Вы находитесь на странице: 1из 4

Menurut Werner 1987, Kota-kota besar dan kecil di kepulauan di India, termasuk yang ada di

Indonesia memiliki akar sejarah tersendiri. Tempat-tempat ini secara umum dibagi dalam empat
strata utama dalam formasi perkotaan, yakni pendirian kota-kota baru, masyarakat agrikultural
yang kemudian berkembang menjadi pusat dominasi asli yang baru, pusat-pusat perdagangan
dan pusat-pusat administratif. Kedua strata yang terakhir membentuk tempat yang dahulunya
pedesaan. Masih menurut Werner (1987), prasyarat paling penting untuk formasi awal
pembentukan kota sudah ada di nusantara sebelum periode Hindu, hal ini dapat diindikasikan
dengan adanya institusionalisasi pemerintahan yang diatur oleh seorang penguasa. Pada saat
itu ada dua jenis tipe masyarakat perkotaan yang sedang berkembang yakni, masyarakat yang
memiliki dominasi pekerjaan berdagang di pelabuhan dan pusat dominasi kegiatan pada
kekuasaan lokal (pedalaman).

Pada periode pengaruh kerajaan Hindu, Islam dan periode awal kekuasaan Eropa (1400-
1700M), perdagangan merupakan faktor utama pada pembentukkan masyarakat dengan
karakteristik perkotaan, meski tidak secara langsung namun perdagangan mempercepat proses
feodalisasi dalam sebuah komunitas asli. Sementara pada masa Pemerintah Kolonial (1700-
1900) pertumbuhan perkotaan lebih efektif dirangsang dengan menggunakan faktor
politis/administrasi ketimbang dengan faktor kegiatan perdagangan. Masih menurut sumber
yang sama menyebutkan bahwa kotadi Indonesiamemiliki tiga karakter yaitu, permukiman
nelayan, permukiman industri manufaktur dan pertambangan dan permukiman pariwisata.[1]
Jika kita telusuri sebelum kedatangan Portugis dan Belanda, di Indonesia hampir tidak kita
dapati satu kotaatau bekas kotayang berarti. Namun, yang ada adalah kotapantai atau bandar
sebagai pusat lalu lintas perdagangan terbatas, seperti Palembang(pada masa Sriwijaya),
Barus di pantai Barat Sumatera, Tanjung Perak di Surabaya. Sementara itu, di pusat-pusat
kerjaan Nusantara juga masih dapat kita jumpai bekas kotayang terbentuk dengan kegiatan
sebagai pusat pemerintahan, seperti Yogyakarta, Solo dan kotakecil lainnya di Bali. [2]
Menurut Marbun 1994, pertumbuhan kotadi Indonesiamelalui sejarah yang cukup panjang.
Kota-kota di Indonesiasaat ini bukan merupakan bentukan atau warisan dari zaman keemasan
kerajaan Nusantara terdahulu, tetapi merupakan bentuk dan kreasi sejarah dan faktor kebetulan
yang kemudian diteruskan dan dibina penjajah Belanda selama 350 tahun. Pada mulanya kota-
kota di Indonesia terbentuk akibat faktor-faktor, yaitu sebagai pusat pemerintahan kolonial,
sebagai pusat niaga dan sebagai pelabuhan serta terminal untuk memasok berbagai bahan
kepentingan pemerintah kolonial.[3] Bertolak dari pembentukankota yang merupakan hasil dari
aktivitas dominan sebuahkota, maka sesuai tuntutan kebutuhan warganyakota terus tumbuh
menyesuaikan dengan perkembangan dunia.
Bentukan, kreasi dan faktor kebetulan yang mendorong pertumbuhan bagi sebuah
kotasehingga akhirnya dapat membentuk citra suatu kota(seperti dituturkan Marbun 1994)
tentunya ditunjang oleh keutamaan fisik alamiah dari sebuah kota. Seperti halnya, posisi atau
keutamaan fisik alam Kota Cilegon yang berada di pesisir pantai dan berbatasan (terpisah oleh
Lautan) dengan lempengan Sumatera sehingga dapat memposisikan Kota Cilegon sebagai
Kota Pelabuhan (Merak). Jakarta sebagai kota perdagangan karena kondisi fisik alam yang
merupakan wilayah dataran dengan posisi strategis dengan jalur darat yang secara langsung
berbatasan dengan wilayah Tangerang, Bekasi dan Depok yang merupakan supplier sekaligus
konsumen dari berbagai barang yang diperjualbelikan di Jakarta, selain jalur darat, jalur laut
dan udara juga memberikan kemudahan bagi kegiatan perdagangan sehingga wilayah yang
dijangkau kota ini dalam kegiatan perdagangan lebih luas, kondisi ragam jenis barang dan
ditunjang aksesibilitas yang baik jelas menarik konsumen dari berbagai wilayah untuk ke
Jakarta melakukan transaksi perdagangan. Maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas dominan
yang dapat membentuk kota dapat diasumsikan sebagai akibat dari suatu sebab yaitu
kondisi/keunggulan fisik alamiah kota, bukan karena kebetulan semata. Hal ini juga diperkuat
oleh Branch (1996) yang menyatakan bahwa bentuk kota secara keseluruhan mencerminkan
posisinya secara geografis dan karakteristik tempatnya.[4]
Mendukung pernyataan di atas, menurut Werner 1987 dalam perkembangan kota-kota di
Indonesia mengungkapkan beberapa identitas kota dengan berbagai ciri fisik yaitu, bagi sebuah
desa nelayan adalah letak permukiman yang berada di tepi pantai atau muara sungai, atau juga
tepi danau yang tidak curam, bukan hutan bakau, dan tidak berlumpur, selain itu juga memiliki
akses ke laut lepas. Sementara itu, Kotaindustri manufaktur dan kotatambang umumnya
berkembang karena dorongan dari perkembangan infrastruktur, motorisasi, dan perkembangan
jasa-jasa pelayanan, selain itu umumnya tipe kotaini di Indonesiaterletak diluar/bersebelahan
dengan kotapemerintahan. Sedangkan kota pariwisata, secara fisik seperti karakter alamnya
memiliki keunikan atau keistimewaan, seperti sumber air panas di wilayah tropik, lokasi di
wilayah pegunungan atau perbukitan seperti Bandung, secara non fisik seperti keunikan etnik
dan budaya.[5]
Kota Batavia misalnya telah dibangun dan dibesarkan oleh perdagangan yang sudah
berkembang sejak kekuasaan Tarumanegara (abad ke-5 dan ke-6M) sampai dengan 20M
dengan titik utamanya Pelabuhan Sunda Kelapa dan berbagai keterlibatan pedagang yang
berasal dari Eropa, Gujarat maupun Cina. Demikian kuatnya dominasi kegiatan ini sampai
Pemerintah Hindia Belanda mellihat dominasi kegiatan ekonomi pesisir ini sulit ditembus karena
kebanyakan penguasa kota-kota pesisir telah menjalin kerjasama dengan Inggris yang
merupakan pesaing Belanda dalam kolonialisme di nusantara pada saat itu. Kemudian
pertumbuhan fisik kota Batavia diteruskan ke arah Selatan dengan memberikan tembok
pertahanan yang memanjang dan menghadap ke Timur, Selain itu Batavia juga dilengkapi
dengan dinding kota dengan 15 sudut tembak meriam, semua peralatan ini dibangun untuk
pertahanan sekaligus mengantisipasi serangan Mataram saat itu.[6] Untuk mendeteksi sejarah
dan dominasi aktivitas yang membentukkota yang pada pemerintahan yang berwenang dapat
kita perhatikan dari karakteristik lingkungan binaan yang dibangun oleh pemerintahkota saat itu.
Trend pertumbuhannya pun akhirnya disesuaikan dengan kebutuhan warga yang tinggal di
dalamnya.
Pada awal pertumbuhannya, permukiman urban di Indonesia masih diwarnai oleh tradisi
pedesaan yang dipengaruhi oleh struktur agraris dengan kehidupan sosial yang bertumpu pada
ekonomi gotong royong. Namun seiring berjalan waktu, sebagian kelompok masyarakat merasa
perlu melengkapi dirinya dengan budaya tulis-menulis, misalnya Sansekerta, Jawa Kuno, Arab
Melayu, sehingga mereka menghasilkan peradaban kota, sedangkan yang tidak akan tetap
berpegang pada peradaban desa dan kelompok ini jelas akan tertinggal. Lebih lanjut,
pertumbuhan kota menghasilkan sistem pelapisan sosial dan birokrasi yang ternyata berhasil
mendorong masyarakat agar mampu menghasilkan surplus pertanian dan industri domestik
yang hasilnya akan mendukung kebudayaan kota.[7]

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Kota di Indonesia


Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa, pertumbuhan kota-kota di Indonesia
awalnya didorong oleh :

1. aktivitas kota (baik dominasi kegiatan pemerintahan/politis, perdagangan,


pertahanan, pertambangan, manufaktur, dsb) yang pada akhirnya membentuk citra
(image) kota. Citra kota tersebut dapat menentukan struktur simbolis yang akan
diperhatikan, diingat dan dianggap penting oleh oleh kelompok-kelompok pemukim di
kota itu atau oleh para pengunjung.[8] kemudian;
2. aktivitas kota tentunya sangat ditunjang oleh potensi fisik wilayah;
3. penduduk kota (baik penduduk asli maupun pendatang) yang melakukan aktivitas
pemenuhan kebutuhan hidupnya di kota juga merupakan tulang punggung penggerak
dinamika kehidupan kota;
4. Berbagai faktor-faktor di atas akhirnya perlu ditunjang dengan faktor kebijakan politis
pemerintahan yang berwenang yang juga mendorong tumbuh dan eksisnya suatu
kota.

[1] Werner Rutz, Urbanization of the Earth 4, Cities and Town in Indonesia,Stuttgart,Berlin,
1987.
[2] Marbun, Kota Indonesia Masa Depan, Masalah dan Prospek, Penerbit Erlangga, Jakarta,
1994
[3] Marbun, Kota Indonesia Masa Depan, Masalah dan Prospek, Penerbit Erlangga, Jakarta,
1994
[4] Melville C. Branch, Perencanaan Kota Komprehensif, Gadjah Mada University Press,
1996
[5] Werner Rutz, Urbanization of the Earth 4, Cities and Towns in Indonesia,Stuttgart,Berlin,
1987
[6] Bagus Wiryomartono, Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia, 1994
[7] Bagus Wiryomartono, Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia, 1994
[8] Hans Dieter Evers & Rudiger Korff, Urbanismo di Asia Tenggara, Yayasan Obor
Indonesia, 2002

Вам также может понравиться