata.1,2,3

1.2 Etiologi
Morbus Hansen disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae. Kuman ini
merupakan gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora, tahan asam, berbentuk
batang, dengan ukuran 1-8, lebar 0,2-0,5 , biasanya berkelompok dan ada yang
tersebar satu-satu. Bakteri ini yang terutama berkembangbiak dalam sel Schwann
saraf, makrofag kulit, dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Distribusi lesi
yang secara klinik predominan pada kulit, mukosa hidung, dan saraf perifer
superfisial menunjukkan pertumbuhan basil ini cenderung menyukai temperatur
kurang dari 37C. Masa belah diri kuman ini memerlukan waktu yang sangat lama
dibandingkan dengan kuman lain yaitu 12-21 hari, oleh karena itu masa tunas
menjadi lama yaitu rata-rata 2-5 tahun.2

1.3 Epidemiologi
Secara internasional, menurut WHO, prevalensi di seluruh dunia pada awal
tahun 2010 adalah 192.246 kasus. Sementara itu, data WHO pada tahun 2013
menunjukkan penurunan prevalensi MH menjadi 180.618 kasus, namun pada tahun
yang sama, dilaporkan 215.656 kasus baru. Eliminasi MH secara global sebenarnya
telah tercapai pada tahun 2000 (prevalensi kurang dari 1 per 10.000 orang). Dari data
Kemenkes RI tahun 2012, kasus baru Morbus Hansen di Indonesia pada tahun 2011
sebesar 20.023.3,4

1.4 Klasifikasi
Terdapat beberapa jenis klasifikasi MH sebagaimana yang tertera pada tabel
berikut ini.1
Tabel 2.1 Klasifikasi Morbus Hansen1
Madrid Ridley-Jopling WHO
Tuberkuloid Tuberkuloid polar (TT) Pausibasiler (PB)
Tuberkuloid Indefinite
(Ti)
Borderline Tuberkuloid
(BT)
Borderline Mid Borderline (BB) Multibasiler (MB
Borderline Lepromatous
(BL)
Lepromatous indefinite
(Li)
Lepromatosa Lepromatosa polar (LL)

Tuberculoid polar (TT) dan lepromatous polar (LL) merupakan tipe yang
stabil dan tidak mungkin berubah.Sedangkan borderline tuberculoid (BT), mid
borderline (BB), dan borderline lepramatous (BL) merupakan bentuk yang tidak
stabil sehingga dapat berubah tipe sesuai derajat imunitas.Tipe indeterminate (I) tidak
dimasukkan ke dalam spektrum.4,5,6
Klasifikasi WHO ditentukan oleh jumlah basil yang ditemukan dari
pemeriksaan slit skin smear.Tipe TT dan BT memiliki jumlah BTA yang rendah oleh
karena itu diklasifikasikan ke dalam pausibasilar. Sementara tipe BB, BL, dan LL
memiliki jumlah BTA yang tinggi sehingga diklasifikasikan ke dalam multibasilar.4

1.6 Patogenesis
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M.leprae, disamping

itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai
fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman

dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktifitas regenerasi saraf berkurang dan

terjadi kerusakan saraf yang progresif.2,6 Meskipun cara masuk M.leprae ke dalam

tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan

bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu

dingin dan melalui mukosa nasal. Bila kuman masuk kedalam tubuh maka tubuh akan

bereaksi dengan mengeluarkan makrofag untuk memfagositnya.2

M. Leprae mempunyai patogenesis dan daya invasi yang rendah, sebab

penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala

yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi

dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang

menggunggah timbulanya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat

sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta disebut sebagai

penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi

selularnya daripada intensitas infeksinya5.

Seseorang yang terinfeksi M.leprae gejala klinis yang akan timbul tgejala

klinis yang akan timbul tergantung dari respon tubuh terhadap mikroorganisme

tersebut. Apabila imunitas seluler orang tersebut bagus dan kuat, maka gejala klinis

yang terjadi adalah MH tipe tuberkuloid. Apabila imunitas selulernya lemah, maka

gejala klinisnya adalah MH tipe lepramatosa.5


Patogenesis MH tipe tuberkuloid

Kuman masuk ke dalam tubuh melalui kontak langsung dengan kulit penderita

atau melalui inhalasi, kemudian masuk melalui pembuluh limfe dan darah kemudian

mencapai target dari basal antara lain :3

1. Sel Schwann saraf tepi

2. Sel endotel pembuluh darah

3. Sel pericytes pembuluh darah

4. Sel monosit dan makrofag

Apabila imunitas seluler penderita tersebut tinggi ditandai dengan uji lepromin

yang positif maka dalam waktu yang singkat sel-sel radang akan datang ke sekitar

makrofag atau sel Schwann tersebut. Tujuan sel radang tersebut adalah memfagosit

kuman-kuman dan mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan kuman M. leprae.

Namun, efek samping dari peradangan tersebut akan menyebabkan penekanan pada

saraf sehingga proses anestesinya terjadi lebih cepat dan berat. Peradangan yang

terjadi hanya sekitar sel Schwann yang terbatas pada saraf kulit saja, tidak masuk ke

pembuluh darah sehingga lesinya sedikit dan asimetris, berbatas tegas karena dibatasi

oleh sel radang, kelenjar ekrin dan pilosebaseus akan tertekan yang menyebabkan

keringat berkurang, kulit kering dan rambut kulit tidak ada.3

Patogenesis MH tipe lepramatosa

Sistem imun seluler yang rendah dan ditandai dengan uji lepromin negative,

maka proses fagositasis yang terjadi lemah, sehingga kuman akan bermultiplikasi

lebih banyak di dalam sel makrofag atau sel Schwann. Makrofag akan berubah

menjadi sel Virchow atau Foam cell yang mengandung banyak kuman basil. Apabila
kuman basil sudah terlalu banyak Foam cell akan pecah sehingga kuman basil akan

keluar, lalu di tangkap oleh sel Schwann yang lain sehingga terjadi penyebaran sesuai

dengan jaras saraf tepi. Kemudian kuman basil akan masuk kedalam aliran darah dan

menimbulkan lesi pada kulit dengan jumlah banyak, simteris, batas tegas, dengan

anestesi yang lama terjadi.3

Patogenesis MH tipe Borderline

Pada MH tipe ini klinisnya berada di antara tipe tuberkuloid dan lepromatosa.

1.7 Manifestasi klinis


Secara klinis, sifat lesi (jumlah, morfologi, distribusi, permukaan, anestesia)
dan kerusakan saraf dapat mengarahkan kita untuk menegakkan diagnosis kearah
tuberkuloid atau lepromatosa. Semakin ke arah tuberkuloid, biasanya ditandai
dengan lesi berbentuk makula saja / makula yang dibatasi infiltrat dengan permukaan
kering bersisik, anestesia jelas, berjumlah 1-5, tersebar asimetris, kerusakan saraf
biasanya terlokalisasi sesuai letak lesinya. Di sisi lain, semakin mengarah ke tipe
lepromatosa, lesi akan lebih polimorfik (makula, infiltrat difus, papul, nodus) dengan
permukaan yang halus berkilat, anestesia tidak ada sampai tidak jelas, berjumlah
banyak (>5 lesi), dan biasanya tersebar simetris, kerusakan saraf biasanya lebih luas.
4,6

Karena pemeriksaan slit skin smear tidak selalu tersedia, maka pada tahun
1995 WHO menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan lesi di kulit dan
kerusakan saraf.3
Tabel 2.2 Klasifikasi Klinis Kusta Berdasarkan WHO 19953
PB MB
1.Lesi kulit (makula 1-5 lesi > 5 lesi
yang datar, papul yang Hipopigmentasi/eritema Distribusi simetris
meninggi, infiltrat, plak Distribusi tidak simetris
eritem, nodus)

2.Kerusakan saraf Hilangnya sensasi yang Hilangnya sensasi


(menyebabkan hilangnya jelas kurang jelas
sensasi/kelemahan otot Hanya satu cabang Banyak cabang saraf
yang dipersarafi oleh saraf
saraf yang terkena)

1. Tipe Tuberkuloid (TT)


Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa,
dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan
lesi yang regrasi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang
meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata.Dapat
disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa
gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman merupakan tanda
terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman MH.1,7,8
2. Tipe Boderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang
sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid.
Gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit
biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.1
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum
penyakit MH.Merupakan bentuk dimorfik.Lesi dapat berupa makula infiltratif,
permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang
melebihi tipe BT dan cenderung simetris.Lesi sangat bervariasi baik dalam ukuran,
bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri
khas tipe ini. 1,9
4. Tipe Borderline Lepromatous (BL)
Lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan
dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi
bentuknya. Papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris
dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah
sering tampak normal dengan bagian pinggir dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan
dengan pingir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched out.1
Tanda-tanda kerusakan saraf berupa kerusakan sensasi, hipopigmentasi,
berkurangnya keringat, dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan
dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat-tempat penebalan saraf.1
5. Tipe Lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa,
berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan
anhidrosis.Distribusi lesi khas, yakni di wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping
telinga, sedangkan di badan mengenai bagian yang dingin, lengan, punggung tangan,
dan permukaan ekstensor tungkai bawah.1
Pada stadium lanjut terdapat penebalan kulit yang progresif, cuping telinga
menebal, garis muka menjadi kasar, dan cekung membentuk facies leonina yang
dapat disertai dengan madarosis, iritis, keratitis.Lebih lanjut dapat terjadi deformitas
hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat
terjadi atrofi testis.1
Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove
anaesthesia.Bila menjadi progresif, muncul makula dan papula baru sedangkan lesi
lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer
mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan
otot tangan dan kaki.1
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe
dari penyakit tersebut.yaitu:8,9,10
a. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia
b. Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin
melebar dan banyak.
c. Adanya pelebaran saraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, auricularis,
magnus serta peroneus.
d. Kelenjar keringat kurang bekerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.
e. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit
f. Alis rambut rontok
g. Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leonina (muka singa).

1.8 Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta didasarkan pada penemuan gejala-
gejala utama atau Cardinal signs, yaitu :
a. Lesi kulit yang mati rasa
Kelainan kulit dapat berupa bercak keputih-putihan (hipopigmentsi) atau
kemerahan (eritematous) yang mati rasa.
b. Penebalan saraf yang disertai dengan gangguan fungsi
Penebalan gangguan fungsi saraf yang terjadi merupakan akibat dari
peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer) dan tergantung area yang dilayani
oleh saraf tersebut, dan dapa berupa:
- Gangguan fungsi sensorik : mati rasa/ kurang rasa
- Gangguan fungsi motorik : paresis atau paralysis
- Gangguan fungsi otonom : kulit kering.
c. Basil tahan asam (BTA)
Bahan pemeriksaan diambil dari kerokan kulit (skin smear) pada cuping telinga
serta bagian aktif suatu lesi kulit. Bila pada kulit atau saraf seseorang ditemukan
kelainan yang tidak khas untuk penyakit kulit lain dan menurut pengalaman
kemungkinan besar mengarah ke kusta, maka kita dapat menetapkan seseorang
tersebut sebagai suspek kusta.
Untuk menegakkan diagnosis kusta, diperlukan paling sedikit satu tanda
utama.Tanpa tanda utama, seseorang hanya boleh ditetapkan sebagai tersangka
(suspek) kusta.

Saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri atau
tidak. Gejala-gejala kerusakan saraf adalah :
N. ulnaris :
a. Anestesi pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
b. Clawing kelingking dan jari manis
c. Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis media.
N. medianus:
a. Anesteshia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tangah.
b. Tidak mampu aduksi ibu jari.
c. Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah.
d. Ibu jari kontraktur.
e. Trofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
N. Radialis:
a. Anesthesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk.
b. Tangan gantung
c. Tak mampu ekstensi jari-jari
N. Poplitea lateralis:
a. Anesthesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis.
b. Kaki gantung
c. Kelemahan otot peroneus.
N. Tibialis Posterior:
a. Anesthesia telapak kaki
b. Claw toes
c. Paralisis otot intrinsic kaki dan kolaps arkus pedis.
N.Facialis:
a. Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus.
b. Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengatupkan bibir.
N. Trigeminus:
a. Anesthesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.

1.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan bakterioskopik1
a. Pemeriksaan BTA dengan Ziehl-Nielsen
Bahan pemeriksaan diambil dari 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga
bagian bawah dan 2 atau 4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling
eritematosa dan paling infiltratif.
b. Indeks Morfologi
Untuk menentukan persentasi BTA hidup atau mati
Rumus:
Jumlah BTA solid x 100 % = X %
Jumlah BTA solid + non solid
Guna:Untuk melihat keberhasilan terapi, melihat resistensi kuman BTA, dan
melihat infeksiositas penyakit
c. Indeks Bakteri
Untuk menentukan klasifikasi penyakit Lepra, dengan melihat kepadatan
BTA tanpa melihat kuman hidup (solid) atau mati (fragmented/ granular).
Tabel 1.3 Indeks Bakteri1
0 BTA -
1 10/ 100 L.P +1
1 10/ 10 L.P +2
1 10/ 1 L.P +3
10 100/ 1 L.P +4
100 1000/ 1 L.P +5
> 1000/ 1 L.P +6
2. Pemeriksaan histopatologik1
Untuk membedakan tipe TT & LL
a. Pada tipe TT ditemukan tuberkel (Giant cell, limfosit)
b. Pada tipe LL ditemukan sel busa (Virchow cell/ sel lepra) yi histiosit dimana
di dalamnya BTA tidak mati, tapi berkembang biak membentuk gelembung.
Ditemukan lini tenang (subepidermal clear zone).

3. Pemeriksaan serologik1
a. Tes ELISA
b. Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Partikel Aglutination)
c. ML dipstick

1.10 Pengobatan
Paket terapi multiobat (MDT/Multi Drug Therapy)1,4
Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan
merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar.Yang pertama adalah
pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin,
dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan
rifampisin dan dapson

Gambar 2.2 Regimen MDT


Regimen pengobatan MDT
MDT adalah kombinasi dua atau lebih obat antikusta, salah satunnya
rifampisin sebagai antikustayang bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat anti kusta
lain bersifat bakteriostatik.
Berikut merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT:
1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT.
2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal dibawah ini:
a. Relaps
b. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
c. Pindahan (pindah masuk)
d. Ganti klasifikasi/tipe
Berikut merupakan regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang
direkomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 1.4 Pengobatan Morbus Hansen Pausibasiler


Jenis Obat <5 th 5-9 th 10-15 th >15 th Keteranga
n
Minum
Rifampisin 300mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln didepan
petugas
Berdasarka
Minum di
n berat
25 mg/bln 50mg/bln 100 mg/bln depan
badan
DDS petugas
100 Minum di
25 mg/hari 50 mg/hari
mg/hari rumah

Keterangan:
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum diminum didepan petugas)
2 kapsul rifampisin @ 300mg (600 mg)
1 tablet dapson/DDS 100mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
1 tablet dapson/DDS100 mg
Satu blister untuk satu bulan, dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan.

Tabel 1.5 Pengobatan Morbus Hansen Multibasiler


Keteranga
Jenis Obat <5 th 5-9 th 10-15 th >15 th
n
Minum
rifampisin 300 mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln didepan
petugas
Minum
25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/bln didepan
Dapson petugas
Berdasarka
Minum
n berat 25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/bln
dirumah
badan
Minum
100 mg/bln 150 mg/bln 300 mg/bln didepan
petugas
Lampren
50 mg
50 mg 2x 50 mg Minum
setiap 2
seminggu perhari dirumah
hari

Keterangan:
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)
3 tablet lampren @ 100mg (300 mg)
1 tablet dapson/DDS 100 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
1 tablet lampren50 mg
1 tablet dapson/DDS 100 mg
satu blister untuk satu bulan. Dibutuhkan 6 blister ya g diminum selam 6-9
bulandosis MDT MB untuk anak (10-15 tahun).
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminumdi depan petugas)
2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)
1 tablet dapson/DDS 50 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
1 tablet lampren 50 mg selang sehari
1 tablet dapson/DDS 50 mg
Satu blister untuk satu bulan.dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18 bulan
Monitoring dan Evaluasi Pengobatan
1. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat
2. Apabila pasien terlambat mengambil obat, paling lama dalam satu bulan harus
dilakukan pelacakan
3. RFT dapat dinyatakn setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan
labolatorium. Setelah RFT pasien dikeluarkan dari register kohort
4. Pasien yang sudah RFT namun memiliki faktor risiko:
Cacat tingkat 1 atau 2
Pernah mengalami reaksi
BTA pada awal pengobatan posisitf >3 (ada nodul atau infiltrat) dilakukan
pengamatan secara resmi
5. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9
bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium
6. Selama pengobatan PB, pemeriksaan klinis setiap bulan dan bakterioskopis
setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan minimal dilakukan setiap
tahun selama 2 tahun, jika tidak ada keaktivan baru secara klinis dan
bakterioskopis maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut release from
control (RFC)
7. Pasien MB yang telah mendapatkan pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam
waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium
8. Setelah RFT dilakukan tindak lanjut (tanpa pengobatan) pada MB secara klinis
dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Jika bakterioskopis
tetap negatif dan klinis keaktifan baru, maka dinyatakan RFC
9. Penderita MB yang resisten terhadap rifampisin biasanya akan resisten pula
dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin (lampren). Dalam hal ini
rejimen pengobatan menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan
minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan, diteruskan klofazimin 50 mg
ditambah ofloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg setiap hari selama 18 bulan.

10. Default
Jika seorang pasien PB tidak mengambil minum obatnya lebih dari 3 bulan dan
pasien MB lebih dari 6 bulan secara kumulatif (tidak mungkin baginya untuk
memnyelesaikan pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), maka yang
bersangkutan dinyatakan default
11. Relaps/kambuh
Pasien dinyatakan relaps bila setelah RFT timbul lesi baru pada kulit.untuk
menyatakanrelaps harus dikonfirmasikan kepada dokter kusta yang memiliki
kemampuan klinis dalam mendiagnosis relaps. Untuk relaps MB jika
pemeriksaan ulang BTA setelah RFT terjadi peningkatan IB 2+ atau lebih bila
dibandingkan dengan saat diagnosis. Pasien tersangka relaps sebaiknya
dikonsultasikan/dirujuk untuk mendapat kepastian diagnosis sebelum diobati.
12. Indikasi pengeluaran pasien dari register kohort adalah: RFT, meninggal, pindah,
salah diagnosis, ganti klasifikasi, default.
13. Pada keadaan-keadaan khusus (misalnya akses yang sulit ke pelayanan
kesehatan) dapat diberikan sekaligus beberapa blister disertai dengan penyuluhan
lengkap mengenai efek samping, tanda-tanda reaksi, agar secepatnya kembali
kepelayanan kesehatan.

1.11 Reaksi Kusta


Reaksi kusta adalah suatu keadaan gejala dan tanda radang akut lesi penderita
kusta yang terjadi dalam perjalanan penyakitnya, yang diduga disebabkan
hipersensitivitas akut terhadap Ag basil yang menimbulkan gangguan keseimbangan
imunitas yang telah ada. Ada dua tipe reaksi berdasarkan hipersensitivitas yang
menyebabkannya ;
1.Tipe1: disebabkan oleh hipersensitivitas seluler (Reversal Reaction)
2.Tipe2: disebabkan oleh hipersensitivitas humoral (Eritema Leprosum Nodosum)
Manifestasi / gambaran klinis reaksi kusta:
REAKSI TIPE 1
Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat

Kulit Lesi kulit yang telah ada Lesi yang telah ada menjadi
dan menjadi eritematosa. eritematosa, timbul lesi baru
yang kadang-kadang disertai
panas dan malaise

Saraf Membesar, tidak nyeri, Membesar, nyeri, fungsi


fungsi tidak terganggu, terganggu, berlangsung lebih
berlangsung kurang dari 6 dari 6 minggu.
minggu.

Kulit dan saraf Lesi yang telah ada menjadi Lesi kulit yang eritematosa
lebih eritematosa, nyeri pada disertai ulserasi atau edem
saraf berlangsung kurang pada tangan / kaki. Saraf
dari 6 minggu. membesar, nyeri, dan
fungsinya terganggu,
Berlangsung sampai 6 minggu
atau lebih.

REAKSI TIPE 2
Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat

Kulit Timbul sedikit nodus Banyak nodus yang nyeri


yangbeberapadiantaranya dan mengalamt ulserasi
terjadi ulserasi. Disertai disertai demam tinggi dan
demam ringan dan malaise. malaise.

Saraf Saraf membesar tetapi nyeri Saraf membesar, nyeri,


dan fungsinya tidak terganggu. dan fungsinya terganggu.

Mata Tidak ada gangguan Nyeri, penurunan visus, dan


merah di sekitar limbus.

Testis Lunak, tidak nyeri. Lunak, nyeri, dan membesar.

Kulit, saraf mata, Gejalanya seperti Gejalanya seperti tersebut


dan testis bersama tersebut diatas. diatasdisertai
sama keadaan sakityang keras dan
nyeri yang sangat.
1.12 Prognosis
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit.Kesembuhan
bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan.Terkadang asien dapat
mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun2.
BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn.ZA
Umur/tanggal lahir : 32 tahun /
JenisKelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Tidak bekerja
Pendidikan : SD
Alamat : Jl. Betung Kecamatan Batang Kapas, Kabupaten
Pesisir Selatan
No HP :
Status Perkawinan : Belum menikah
Negeri Asal : Pesisir Selatan
Agama : Islam
Suku : Minang
Status Ekonomi : Kurang mampu
Tanggal Pemeriksaan : 12 Mei 2017

2.2 Anamnesis
Seorang laki-laki berusia 32 tahun datang sendiri ke Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 3 Mei 2017 dengan:

2.2.1 KeluhanUtama
Bercak-bercak kemerahan yang menebal di kedua tangan, lengan, tungkai dan
kedua kaki yang mati rasa sejak 3 bulan yang lalu

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Terdapat bercak-bercak kemerahan yang menebal di kedua tangan, lengan,
tungkai kaki yang mati rasa sejak 3 bulan yang lalu.
Bercak kemerahan awalnya muncul di punggung tangan kanan, semakin lama
bercak tersebut semakin membesar dan mulai menyebar ke lengan lalu ke
tangan dan lengan kiri, kedua kaki dan kedua tungkai atas dan bawah
Muncul bercak baru di sela-sela jari tangan kiri dan kanan sejak 3 hari yang
lalu
Saat muncul bercak terasa panas
Tidak ada gatal
Tidak ada nyeri
Tidak ada demam
Mati rasa dirasakan pertama kali pada bercak di kaki kemudian disusul
dengan bercak pada tangan dan lengan
Bercak-bercak tersebut terasa kering dan tidak ada keringat
Daun telinga terasa menebal
Riwayat sandal jepit sering terlepas saat berjalan
Tidak ada riwayat trauma pada kulit
Tidak ada riwayat digigit serangga

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
Pasien pernah menderita gangguan lambung dan sudah berobat ke bagian
penyakit dalam. Pasien juga pernah berobat ke bagian saraf karena keluhan
sakit kepala

Riwayat Penyakit Keluarga/Riwayat Atopi/Alergi


Ada keluarga yang pernah menderita keluhan yang sama
Kakak laki-laki pasien sejak setahun yang lalu menderita keluhan dengan
bercak-bercak kemerahan pada kaki. Jari-jari kaki membengkok. Kakak laki-
laki pasien sudah pernah mendapat obat paket kusta dari puskesmas tapi
pengobatan tidak sampai selesai.
Riwayat Alergi
Riwayat alergi makanan tidak ada
Riwayat alergi obat-obatan tidak ada
Riwayat asma tidak ada
Riwayat bersin-bersin >5x di pagi hari tidak ada

I. PemeriksaanFisik
Status Generalis
Keadaan Umum : baik
Kesadaraan : komposmentis kooperatif
Tekanan darah : 120/80
Nadi : 88x/menit
Napas : 16x/menit
Suhu : afebris
Berat badan : 49 kg
Tinggi badan : 167 cm
Status gizi : kurang
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Kuku : Tidak ditemukan kelainan
KGB : Tidak ada perbesaran KGB
Pemeriksaan Thorak : Dalam batas normal
Pemeriksaan Abdomen : Dalam batas normal

Status Dermatologikus
Lokasi : punggung tangan kiri dan kanan, lengan bawah
kiri dan kanan, tungkai atas bagian depan kiri
dan kanan, tungkai bawah kiri dan kanan,
punggung dan telapak kaki kiri dan kanan
Distribusi : regional, bilateral asimetris
Bentuk : tidak khas
Susunan : tidak khas
Batas : tegas, tidak tegas
Ukuran : numular, plakat
Efloresensi : plak eritem, makula hipopigmentasi, skuama
keputihan

Pemeriksaan Sensibilitas
Rasa raba : anestesi pada lesi
Rasa tusuk : anestesi pada lesi
Rasa suhu : anestesi pada lesi

Pemeriksaan Saraf Perifer


N. aurikularis magnus D/S : membesar/membesar,teraba keras, nyeri
N. ulnaris D/S : membesar/membesar, teraba keras, nyeri
N. peroneus comunis D/S : tidak membesar, tidak nyeri
N. tibialis posterior D/S : tidak membesar, tidak nyeri

Tes Kekuatan Otot


M.orbicularis oculi : 5/5
M. adduksi digiti minimii : 5/5
M. abduksi brevis : 5/5
M. tibialis anterior : 5/5

Kelainan Lain-lain
Kontraktur : (-)
Mutilasi : (-)
Absorbsi : (-)
Atrofi otot : (-)
Xerosis kutis : Ada
Ulkus trofik : (-)
Madarosis : (-)
Lagophtalmus : (-)
Claw hand : (-)
Ape hand : (-)
Wrist drop : (-)
Dropped foot : (-)
Fasies lenonina : (-)

Status Venerelogikus : tidak dilakukan pemeriksaan


Kelainan Selaput : tidak ada kelainan
Kelainan Kuku : tidak ada kelainan
Kelainan Rambut : tidak ada kelainan
Kelainan Kelenjar Limfe : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Gambaran Klinis

Gambar 1. Punggung Tangan Kiri Gambar 2. Punggung Tangan Kanan


Gambar 3. Lengan Kiri Gambar 4. Lengan Kanan

Gambar 5. Tungkai Atas Gambar 7. Pungung Kaki

Gambar 7. Tungkai Bawah (depan) Gambar 8. Tungkai Bawah (belakang)


Gambar 9. Telapak Kaki
II. Resume
Seorang pasien laki-laki berusia 32 tahun datang ke poliklinik kulit dan
kelamin RSUP Dr.M.Djamil Padang dengan keluhan bercak-bercak kemerahan yang
menebal di kedua tangan, lengan, tungkai dan kaki yang mati rasa sejak 3 bulan yang
lalu. Awalnya bercak-bercak ini muncul di punggung tangan kanan kemudian ke
lengan, tangan dan lengan kiri serta kedua tungkai dan kaki. Bercak-bercak tersebut
semakin lama semakin membesar. Saat awal muncul, terasa panas pada bercak. Mati
rasa awalnya dirasakan pada bercak di kaki, lalu diikuti dengan lesi di lengan. Pasien
mengaku sendal jepit sering terlepas saat berjalan. Daerah yang terkena terasa kering
dan tidak berkeringat. Keluhan yang sama pernah dirasakan oleh kakak laki-laki
pasien sejak setahun yang lalu. Keluhan berupa bercak kemerahan di kaki dan jari-jari
kaki membengkok. Kakak laki-laki pasien sudah pernah mendapat obat paket kusta
dari puskesmas namun pengobatan tidak tuntas.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan status dermatologikus dengan lokasi
punggung tangan kiri dan kanan, lengan atas- bawah kiri dan kanan, tungkai atas
bagian depan kiri dan kanan, tungkai bawah kiri dan kanan, punggung dan telapak
kaki kiri dan kanan,distribusi regional, bilateral asimetris, susunan tidak khas, bentuk
tidak khas, batas ada yang tegas dan tidak tegas, ukuran numular sampai plakat dan
efloresensi plak eritem, makula hipopigmentasi serta skuama keputihan. Pemeriksaan
sensibilitas dilakukan dan didapatkan hasil anestesi pada lesi pada tes rasa raba dan
rasa nyeri. Terdapat perbesaran saraf yang keras dan nyeri pada n.aurikularis magnus
kiri dan kanan serta n.ulnaris kiri dan kanan.

III. Diagnosis Kerja


Morbus hansen tipe BL dengan reaksi reversal tanpa kecacatan
Diagnosis Banding
Tidak ada diagnosis banding karena keluhan bercak merah dan mati rasa dan
adanya pembesaran saraf perifer pada pasien sudah memenuhi kriteria diagnosis
morbus hansen
IV. Pemeriksaan Rutin dan Anjuran
Rutin
Pemeriksaan kuman BTA
Anjuran
Pemeriksaan histopatologi kulit
Lepromin test

V. Diagnosis

Morbus hansen tipe BL dengan derajat kecacatan 0 dengan reaksi reversal


ringan

VI. Penatalaksanaan
Terapi
Umum :
- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, kemungkinan penyebab,
perjalanan penyakit, jenis dan cara penggunaan obat yang benar
- Menjelaskan pada pasien mengenai pencegahan dan perawatan kecacatan
Khusus :
Rifampisin 600 mg tiap bulan
DDS 100 mg/ hari
Klofazimin 300 mg setiap bulan, diteruskan 50 mg/hari
Pengobatan diberikan sebanyak 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan

VII. Pognosis
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad kosmetikum : dubia ad bonam
Quo ad functionum : dubia ad bonam

BAB 3
DISKUSI
DAFTAR PUSTAKA

1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta.

Dalam: Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2015.h. 73-88.

2. Buxton K.P. ABC of Dermatology, 4th ed (BMJ Books); 2003.p.109-10.

3. Lewis S. Leprosy. Update 4 Februari 2010. Diunduh dari:

http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall, 19 Juni 2016.

4. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Fritzpatricks Dermatology in General

Medicine. 6th Edition. Mc Graw Hill; 2008.h. 665-71.

5. World Health Organization. WHO model prescribing information: drug used in

leprosy. Diunduh dari: http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html, 19

Juni 2015.

6. Kementerian Kesehatan RI, Dierktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit

Kusta. Jakarta: Kemenkes RI; 2012.

Вам также может понравиться