Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Oleh :
Lasino
Fefen Suhedi
Balai Sains Bangunan Puslitbang Permukiman
Departemen Pekerjaan Umum
ABSTRAK
Gedung tinggi merupakan fenomena daerah urban / perkotaan, dimana semakin banyak didirikan di
berbagai kota besar di Indonesia. Melalui Undang-Undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
( UUBG 2002 ), factor keselamatan telah menjadi persyaratan penting yang harus dipenuhi oleh
bangunan gedung. Salah satu asapek keselamatan adalah keselamatan dari bahaya kebakaran. Untuk
menjamin tingkat keandalan serta keselamatan bangunan agar dapat digunakan sesuai dengan
fungsinya, maka perlu dilengkapi dengan system proteksi aktif, system proteksi pasiaf, dan penerapkan
Manajemen Keselamatan Kebakaran ( Fire Safety Management, FSM ). Ketiga komponen proteksi
tersebut adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Telah dilaksanakan kajian penerapan manajemen keselamatan kebakaran pada bangunan gedung di
Indonesia. Pada penelitian ini, bangunan gedung dikelompokkan mejadi tiga kategori fungsi : 1)
perkantoran, 2) rumah sakit, dan 3) bangunan komersil (hotel dan pusata belanja ). Kajian dilaksanakan
dengan metode survey dan pengamatan langsung ke bangunan gedung. Bangunan gedung yang
dijadikan subjek penelitian adalah bangunan gedung yang memenuhi ketentuan keharusan menerapkan
manajemen keselamatan kebakaran sesuai Kepmenneg PU no. 11/KPTS/2000.
Dari hasil kajian ini diperoleh gambaran umum bahwa pada dasarnya FSM telah dijalankan pada
bangunan gedung, dengan bentuk dan kualitas yang beragam. Didapati bahwa bangunan komersil
memiliki perhatian yang lebih baik dalam penerapan FSM dibandingkan bangunan perkantoran dan
rumah sakit. Namun demikian, apresiasi masyarakat terhadap FSM dirasakan masih kurang. Dari
penelitian ini diidentifikasi kendala-kendala dalam pelaksanaan FSM yang dapat dikelompokkan menjadi :
1) kendala personil ( baik kuantitas maupun kualitas/kompetensi ), 2) pembiayaan yang dirasa
memberatkan, 3) kebijakan ( baik internal maupun eksternal ). Selain itu diharapkan dapat tersusun
pedoman pelaksanaan FSM pada bangunan gedung yang dapat digunakan sebagai masukan dalam
penyusunan peraturan perundangan sebagai penjabaran bagi UUBG 2002 serta membantu pihak-pihak
yang berwenang dalam penyelenggaraan bangunan gedung agar dapata memenuhi persyaratan
keselamatan kebakaran sebagaimana diamanatkan UUBG 2002.
Oleh :
Lasino, Fefen Suhedi,
Balai Sains Bangunan Puslitbang Permukiman
Departemen Pekerjaan Umum
1. PENDAHULUAN
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar bangunan tinggi belum menerapkan system
FSM dengan baik dan konsisten. Undang-Undang Bangunan Gedung ( UUBG-2002 ) yang
mensyaratkan aspek keselamatan bangunan perlu ditindaklanjuti dengan penerapan pedoman teknis
seperti FSM dan Rencana Tindak Darurat Kebakaran atau Fire Emergency Plan (FEP) yang merupakan
sub bagian dari FSM.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan kondisi yang ada saat ini, permasalahan yang masih terjadi pada bangunan tinggi adalah
belum efektifnya system Manajemen Keselamatan Kebakaran yang diterapkan pada sebagian besar
bangunan gedung tinggi yang ada di beberapa kota besar di Indonesia, sehingga keselamatannya
kurang terjamin. Ada banyak faktor yang mempengaruhi pelaksanaan FSM yang akan coba digali pada
kajian ini.
Jaminan keselamatan bagi penghuni yang berada dalam bangunan, secara legal telah menjadi
persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu bangunan gedung. Hal ini dituangkan melalui persyaratan
keandalan yang harus dipenuhi oleh suatu bangunan gedung.
Persyaratan keselamatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) meliputi
persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatan, serta kemampuan
bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dalam bahaya petir.
Pada UUBG 2002, memang tidak disebutkan secara langsung, mengenai kewajiban pembentukan
manajemen keselamatan kebakaran pada bangunan. Namun dalam system proteksi kebakaran., dikenal
apa yang disebut sebagai segitiga proteksi, dimana manajemen keselamatan kebakaran (FSM) menjadi
salah satu komponen tak terpisahkan, selain dua komponen lainnya : system proteksi aktif dan system
proteksi pasif.
Untuk menjamin keselamatan terhadap bahaya kebakaran baik pada penghuni bangunan dan lingkungan
yang dapat terjadi sewaktu-waktu maka diperlukan upaya pengawasan dan pengendalian yang
sistematis terhadap bahaya kebakaran dalam bangunan gedung. Dalam Bab VI butir 5.4, sebagai upaya
jaminan keandalan system adalah :
Unsur manajemen pengamanan kebakaran (fire safety management), terutama yang menyangkut
kegiatan pemeriksaan, perawatan dan pemeliharaan, audit keselamatan kebakaran, dan latihan
penanggulangan kebakaran harus dilaksanakan secara periodic sebagai bagian dari kegiatan
pemeliharaan sarana proteksi aktif yang terpasang pada bangunan.
Setiap bangunan umum termasuk apartemen yang berpenghuni minimal 500 orang, atau yang memiliki
luas lantai minimal 5.000 m2, atau mempunyai ketinggian bangunan lebih dari 8 lantai, atau bangunan
rumah sakit, diwajibkan menerapkan Manajemen Penanggulangan Kebakaran (MPK).
Tujuan adanya Manajemen Penanggulangan Kebakaran (MPK) ini, masih dalam Kepmen yang sama,
sebagaimana disebutkan dalam Bab IV klausul 2.1 pointi 2 :
Bangunan gedung melalui penerapan MPK harus mampu mengatasi kemungkinan terjadinya kebakaran
melakui kesiapan dan keandalan system proteksi yang ada, serta kemampuan petugas menangani
pengendalian kebakaran, sebelum bantuan dari instansi pemadam kebakaran tiba.
Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa menjadi kewajiban bagi pemilik/penggelola bangunan gedung
untuk menjamin keselamatan penghuni bangunan gedung melalui penerapan MPK.
perkantoran memiliki jalur penyelamatan yang membingungkan dan tidak langsung, sering terjadi
disebabkan oleh tata letak kantor atau susunan ruang yang disewakan.
Menurut NFPA 1 dan NFPA 101, hunian perhotelan bersama dengan motel, asrama, apartemen, dan
arumah tinggal termasuk dalam hunian tempat tinggal (residential occupancies). Hunian tempat tinggal ini
dicirikan oleh penghuni yang akan tidur untuk sebagian waktu yang dipergunakan dalam menghuni
bangunan tersebut. Oleh karenanya, mereka mungkin tidak menyadari akan timbulnya api penyebab
kebakaran dan mungkin akan terjebak / tertahan sebelum penyelamatan dapat dilakukan. Pada hunian
tempat tinggal ini terdapat derajat bahaya tertentu yang diakibatkan oleh aktifitas memasak dan derajat
pengenalan terhadap lingkungan sekitar.
Pada bangunan perhotelan, umumnya penghuni tidak familier terhadap lingkungan oleh sebab umumnya
penghuni hanya tinggal untuk sementara. Ketidak familieran terhadap kondisi sekitar dan kemungkinan
dalam keadaan tidur ketika kebakaran terjadi menempatkan tamu hotel dalam bahaya / resiko tertentu.
Permasalahan yang lain, konfigurasi tipikal bangunan hotel yang sering mensyaratkan penyelamatan
tamu hotel dengan melintasi koridor dalam yang penuh dengan bahan pengekspos panas dan asap
sungguh berbahaya bagi tamu tersebut. Oleh karenanya NFPA mensyaratkan keharusan pemasangan
springkler pada bangunan hotel ini dan harut hotel emergency organization dengan segenap
kewajibannya.
Bangunan rumah sakit (hospital) menurut NFPA, dipergunakan untuk tujuan medis atau perawatan untuk
seseorang yang menderita sakit fisik ataupun mental, menyediakan fasilitas untuk istirahat . tidur untuk 4
atau lebih penghuni. Penghuni ini (orang yang dirawat) karena kondisinya tidak mampu melayani dirinya
sendiri. Bangunan rumah sakit sebagai bagian dari jenis hunian untuk perawatan kesehatan, per definisi
menurut NFPA, dipergunakan 24 jam untuk tujuan perawatan medis, psikiatrik (perawatan jiwa), obstetric
(kebidanan) atau bedah bagi 4 atau lebih penderita.
Melihat kodisi / karakteristik spesifik penghuni dari bangunan Rumah Sakit tersebut, NFPA code baik
untuk pencegahan kebakaran (NFPA 1 Fire Prevention Code) maupun untuk keselamatan jiwa (NFPA
101 Life Safety Code) sangat memperhatikan masalah pelayanan pihak terkait yang bertugas terhadap
pasien, perencanaan evakuasi (evacuation plan), latihan penyelamatan darurat kebakaran (fire exit drill),
prosedur baku dalam kasus kebakaran, pemeliharaan sarana jalan ke luar (eksit), pembatasan dalam
aktiafitas merokok, pengaturan tempat tidur, tingkat bahaya dari bahan perabotan dan interior ruangan.
Telah dilakukan survey pada bangunan gedung yang melibatkan 64 bangunan gedung terdiri dari : 30
bangunan hotel, 12 bangunan perkantoran, 11 bangunan rumah sakit, dan 11 bangunan pusat belanja.
Responden tersebar di kota-kota besar Indonesia :
Dari hasil survey, diperoleh data-data dan informasi terkait pelaksanaan FSM sebagai berikut :
2) Kelengkapan sarana proteksi pasif dan aktif pada bangunan gedung diperlihatkan pada
Gambar 4 dan Gambar 5. Untuk proteksi pasif, tangga darurat menjadi andalan pada
setiap ketiga jenis bangunan gedung sampel . Sedangkan untuk proteksi aktif; alat pemadam
api ringan, hidran, dan alat deteksi dan alarm kebakaran relative banyak (lebih dari 70%)
sudah terpasang pada bangunan gedung.
Adapun kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan FSM ditunjukkan pada Tabel 1.
Salah satu kendala dalam pelaksanaan FSM adalah personil. Kendala ini dapat berupa jumlah
personil yang tidak sesuai dengan kebutuhan ataupun personil yang ada tidak memiliki kualifikasi
yang diharapkan dalam bidang fire safety. Tentang jumlah personil diperolah data, jumlah
personil yang terlibat berada pada kisaran 3 sampai 90 orang . (lihat Gambar 6 ). Banyak faktor
yang mempegaruhi kisaran jumlah personil yang diperlukan dalam FSM, diantaranya adalah
kompleksitas dan jumlah penghuni bangunan gedung.
Tidak diperoleh data yang meyakinkan tentang jumlah alokasi biaya untuk keperluan
pelaksanaan FSM. Sebagian besar responden memilih untuk tidak memberikan keterangan.
Namun dari data yang masuk terdapat range yang besar pada jumlah biaya FSM, dari yang
hanya dianggarkan Rp. 3 juta per tahun tetapi ada juga yang mencapai Rp. 200 juta per tahun.
5. DISKUSI
Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh mengenai pelaksanaan manajemen keselamatan
kebakaran pada bangunan gedung, selanjutnya disusun mengenai faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi pelaksanaan manajemen keselamatan kebakaran. Faktor-faktor tersebult, baik internal
(yang berkaitan dengan lingkungan unit kerja) maupun eksternal (yang berkaitan dengan stakeholder
lainnya)., yang berpengaruh positif maupun negative, selanjutnya dipetakan. Pada penelitian ini
digunakan metode SWOT
(Strengh=kekuatan,Weaknesses=kelemahan,Opportunities=peluang,Threats=ancaman). Pemetaan ini
diberikan pada Tabel 2.
Dalam Kepmenneg PU No. 11/KPTS/2000 sebenarnya telah diatur mengenai struktur organisasi
penanggulangan kebakaran (TPK) bangunan gedung. Mengenai jumlah personil yang diperlukan, dalam
kepmenneg, tersebut dinyatakan bahwa setiap 10 karyawan/pengguna bangunan diwajibkan menunjuk
1(satu) orang untuk menjadi anggota kelompok dalam TPK. Bentuk struktur organisasi TPK tergantung
pada klasifikasi resiko bangunan terhadap kebakaran.
Struktur organisasi TPK terdiri dari :
a. Penanggung jawab TPK
b. Kepala Bagian Teknik Pemeliharaan, membawahi :
1) Operator ruang monitor dan komunikasi,
2) Operaotar lift,
3) Operator listrik dan genset,
4) Operaotar air conditioning dan ventilasi,
5) Operator pompa
Dilihat dari struktur organisasi tersebut, minimal ada sebelas posisi yang harus diisi, dimana satu posisi
sangat mungkin untuk ditempati oleh lebih dari satu orang, Misalnya untuk tim pemadam api, tim
penyelamat kebakaran, dan tim pengamanan. Besarnya tim-tim tersebut sangat tergantung pada ukuran
dan komleksitas bangunan gedung, serta jumlah penghuni. Bangunan yang kecil mungkin hanya
memerlukan tim pemadam dan evakuasi yang sederhana, sepanjang jumlah orang yang diperlukan untuk
menjalankan prosedur kebakaran dan evakuasi tercukupi. Orang yang sama dapat saja memerankan
satu atau lebih posisi yang berbeda dalam tim. Jadi yang menjadi prinsip dalam jumlah personil TPK
adalah kecukupan untuk menjalankan prosedur kebakaran dan evakuasi. Tetapi sebagai pegangan,
Kepmenneg PU no. 11/KPTS/2000 memberikan batasan 1(satu) anggota untuk 10(sepuluh) penghuni.
Yang tidak kalah penting adalah kualifikasi dari orang-orang yang terlibat dalam TPK. Untuk itulah, setiap
anggota TPK harus benar-benar terlatih melalui pelatihan-pelatihan yang diberikan sesuai dengan peran
masing-masing dalam tim.
5.2. Biaya
Dilihat dari sisi pemilik bangunan gedung, perancangan proteksi kebakaran yang cost-effective menjadi
point penting yang harus dipenuhi pada bangunan umum, dimana perlindungan dan keselamatan individu
menjadi tujuan utamanya, bukan produksi atau keuntungan.
Proteksi terhadap bahaya kebakaran seharusnya sudah diperhitungkan sejak tahap perencanaan
bangunan. Meningkatnya tingkat proteksi kebakaran dalam bangunan biasanya diikuti dengan
meningkatnya investasi yang diperlukan. Semakin tinggi level proteksi semakin tinggi pula biaya yang
diperlukan. Dalam desain proteksi kebakaran, menjadi hal yang lumrah untuk mengevaluasi sejumlah
alternative desain solusi. Seluruh alternative tersebut tentunya harus memenuhi kebutuhan dasar dimana
system tersebut akan diterapkan. Ada banyak pertimbangan dalam memilih desain solusi, antara lain
pemenuhan terhadap persyaratan. Analisis kefektifan biaya (cost effectiveness) didasarkan pada
berbagai pilihan solusi dan pemeringkatannya. Hasil dari analisis ini adalah pertimbangan cost-benefit
yang dijadikan dasar dalam pemilihan desain bangunan . Yang menjadi pilihan terbaik adalah desain
dengan biaya minimal yang memenuhi semua persyaratan fungsional yang disyaratkan.
Kebakaran menimbulkan kerusakan disekitarnya. Contoh yang paling mudah adalah korban luka atau
korban jiwa, kerusakan lingkungan, rusaknya kekayaan, baik fisik maupun immateri seperti trademark,
hubungan dengan pelanggan, atau gangguan terhadap organisasi.
Jenis kerugian yang paling mudah dikuantifikasi adalah kerugian material, seperti kerusakan barang-
barang, dan lain-lain. Jenis kerugian ini dapat dengan mudah dikonversi ke nilai uang, Kerugian lainnya
yang lebih sulit untuk dinilai dengan uang adalah kehilangan data dan informasi yang rusak akibat
terbakar, seperti dokumen-dokumen penting perusahaan, dan sebagainya.
Sarana proteksi kebakaran pada bangunan gedung adalah kombinasi dari unsur yang bersifat organisasi
dan unsur teknikal. Unsur yang bersifat organisasi meliputi pengembangan rencana tindak darurat,
kebijakan, pelatihan personil, pengendalian internal, dan distribusi tanggung jawab. Sedangkan unsur
teknik dalam proteksi kebakaran meliputi sejumlah system dan fungsi dalam bangunan yang bertujuan
untuk melindungi orang dan property dari luka atau rusak akibat terbakar. Termasuk dalam biaya ini
adalah biaya untuk penggantian atau pemeliharaan peralatan proteksi kebakaran yang telah terpasang.
Biaya asuransi
Kaitannya dengan asuransi, bangunan-bangunan gedung yang sudah diasuransikan biasanya tidak
memikirkan biaya kerusakan akibat kebakaran, karena semua kerugian itu akan ditanggung oleh pihak
asuransi. Masalahnya akan menjadi lain apabila premi yang harus dibayarkan oleh suatu bangunan
gedung yang memiliki system proteksi dapat lebih murah dibandingkan bangunan gedung dengan
proteksi yang rendah? Dari studi ini tidak diperoleh relasi yang jelas mengenai peran asuransi dalam
pembiayaan proteksi kebakaran pada bangunan gedung. Apabila bangunan dengan proteksi yang baik
berpeluang untuk mendapatkan premi yang lebih murah, hal ini tentu akan dapat mengurangi beban
biaya yang harus dikeluarkan oleh pihak pengelola gedung kaitannya dengan proteksi kebakaran.
Biaya ini tidak secara langsung berkaitan dengan operasional bangunan gedung, yaitu biaya
pengembangan standar pada skala nasional kemudian proses pemberlakuannya di daerah-daerah.
Termasuk dalam biaya ini adalah retribusi yang dipungut oleh pemerintah daerah untuk keperluan
layanan institusi pemadam daerah.
Selanjutnya biaya-biaya tersebut dibandingkan dengan manfaat yang akan diperoleh oleh pihak
pengelola dengan penyediaan proteksi yang baik. Diantara manfaat yang diperolah misalnya nama baik,
meningkatnya tingkat hunian, dan sebagainya, yang kemudian dikonversi ke nilai uang. Semua
perhitungan tersebut dilakukan untuk jangka waktu lifetime bangunan secara keseluruhan.
Dengan menganalisis cost-benefit dari penyediaan proteksi keakaran, mungkin biaya yang harus
dikeluarkan oleh pengelola tidak akan dirasakan sebagai beban, bahkan sebuah investasi.
Persoalan selanjutnya adalah bagaimana diketahui bahwa suatu bangunan telah menerapkan FSM
dengan baik? Apakah bangunan gedung yang tidak ada histori kebakaran dapat disebut telah
menerapkan FSM degnan biak? Apakah ahrus menunggu bangunan tersebut terbakar kemudian dilihat
bagaimana kesiapan pihak manajemen dalam menghadapi keadaaan tersebut.
Tentunya tidak perlu semahal itu untuk mengetahui kualitas penerpan FSM pada suatu bangunan
gedung.
Salah satu yang dapat dijadikan sebagai indikasi kualitas penerapan FSM adalah kelengkapan dokumen-
dokumen FSM, misalnya dokumen Rencana Tindak Darurat Kebakaran (RTDK), daftar inventaris dan
lokasi instalasi kebakaran, foarm-form pemeriksaan dan pengujian instalasi kebakaran, dan dokumen
terkait lainnya.
Bukti lainnya bahwa FSM telah diterpkan dengan baik misalnya (Fire Strategy, FRCG):
Pemahaman dan perhatian pada keseluruhan strategi keselamatan kebakaran
RTDK yang diketahui secara umum oleh seluruh penghuni bangunan Apresiasi yang baik
terhadap fire hazard.
Kemauan untuk mengubah tingkah laku yang membahayakan
Tidak ada jalur exit yang terblok, tumpukan barang, yang membahayakan.
Elemen sentral dalam strategi pencegahan dan penanggulangan kebakaran adalah penerapan dan
kualitas FSM. Bisa jadi, sebuah bangunan gedung dilengkapi dengan proteksi aktif yang hebat dan
memiliki rancangan proteksi pasif yang baik, akan tetapi semua itu tidak akan banyak berguna sepanjang
waktu apabila prinsip-prinsip manajemen keselamatan kebakaran tidak diaplikasikan.
Perlindungan dari bahaya kebakaran telah menjadi persyaratan penting yang harus dipenuhi oleh suatu
bangunan gedung. Meskipun mengalami perkembangan yang positif, kebakaran masih menjadi masalah
bagi masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari statistic kerugian yang dialami akibata kebakaran. Salah satu
upaya yanga telah dilakukan pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat
adalah dengan terbitnya UU No. 28 tahun 2002 tentang bangunan Gedung yang mensyaratkan
keandalan bangunan, dimana keselamatan kebakaran menjadi salah satu bagiannya. Manajemen
keselamatan kebakaran (Fire Safety Manajemen) menjadi salah satu elemen penting yang harus
diterapkan pada bangunan gedung untuk mencapai keandalan gedung dari aspek keselamatan
kebakaran seperti disyaratkan.
6.1. Kesimpulan
Dari kajian yang telah dilakukan mengenai penerapan FSM pada bangunan gedung, di Indonesia,
beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut :
- Kurangnya personel
- Kurangnya pelatihan personel
- Kurangnya kemauan personalia
- Sulit koordinasi antar personel
- Kurangnya pengetahuan tentang FSM
Kurangnya pemahaman tentang FSM memunculkan persepsi yang salah terhadap proteksi
kebakaran. Proteksi kebakaran masih dianggap sebagai beban yang harus ditanggung
oleh pengelola bangunan, bukan sebagai tanggung jawab.
Perlunya disusun panduan generic untuk membantu para pengelola bangunan gedung
dalam membentuk FSM.
6.2. Saran
Masih diperlukan upaya sosialisasi dan konsultansi mengenai penerapan peraturan
perundang-undangan yang mengatur bangunan gedung, khususnya penerapan FSM.
Perlu kajian lebih lanjut megnenai aspek pembiayaan dalam bidang, keselamatan
kebakaran pada bangunan gedung. Kajian ini diperlukan untuk memberikan dasar
pemahaman kepada pihak pengelola gedung mengenai pertimbangan cost-benefit proteksi
kebakaran pada bangunan gedung.
REFERENSI