Вы находитесь на странице: 1из 38

ASUHAN KEPERWATAN PADA PASIEN

APPENDICITIS

Disusun Oleh:

Alfan Pratika Utama

Imawati Budiana

Nico Arifin

Rico Gita Pratama

Widya Faulina HM

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER

2014
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan hanya

rahmat serta, taufik dan hidayah-Nya, sehingga kelompok dapat menyelesaikan

makalah berjudul APPENDISITIS dapat kelompok selesaikan dengan baik

sebagai memenuhi salah satu tugas mata kuliah system pencernaan.

14 Oktober 2014

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman cover ..............................................................................................i

Kata Pengantar...............................................................................................ii

Daftar Isi........................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...................................................................................

B. Rumusan Masalah..............................................................................

C. Tujuan Penelitian...............................................................................

D. Manfaat Penulisan..............................................................................

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Gizi Pada Balita ........................................................

B. Peran Makan Bagi Balita ..................................................................

C. Nutrisi Penting Pada Balita ...............................................................

D. Prinsip Gizi Seimbang dan Nutrisi yang Penting Bagi Balita

E. Dampak yang ditimbulkan Akibat Gizi Tidak Seimbang...

BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian...

2. Analisa Data....

3. Diagnosa keperawatan

4. Intervensi Keperawatan..

5. Implementasi..

6. Evaluasi..
BAB IV PENUTUP

1. Kesimpulan..

2. Rekomendasi....

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Apendisitis merupakan penyakit sistem pencernaan yang dapat

dipengaruhi gaya hidup atau pola kebiasaan sehari-hari, seperti kurangnya

mengkomsumsi makan yang berserat dalam sehari-hari (Sander, 2011).

Apendik merupakan salah satu insiden penyakit yang umum yang

memerlukan operasi darurat dan gangguan perut bedah traumatik (Morton

dkk, 2012). Tindakan operasi apendik adalah peristiwa kompleks sebagai

ancaman aktual kepada intergritas seseorang spritual dan biopsikososial

yang dapat menimbulkan respon nyeri (Siswanti, 2011).

Insiden apendik dinegara maju lebih tinggi daripada negara

berkembang, akan tetapi dalam tiga sampai empat dasawarsa menurun, hal

ini disebabkan karena meningkatnya penggunaan makanan berserat pada

diet harian (Sjamsuhidajat, 2010). Di Indonesia kasus apendisitis cukup

tinggi, dibuktikan dengan adanya peningkatan dari tahun-ketahun data

yang didapat dari depkes RI (2008) kasus apendisitis pada tahun 2005

sebanyak 65.755 orang, sedangkan pada tahun 2007 sebanyak 75.601.

Pada umumnya mengalami apendisitis yaitu antara usia 10-30 tahun, kasus

tertinggi yaitu laki-laki 10-14 tahun dan wanita usia 15-19 tahun. Laki laki

lebih dominan daripada wanita dan usia 25 tahun dan pada usia pubertas
1
(Siswanti 2010). Dari data dari Jawa Timur tahun 2009 kasus apendisitis

dilaporkan sebanyak 5.980 kasus dan 177 kasus diantaranya menyebabkan


kematian (Dinkes jawa timur). Apendik juga disebut umbai cacing. Istilah

usus buntu lebih dikenal masyarakat awam, akan tetapi kurang tepat

karena usus buntu adalah sekum, organ yang tidak diketahui fungsinya ini

dapat menimbulkan masalah kesehatan. Peradangan akut apendik

memerlukan tindakan bedah untuk mencegah terjadinya komplikasi

berlanjut yang pada umumnya bersifat berbahaya (Syamsuhidajat, 2010).

konduksi obstruksi akan meyebabkan penurunan kongesti dan peningkatan

perkembangan bakteri yang akan meningkatkan tekanan intraluminal. hal

ini akan terjadi penurunan perfusi pada dinding apendik yang berlanjut

pada nekrosis dan inflamasi apendik (Muttaqin, 2011). Proses inflamasi

meningkatkan tekanan intraluminal, menimbulkannyeri abdomen atas atau

menyebar hebat secara progresif dalam beberapa jam trokalisasi di

kuadran kanan bawah abdomen (Wijayaningsih, 2013:76).

Pembedahan diindikasikan bila diagnosa appendicitis ditegakkan,

antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan.

Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan dan untuk

mengurangi nyeri. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat

appendik) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi

(Sudarsono, 2013), sedangkan non farmokologi penderita harus

diobservasi harus istirahat dalam posisi fowler dan diberikan makanan

yang tidak merangsang peristaltik. (Kusuma, 2012).

B. Rumusan Masalah
Bagaimana Asuhan keperawatan pemenuhan kebutuhan rasa aman dan

nyaman: Nyeri pada kasus apendisitis.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pemenuhan

kebutuhan rasa aman dan nyaman: Nyeri pada kasus appendisitis.


2. Tujuan khusus
Mahasiswa mampu :
a. Mengkaji asuhan keperawatan pemenuhan kebutuhan kebutuhan

rasa aman dan nyaman: Nyeri pada kasus appendisitis.


b. Merumuskan diagnosa asuhan keperawatan pemenuhan kebutuhan

kebutuhan rasa aman dan nyaman: Nyeri pada kasus appendisitis.


c. Merencanakan intervensi asuhan keperawatan pemenuhan

kebutuhan kebutuhan rasa aman dan nyaman: Nyeri pada kasus

appendisitis.
d. Melakukan Implementasi asuhan keperawatan pemenuhan

kebutuhan kebutuhan rasa aman dan nyaman: Nyeri pada kasus

appendisitis.
e. Mengevaluasi asuhan keperawatan pemenuhan kebutuhan

kebutuhan rasa aman dan nyaman: Nyeri pada kasus appendisitis.

D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada proposal ini meliputi:
1. Bagian awal terdiri: halaman sampul, halaman judul, halaman

persetujuan, halaman pengesahan.


2. Bab 1 pendahuluan : pada bab ini membahas latar belakang, rumusan

masalah, tujuan, manfaat, sistematika penulisan, pengumpulan data.


3. Bab 2 Tinjauan kepustakaan : pada bab ini membahas konsep medis

appendisitis akut, konsep asuhan keperawatan apendisitis akut, dan

konsep pemenuhan rasa aman dan nyaman: nyeri.


4. Bab 3 Tinjauan kasus : pada bab ini membahas kasus yang diambil dari

rumah sakit yang meliputi pengkajian, analisa data, diagnosa

keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi keperawatan dan

evaluasi.
5. Bab 4 Kesimpulan: pada bab ini membahas kesimpulan dari semua

data yang ada.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Appendisitis

1. Definisi

Apendisitis adalah peradangan dari apendik periformis, dan

merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Apendisitis

akut adalah keadaan yang disebabkan oleh peradangan yang

mendadak pada suatu apendiks (Dermawan, 2010).

2. Etiologi

Penyebab dari apendisitis adalah adanya obstruksi pada lumen

appendikeal oleh apendikolit,hiperplasia folikel limfoid submokosa,


fekalit (material garam kalsium, debris fekal), atau parasit (katz,

2009).

Studi epidemologi menunjukkan peran kebiasaan makan

makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya

apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang

berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya

pertumbuhan kuman flora kolon biasa (Sjamsuhidayat, 2005).

Kondisi obstruksi akan meningkatnya tekanan intraluminal dan

peningkatan perkembangan bakteri. Hal ini akan terjadi peningkatan

kongesti dan penurunan perfusi pada dinding apendiks yang berlanjut

pada nekrosis dan inflamasi apendiks (Atassi, 2002).

Pada fase ini, pasien akan mengalami nyeri pada area


7
periumbelikal. Dengan berlanjutnya proses inflamasi, maka

pembentukan eksudat akan terjadi pada permukaan serosa apendiks.

Ketika eksudat ini berhubungan dengan parietal peritoneum, maka

intensitasnya nyeri yang khas akan terjadi (Santacroce, 2009).

Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh bakteri.

Namun terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini.

Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen appendiks ini biasanya

disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit),

hipeplasia jaringan limfoid,penyakit cacing,parasit,benda asing dalam

tubuh, cancer primer dan stiktur. Namun yang paling sering


menyebabkan obstruksi lumen appendiks adalah fekalit dan

hiperplasia jaringan limfoid. (Kusuma, 2012:30).

3. Manifestasi

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik

apendisitis adalah nyeri samar ( nyeri tumpul) di daerah epigastrium di

sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai

dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya

nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam , nyeri akan

beralih ke kuadran kanan bawah ke titik Mc. Burney. Terkadang

apendisitis juga disertai dengan demam drerajat rendah sekitar 37,5-

38,5 derajat celcius. (Kusuma, 2013:30).

Timbulnya gejala ini tergantung pada letak apendiks ketika meradang,

berikut gejala yang timbul:

a. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal,yaitu dibelakang

sekum (terlindung oleh sekum), rasa nyeri lebih kearah perut dan

timbul saat berjalan, batuk, bernafas dalam, dan megedan. Nyeri ini

timbul karena adanya kontraksi mpsoas mayor yang menegang dari

dorsal.

b. Bila apendiks terletak dirongga pelvis

Bila apendiks terletakn di dekat atau menempel pada rektum, akan

timbul gejala dan rasangan sigomoid atau rektum,sehingg

aperistaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih

cepat dan berulang-ulang (diare).


c. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung

kemih,dapat terjadi perningkatan frekuensi kemih karena

rangsangan dindingnya. (Kusuma, 2012:31).

d. Kesulitan berjalan atau bergerak (Betz dan Sowden, 2009)

4. Patofiologi

Apendik belum diketahui fungsinya, merupakan bagian dari

sekum. Peradangan pada apendik dapat terjadi oleh adanya ulserasi

dinding mukosa atau obstruksi lumen (biasanya oleh fecalit/ faeses

yang keras). Penyumbatan pengeluaran sekret mukus mengakibatkan

perlengketan, infeksi dan terhambatnya aliran darah. Dari keadaan

hipoksia menyebabkan gangren atau dapat terjadi ruptur dalam waktu

24-36 jam. Bila proses ini berlangsung terus-menerus organ disekitar

dinding apendik terjadi perlengketan dan akan menjadi abses (kronik).

Apabila proses infeksi sangat cepat (akut) dapat menyebabkan

peritonitis. Peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius.

Infeksi kronis dapat terjadi pada apendik, tetapi hal ini tidak selalu

menimbulkan nyeri di daerah abdomen.

Penyebab utama apendisitis adalah obstruksi yang dapat

disebabkan oleh hipreplasia dari folikel limfoid merupakan penyebab

terbanyak, adanya fekalit dalam lumen appendiks. Adanya benda asing

sperti cacing, striktura karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya,

sebab lain misalnya keganasan (karsinoma karsinoid).Obstruksi

apendik itu menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung,


makin lama mukus yang terbendung makin banyak dan menekan

dinding apendiks odem serta merangsang tunika serosa dan peritonium

viseral. Oleh kaena itu apendiks sama dengan usus yaitu torakal X

maka rangsangan itu dirasakan sebagai rasa sakit dikuadran kanan

bawah dari abdomen.Mukus yang terkumpul itu lalu terinfeksi oleh

bakteri menjadi nanah, kemdian timbul gangguan aliran vena,

sednagkan arteri belum terganggu, peradangan yang timbul meluas dan

mengenai peritonium parietal setempat, sehingga menimbulkan rasa

sakit di kanan bawah, keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif

akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu maka timbul alergen dan ini

disebut dengan apendisitis ganggernosa. Bila dinding apendiks yang

telah ,akut itu pecah, dinamakan apendisitis perforasi. Bila omentu usus

yang berdekatan dapat mengelilingi apendiks yang meradang atau

perforasi akan timbul suatu masa lokal, keadaan ini disebut dengan

apendisitis abses. Pada anak-anak karena omentum masih pendek dan

dan tipis, apendiks yang relatif lebih panjang, didnding apendiks yang

lebih tipis dan daya tahan tubuh yang masih kurang, demikan juga pada

orang tua karena telah ada gangguan pembuluh darah, maka perforasi

terjadi lebih cepat. Bila apendisitis infiltrat ini menyembuh dan

kemudian gejalanya hilang timbul dikemudian hari maka terjadi

apendisitis kronis. (Dermawan dan Tutik, 2010 : 83).

5. Pemeriksaan penunjang
a. Test rectal. Hasil teraba benjolan dan penderita merasa nyeri pada

daerah prolitotomi.

b. Pemeriksaan laboraturium:

1) Klien mengalami lekositosis (lebih dari 12.000 mm3), leukosit

meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh

terhadap mikroorganisme yang menyerang. Pada klien dengan

appendicitis akut, nilai netrofil akan meningkat 75%, perlu

dipertimbangkan adanya penyakit infeksi pada pelvis terutama

pada wanita Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm 3 maka

umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis.

2) C-rectiSve protein (CRP). Pertanda respon inflamasi akut (acute

phase response) dengan nilai sensitifitas dan spesifitas CRP

cukup tinggi, yaitu 80-90% dan lebih dari 90%.

3) Hb (hemoglobin) nampak normal.

4) Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan appendicitis

infiltrate.

5) Urinalisis: normal, tetapi eritrosit, leukosit mungkin ada. Urine

rutin penting untuk melihat adanya infeksi pada ginjal.

a. Foto abdomen: dapat menunjukkan adanya pengerasan

material pada apendiks (fekalit), ileus terlokalisir. Pada


keadaan perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam

diafragma. (Suratun & Lusianah, 2010 : 98).

b. Barium enema (Nugroho, Taufan, 2011:125).

6. Penatalaksanaan.

Menurut Dermawan dan Tutik (2010) penatalaksanaan appendisitis

dibagi menjadi dua yaitu:

a. Operasi

1. Observasi.

Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan,tanda dan gejala

apendisitis Sebelum seringkali belum jelas. Dalam keadaan ini

observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah

baring dan dipuasakan. Leksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai

adanya apendisitis atupun adanya bentuk peritonitis lainnya.

Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah (leokosit

dan hitung jenis) diulang secara periodik. Foto abdomen dan torak

tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyakit yang

lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan

lokalisasi nyeri dibawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.

1. Intubasi perlu.

2. Antibiotik.

b. Operasi Apendiktomi.

c. Pascaoperasi
Perlu dilakukan obervasi tanda-tanda vital untuk mengetahui

terjadinya perdarahan di dalam,syok,hipertemia,atau gangguan

pernafasan. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar,

sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien

dalam dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12

jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila

tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau

peritonitis umum,puasakan diteruskan sampai fungsiusus kembali

normal.

Kembali berikan minum mulai 15ml/jam selama 4-5 jam lalu

naikkan menjadi 30/jam. Keesokan harinya diberikan makanan

sering, dan hari berikutnya diberikan makanan sering, dan hari

berikutnya diberikan makanan lunak.

Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk tegak ditempat

tidur selama 2x30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan

duduk diluar kamar. Hari ke tujuh jahitan dapat diangkat dan

pasien diperbolehkan pulang.

d. Penatalaksanaan gawat darurat non-operasi

Bila tidak ada fasilitas bedah, berikan penatalaksanaan seperti

dalam peritonitis akut. Dengan demikian, gejala apendisitis akut

akan mereda, dan kemungkinan terjadinya komplikasinya akan

berkurang.

7. Komplikasi
a. Komplikasi utama adalah perforasi appendiks yang dapat

berkembang menjadi peritonitis atau abses apendiks.

b. Trombofeblitis supuratif.

c. Abses subfernikus.

d. Obstruksi intestinal. (Wijayaningsih, 2013:77)

BAB III

Konsep Askep Apendisitis.

1. Pengkajian

a. Identitas.

Biasanya terjadi pada kelompok usia yaitu antara usia 10-30 tahun,

kasus tertinggi yaitu laki-laki (siswanti, 2010).

b. Keluhan utama

keluhan umum pada pasien appendistis adalah nyeri samar (nyeri

tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus.

Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang


muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam

beberapa jam , nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah ke titik Mc.

Burney. Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam drerajat

rendah sekitar 37,5-38,5 derajat celcius.(Kusuma, 2012 hal 30).

c. Riwayat kesehatan

1. Riwayat kesehatan sekarang

Meliputi:

P: Nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen. (Kusuma, 2012).

Q:Biasanya pasien mengeluh nyeri yang tajam dan menusuk.

(Sudarsono, 2013).

R: Biasanya nyeri dapat menyebar pada keadaan yang menyebabkan

tekanan serabut saraf (Sudarsono, 2013).

S: Biasanya pasien mengeluh nyeri yang dirasakan terus menerus.

(Sudarsono, 2013).

T: Biasanya pasien mengeluh nyeri bertambah berat jika digerakkan

nemu hilang dengan beristirahat. (Betz Cecily Lynn, 2009).

2. Riwayat kesehata dahulu.

kurangnya mengkomsumsi makan yang berserat dalam sehari-hari,

yang diduga salah satu penyebab terjadinya apendisitis (Sander, 2011).

3. Riwayat kesehatan keluarga

Umunya pada keluarga tidak memiliki penyakit appendisitis (sander,

2011).

d. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum: Pada pemeriksaan fisik , survei umum akan didapatkan

adanya aktivitas kesakitan hebat sekunder dari ketidaknyamanan

abdominal. Pada pemeriksaan TTV didapatkan takikardia dan

peningkatan frekuensi napas. Sementara itu, pada kondisi pediatrik

didapatkan perubahan fisik yang lebih berat daripada orang dewasa.

(Muttaqin, 2013:503).

a. Pemeriksaan body sistem. (Chotimah, 2012).

1. Kepala.

Tidak ada benjolan, simetris, tidak ada nyeri tekan.

2. Leher.

Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek

menelan ada.

3. Muka.

Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi

maupun bentuk. Tidak ada lesi, simetris, tidak odema.

4. Mata.

Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (kecuali ada

perdarahan).

5. Telinga,

Tes bisik weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau

nyeri tekan.

6. Hidung.

Tidak ada deformoitas, tidak ada pernafasan cuping hidung.


7. Mulut dan faring.

Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahahan, mukosa

mulut tidak pucat.

8. Paru.

Inspeksi: Kanan dan kiri simetris.

Palpasi: Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.

Perkusi: Suara ketok sonor, tidak ada redup atau suara nafas

tambahan.

Auskultasi: Suara nafas normal, tidak ada wheezing, atau suara

tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.

9. Jantung.

Inspeksi: Ictus cordis tampak pada ics 4-5 midclavikula sinistra.

Palpasi: Nadi meningkat, ictus cordis teraba pada ics 4-5 mid

clavikula sinistra.

Perkusi: Pekak.

Auskultasi: Suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur.

10. Abdomen.

Inspeksi: Bentuk datar, dan simetris.

Palpasi: nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen.

Perkusi: Suara tympani.

Auskultasi: Terjadi peningkatan.

11. Muskuluskeletal.

Inspeksi: Tidak ada lesi, tidak ada odem, tidak ada deformitas.
Palpasi: Tidak ada nyeri tekan.

b. Pola Fungsi Kesehatan.

a. Pola persepsi terhadap kesehatan.

Studi epidemologi menunjukkan makan makanan yang rendah

serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis

(Muttaqin, 2013:499).

b. Pola aktivitas dan latihan.

Aktivitas dipengaruhi oleh keadaan rasa nyeri aktivitas biasanya

terbatas karena harus bedrest (Santi, 2013).

c. Pola nutrisi dan metabolik.

Pada pasien appendicitis pola makan rendah serat memiliki resiko

appendicitis yang lebih tinggi (Haryono, 2012:129).

d. Pola eliminasi.

1) Eliminasi alvi: Pada pasien appendisitis akan terjadi

konstipasi, dan kadang-kadang terjadi diare (Haryono,

2012: 134).

2) Eliminasi urin: Pada pasien appendisitis tidak mengalami

penurunan produksi urin / retensi urin (Santi, 2013).

e. Pola kognitif perseptual.

Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan, peran serta

pendengaran, kemampuan, berfikir, mengingat masa lalu, orientasi

terhadap orang tua, waktu, dan tempat (Santi, 2013).

f. Pola konsep diri.


Biasanya pasien appendisitis tidak mengalami gangguan konsep

diri (Santi, 2013).

g. Pola koping.

Kebiasaan pasien yang digunakan dalam mengatasi masalah (Santi,

2013).

h. Pola seksual reproduksi.

Adanya larangan untuk berhubungan selama beberapa waktu

(Sudarsono,2013).

i. Pola hubungan.

Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak bisa

melakukan peran baik dalam keluarganya dan dalam masyarakat.

Penderita mengalami emosi yang tidak stabil (Sudarsono, 2013).

j. Pola nilai dan kepercayaan.

Pasien melaksanakan ibadah sesuai dengan yang dianut dan

mendekatkan diri pada Tuhan selama sakit (Sudarsono, 2013).

B. Diagnosa keperawatan

1. Praoperasi Apendisitis (Suratun dan lusianah, 2010).

a. Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan usus oleh

inflamasi.

b. Risiko terjadinya kekurangan volume cairan berhubungan

dengan pemasukan.
c. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya

pertahanan tubuh,perforasi atau ruptur pada apendiks atau

post operasi.

d. Hipertermi berhubungan dengan respon sistemik.

e. Kurang pengetahuan prosedur pembedahan dengan kurang

informasi.

2. Post Apendisitis (Suratun dan lusianah, 2010).

1. Nyeri berhubungan dengan adanya insisi bedah pada daerah

abdomen kanan atas, terpasang drein pada sisi luka

pembedahan.

2. Risiko tinggi terjadinya kekurangan volume cairan

berhubungan dengan muntah praoperasi, pembatasan cairan

pascaoperasi.

3. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak

adekuatnya pertahanan utama perforasi / ruptur pada

apendiks.

4. Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan kerusakan

jar ingan pasca bedah.

5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan

kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang

mendapat informasi,kurang mengingat, salah interpestrasi

informasi.

C. Rencana tindakan keperawatan. (Suratun dan lusianah, 2010:387).


Praoperasi Apendisitis.

1. Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan usus oleh inflamasi

(Suratun dan lusianah, 2010).

Tujuan:

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan

Nyeri teratasi atau hilang (Chotimah, 2012).

Kriteria Hasil: (Suratun dan lusianah, 2010).

a. Klien melaporkan rasa sakit atau nyerinya berkurang atau

terkontrol.

b. Wajah tampak rileks.

c. Klien dapat tidur atau istirahat dengan cukup.

Intervensi (Suratun dan lusianah, 2010).

1. Kaji nyeri, catat lokasi karakteristik,beratnya ( skala 0-10 ) selidiki

dengan laporan perubahan nyeri dengan tepat.

R: Untuk menilai keefektifan obat, kemajuan penyembuhan.

2. Pertahankan istirahat dengan posisi semi-fowler.

R:Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomen bawah,

menghilangkan tekanan abdomen, sehingga menurunkan nyeri.

3. Anjurkan klien nafas dalam, ( hirup udara dari hidung dan

keluarkan melalui mulut)

R: Nafas dalam otot-otot menjadi relaksasi sehingga dapat

mengurangi nyeri.

4. Berikan aktivitas hiburan.


R: Meningkatkan relaksasi dan menurunkan nyeri.

5. Pertahankan puasa atau pengisapan NGT pada awal, sesuai progam

medik.

R: Menurunkan ketidaknyamanan pada peristaltik usus dan iritasi

gaster atau muntah.

6. Berikan analgesik sesuai indikasi.

R: Menghilangkan nyeri.

2. Risiko terjadinya kekurangan volume cairan berhubungan dengan

pemasukan cairan yang tidak adekuat(mual muntah) (Suratun dan

lusianah, 2010).

Tujuan:

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan

Pemasukan cairan adekuat (Chotimah, 2012).

Kriteria Hasil: (Suratun dan lusianah, 2010).

a. Cairan dan elektrolit dalam keadaan seimbang.

b. Turgor kulit baik, tanda-tanda vital stabil, membran mukosa

lembab.

c. Penpengeluaran urin adekuat dan normal.

d. Pengisian kapilern < 3 detik.

Intervensi (Suratun dan lusianah, 2010).

1. Monitor tanda-tanda vital(suhu,nadi,napas dan tekanan darah)


R: Mengidentifikasi fluktasi volume intravaskular, indikator secara

dini tentang adanya hipovolemi.

2. Observasi membran mukosa, kaji turgor kulit dan pengisian kapiler.

R: Perubahan dari normal tanda tersebut indikasi tidak adekuatnya.

3. Awasi masukan dan keluaran, catat warna urine, kosentrasi, berat

jenis urine.

R: Penurunan keluaran urine pekat dengan peningkatan berat jenis

urine diduga dehidrasi.

4. Berikan cairan sedikit tapi sering.

R: Untuk meminimalkan kehilangan cairan.

5.Jelaskan agar menghindari makanan atau bau-bauan yang

merangsang mual.

R: Menghindari adanya pengeluaran cairan peroral atau muntah

6. Berikan perawatan mulut dan bibir dan sering.

R: Meminimalkan terjadinya luka pada mukosa mulut, bibir.

7. Berikan cairan intravena (IV) dan elektrolit.

R: Memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit.

3. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan

tubuh,perforasi atau ruptur pada apendiks atau post operasi (Suratun

dan lusianah, 2010).

Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam

diharapkan Tidak terjadi infeksi (Chotimah, 2012).

Kriteria Hasil: (Suratun dan lusianah, 2010).


a. Bebas dari tanda-tanda infeksi.

b. Tidak ada dranase purulen.

c. Tanda-tanda vital: suhu, nadi, pernapasan dan tekanan darah dalam

batas normal.

d. Hasil lab: lekosit dalam batas normal.

Intervensi: (Suratun dan lusianah, 2010).

1. Monitor tanda-tanda infeksi: perhatikan adanya demam. Perubahan

mental, meningkatnya nyeri abdomen.

R: Mengidentikasi adanya peningkatan suhu sebagai indikator

adanya infeksi.

2. Lakukan pencucian tangan sebelum dan sesudah kontak dengan

klien.

R: Menurunkan risiko terjadinya kontaminasi mikroorganisme.

3. Lakukan pencukuran pada area operasi (perut kanan bawah)

R: Dengan pencukuran klien terhindar dari infeksi post operasi.

4. Anjurkan klien mandi dengan sempurna sebelum operasi.hu

R: Kulit yang bersih dapat mencegah timbulnya mikroorganisme.

5. Berikan antibiotik sesuai program terapi.

R: Menyembuhkan infeksi atau mencegah penyebaran infeksi.

4. Hipertermi berhubungan dengan respon sistemik (Suratun dan lusianah,

2010).

Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam

diharapkan nyeri teratasi atau hilang.


Kriteria hasil: (Suratun dan lusianah, 2010).
a. Klien melaporkan rasa sakit nyerinya berkurang (1-3)

b. wajah tampak rileks.

Intervensi: (Suratun dan lusianah, 2010).

1. Anjurkan untuk memakai baju yang tipis.


R: Untuk menurunkan penguapan secara efaporasi.
2. Anjurkan untuk kompres dingin.
R: Untuk menurunkan suhu tubuh secara konduksi.
3. Observasi ttv.
R: Untuk menurunkan suhu tubuh.
4. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antipiretik.
R: Untuk menurunkan suhu tubuh.

5. Kurang pengetahuan prosedur pembedahan dengan kurang informasi

(Suratun dan lusianah, 2010).

Tujuan: Pemahaman klien tentang proses penyakit dalam prosedur

pembedahan (Chotimah, 2012).

Kriteria Hasil: (Suratun dan lusianah, 2010).

a. Klien memahami prosedur yang harus dilakukan sebelum dan

sesudah operasi.

b. Kooperatif dalam tindakan persiapan operasi maupun sesudah

operasi.

Intervensi:

1. Jelaskan prosedur persiapan operasi: pemasangan infus, puasa 6-8

jam sebelum operasi, cukur area operasi.

R: Meningkatkan kerjasama dengan klien dalam persiapan tindakan

medis yang diberikan.

2. Jelaskan situasi dikamar bedah.


R: Membersihkan gambaran kondisi kamar bedah, menurunkan

ansietas.

3. Jelaskan pada klien tentang latihan-latihan yang akan dilakukan

setelah operasi.

R: Menyiapkan klien agar dapat berkerjasama dalam melakukan

latihan-latihan yang akan dilakukan setelah operasi.

4. Jelaskan prosedur operasi kolaborasi dengan medik.

R: Memberikan gambaran tentang prosedur operasi, menurunkan

ansietas

5. Kolaborasi dengan medik saat melakukan inform consent pada

klien dan keluarga.

R: Memberikan kesempatan pada klien dan keluarga untuk

menuntukan pilihan, sebagai legalitas bagi rumah sakit.

Post Apendisitis. (Suratun dan lusianah, 2010).

1. Nyeri berhubungan dengan adanya insisi bedah pada daerah abdomen

kanan atas, terpasang drain pada sisi luka pembedahan (Suratun dan

lusianah, 2010).

Tujuan dan Kriteria hasil: Setelah dilakukan asuhan keperawatan

selama 3x24 jam diharapkan (Chotimah, 2012).

a. Klien tampak rileks.

b. Klien mampu tidur / istirahat dengan tepat.

c. Klien melaporkan nyeri berkurang atau hilang.

d. Skala nyeri 0-2.


Intervensi keperawatan: (Suratun dan lusianah, 2010).

1. Kaji skala nyeri, catat lokasi nyeri, karakteristik, skala (0-10)

selidiki dan laporkan perubahan nyeri dengan cepat.

R: Perubahan karakteristk nyeri menunjukan terjadinya abses atau

peritonitis dan memerlukan evaluasi lebih lanjut.

2. Atur posisi tidur dengan semi fowler.

R: Graitasi melekolisasi eksudat inflamasi dalam abdomen bawah,

dan menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan

posisi terlentang

3. Anjurkan klien melakukan ambulasi dini.

R: Meningkatkan normalisasi fungsi organ, merangsang peristaltik

dan kelancaran flatus.

4. Berikan aktivitas hiburan: nonton tv, mendengarkan musik, baca

majalah atau koran.

R: Meningkatkan relaksasi, dan dapat menurukan nyeri.

5. Pertahankan puasa atau penghisapan nasogastrik pada awal pasca

pembedahan.

R: Menurunkan ketidaknyamanan pada peristaltik usus dini dan

iritasi gaster atau muntah

6. Berikan analgetik sesuai progam terapi.

R: Menghilangkan nyeri, pada saat ambulasi dan batuk.


2. Risiko tinggi terjadinya kekurangan volume cairan berhubungan

dengan muntah pra operasi, pembatasan cairan pascaoperasi (Suratun

dan lusianah, 2010).

Tujuan dan Kriteria hasil: Setelah dilakukan asuhan keperawatan

selama 3x24 jam diharapkan Mempertahankan keseimbangan volume

cairan (Chotimah, 2012).


Kriteria Hasil: (Suratun dan lusianah, 2010).
a. Membran mukosa lembab.
b. Turgor kulit baik.
c. Tanda vital stabil.

d. Pengeluaran urine adekuat.

Intervesi Keperawatan:

1. Observasi tanda- tanda vital.

R: Tanda yang membantu mengidentifikasi fluktuasi volume

intraveskuler.

2. Lihat membran mukosa: kaji turgor kulit dan pengisian kapiler.

R: Indikator kembalinyan cairan.


3. Monitor masukan dan pengeluaran cairan: catat urine jenis,

kosentrasi dan berat jenis.


R: Penurunan pengeluaran urine pekat dengan peningkatan berat

jenis diduga dehidrasi/kebutuhan peningkatan cairan.

4. Auskultasi bising usus , catat kelancaran flatus,peristaltik usus.

R: Indikator kembalinya peristaltik, kesiapan untuk pemasukan

peroral.
5. Berikan minum sedikit demi sedikit jika minum oral telah boleh

dilakukan dan lanjutan dengan diet sesuai toleransi.

R: Menurunkan iritasi gaster/ muntah untuk meminimalkan

kehilangan cairan.
6. Berikan perawatan mulut sering dengan perhatian khusus pada

perlindungan bibir.
R: Dehidrasi mengakibatkan bibir dan mulut kering dan pecah-

pecah.
7. Kolaborasi dengan penghisapan gaster/usus.
R: Selang nasogastrik untuk dekompresi usus, meningkatkan

istirahat usus, mencegah muntah

8. Kolaborasi dalam pemberian cairan intravena dan elektrolit.

R: Peritoneum beraksi terhadap iritasi/ infeksi dengan

menghasilkan sejumlah besar cairan yang dapat menurunkan

volume sirkulasi.

3. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya

pertahanan utama perforasi / ruptur pada apendiks (Suratun dan

lusianah, 2010).

Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam klien

tidak terjadi infeksi dan mempercepat penyembuhan (Chotimah,

2012).

Kriteria hasil: (Suratun dan lusianah, 2010).

a. Tidak ada tanda tanda infeksi.

b. Drainase jernih.

c. Tidak ada eritema


d. Tidak ada demam.

Intervensi dan Rasional: (Suratun dan lusianah, 2010).

1. Monitor tanda- tanda vital, demam, menggigil,berkeringat,

perubahan mental,meningkatnya nyeri abdomen.

R: Duganya adanya infeksi, abses, peritonitis

2. Lakukan pencucuian tangan yang baik dan perawatan luka

antiseptik.

R: Menurunkan risiko penyebaran bakteri.

3. Berikan perawatan paripurna. observasi insisi dan balutan catat

karateristik drainase luka/ drain,adanya eritema.

R: Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi dan

pengawasan peritonitis yang telah ada sebelumnya.

4. Berikan informasi yang tepat, jujur pada pasien atau orang terdekat.

R: Pengetahuan tentang kemajuan situasi memberikan dukungan

emosi, membantu menurunkan ansietas.

5. Ambil spesimen untuk pemeriksaan.

R: Mengidentifikasi organisme penyebab dan pilihan terapi yang

tepat.

6. Berikan antibiotik sesuai progam.

R: Sebagai propilaksis atau menurunkan jumlah organisme. Untuk

menurunkan penyebaran dan pertumbuhannya pada organ

abdomen.

7. Bantu irigasi dan drainase bila diindikasikan.


R: Untuk mengalirkan isi abses terlokalisir.

4. Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan kerusakan jar ingan

pasca bedah. (Suratun dan lusianah, 2010).

Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24jam

diharapkan tidak terjadi infeksi (Chotimah, 2012).

Kriteria hasil: (Suratun dan lusianah, 2010).

a. Kondisi luka pasca oprasi menunjukkan adanya perbaikkan

b. Terdapat jaringan baru yang tumbuh.

c. Tanda tanda vital batas normal.

Intervensi:

1. Kaji keadaan luka pasien.

R: Untuk mengidentifikasi tanda tanda infeksi lebih dini.

2. Observasi TTV.

R: Peningkatan suhu tubuh menunjukkan adanya tanda infeksi

pada luka pasca bedah.


3. Lakukan perawatan luka tiap pagi dengan tekhnik steril.
R: Perawatan luka dengan tekhnik steril berfungsi untuk

membersihkan luka post dan mencegah infeksi.


4. Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas seperti jalan- jalan.

R: Aktivitas seperti jalan jalan dapat membantu penyembuhan luka

pasien.

5. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.

R: untuk membantu tidak terjadi infeksi.


5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan

pengobatan berhubungan dengan kurang mendapat informasi,kurang

mengingat, salah interpestrasi informasi (Suratun dan lusianah, 2010).

Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan 3x24 jam diharapkan

klien dan keluarga mengerti tentang kondisi (Chotimah, 2012).

Kriteria Hasil: (Suratun dan lusianah, 2010).

Klien menyatakan pemahaman tentang penyakit, pengobatan dan

perawatan.

a. Kriteria Hasil:Klien dapat menjelaskan penyakitnya

b. Klien dapat menjelaskan pengobatan yang diberikan.

c. Klien berpatisipasi dalam pengobatan

Intervensi : (Suratun dan lusianah, 2010).

1. Kaji ulang pengetahuan klien tentang pembatasan aktivitas pasca

pembedahan, seperti mengangkat berat, olahraga berat.

R: Memberikan informasi pada klien untuk merencanakan kembali

rutinitas biasa tanpa menimbulkan masalah.

2. Jelaskan agar klien melakukan aktivitas sesuai kemampuan secara

bertahap.

R: Meningkatkan penyembuhan, perasaan sehat dan mempermudah

kembali ke aktivitas normal.

3. Jelaskan menggunakan laksatif atau pelembek feses ringan bila

perlu dan hindari enema.


R: Membantu kembali ke fungsi usus semula, mencegah mengejan

saat defekasi

4. Jelaskan perwatan insisi termasuk mengganti balutan, pembatasan

mandi dan kontrol ke dokter untuk mengangkat jahitan.

R: Pemahaman klien tentang perawatan dapat meningkatkan

partisipasi dalam progamterapi.

5. Jelaskan gejala yang memerlukan evaluasi medik, seperti

peningkatan nyeri , edema atau eritema luka adanya dreinase

demam.

R: Upaya intervensi menurunkan risiko komplikasi serius seperti

lambatnya penyembuhan, peritonitis.

D. Implementasi.

Menurut Muttaqin (2013:507) menyatakan penerapan implementasi

keperawatan terkait masalah nyeri dapat dilakukan penatalaksanaan

medis dengan intervensi yang perawat lakukan pada pasien apendisitis

E. Evaluasi.

Menurut Muttaqin (2013:513) evaluasi pemenuhan rasa aman dan

nyaman nyeri yaitu:

S: Klien mengatakan nyeri kuadran kanan bawah abdomen berkurang

atau terdaptasi.

O: Skala nyeri 1-3, ekspresi wajah tampak rileks.

A: Masalah belum teratasi.

P: Lanjutkan intervensi.
1) Kaji nyeri, catat lokasi karakteristik,beratnya ( skala 0-10 ) selidiki

dengan laporan perubahan nyeri dengan tepat.

2) Pertahankan istirahat dengan posisi semi-fowler.

3) Anjurkan klien nafas dalam, ( hirup udara dari hidung dan

keluarkan melalui mulut).

4) Berikan aktivitas hiburan..

5) Berikan analgesik sesuai indikasi.


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Apendisitis merupakan penyakit sistem pencernaan yang dapat

dipengaruhi gaya hidup atau pola kebiasaan sehari-hari, seperti kurangnya

mengkomsumsi makan yang berserat dalam sehari-hari (Sander, 2011).

Apendik merupakan salah satu insiden penyakit yang umum yang

memerlukan operasi darurat dan gangguan perut bedah traumatik (Morton

dkk, 2012). Tindakan operasi apendik adalah peristiwa kompleks sebagai

ancaman aktual kepada intergritas seseorang spritual dan biopsikososial

yang dapat menimbulkan respon nyeri (Siswanti, 2011).

B. Saran.
Daftar Pustaka

Betz & Sowden, 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta:EGC.

Brunner & Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal Bedah, volume 1. Jakarta :


EGC.

Haryono,Rudi, 2012. Keperawatan Medikal Bedah Sistem Pencernaan.


Jakarta: EGC

Kusuma. 2012. Panduan penyusunan asuhan keperawatan profesional.


Jakarta: EGC

Muttaqin,arif , 2011. Gangguan gastrointestinal Aplikasi medikal bedah.,


Jakarta : Salemba Medika.

Sudarsono, Lia, 2013. Post Operasi Apendiktomi


http//scolar.google.co.id/scolar?
hI=id&q=APENDISITIS+LIA+MARSELINA&btnG=, 19 Maret 2014

Sjamuhidajat, R, 2005. Buku ajar ilmu Bedah. Ed 2. Buku kedokteran. Jakarta :


EGC.

Suratun dan lusianah, 2010. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan


Gastrointestinal. Jakarta : TIM.

Wahit & nurul, 2008. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : EGC.

Wijayaningsih, Kartika, 2013. Standar Asuhan Keperawatan. Jakarta : TIM.

Вам также может понравиться