Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
1
lainnya, yaitu penyuntikan mencit dengan Immunoglobulin G (IgG) dari pasien
penderita Myasthenia Gravis dapat mengakibatkan gejala-gejala Myasthenic pada
mencit tersebut, ini menujukkan bahwa faktor immunologis memainkan peranan
penting dalam etiologi penyakit ini.6
2
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTIFIKASI
Nama : Ny. SW
Tanggal Lahir : 4 April 1968
Amur : 49 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamit : Komp. Taman Indah Blok G1 No. 13, Talang Kelapa.
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Tanggal MRS : 24 Mei 2017
No. RM/Register : 0000862142/RJ 16008315
II. ANAMNESIS
Penderita dirawat di bagian syaraf RSMH karena mengalami sesak napas.
6 jam yang lalu penderita mengalami sesak napas dan rasa berat di dada
dan makin lama makin berat. 4 jam yang lalu penderita mulai yang merasa
kelemahan dan kesulitan untuk mengunyah. Hal ini dirasakan bertambah berat,
penderita juga merasa kelemahan pada kaki dan tangan, rasa berat saat
membuka mata, bicara menjadi agak sengau, dan kesulitan untuk mengunyah
dan menelan. Hal ini dirasakan bertambah berat bila penderita merasa lelah dan
membaik bila istirahat.
Riwayat trauma pada punggung bawah tidak, riwayat benjolan pada
punggung bawah tidak ada, riwayat didiagnosa myasthenia gravis sejak 2014,
makan obat teratur (mestinon).
Penyakit seperti ini sudah dialami untuk kesekian kalinya.
3
III. PEMERIKSAAN
Status Internus
Kesadaran : GCS = 15 (E4M6V5)
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 82 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Suhu Badan : 36,0 C
Pernapasan : 26 kali/menit
BB : 60 kg
TB : 160 cm
IMT : 23,4 kg/m2 (Normoweight)
Kepala : normosefali
Leher : kaku kuduk (-)
Thorax
Cor :I : Ictus kordis tidak terlihat
P : Ictus kordis teraba
P : Tak ada kelainan
A : Bunyi jantung I-II (+) normal, murmur (-),
gallop (-)
Pulmo : I : Gerakan dada simetris
P : Stem fremitus kiri = kanan
P : Sonor
A : Vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronki (-)
Abdomen : I : Datar, simetris
P : Lemas
P : Timpani
A : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral pucat (-/-), edema pretibial (-)
Kulit : Turgor > 2
Status Psikiatrikus
Sikap : kooperatif Ekspresi Muka : berkurang
Perhatian : ada Kontak Psikik : ada
4
Status Neurologikus
KEPALA
Bentuk : Normochepali Deformitas : tidak ada
Ukuran : normal Fraktur : tidak ada
Simetris : simetris Nyeri fraktur : tidak ada
Hematom : tidak ada Pembuluh darah : tidak ada pelebaran
Tumor : tidak ada Pulsasi : tidak ada
LEHER
Sikap : lurus Deformitas : tidak ada
Torticolis : tidak ada Tumor : tidak ada
Kaku kuduk: tidak ada Pembuluh darah : tidak ada pelebaran
SYARAF-SYARAF OTAK
N. Olfaktorius Kanan Kiri
Penciuman Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Anosmia tidak ada tidak ada
Hiposmia tidak ada tidak ada
Parosmia tidak ada tidak ada
5
Visus 5/6 ph 6/6 5/6 ph 6/6
Campus visi V.O.D V.O.S
6
+ +
- -
7
Vertigo tidak ada tidak ada
MOTORIK
LENGAN Kanan Kiri
Gerakan Cukup Cukup
Kekuatan 4 4
Tonus Menurun Menurun
Refleks fisiologis
- Biceps Menurun Menurun
- Triceps
Menurun Menurun
8
- Radius Menurun Menurun
- Ulnaris
Menurun Menurun
Refleks patologis
- Hoffman Tromner
- -
- Leri
- Meyer - -
Trofi - -
Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
9
SENSORIK : tidak ada kelainan
FUNGSI VEGETATIF
Miksi : tidak ada kelainan
Defekasi : tidak ada kelainan
KOLUMNA VERTEBRALIS
Kyphosis : tidak ada
Lordosis : tidak ada
Gibbus : tidak ada
Deformitas : tidak ada
Tumor : tidak ada
Meningocele : tidak ada
Hematoma : tidak ada
Nyeri ketok : tidak ada
10
GEJALA RANGSANG MENINGEAL
Kaku kuduk : (-)
Kerniq : (-)
Lasseque : (-)
Brudzinsky
- Neck : (-)
- Cheek : (-)
- Symphisis : (-)
- Leg I : (-)
- Leg II : (-)
GERAKAN ABNORMAL
Tremor : (-)
Rigiditas : (-)
Bradikinesia : (-)
Chorea : (-)
Athetosis : (-)
Ballismus : (-)
Dystoni : (-)
Myocloni : (-)
11
REFLEKS PRIMITIF
Glabella : (-)
Palmomental : (-)
FUNGSI LUHUR
Afasiamotorik : (-)
Afasiasensorik : (-)
Apraksia : (-)
Agrafia : (-)
Alexia : (-)
Afasia nominal : (-)
LABORATORIUM
DARAH
Hb : Tidak Diperiksa Total Kolesterol : tidak diperiksa
Eritrosit : Tidak Diperiksa Kolesterol HDL : tidak diperiksa
Leukosit : Tidak Diperiksa Kolesterol LDL : tidak diperiksa
Diff Count : Tidak Diperiksa SGOT :Tidak diperiksa
Trombosit : Tidak Diperiksa SGPT :Tidak diperiksa
Hematokrit : Tidak Diperiksa
BSS : Tidak Diperiksa
URINE
Warna : tidak diperiksa Sedimen :
Reaksi : tidak diperiksa - Eritrosit : tidak diperiksa
Protein : tidak diperiksa - Leukosit : tidak diperiksa
Reduksi : tidak diperiksa - Thorak : tidak diperiksa
Urobilin : tIdak diperiksa - Sel Epitel : tidak diperiksa
Bilirubin : tidak diperiksa - Bakteri : tidak diperiksa
12
FESES
Konsistensi : tidak diperiksa Eritrosit : tidak diperiksa
Lendir : tidak diperiksa Leukosit : tidak diperiksa
Darah : tidak diperiksa Telur cacing : tidak diperiksa
Amuba coli/ : tidak diperiksa
Histolitika : tidak diperiksa
LIQUOR CEREBROSPINALIS
Warna : tidak diperiksa Protein : tidak diperiksa
Kejernihan : tidak diperiksa Glukosa : tidak diperiksa
Tekanan : tidak diperiksa NaCl : tidak diperiksa
Sel : tidak diperiksa Queckensted : tidak diperiksa
Nonne : tidak diperiksa Celloidal : tidak diperiksa
Pandy : tidak diperiksa Culture : tidak diperiksa
PEMERIKSAAN KHUSUS
Rontgen thoraks PA : tidak diperiksa
CT Scan Kepala : tidak diperiksa
IV. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinik : Generalized muscle weakness, ptosis ODS,
opthamoplegia ODS, disfagia, disfonia.
Diagnosis Topik : NMJ
Diagnosis Etiologi : Myastenia gravis eksaserbasi akut
V. DIAGNOSIS BANDING
1. Cholinergic crisis
2. Sindroma Gullian Barre
13
VII. PENATALAKSANAAN
- Mestinon 6x1 tab po
- Metylprednisolone 4 x 125 mg tab po.
- Neurodex 1x1
- Observasi ketat tanda-tanda vital
VIII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara
terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Bila penderita
beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.
Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada
neuromuscular junction.7,8
2.2 Epidemiologi
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat
terjadipadaberbagaiusia.Biasanyapenyakitinilebihseringtampakpadausia
2050tahun.Wanitalebihseringmenderitapenyakitinidibandingkanpria.Rasio
perbandinganwanitadanpriayangmenderitamiasteniagravisadalah6:4.Pada
wanita,penyakitinitampakpadausiayanglebihmuda,yaitusekitar28tahun,
sedangkanpadapria,penyakitiniseringterjadipadausia42tahun.Earlyonset
miasteniagravisbiasanyaterjadipadawanitapadausia1850tahun dan late
onsetmiasteniagravislebihseringpadalakilakidenganusia50tahunkeatas.9
Pada penelitian yang dilakukan oleh Zhang (2006), pada sekitar 10%
pasien myasthenia gravis, gejala hanya dibatasi pada gejala otot muskular
ekstrinsik, yang dapat disebut sebagai suatu kondisi okular myasthenia gravis
(oMG). Pada usia di bawah 40 tahun, rasio wanita : laki-laki adalah 3 : 1;
kemudian, di antara usia 40-50 tahun dan saat pubertas, rasionya menjadi sama.
Namun pada usia 50 tahun ke atas, penyakit ini lebih sering terjadi pada laki-laki. 4
Di Asia, hingga 50% pasien memiliki onset di bawah 15 tahun, secara umum
dengan manifestasi okular murni.5
Penyakit ini lebih sering dialami oleh ras Asia dibandingkan dengan ras
lainnya.10
15
2.3 Klasifikasi
Untuk menentukan prognosis dan pengobatannya, penderita miastenia gravis
dibagi atas 4 golongan yaitu antara lain :
Pada kelompok ini terdapat gangguan pada satu atau beberapa otot okular yang
menyebabkan timbulnya gejala ptosis dan diplopia, seringkali ptosis unilateral.
Bentuk ini biasanya ringan akan tetapi seringkali resisten terhadap pengobatan.
Pada kasus ini timbulnya gejala biasanya cepat, dimulai dari gangguan otot
okular, anggota badan dan kemudian otot pernafasan. Kasus-kasus yang
mempunyai reaksi yang buruk terhadap terapi antikolinesterase berada dalam
keadaan bahaya dan akan berkembang menjadi krisis miastenia.
16
pada waktu adanya infeksi saluran nafas bagian atas, pada kebanyakan wanita
akan terjadi peningkatan kelemahan pada saat menstruasi. Menurut Myasthenia
Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
17
secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan.
Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
V
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan
tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-
gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak
menurun.Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana
seperti di bawah ini:
b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk
mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut
menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.
2.4 Etiologi
Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang berhubungan
dengan penyakit-penyakit lain seperti: tirotoksikosis, miksedema, artritis rematoid
dan lupus eritematosus sistemik. Dulu dikatakan bahwa IgG autoimun antibodi
merangsang pelepasan thymin, suatu hormon dari kelenjar timus yang mempunyai
kemampuan mengurangi jumlah asetilkolin. Sekarang dikatakan bahwa miastenia
gravis disebabkan oeh kerusakan reseptor asetilkolin neuromuscular junction
akibat penyakit autoimun. Pada penyakit miastenia gravis yaitu kelemahan otot
yang berbahaya telah ditemukan adanya antibodi yang menduduki reseptor
acetylcholine dari motor end plate sehingga ia tidak dapat menggalakkan serabut-
serabut otot skeletal. Antibodi tersebut dikenal sebagai antiacetylcholine reseptor
18
antibodi yang terbukti dibuat oleh kelenjar timus yang dihasilkan oleh proses
imunologik. Ketepatan konsep itu telah dikonfirmasi oleh tindakan operatif
menyingkirkan timus (timektomi) untuk melenyapkan penyakit miastenia gravis.
Membran postsinaptik dari sinaps itu menjadi atrofik akibat reaksi imunologik,
karena itu penyerapan acetylcholine sangat menurun. Lagipula jarak antar
membran ujung terminal akson motoneuron dan membran motor end plate
menjadi lebih panjang sehingga cholinesterase mendapat kesempatan yang lebih
besar untuk menghancurkan lebih banyak acetylcholine sehinggapotensial aksi
postsinaptik yang dicetuskan menjadi lebih kecil. Dalam pada itu kontraksi otot
skeletal pertama-tama berlalu secara normal, tetapi kontraksi-kontraksi berikutnya
menjadi semakin lemah dan berakhir pada kelumpuhan total. Setelah istirahat,
kontraksi otot pulih kembali untuk kemudian melemah dan lumpuh lagi.
Kelemahan yang bergelombang seperti itu dikenal sebagai kelemahan miastenik.
Otot-otot yang paling sering dilanda kelemahan mistenik adalah otot-otot okuler
dan otot-otot penelan. Otot-otot anggota gerak dan pernafasan dapat terkena juga
pada tahap lanjut miastenia gravis4.
19
lupus, anemia pernisiosa, sarkoidosis, Hodgkin dan tiroidits sering dijumpai
pada beberapa penderita miastenia gravis4.
2.5 Patofisiologi
Ujung saraf menginervasi neuromuscular junction (NMJ) dari otot lurik
yang berasal dari percabangan akhir serabut saraf -motor neuron cornu anterior
medulla spinalis dan batang otak. NMJ sendiri merupakan celah sinaptik yang
berjarak 20 nm antar sinaps dan mengandung asetilkolinesterase (AChE)
bersamaan dengan protein/proteoglikan. Membran post-sinaps neuromuscular
junction memiliki lekukan dan reseptor asetilkolin (AChR) berada pada puncak
lekukan tersebut.
Saat potensial aksi saraf menyebar ke seluruh terminal, depolarisasi
mengakibatkan terbukan gerbang ion kalsium pada membran presinaps, memicu
terjadinya pelepasan asetilkolin (ACh) ke celah sinaptik. ACh menyebar ke celah
sinaptik dan mencapai reseptor membran post-sinaps serta ACh memicu End-
Plate Potential (EPP) dan terhidrolisasi oleh asetilkolinesterase pada celah
sinaptik8.
MuSK (muscle specific tyrosine kinase), transmembran protein post-
sinaps, merupakan suatu bagian dari reseptor agrin. Agrin merupakan protein yang
ada pada lamina basalis sinaps. Interaksi agrin/MuSK memicu dan
mempertahankan kadar AChR (yang bergantung pada rapsyn) dan protein post-
sinaps lainnya. Rapsyn merupakan membran protein perifer pada membran post-
sinaps, penting dalam mempertahankan kadar AChR. Hal ini terbukti pada sebuah
penelitian yang menyatakan bahwa tikus eksperimental yang kekurangan agrin
atau MuSK gagal mempertahankan kondisi optimal pada NMJ dan tidak dapat
bertahan saat lahir karena kelemahan otot dalam3,11.
Berkurangnya jumlah molekul asetilkolinesterase reseptor (AChR) pada
neuromuscular junction menurunkan End-Plate Potential (EPP), yang jumlahnya
adekuat saat istirahat. Namun saat pelepasan asetilkolin berkurang setelah
aktivitas, EPP dapat turun dari nilai ambangnya yang dibutuhkan untuk memicu
potensial aksi12. Hal ini lah yang dapat disebut dengan kelemahan otot, dan saat
20
nilai ambang EPP menurun secara konsisten, hal ini dapat menyebabkan
kelemahan otot persisten.
2.5.1 Mekanisme Efektor dari Antibodi Anti-AChR
(i) ikatan komplemen dan aktivasi pada NMJ
(ii) modulasi antigenik (endositosis AChR oleh antibodi molekul cross-
linked)
(iii) Fungsional AChR blok: mencegah ACh normal berikatan pada AChR.
2.5.2 Peran Sel T CD4+ pada Myasthenia Gravis
IgG yang memiliki afinitas tinggi sintesisnya membutuhkan aktivasi
dari sel T CD4+ untuk dapat berinteraksi dan berstimulasi dengan sel B.
Oleh karena itu, timektomi, yang dapat menyebabkan hilangnya sel T
CD4+ spesifik-AChR, dapat membantu meringkan gejala pasien
myasthenia gravis13. Hal ini sejalan dengan pengobatan dengan antibodi
anti-CD4+ juga menunjukkan dampak terapeutik. Pasien AIDS dengan
penurunan sel T CD4+ juga menunjukkan perbaikan gejala myasthenia.
2.5.3 Peran Sel T Subtipe CD4+ dan Sitokin pada Myasthenia Gravis dan
Experimental Autoimmune MG (EAMG)
Sel T CD4+ diklasifikasikan menjadi dua subtipe utama: sel Th1 dan
Th2. Sel Th1 menyekresikan sitokin proinflamasi, seperti IL-2, IFN-,
dan TNF-, yang penting untuk respons imun sel yang termediasi. Sel Th2
menyekresikan sitokin antiinflamasi, seperti IL-4, IL-6, dan IL-10, yang
berguna untuk menginduksi respons imun humoral. IL-4 kemudian
menstimulasi diferensiasi sel Th3 yang menyekresikan TGF-, dan
kemudian terlibat dalam mekanisme imunosupresif14.
Pasien MG memiliki sel Th1 anti-AChR yang melimpah dalam darah
yang dapat mengenali banyak epitope AChR dan dapat menginduksi sel B
untuk memproduksi antibodi anti-AChR yang memiliki afinitas tinggi. Sel
Th1 sangat diperlukan dalam perkembangan. Terapi dengan mengurangi
sitokin Th1 (TNF- and IFN-) telah dapat dibuktikan meringkan gejala
EAMG pada model binatang eksperimental15,16.
2.5.4 Autoantigen lain pada Myasthenia Gravis
Seronegatif pasien Myasthenia Gravis (MG) (yang kekurangan
antibodi Anti-AChR) memiliki antibodi anti-MuSK (hingga 40% pada
subgrup ini). Etnis atau lokasi lainnya (seperti orang Cina dan Norwegia)
memiliki frekuensi yang lebih rendah yang memiliki antibodi G anti-
21
MuSK pada seronegatif pasien MG. Pasien MG dengan antibodi anti-
MuSK tidak memiliki antibodi anti-AChR, kecuali dilaporkan pada pasien
Jepang17.
Jaras sinyal agrin/MuSK mempertahankan struktur dan fungsi
integritas post-sinaps pada aparatus neuromuscular junction dalam sel otot
dewasa. Antibodi anti-MuSK mempengaruhi kadar AChR yang bergantung
pada agrin yang ada pada NMJ, mengacu pada pengurangan jumlah
asetilkolinesterase reseptor. Kerusakan yang dimediasi oleh komplemen
juga dapat menyebabkan berkurangnya jumlah AChR pada NMJ saat
ditargetkan oleh antibodi anti-MuSK. Sel protein antiotot lainnya (seperti
antititin dan antibodi antiryanodine reseptor) juga dapat dikatakan
memiliki peran patogenesis pada pasien MG.
22
bisa bergerak normal, tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okuler kedua
belah sisi akan melengkapi ptosis. Ptosis miastenia gravis yang ringan dapat
diperjelas dengan test Wartenberg, dengan test tersebut pasien disuruh
menatapkan kedua matanya pada sesuatu yang berada sedikit lebih tinggi dari
matanya. Pada ptosis miastenik, kedua kelopak mata atas akan lebih tinggi dari
matanya dan akan menurun 1-2 menit setelah menjalani test tersebut. Setelah
bekerja secara bertenaga ptosis akan timbul dengan jelas. Mula timbulnya dengan
ptosis (90%) unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu sampai bulan
ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralisis okuler) dan suara sengau
(paralisis palatum mole). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari
menjelang sore. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga
pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak bebas
dari kesulitan penglihatan (karena diplopia dan ptosis) dan kesulitan
menelan/mengunyah. Penderita berkunjung ke dokter untuk pengobatan karena
diplopia yang sangat mengganggu. Kelemahan otot non bulbar baru dijumpai
pada tahap yang sudah lanjut sekali. Yang pertama terkena adalah otot-otot leher,
sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan, kemudian otot-otot anggota
gerak berikut otot-otot interkostal. Atropi otot dapat ditemukan pada permulaan,
tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi19.
Penyakit miastenia gravis biasanya mulai tampak pada umur 20-40 tahun.
Gejala utama pada penyakit ini adalah timbulnya kelemahan otot bila otot tersebut
digunakan terus menerus. Otot mata yang sering terkena sehingga timbul ptosis
dan strabismus. Selain itu juga dapat timbul kelemahan pada otot masseter,
sehingga mulut penderita sukar untuk menutup. Selain itu juga dapat pula timbul
kelemahan faring, lidah, palatum molle dan laring sehinggatimbulnya kesukaran
untuk menelan dan kesukaran untuk bicara. Parese dari palatum molle akan
menimbulkan suara sengau, selain itu bicaranya juga menjadi kurang jelas.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis seperti ptosis dan strabismus akan tampak
dengan jelas pada sore hari dan pada cuaca panas, pada pemeriksaan tonus otot
tampak agak menurun20.
23
Gejala klinis miastenia gravis antara lain :
24
2.7 Diagnosis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan
diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai
derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta
simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih
ada dalam batas normal. Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya
kelemahan pada otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan
timbulnya a mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis.
Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan
suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta
regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu,
penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta
menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan
penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada
miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga
dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga
mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi
dari leher. Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh
atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh
bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-
jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh
dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan
saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki
dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki. Kelemahan otot-otot
pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan
suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan.
Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi
karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-
otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang
25
ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat
diperlukan. Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak
hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini
merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis.
Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan
terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan
terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada
mata yang melakukan abduksi9.
1. Memandang objek diatas level bola mata akan timbul ptosis pada
miastenia
okular.
26
akan membaik dalam waktu 30 detik sampai 1 menit dan efek akan hilang
3. Uji Kinin
27
postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis
generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni
menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang
positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali
terjadi false positive anti-AChR antibodi. Rata-rata titer antibody
pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibody, yang
dilakukan oleh Tidall, disampaikan pada tabel berikut :
28
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan
hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis
seronegarif),menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.
Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis
menunjukkan adanya antibody yang berikatan dalam pola cross-
striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini
bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine
(RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma
dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR
antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya
thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.
2.8.2 Imaging
29
1. Repetitive Nerve Stimulation (RNS), pada penderita miastenia
gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga
pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
2. Single-fiber Electromyography (SFEMG), menggunakan
jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk
merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu
jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau
lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu
fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang
dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi
adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan jitter dan fiber density yang normal.
2.9.1 Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III
pada beberapa penyakit elain miastenia gravis, antara lain :
30
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot
anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif pada otot
otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-
detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering
kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada
paru.EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek
pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan
terjadi ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada
miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada
LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak
berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke
membran postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.
2.10 Penatalaksanaan
Dasar pengobatan adalah dengan menggunakan obat-obat antikolinesterase
misalnya neostigmin dan piridostigmin. Obat-obat ini berperan menghambat
kolinesterase yang kerjanya menghancurkan asetilkolin. Biasanya dimulai dengan
1 tablet neostigmin atau piridostigmin 3 kali perhari, kemudian dosisnya
ditingkatkan bergantung pada reaksi penderita. Obat-obat antikolinesterase ini
mempunyai aktivitas muskarinik dan nikotinik. Efek muskarinik yaitu
mempengaruhi otot polos dan kelenjar, sedangkan efek nikotinik yaitu
mempengaruhi ganglion autonom dan myoneural junction. Efek muskarinik
seperti koli abdomen, diare dan hiperhidrosis dapat diatasi dengan pemberian
atropin. Pada penderita usia tua atau penderita dengan kontraindikasi untuk
dilakukan timektomi. Karena terapi steroid dapat menimbulkan efek samping
selam 2 minggu pengobatan, maka perlu perawatan di rumah sakit, terutama bila
timbul gejala-gejala bulbar. Obat antikolinesterase harus diteruskan dan prednison
diberikan serta ditingkatkan perlahan-lahan dari dosis inisial 25 mg sampai 100
mg perhari dan diberikan selang satu hari, tergantung pada reaksi penderita.
Setelah ada perbaikan, dosis neostigmin dan piridostigmin dapat diturunkan
31
perlahan-lahan. Kombinasi baik piridostigmin dan prednison yang diberikan
selang 1 hari merupakan terapi inisial pilihan untuk penderita dengan timoma.
32
mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis.
Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan
kekuatan otot secara cepat yang memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek
yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan5.
33
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG
diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibodi tidak
dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat
penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar
3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan pada pasien yang juga
menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat
dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan
beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG,
sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi
awal untuk pasien dalam kondisi krisis. Dosis standar IVIG adalah 400
mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari.
IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-
asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan
pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah
nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga
tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil,
mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah
untuk pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid
mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja
kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3
bulan. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan
efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui.
Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada
fase proliferasi dari sel B. Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi
diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan
34
kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang
berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer
antibodinya. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis
yang sangat mengganggu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.
Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian
dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30
mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan
komplikasi obesitas serta hipertensi.
2. Azathioprine
3. Cyclosporine
35
TINDAKAN PEMBEDAHAN
36
seksama. Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam
waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi
yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli
percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40%
tergantung dari jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa
remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara
40-60% lima hingga sepuluh tahu setelah pembedahan.
2.11 Komplikasi
Ada 2 penyulit yang penting yaitu :
1. Krisis Kolinergik
Dapat terjadi bila kolinesterase dihambat secara berlebihan oleh obat-obat
antikolinesterase. Gejala kolinergik antara lain bingung, pucat, berkeringat
dan pupil miosis akan menyertai kelemahan otot yang progresif, terdapat
deteriorasi yang bersifat temporer2.
Suatu krisis kolinergik timbul bila terjadi over dosis dari obat-obat
antikolinesterase, sehingga timbul depolarisasi blok Pada neuro-muscular
junction yang pada akhirnya akan menimbulkan kelemahan pada otot.
Dapat diketahui dengan anamnesa yang di peroleh yaitu bahwa penderita
sedang menggunakan obat-obat antikolinesterase, gejala gangguan
pernafasan timbul 15-45 menit setelah minum obat-obat antikolinesterase,
setelah penderita merasa kelemahan yang bertambah pada otot dan
penderita meminum obat lagi lalu keadaan semakin memburuk.
Ditemukan miosis, hiperhidrosis, hipersalivasi, terasa sdingin pada badan
bila diraba dan kesadaran sopor dan confused. Untuk menolong pernafasan
yang cepat dan dangkal secepatnya dipasang endotrakeal tube dan diberika
pula pernafasan buatan atau dipasang respirator dengan tekanan positif3.
2. Krisis Miastenia
37
Terjadi akibat terapi yang tidak adekuat dan adanya deteriorasi, terutama
terjadi pada keadaan pascabedah, partus, infeksi atau dengan
mempergunakan obat-obat yang memperberat keadaan miastenia. Bila
ragu-ragu dapat digunakan endofronium. Terdapat perbaikan yang bersifat
sempurna. Penderita miastenia gravis yang menderita krisis miastenik bila
kelemahan otot-otot penderita terus meluas sampai pula mengenai otot-
otot pernafasan. Keadaan demikian dapat timbul apabila penderita terlalu
lelah atau mendapat penyakit infeksi lain. Suatu krisis miastenik dapat
pula timbul bial seorang penderita telah diberikan obat-obat seperti kinin,
luminal, diazepam, neomisin, sulfas magnesium. Penderita dengan krisis
miastenik dapat diberikan prostigmin 1-2 mgr (2-4 mgr) secara i.m3 .
38
sepanjang hari orang sakit tidak bebas dari kesulitan penglihatan (karena diplopia
dan ptosis) dan kesulitan menelan/mengunyah. Penderita berkunjung ke dokter
untuk pengobatan karena diplopia yang sangat mengganggu. Kelemahan otot non
bulbar baru dijumpai pada tahap yang sudah lanjut sekali. Yang pertama terkena
adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan, kemudian
otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atropi otot dapat ditemukan
pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi3.
39
BAB IV
ANALISIS KASUS
Keluhan utama penderita saat datang dikarenakan sesak napas. Sesak napas terjadi
6 jam SMRS dan rasa berat di dada. 4 jam SMRS penderita merasa
lemah pada kaki dan tangan, rasa berat saat membuka mata, bicara menjadi
sengau, dan kesulitan untuk mengunyah. Hal ini diperberat dengan aktivitas dan
membaik saat istirahat. Diplopia ada.
Riwayat penyakit miastenia gravis sejak 2014, makan obat (mestinon)
teratur sejak tahun 2015 6x1 tablet per hari, dan sudah dilakukan timektomi.
Riwayat nodul tiroid sejak 2015.
Dari pemeriksaan klinis neurologis didapatkan GCS 15, gambaran pupil
bulat isokor, refleks cahaya ada, diameter pupil kanan dan kiri 3mm/3mm, ptosis
ada, plica nasolabialis simetris, sudut mulut tidak tertinggal, arcus faring simetris,
ada disfonia, uvula di tengah, refleks muntah ada, deviasi lidah tidak ada, disartria
tidak ada. Pada pemeriksaan fungsi motorik didapatkan gerakan ke-empat tungkai
kurang, kekuatan ke-empat tungkai dapat melawan tahanan ringan, hipotoni,
refleks fisiologis menurun, dan tidak ada refleks patologis.
Berdasarkan gejala yang dialami penderita dapat yaitu kelemahan pada
kaki dan tangan yang diperberat saat aktivitas dan membaik ketika istirahat adalah
manifestasi klinis dari miastenia gravis yang diikuti dengan adanya kelemahan
otot mata (ptosis). Menurut klasifikasi dari Myastenia Gravis Foundation of
America (MGFA), pasien diklasifikasikan sebagai miastenia gravis kelas II
subkelas IIb yang ditandai dengan adanya terdapat kelemahan otot ocular yang
semakin parah, serta kelemahan ringan otot-otot lain selain otot ocular. Selain itu,
juga mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernafasan, atau keduanya.
Kelemahan otot-otot pada anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dari
kelas IIa. Pada pasien ini didapati sesak nafas yang mnunjukkan adanya
kelemahan otot-otot pernafasan.
Ptosis yang timbul pada pasien ini disebabkan oleh lumpuhnya nervus
40
okulomotorius. Selain itu juga ditemukan adanya suara sengau yang
mengindikasikan adanya paralisis palatum molle. Timbulnya kelemahan pada
faring, lidah, palatum molle dan laring serta timbulnya kesukaran untuk menelan
dan berbicara serta kesulitan menelan air mineral namun dapat dengan mudah
menelan makanan yang memiliki konsistensi agak padat merupakan manifestasi
klinis dari pasien MG.
Pada pasien ini, pengobatan farmakologis yang telah diberikan adalah
mestinon (piridostigmin bromide) 6 x 60 mg tab per oral yang bekerja dengan
menghambat pengurangan (breakdown) jumlah asetilkolin yang terjadi secara
alami oleh asetilkolinesterase. Piridostigmin memiliki durasi yang lebih panjang
dan efek samping gastrointestinal yang lebih minimal dibandingkan prostigmin
(neostigmin)
41
DAFTAR PUSTAKA
42
myasthenia gravis with recombinant human tumor necrosis factor receptor Fc
protein, Journal of Neu- roimmunology, vol. 122, no. 1-2, pp. 186190,
2002.
15. T. Feferman, P. K. Maiti, S. Berrih-Aknin et al., Overexpres- sion of IFN-
induced protein 10 and its receptor CXCR3 in myasthenia gravis, Journal of
Immunology, vol. 174, no. 9, pp. 53245331, 2005.
16. F. D. Shi, H. B. Wang, H. Li et al., Natural killer cells deter- mine the
outcome of B cell-mediated autoimmunity, Nature Immunology, vol. 1, no.
3, pp. 245251, 2000.
17. A. Vincent and M. I. Leite, Neuromuscular junction autoim- mune disease:
muscle specific kinase antibodies and treat- ments for myasthenia gravis,
Current Opinion in Neurology, vol. 18, no. 5, pp. 519525, 2005.
18. Harsono, 2005. Buku Ajar Neurologi Klinik PERDOSSI. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. Hal. 327-332.
19. Sidharta Priguna. 2008 Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Jakarta.
Penerbit Dian Rakyat. Hal. 129Ngoerah Gd. Ng. Gst. I, Dasar-Dasar Ilmu
Penyakit Saraf. Airlangga University Press. 1991. Hal: 301-305.
43