Вы находитесь на странице: 1из 23

BAB I

PENDAHULUAN

Demam Berdarah dengue adalah salah satu bentuk klinis dari penyakit akibat
infeksi dengan virus dengue pada manusia sedangkan manifestasi klinis dan infeksi
virus dengue dapat berupa demam dengue dan demam berdarah dengue. Dengue
adalah penyakit daerah tropis dapat ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti, nyamuk
ini adalah nyamuk rumah yang menggigit pada siang hari. Penyakit demam berdarah
dengue merupakan masalah kesehatan di Indonesia hal ini tampak dari kenyataan
seluruh wilayah di Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit demam
berdarah dengue.
Beberapa tahun terakhir, kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) seringkali
muncul di musim pancaroba, khususnya bulan Januari di awal tahun. Karena itu,
masyarakat perlu mengetahui penyebab penyakit DBD, mengenali tanda dan
gejalanya, sehingga mampu mencegah dan menanggulangi dengan baik.
Prevalensi Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia Pada tahun 2014,
sampai pertengahan bulan Desember tercatat penderita DBD di 34 provinsi di
Indonesia sebanyak , dan 641 diantaranya meninggal dunia. Angka tersebut lebih
rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yakni tahun 2013 dengan jumlah penderita
sebanyak 112.511 orang dan jumlah kasus meninggal sebanyak 871 penderita.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dangue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypty. Demam
Berdarah Dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue
ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan dapat juga ditularkan oleh Aedes
albopictus, yang ditandai dengan : Demam tinggi mendadak, yang berlangsung
terus-menerus selama 2-7 hari, manifestasi perdarahan, termasuk uji Tourniquet
positif, trombositopeni (jumlah trombosit 100.000/l), hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit 20%), disertai dengan atau tanpa perbesaran hati.1

B. Epidemiologi
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18, seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu
infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam
lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam sendi
(knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang dalam
lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala. Pada masa
itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang
tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue
menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang
ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain seperti
Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD
dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi.2
Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan
Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit terjadi
peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi
di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence
rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi
berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk. Pola berjangkit infeksi virus dengue
dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32C)
dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk
jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama
di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap
tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari,
meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei
setiap tahun.2
C. Etiologi dan Faktor Risiko
Demam Berdarah Dengue ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae.
Albopictus yang terinfeksi.Virus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae
dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den1, Den2, Den3 dan Den4
ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk
Aedes aegypti dan Ae. Albopictus.
Adapun Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan
penduduk perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana
dan prasarana transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi
sehingga memungkin terjadinya KLB. Faktor risiko lainnya adalah Pendidikan
yang rendah serta kemiskinan yang mengakibatkan orang tidak mempunyai
kemampuan untuk menyediakan rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum
dan pembuangan sampah yang benar.3

D. Patogenesis

Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfeksi virus dengue, akan tetap infektif
sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat
menggigit dan menghisap darah.Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus
dengue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah,
nodus limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian
menunjukkan, sel monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini,
dimulai dengan menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan
bantuan organel sel dan membentuk komponen perantara dan komponen struktur
virus. Setelah komponen struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi
ini menimbulkan reaksi immunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi
tidak ada cross protective terhadap serotipe virus lainnya.Secara invitro, antobodi
terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi biologis yaitu netralisasi virus, sitolisis
komplemen,antibody dependent cellmediated cytotoxity (ADCC) dan ADE.
Berdasarkan perannya, terdiri dari antobodi netralisasi atau neutralizing antibody
yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi virus, dan antibody
non netralising serotype yang mempunyai peran reaktif silang dan dapat
meningkatkan infeksi yang berperan dalam pathogenesis DBD dan DSS Terdapat
dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan DSS yang masih
kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan anti-
body dependent enhancement (ADE). Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder
disebutkan, bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus
dengue, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue
tersebut untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan
infeksi sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi
yang berat. Ini terjadi karena antibody heterologous yang terbentuk pada infeksi
primer, akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru
yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi bahkan cenderung membentuk
kompleks yang infeksius dan bersifat oponisasi internalisasi, selanjutnya akan
teraktifasi dan memproduksi IL-1, IL-6, tumor necrosis factor-alpha(TNF-A) dan
platelet activating factor (PAF); akibatnya akan terjadi peningkatan (enhancement)
infeksi virus dengue. TNF alpha akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh
darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan
endothel pembuluh darah.3 Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh
kompleks virus antibody yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.9
Anak di bawah usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue
dan terjadi infeksi dari ibu ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non
neutralizing antibodies akaibat adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila
terjadi infeksi virus dengue pada anak tersebut, maka akan langsung terjadi proses
enhancing yang akan memacu makrofag mudah terinfeksi dan teraktifasi dan
mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF. Pada teori ADE disebutkan,
jika pada antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka dapat mencegah
penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi sebaliknya apabila
antibodinya tidak dapat menetralisasi virus, justru akan menimbulkan penyakit
yang berat. Kinetik immunoglobulin spesifik virus dengue di dalam serum
penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3.Selain kedua
teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang pathogenesis DBD, di antaranya
adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan serotipe virus
dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya dapat
ditemukan pada kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan
lainnya. Selanjutnya ada teori antigen-antibodi yang berdasarkan pada penderita
atau kejadian DBD terjadi penurunan aktivitas sistem komplemen yang ditandai
penurunan kadar C3, C4 dan C5. Disamping itu, pada 48-72% penderita DBD,
terbentuk kompleks imun antara IgG dengan virus dengue yang dapat menempel
pada trombosit, sel B dan sel organ tubuh lainnya dan akan mempengaruhi
aktivitas komponen sistem imun yang lain. Selain itu ada teori moderator yang
menyatakan bahwa makrofag yang terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai
mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersama
endotoksin bertanggungjawab pada terjadinya sok septik, demam dan peningkatan
permeabilitas kapiler. Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat,
hanya dalam beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat
kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk
menyebabkan kematian karena infeksi virus; kematian yang terjadi lebih
disebabkan oleh gangguan metabolic.3

E. Manifestasi Klinis DBD


Manifestasi klinis untuk demam berdarah dengue (DBD) yaitu:
Demam tinggi, timbul mendadak, kontinua, kadang bifasik. Berlangsung antara 2-
7 hari. Muka kemerahan (facial flushing), anoreksi, mialgia dan artralgia. Nyeri
epigastrik,muntah, nyeri abdomen difus. Kadang disertai sakit tenggorok.Faring
dan konjungtiva yang kemerahan.Dapat disertai kejang, demam.Tersangka infeksi
dengue apabila terdapat demam <7 hari, ruam, manifestasi
perdarahan (rumple leed (+), nyeri kepala dan retroorbital, mialgia, arthralgia,
leukopeni (<4000l), kasus DBD lingkungan (+). Adapun tanda bahaya (warning
signs) yaitu pada fase afebris klinis tidak ada perbaikan atau memburuk, tidak mau
minum, muntah terus-menerus, nyeri perut hebat, letargi dan/gelisah, perubahan
perilaku, perdarahan (mimisan, muntah & BAB hitam, menstruasi berlebih, urin
berwarna hitam/hemoglobinuria atau hematuria, pening, pucat (tangan-kaki teraba
dingin),diuresis berkurang dalam 4-6 jam.4
Menurut WHO (2012) demam dengue memiliki tiga fase diantaranya fase
demam, fase kritis dan fase penyembuhan. Pada fase demam, penderita akan
mengalami demam tinggi secara mendadak pada hari 1-3 dan dijumpai dengan
wajah kemerahan, eritema kulit, myalgia, arthralgia, nyeri retroorbital, rasa sakit di
seluruh tubuh, fotofobia dan sakit kepala serta gejala umum seperti anoreksia,
mual dan muntah. Tanda bahaya (warning sign) penyakit dengue meliputi nyeri
perut, muntah berkepanjangan, letargi, pembesaran hepar >2 cm, perdarahan
mukosa, trombositopeni dan penumpukan cairan di rongga tubuh karena terjadi
peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler. Pada waktu transisi yaitu dari
fase demam menjadi tidak demam, pasien yang tidak diikuti dengan peningkatan
pemeabilitas kapiler tidak akan berlanjut menjadi fase kritis. Ketika terjadi
penurunan demam tinggi, pasien dengan peningkatan permeabilitas mungkin
menunjukan tanda bahaya yaitu yang terbanyak adalah kebocoran plasma. Pada
fase kritis terjadi penurunan suhu menjadi 37.5 -38C atau pada hari ke 4-6 dari
penyakit. Progresivitas leukopenia yang diikuti oleh penurunan jumlah platelet
mendahului kebocoran plasma.
Peningkatan hematokrit merupakan tanda awal terjadinya perubahan pada
tekanan darah dan denyut nadi. Terapi cairan digunakan untuk mengatasi plasma
leakage. Efusi pleura dan asites secara klinis dapat dideteksi setelah terapi cairan
intravena. Fase terakhir adalah fase penyembuhan. Setelah pasien bertahan selama
24-48 jam fase kritis, reabsorbsi kompartemen ekstravaskuler bertahap terjadi
selama 48-72 jam. Fase ini ditandai dengan keadaan umum membaik, nafsu makan
kembali normal, gejala gastrointestinal membaik dan status hemodinamik stabil.4
F. Klasifikasi derajat DBD
Menurut WHO 2012.5
DD/DB Derajat Tanda dan Gejala Laboratorium
D
DD Demam disertai minimal 2 gejala : Leukopenia
Nyeri Kepala Trombositopenia
Nyeri Retro-orbital Peningkatan Hematokrit 5%-
Nyeri Otot 10%
Nyeri Sendi/Tulang Tidak ada bukti kebocoran
Ruam Kulit Makulopapular plasma plasma
Manifestasi Perdarahan
Tidak ada tanda perembesan plasma
DBD I Gejala diatas dan Uji Bendung (+) Trombositopenia
Peningkatan hematokrit 20%
DBD II Seperti gejala diatas ditambah perdarahan spontan Trombositopenia
Peningkatan hematokrit 20%
DBD* III Seperti derajat I atau II ditambah kegagalan sirkulasi Trombositopenia
( nadi lemah, tekanan nadi 20mmHg, hipotensi, Peningkatan hematokrit 20%
gelisah, akral dingin ) Bukti ada kebocoran plasma
DBD* IV Syok hebat dengan TD dan nadi yang tidak Trombositopenia
terdeteksi Peningkatan hematokrit 20%
Bukti ada kebocoran plasma
Diagnosis Infeksi Dengue:
Gejala Klinis + Trombositopenia+Hemokonsentrasi,
dikonfirmasi dengan deteksi NS-1 dan atau uji
serologi anti dengue positif

G. Pemeriksaan Penunjang DBD


Laboratorium
1.Pemeriksaan Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah demam dan
akan menurunsehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit ke5-6. Deteksi antigen
virus ini dapat digunakan untuk diagnosis awal menentukan adanya infeksi
dengue, namun tidak dapat membedakan penyakit DD/DBD.5

2. Leukosit : dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemukan
limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya LPB >15% dari
jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat

3. Trombosit : Umumnya akan terdapat trombositopenia pada hari ke-3-6.


4. Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematocrit 20% dari hematokrit awal , umumnya dimulai pada hari ketiga
demam.
5. Protein/Albumin : dapat terjadi hypoproteinemia akibat kebocoran plasma

6. Uji serologi IgM dan IgG anti dengue


Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-3-5 sakit, mencapai
puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan menurun/ menghilang setelah 60-
90 hari.
Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit ke-
14. dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan pada infeksi
sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi pada hari sakit ke-2sakit.5

Terdapat lima uji serologi dasar yang umum digunakan untuk mendiagnosis
infeksi Dengue secara rutin yaitu6 :
1. Uji hambatan hemaglutinasi (Hemaglutinasi inhibition = HI)
2. Uji Fiksasi komplemen (Complemen fixation = CF)
3. Uji Netralisasi (Neutralization test = NT)
4. IgM Capture enzymelinked immunosorbent assay (MAC ELISA)
5. Indirect lg G ELISA

H. Penatalaksanaan
TATALAKSANA PADA ANAK
Berdasarkan rekomendasi WHO 2011, prinsip umum terapi dengue ialah sebagai
berikut7:
1. Pemberian cairan kristaloid isotonik selama periode kritis, kecuali pada bayi
usia < 6 bulan yang disarankan menggunakan NaCl 0,45%
2. Penggunaan cairan koloid hiperonkotik, dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan kebocoran plasma yang berat, dan tidak ada perbaikan yang adekuat
setelah pemberian kristaloid
3. Jumlah cairan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan rumatan
(maintenence) ditambah 5% untuk dehidrasi. Jumlah tersebut hanya untuk
menjaga agar volume intravaskular dan sirkulasi tetap adekuat
4. Durasi pemeberian terapi cairan intravena tidak boleh melebihi 24-48 jam
pada kasus syok. Pada kasus tanpa syok, durasi terapi tidak lebih dari 60
72 jam;
5. Pada pasien obesitas, perhitungan volume cairan sebaiknya menggunakan
berat badan ideal.
6. Pemberian cairan selalu disesuaikan dengan kondisi klinis. Kebutuhan cairan
intravena pada anak berbeda dengan dewasa (tabel 2)
7. Pemberian transfusi trombosit tidak direkomendasikan pada anak.

Laju pada Anak Laju pada Dewasa


(mL/KgBB/jam) (ml/jam)
Setengah rumatan 1,5 40-50
Rumatan 3 80-100
Rumatan + defisit 5% 5 80-100
Rumatan + defisit 7% 7 120-150
Rumatan + defisit 10% 10 300-500

Tabel 2. Laju Pemebrian Infus pada Anak(WHO 2011)

Terapi infeksi virus dengue dibagi menjadi 4 bagian :


1. Tersangka DBD
2. Demam Dengue (DD)
3. DBD derajat I dan II
4. DBD derajat III dan IV (DSS)

DBD tanpa syok (derajat I dan II)


Medikamentosa
Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan
aspirin.
Diusahakan tidak memberikan obat obat yang tidak diperlukan
(misalnya antasid,antiemetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat
dalam hati.
Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati, apabila terdapat
perdarahan saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan
Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati
Suportif

Mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan


permeabilitas kapiler dan perdarahan
Kunci keberhasilan terletak pada kemampuan untuk mengatasi masa
peralihan dari fase demam ke fase syok disebut time of fever differvesence
dengan baik.
Cairan intravena diperlukan, apabila anak terus menerus muntah, tidak
mau minum, demam tinggi, dehidrasi yang dapat mempercepat terjadinya
syok, dan nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan
berkala.

DBD disertai syok (Sindrom Dengue, derajat III dan IV)


Penggantian volume plasma segera, cairan intravena larutan ringer laktat
10-20ml/kgbb secara bolus diberikan dalam waktu 30 menit. Apabila syok
belum teratasi tetap berikan ringer laktat 20 ml/kgbbditambah koloid 20-
30ml/kgbb/jam, maksimal 1500 ml/hari.
Pemberian cairan 10 ml/kgbb/jam tetap diberikan 1-4 jam pasca syok.
Volume cairan diturunkan menjadi 7 ml/kgbb/jam, selanjutnya 5ml, dan 3
ml apabila tanda vitaldan diuresis baik
Jumlah urin I ml/kgbb/jam merupakan indikasi bahwa sirkulasi membaik.
Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi 48 jam setelah syok
teratasi.
Oksigen 2-4 I/menit pada DBD syok.
Koreksi asidosis metabolik dan elektrolit pada DBD syok.
Indikasi Pemberian darah :
Terdapat perdarahan secara klinis :
Setelah pemebrian cairan kristaloid dan kolid, syok menetap,
hematokrit turun, diduga telah terjadi perdarahan, berikan darah
segar 10 ml/kgbb
Apabila kadar hematokrit menetap > 40 vol%, maka berikan darah
dalam volume kecil
Plasma segar beku dan suspensi trombosit berguna untuk koreksi
gangguan koagulopati atau koagulasi intravaskular desminata
(KID) pada syok berat yang menimbulkan perdarahan masif.
Pemberian transfusi suspensi trombosit pada KID harus selalu
disertai plasma segar (berisi faktor koagulasi yang diperlukan),
untuk mencegah perdarahan lebih hebat.

Tatalaksana pada fase pemulihan (recovery phase)


Fase pemulihan ditandai dengan perbaikan klinis, nafsu makan membaik,
dan secara umum tampak membaik.
Status hemodinamika dan perfusi perifer yang baik perlu dipantau dengan
baik.
Didapatkan penurunan kadar hematokrit ke kadar basal dan volume unrin
yang cukup
Pemberian cairan intravena tidak boleh dilanjutkan lagi untuk mencegah
kelebihan cairan karena pada fase pemulihan cairan dari ekstravaskular
kembali masuk ke dalam rongga intravaskular.
Pada pasien dengan efusi pleura yang luas dan asites, pada fase pemulihan
mudah terjadi kelebihan cairan, maka dapat diberikan furosemid untuk
mengurangi udem paru. Apabila efusi pleura hanya sedikit dan keadaan
umum anak baik, tidak perlu diberikan diuretik karena akan direabsorbsi
spontan.
Mungkin terjadi hipokalemia yang disebabkan oleh stres dan diuresis,
perlu segera dikoreksi dengan pemberiah buah yang kaya kalium atau
suplemen.
Tidak jarang dijumpai bradikardia, maka perlu pemantauan untuk
terjadinya penyulit yang jarang yaitu heart block atau ventricular
premature contraction.

Tanda tanda penyembuhan8 :


Frekuensi nadi, tekanan darah dan frekuensi napas stabil
Suhu badan normal
Tidak dijumpai perdarahan baik eksternal maupun internal
Nafsu makan membaik
Tidak dijumpai muntah maupun nyeri perut
Vulume urine cukup
Kadar hematokrit stabil pada kadar basal
Ruam konvalesens, ditemukan pada 20% - 30% kasus.

Kriteria pulang rawat 8


Tidak demam minimal 24 jam tanpa terapi antipiretik
Nafsu makan membaik
Perbaikan klinis yang jelas
Jumlah urin cukup
Minimal 2-3 hari setelah syok teratasi
Tidak tampak distres pernapasan yang disebabkan efusi pleura atau
asites
Jumlah trombosit > 50.000/mm . Apabila masih rendah namun klinis
3

baik, pasien boleh pulang dengan nasihat jangan melakukan aktivitas


yang memudahkan untuk mengalami trauma selama 1-2 minggu
(sampai trombosit normal). Pada umumnya apabila tidak ada penyulit
atau penyakit lain yang menyerta (misalnya idiopatik trombositopenia
purpura=ITP), trombosit akan kembali ke kadar normal dalam waktu
3-5 hari.
TATALAKSANA PADA DEWASA

Penatalaksanaan

Pada prinsipnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis.


Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran
plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.
Dalam pemberian terapicairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah
pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan
terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak
demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan
cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. 3

Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DHF


dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi
dalam 5 kategori, sebagai berikut: 3,8,11
1. Penanganan tersangka DHF tanpa syok
2. Pemberian cairan pada tersangka DHF dewasa di ruang rawat
3. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20%
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DHF dewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

Protokol 1. Penanganan Tersangka DHF dewasa tanpa syok.


Seorang yang tersangka menderita DHF dilakukan pemeriksaan haemoglobin,
hematokrit, dan trombosit, bila :
Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien
dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik
dalam waktu 24 jam berikutnya ( dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, lekosit dan
trombosit tiap 24 jam ) atau bila keadaan penderita memburuk segera
kembali ke instalansi gawat darurat.
Hb, Ht normal dengan trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.
Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan dirawat.
Gambar 4. Penanganan tersangka DHF tanpa syok

Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DHF dewasa di ruang rawat.


Pasien yang tersangka DHF tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa
syok maka diruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti
rumus berikut ini :
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut :
1500 + (20 x( BB-20) ml
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, HT tiap 24 jam :
Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian
cairan tetap, tetapi pemantauan Hb, Ht, trombo dilakukan tiap 12 jam.
Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000, maka Pemberian cairan
sesuai dengan protokol penatalaksanaan DHF dengan peningkatan Ht>20%.
Gambar 5. Pemberian cairan pada tersangka DHF dewasa di ruang rawat

Protokol 3. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan Ht>20%.


Gambar 6. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20%5

Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan spontan pada DHF dewasa.

Perdarahan spontan dan masif pada penderita DHF dewasa adalah :


perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali, perdarahan saluran cerna
(henatemesis dan melena atau hematokesia), perdarahan saluran kencing
(hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah
perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam.1,3
Perdarahan Spontan dan Masif : -
Epistaksis tidak terkendali
- Hematemesis melena
- Perdarahan otak
- Hematuria
TRANSFUSI
TROMBOSIT

Hb < 10 gr%
TRANSFUSI PRC
Protokol 5. Tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa.

Bila kita berhadapan dengan sindroma syok dengue pada dewasa (SSD) maka
hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh
karena itu penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan.
Angka kematian pada sindrom syok dengue sepilih kali lipat dibandingkan dengan
penderita DHF tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan
penderita DHF mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan tidak tepat
termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan
penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat. 1,3
Gambar 7. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

Kriteria memulangkan pasien, apabila memenuhi semua keadaan dibawah ini : 1


1. Tampak perbaikan secara klinis
2. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
3. Tidak dijumpai distress pernafasan (efusi pleura atau asidosis)
4. Hematokrit stabil
5. Jumlah trombosit cendrung naik > 50.000/nl
6. Tiga hari setelah syok teratasi
7. Nafsu makan membaik

BAB 3
KESIMPULAN

Dengue Fever (DF) dan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri
otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopeni dan diatesis hemoragik.
Pada DHF terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi
( peningkatan hematokrit ) atau penumpukan cairan dirongga tubuh. Sindrom
renjatan dengue ( dengue shock syndrome ) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan / syok(1)
Penatalaksanaannya adalah dengan mengatasi gejala/keluhan yang dirasakan
pasien hingga pemberian replacement volume untuk mengatasi gangguan sirkulasi
yang terjadi. Usaha pencegahan adalah dengan memutuskan rantai penularan dan
terutama pemberantasan pemberantasan vektor. Prognosis penyakit buruk pada
keadaan-keadaan dengan terjadinya sindoma shock dengue.

Вам также может понравиться