Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Metodologi: hermeneutikal dan dialektikal. Sifat variabel dan personal (intramental) dari
konstruksi sosial menunjukkan bahwa konstruksi individu dapat ditimbulkan dan
disempurnakan hanya melalui interaksi antara peneliti dan responden/objek. berbagai
konstruksi ini ditafsirkan menggunakan teknik hermeneutika konvensional, dan dibandingkan
dan dikontraskan melalui dialektika. Tujuan akhir adalah untuk menyaring sebuah konstruksi
kesepakatan/konsensus yang lebih banyak menginformasi daripada pendahulunya.
4
Tabel.2 Posisi Paradigma dalam Practical Issues (Guba & Lincoln: 1994)
ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Dalam proses itu keaktifan
seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya.
1. Giambatissta Vico
2. Jean Piaget
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori
perkembangan intelektual. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk
belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap
tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam
mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui
gerakan atau perbuatan.
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama yang menegaskan
bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah
menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi
tersebut mempunyai tempat. Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental
yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau
memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan.
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif
oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak
bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan
lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses
berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan. Dari
pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada
tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan
kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan
konstruktivisme, Driver dan Bell mengajukan karakteristik sebagai berikut:
1) Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan,
2) Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa,
3) Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal,
4) Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi
kelas,
5) Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan
sumber.
8
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai
dengan skema yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan
skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun
secara hirarkis.
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang
berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern
atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan
intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan
mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan;
a. perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi
dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan
tersebut dan dengan urutan yang sama,
b. tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan,
pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang
menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan
c. gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration),
proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan
struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
3. Vygotsky
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang
dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi
dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah
diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang. Dalam penjelasan lain mengatakan bahwa
inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang
penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Beberapa ahli konstruktivisme yang terkemuka berpendapat bahwa pembelajaran
yang bermakna itu bermula dengan pengetahuan atau pengalaman sedia ada murid.
Rutherford dan Ahlgren berpendapat bahawa murid mempunyai ide mereka sendiri tentang
hampir semua perkara, di mana ada yang betul dan ada yang salah. Jika kepahaman dan
9
miskonsepsi ini diabaikan atau tidak ditangani dengan baik, kepahaman atau kepercayaan
asal mereka itu akan tetap kekal walaupun dalam pemeriksaan mereka mungkin memberi
jawaban seperti yang dikehendaki oleh guru.
John Dewey menguatkan lagi teori konstruktivisme ini mengatakan bahawa pendidik
yang cekap harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran sebagai proses menyusun atau
membina pengalaman secara berterusan. Beliau juga menekankan kepentingan penyertaan
murid di dalam setiap aktivitas pengajaran dan pembelajaran.
Ernst von Glasersfeld lahir di Munich, 1917, orang tuanya berasal dari Austria, dan
besar di Northern Italy dan Switzerland. Belajar matematika di Zrich dan Vienna, dan
selama perang dunia kedua hidup sebagai petani di Irlandia. Dari tahun 1970, ia mengajar
psikologi kognitif di Universitas Georgia, USA. Mendapat gelar guru besar emeritus tahun
1987. Pada tahun 1970, ia mulai merumuskan epistemologi yang dikenal dengan
kontruktivisme radikal, mengacu epistemologi konstruktivisme Piaget .
Apa yang disampaikan guru belum tentu diterima siswa sebagaimana apa yang
diharapkan guru. Tugas guru utamanya bukan mentransfer pengetahuan tetapi memfasilitasi
kegiatan pembelajaran sehingga siswa memiliki kesempatan aktif belajar dengan cara
mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman siswa sendiri. Dalam kegiatan
pembelajaran, guru perlu mempertimbangkan adanya perbedaan tingkat konsepsi siswa
terhadap apa yang diamati. Dalam memahami suatu konsep, sering terjadi konflik kognitif
disebabkan oleh adanya problematika perbedaan tingkat konsepsi akibat beragamnya
pengalaman siswa. Dalam hal seperti ini, guru perlu membuat kesepakatan-kesepakatan
konseptual melalui diskusi kelas.
11
Karena sistem organ manusia bersifat autopoiesis maka begitupula dengan sistem
saraf. Maturana dan Varela (1980) memandang bahwa sistem saraf sebagai sistem yang
otonom yang mandiri dimana untuk mengoperasikan sebuah jaringan dilakukan secara
tertutup dengan ataupun tanpa adanya input. Sistem saraf merupakan jaringan tertutup dari
sebuah saraf yang berinteraksi sehingga terjadi sebuah perubahan aktivitas dalam saraf-saraf
yang selalu membimbing kepada sebuah perubahan dari aktivitas atau saraf-saraf lainnya.
Akan tetapi, walaupun bersifat tertutup lingkungan dapat juga mempengaruhi kinerja dari
sistem ini. Lingkungan dikategorikan sebagai ganguan yang akan merangsang munculnya
respon kinerja sistem saraf. Gangguan ini tidak berarti meniadakan ketertutupan dari sistem
saraf, karena hanyalah sekedar gangguan, proses respon dari gangguan yang terjadi di
sistem saraf tetap tidak dapat dikontrol oleh pihak luar.
13
A. Interaksionisme Simbolik
Interaksi simbolik pada awalnya merupakan suatu gerakan pemikiran dalam ilmu
sosiologi yang dibangun oleh George Herbert Mead. Mead yang dikenal sebagai bapak Teori
Interaksionisme Simbolik ini menekankan sebuah pemahaman dunia sosial berdasarkan
pentingnya makna yang diproduksi dan diinterpretasikan melalui simbol-simbol dalam
interaksi sosial (Ardianto dan Anees, 2007:135). Para pemikir dalam tradisi teori
interaksionisme simbolik dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran Iowa dan Chicago.
George Herbert Mead mengemukakan bahwa makna muncul sebagai hasil interaksi
diantara manusia, baik secara verbal maupun nonverbal. Melalui aksi dan respons yang
terjadi, kita memberikan makna ke dalam kata-kata atau tindakan, dan karenanya kita dapat
memahami suatu peristiwa dengan cara-cara tertentu (Morissan, 2009:75). Dalam deskripsi
Mead, proses pengambilan peran menduduki tempat yang penting. Interaksi berarti bahwa
para peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam posisi orang
lain. Dengan berbuat demikian, mereka mencoba mencari maksud dari aksi yang diberikan
oleh pihak lain, sehingga komunikasi dan interaksi dimungkinkan. Jadi interaksi tidak hanya
berlangsung melalui gerak-gerak saja, melainkan terutama melalui simbol-simbol yang perlu
dipahami dan dimengerti maknanya. Artinya, geraklah yang menentukan. Dalam interaksi
simbolik, orang mengartikan dan menafsirkan gerak-gerak orang lain dan bertindak sesuai
dengan arti itu.
a. Manusia membuat keputusan dan bertindak pada situasi yang dihadapinya sesuai dengan
pengertian subjektifnya.
b. Kehidupan sosial merupakan proses interaksi, kehidupan sosial bukanlah struktur atau
bersifat struktural dan karena itu akan terus berubah.
14
d. Dunia terdiri atas berbagai objek sosial yang memiliki nama dan makna yang ditentukan
secara sosial.
f. Diri seseorang adalah objek signifikan dan sebagaimana objek sosial lainnya, diri
didefenisikan melalui interaksi sosial dengan orang lain.
Karya Mead yang paling terkenal yang berjudul Mind, Self, and Society,
menggarisbawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang
teori interaksionisme simbolik. Ketiga konsep ini saling memengaruhi satu sama lain dalam
teori interaksionisme simbolik. Ketiga konsep tersebut adalah pikiran manusia (mind), diri
(self), dan masyarakat (society). Pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial diri (self) dengan
yang lain digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) dimana
kita hidup. Ketiga konsep tersebut memiliki aspek-aspek yang berbeda, namun berasal dari
proses umum yang sama, yang disebut tindakan sosial (social act). Tindakan sosial (social
act) adalah suatu unit tingkah laku lengkap yang tidak dapat dianalisis ke dalam sub bagian
tertentu (Morissan, 2009:144). Mead mendefenisikan pikiran (mind) sebagai kemampuan
untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama. Mead percaya bahwa
manusia harus mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang lain. Bayi tidak dapat
benar-benar berinteraksi dengan orang lainnya sampai ia mempelajari bahasa (language),
atau sebuah sistem simbol verbal dan nonverbal yang diatur dalam pola-pola untuk
mengekspresikan pemikiran dan perasaan.
Bahasa bergantung pada apa yang disebut Mead sebagai simbol signifikan(significant
symbol), atau simbol-simbol yang memunculkan makna yang sama bagi banyak orang (West
dan Turner, 2009:105). Contohnya, ketika orang tua berbicara dengan lembut kepada
bayinya, bayi itu mungkin akan memberikan respons, tetapi dia tidak seutuhnya memahami
makna dari kata-kata yang digunakan orang tuanya. Namun ketika bayi tersebut mulai
mempelajari bahasa, bayi itu melakukan pertukaran makna atau simbol-simbol signifikan dan
dapat mengantisipasi respons orang lain terhadap simbol-simbol yang digunakan. Hal ini,
15
menurut Mead adalah bagaimana suatu kesadaran berkembang. Dengan menggunakan bahasa
dan berinteraksi dengan orang lain, kita mengembangkan pikiran dan ini membuat kita
mampu menciptakan setting interior bagi masyarakat yang kita lihat beroperasi di luar diri
kita. Jadi, pikiran dapat digambarkan sebagai cara orang menginternalisasi masyarakat.
Namun, pikiran tidak hanya bergantung pada masyarakat. Mead menyatakan bahwa
keduanya mempunyai hubungan timbal balik.
Pikiran merefleksikan dan menciptakan dunia sosial. Ketika seseorang belajar bahasa, ia
belajar berbagai norma sosial dan aturan budaya yang mengikatnya. Selain itu, ia juga
mempelajari cara-cara untuk membentuk dan mengubah dunia sosial melalui interaksi.
Menurut Mead, salah satu dari aktivitas penting yang diselesaikan orang melalui pemikiran
adalah pengambilan peran (role taking), atau kemampuan untuk secara simbolik
menempatkan dirinya sendiri dalam diri khayalan dari orang lain. Proses ini juga disebut
pengambilan perspektif karena kondisi ini mensyaratkan bahwa seseorang menghentikan
perspektifnya sendiri terhadap sebuah pengalaman dan sebaliknya membayangkannya dari
perspektif orang lain.
Mead menyatakan bahwa pengambilan peran adalah sebuah tindakan simbolis yang dapat
membantu menjelaskan perasaan kita mengenai diri dan juga memungkinkan kita untuk
mengembangkan kapasitas untuk berempati dengan orang lain. Mead mendefenisikan diri
(self) sebagai kemampuan untuk merefleksikan diri kita sendiri dari perspektif orang lain.
Mead meyakini bahwa diri tidak berasal dari introspeksi atau dari pemikiran sendiri yang
sederhana, melainkan dari bagaimana kita dilihat oleh orang lain.
Meminjam konsep yang berasal dari sosiologis Charles Cooley, Mead menyebut hal
tersebut sebagai cermin diri (looking-glass self), atau kemampuan kita untuk melihat diri kita
sendiri dalam pantulan dari pandangan orang lain. Cooley (1972) meyakini tiga prinsip
pengembangan yang dihubungkan dengan cermin diri, yaitu: pertama, kita membayangkan
bagaimana kita terlihat di mata orang lain; kedua, kita membayangkan penilaian mereka
mengenai penampilan kita; ketiga, kita merasa tersakiti atau bangga berdasarkan perasaan
pribadi ini. Pemikiran Mead mengenai cermin diri ini mengimplikasikan kekuatan yang
dimiliki label terhadap konsep diri dan perilaku. Label menggambarkan prediksi pemenuhan
diri, yaitu harapan pribadi yang memengaruhi perilaku.
16
Ketika Mead berteori mengenai diri, ia mengamati bahwa melalui bahasa, orang
mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dan objek bagi dirinya sendiri. Sebagai
subjek, kita bertindak, dan sebagai objek, kita mengamati diri kita sendiri bertindak. Mead
menyebut subjek, atau diri yang bertindak sebagai I, dan objek atau diri yang mengamati
sebagai Me. I bersifat spontan, impulsif, dan kreatif, sedangkan Me lebih reflektif dan peka
secara sosial. Mead melihat dirisebagai sebuah proses yang mengintegrasikan antara I dan
Me.
Identitas dari orang lain secara khusus dan konteksnya memengaruhi perasaan akan
penerimaan sosial kita dan rasa mengenaidiri kita. Orang lain secara umum (generalized
other) merujuk pada cara pandang dari sebuah kelompok sosial atau budaya sebagai suatu
keseluruhan. Hal ini diberikan oleh masyarakat kepada kita, dan sikap dari orang lain secara
umum adalah sikap dari keseluruhan komunitas (Mead, 1934:154). Orang lain secara umum
menyediakan informasi mengenai peranan, aturan, dan sikap yang dimiliki bersama oleh
komunitas. Orang lain secara umum juga memberikan kita perasaan mengenai bagaimana
orang lain bereaksi kepada kita dan harapan sosial secara umum. Perasaan ini berpengaruh
dalam mengembangkan kesadaran sosial.
1996:160). Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas
manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana,2001:68).
Kedua, konsep perbuatan (action). Dalam pandangan Blumer, karena perbuatan manusia
dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan diri sendiri, maka perbuatan itu berlainan
sama sekali dari gerak makhluk-makhluk yang bukan manusia. Manusia menghadapkan diri
pada macam-macam hal seperti kebutuhan, perasaan, tujuan, perbuatan orang lain,
pengharapan dan tuntutan orang lain, peraturan-peraturan masyarakatnya, situasinya, self
image-nya, ingatannya, dan cita-citanya untuk masa depan. Ketiga, konsep objek. Blumer
memandang, manusia hidup di tengah objek-objek. Kata objek dimengerti dalam arti luas
dan meliputi semua yang menjadi sasaran perhatian aktif manusia. Kata Blumer, objek dapat
bersifat fisik seperti kursi, atau khayalan, kebendaan, ataupun hal yang bersifat abstrak
seperti konsep kebebasan.
Keempat, konsep interaksi sosial. Interaksi dalam pandangan Blumer adalah bahwa para
peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam posisi orang lain.
Oleh penyesuaian timbal-balik, proses interaksi dalam keseluruhannya menjadi suatu proses
yang melebihi jumlah total unsur-unsurnya berupa maksud, tujuan dan sikap masing-masing
peserta. Kelima, konsep joint action. Pada konsep ini Blumer mengganti istilah social act dari
Mead dengan istilah joint action. Artinya aksi kolektif yang lahir dimana perbuatan-
perbuatan masing-masing peserta dicocokkan dan diserasikan satu sama lain. Sebagai contoh,
Blumer menyebutkan: transaksi dagang, makan bersama keluarga, upacara perkawinan, dan
sebagainya. Realitas sosial dibentuk dari joint actions dan merupakan objek sosiologi yang
sebenarnya.
Pemikiran Blumer memiliki pengaruh cukup luas dalam berbagai riset sosiologi. Blumer
berhasil mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tingkat metode yang cukup
18
rinci. Teori interaksionisme simbolik yang dimaksud Blumer bertumpu pada tiga premis
utama, yaitu:
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu
bagi mereka.
2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain.
B. Konsep Framing
Analisis framing adalah salah satu metode penelitian yang termasuk baru dalam dunia
ilmu komunikasi. Para ahli menyebutkan bahwa analisis framing ini merupakan perpanjangan
dari analisis wacana yang dielaborasi terus menerus ini, menghasilkan suatu metode yang up
to date untuk memahami fenomena-fenomena media mutakhir.
Dari definisi Entman tersebut framing pada dasarnya merujuk pada pemberian
definisi, penjelasan, evaluasi dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan
19
kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan. Dengan kata lain, framing
adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang
digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau
perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang
ditonjolkan dan dihilangkan dan hendak dibawa kemana berita tersebut.
Analisis framing mempunyai asumsi bahwa wacana media massa memiliki peran
yang sangat strategis dalam menentukan apa yang penting atau signifikan bagi publik dari
bermacam-macam isu dan persoalan yang hadir dalam wacana publik.
Agus Sudibyo (2001) mengatakan bahwa media massa dilihat sebagai media diskusi
antara pihak-pihak dengan ideologi dan kepentingan yang berbeda-beda. Mereka berusaha
untuk menonjolkan kerangka pemikiran, perspektif, konsep, dan klaim interpretatif masing-
masing dalam rangka memaknai objek wacana. Keterlibatan mereka dalam suatu diskusi
sangat dipengaruhi oleh status, wawasan, dan pengalaman sosial masing-masing. Dalam
konteks inilah wacana media massa kemudian menjadi arena perang simbolik antara pihak-
pihak yang berkepentingan dengan suatu objek wacana. Perdebatan yang terjadi di dalamnya
dilakukan dengan cara-cara yang simbolik, sehingga lazim ditemukan bermacam-macam
perangkat linguistik atau perangkat wacana yang umumnya menyiratkan tendensi untuk
melegitimasi diri sendiri dan mendelegitimasi pihak lawan.
Maka jelas terlihat bahwa framing bukan hanya berkaitan dengan skema individu
(wartawan), melainkan juga berhubungan juga dengan proses produksi berita, kerangka kerja
dan rutinitas organisasi media. Bagaimana peristiwa dibingkai, kenapa peristiwa dipahami
dalam kerangka tertentu atau bingkai tertentu, tidak bingkai yang lain, bukan semata-mata
disebabkan oleh struktur skema wartawan, melainkan juga rutinitas kerja dan institusi media
secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi pemaknaan peristiwa.
Ada beberapa tokoh yang memberikan definisi framing. Beberapa definisi para ahli
tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Meskipun berbeda dalam penekanan dan pengertian, ada titik singgung utama dari
definisi framing tersebut. Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu
dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi realitas itu, hasil
akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol dan lebih mudah
dikenal. Akibatnya, khalayak lebih mudah mengingat aspek-aspek tertentu yang disajikan
secara menonjol oleh media. Aspek-aspek yang tidak disajikan secara menonjol, bahkan tidak
diberitakan, menjadi terlupakan dan sama sekali tidak diperhatikan oleh khalayak. Framing
adalah sebuah cara bagaimana peristiwa disajikan oleh media. Akibat penonjolan aspek-
aspek tertentu ini, karenanya, seperti dikatakan Frank D. Durham, framing membuat dunia
lebih diketahui dan lebih dimengerti. Realitas yang kompleks dipahami dan disederhanakan
dalam kategori tertentu.
Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta/realitas. Proses memilih fakta
ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam
memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa
yang dibuang (excluded). Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angle
tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain. Kedua, menuliskan fakta.
Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak.
Gagasan ini diungkapkan dengan, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto
dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan
dengan pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok (menempatkan di
headline depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemaikaian grafis untuk mendukung
dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan
orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplikasi,
dan pemakaian kata yang mencolok, gambar, dan sebagainya. Realitas yang disajikan secara
menonjol atau mencolok, mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan
mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas.
meyakinkan dan mengikuti rutinitas agar ia dianggap sebagai dokter. Dalam perspektif
media, seperti dikatakan P.K Manning, pendekatan dramaturgi tersebut mempunyai dua
pengaruh. Pertama, ia melihat realitas dan aktor menampilkan dirinya dengan simbol, dan
penampilan masing-masing. Media karenanya, dilihat sebagai transaksi, melalui mana aktor
menampilkan dirinya lengkap dengan simbol dan citra yang ingin dihadirkannya. Kedua,
pendekatan dramaturgi melihat hubungan interaksionis antara khalayak dengan aktor
(penampil). Realitas yang terbentuk karenanya, dilihat sebagai hasil transaksi antara
keduanya.
Frame adalah sebuah pririsip di mana pengalaman dan realitas yang kompleks
tersebut diorganisasi secara subjektif. Lewat frame itu, orang melihat realitas dengan
pandangan tertentu dan melihat sebagai sesuatu yang bermakna dan beraturan. Frame media
mengorganisasikan realitas kehidupan sehari-hari dan akan ditransformasikan ke dalam
sebuah cerita. Analisis framing, karenanya, meneliti cara-cara individu mengorganisasikan
pengalamannya sehingga memungkinkan seseorang mengidentifikasi dan memahami
peristiwa-peristiwa, memaknai aktivitas-aktivitas kehidupan yang tengah berjalan.
C. Semiotika
Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda atau seme yang
berarti penafsir tanda. Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn,
23
1996:64). Semiotika adalah studi mengenai tanda (signs) dan simbol yang merupakan tradisi
penting dalam pemikiran tradisi komunikasi. Tradisi semiotika mencakup teori utama
mengenai bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan, dan sebagainya
yang berada di luar diri (Morissan, 2009:27). Konsep dasar yang menyatukan tradisi
semiotika ini adalah tanda yang diartikan sebagai suatu stimulus yang mengacu pada
sesuatu yang bukan dirinya sendiri.
Semiotika, atau dalam istilah Roland Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to
signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to
communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam
hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur
dari tanda (Barthes,1988:179). Semiotika didefenisikan oleh Ferdinand de Saussure di dalam
Course in General Linguistic, sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari
kehidupan sosial.
untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan sebab-akibat, dan symbol untuk asosiasi
konvensional. Pembagian tipe-tipe tanda berdasarkan objeknya menjadi ikon, indeks
dansimbol menjadi sangat bermanfaat dan fundamental mengenai sifat tanda.
Tanda merupakan suatu yang mewakili sesuatu yang dapat berupa pengalaman,
pikiran,gagasan atau perasaan. Jika sesuatu misalnya A adalah asap hitam yang mengepul
dari kejauhan, maka ia dapat mewakili B, yang misalnya sebuah kebakaran (pengalaman).
Tanda semacam ini dapat disebut sebagai indeks yakni antara Adan B ada ketertarikan
(contiguity). Tanda juga bisa berupa lambang ataupun simbol, seperti contoh burung dara
yang sudah diyakini sebagai tanda atau lambang perdamaian. Burung dara tidak dapat begitu
saja digantikan dengan burung atau hewan yang lainnya. Ikon adalah tanda yang hubungan
antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan dalam bentuk alamiah. Atau dengan kata
lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan (Sobur,
2004:41).
Pada dasarnya ikon adalah suatu tanda yang bisa menggambarkan ciri utama dari
sesuatu, meskipun sesuatu yang lazim yang disebut sebagai objek acuan tersebut tidak hadir.
Ikon adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang
dipresentasikannya. Model tanda objek interpretant dari Pierce merupakan sebuah ikon
dalam upayanya mereproduksi dalam konkret struktur relasi yang abstrak diantara unsur-
unsurnya. Dapat pula dikatakan sebagai ikon atau tanda yang memiliki ciri yang sama dengan
apa yang dimaksudkan. Contohnya: Peta Indonesia yang merupakan ikon dari wilayah
Indonesia yang tergambar dalam peta tersebut, atau foto Megawati sebagai ikon presiden
perempuan pertama di Indonesia.
Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan
petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu
pada kenyataan (Sobur, 2004:42). Contohnya yang paling jelas adalah asap sebagai tanda
adanya api. Selain itu, tanda tangan (signature) merupakan indeks dari keberadaan seseorang
yang menorehkan tanda tanda tangan tersebut. Simbol adalah tanda yang menunjukkan
hubungan alamiah antara penanda dan pertandanya. Simbol juga merupakan tanda yang
berdasarkan konvensi (perjanjian) atau peraturan yang telah disepakati bersama. Simbol
dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya.
Contohnyaseperti burung Garuda bagi masyarakat Indonesia adalah sebagai lambang
Pancasila yang memiliki makna, namun bagi orang yang memiliki latar budaya yang berbeda
25
sepeti orang indian, mereka menganggap burung garuda dianggap seperti burung yang biasa
saja dan tidak memiliki arti apa-apa.
Hubungan antara ikon, indeks dan simbol tersebut memiliki sifat konvensional.
Hubungan antara simbol, thought of reference (pikiran atau referensi) dengan referent
Sumber: Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hlm.159
Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa pikiran merupakan mediasi antara
simbol dan acuan. Atas dasar hasil pemikiran itu pula terbuahkan referensi yang merupakan
hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan simbolik. Dengan demikian referensi
merupakan gambaran hubungan antara tanda kebahasaan berupa kata-kata maupun kalimat
dengan dunia acuan yang membuahkan satuan pengertian tertentu. Simbol berbeda dengan
tanda. Tanda berkaitan langsung dengan objek, sedangkan simbol memerlukan proses
pemaknaan yang lebih intensif setelah menghubungkan dia dengan objek. Dengan kata lain,
simbol lebih substansif daripada tanda.
1. Semantik
Semantik membahas bagaimana tanda berhubungan dengan referennya, atau apa yang
diwakili suatu tanda. Semiotika menggunakan dua dunia, yaitu dunia benda (world of things)
dan dunia tanda (world of signs) dan menjelaskan hubungan keduanya. Prinsip dasar
semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantarai atau dimediasi oleh kesadaran
interpretasi seorang individu, dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan
berubah dari satu situasi ke situasi lainnya (Morissan, 2009: 29).
2. Sintaktik
26
Sintaktik (syntactics) yaitu studi mengenai hubungan diantara tanda. Dalam hal ini,
tanda tidak pernah sendirian mewakili dirinya, tanda adalah selalu menjadi bagian dari sistem
tanda yang lebih besar atau kelompok tanda yang diorganisir melalui cara tertentu. Sistem
tanda seperti ini disebut dengan kode (code). Secara umum, sintaktik sebagai aturan yang
digunakan manusia untuk menggabungkan atau mengkombinasi berbagai tanda ke dalam
suatu sistem makna yang kompleks. Aturan yang terdapat pada sintatik memungkinkan
manusia menggunakan berbagai kombinasi tanda yang sangat banyak untuk mengungkapkan
arti atau makna (Morissan 2009:30).
3. Pragmatik