Вы находитесь на странице: 1из 11

BAB 1

PENDAHULUAN

Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas


vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa dan submukosa.(1-6) Hal ini pertama kali
diungkapkan pada tahun 1586. Istilah lainnya seperti giant urticaria, Quincke edema, dan
angioneurotic edema telah digunakan sejak dulu untuk menggambarkan kondisi seperti ini.(1)
Angioedema seringkali dihubungkan dengan urtikaria. Faktanya, sebanyak 50% pasien
dengan urtikaria juga mengalami angioedema. Pada banyak kasus, angioedema sangat mirip
dengan urtikaria berdasarkan etiologi dan strategi penatalaksanaannya.(1)
Urtikaria timbul akibat masuknya antigen ke area kulit yang spesifik dan menimbulkan
reaksi setempat yang mirip reaksi anafilaksis. Histamin yang dilepaskan setempat akan
menimbulkan vasodilatasi yang menyebabkan timbulnya red flare (kemerahan) dan
peningkatan permeabilitas kapiler setempat sehingga dalam beberapa menit kemudian akan
terjadi pembengkakan setempat yang berbatas jelas.(7)
Angioedema paling sering terlihat mempengaruhi bibir dan mata (periorbital). Daerah
lain yang sering dilibatkan meliputi wajah, tangan, kaki, dan genitalia. Namun, kondisi ini tidak
selalu terlihat, seperti pada kasus saluran gastrointestinal (GI). Bergantung pada area
pembengkakan, rasa sakit tidak bisa ada atau ringan, seperti pada kebanyakan pembengkakan
di perifer atau wajah, atau bisa sangat parah, seperti pada angiodema GI.(10)
Di sisi lain, angioedema cukup berbeda dengan urtikaria. Angioedema selalu melibatkan
lapisan dermis yang lebih dalam atau jaringan submukosa atau subkutaneus, sementara urtikaria
melibatkan lapisan dermis yang lebih superficial.(1)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Hipopigmentasi pasca inflamasi adalah hipopigmentasi yang terjadi setelah atau

berhubungan dengan dermatosis yang disertai inflamasi. Keadaan ini biasanya terjadi pada

dermatitis atopik, dermatitis eksematosa, dan psoriasis. Selain itu dapat juga terjadi pada

parapsoriasis, pitiriasis likenoides kronik, alopesia musinosa, mikosis fungoides, lupus

eritematosus diskoid, liken planus, liken striatus, dan dermatitis seboroik.5

B. ETIOLOGI

Berbagai proses inflamasi pada penyakit kulit dapat pula menyebabkan hipopigmentasi

misalnya lupus eritematosus diskoid, dermatitis atopik, psoriasis, parapsoriasis gutata kronis,

dan lain-lain. Predileksi dan bentuk kelainan hipopigmentasi yang terjadi sesuai dengan lesi

primernya. Hal ini khas pada kelainan hipopigmentasi yang terjadi sesudah menderita

psoriasis.6

Tabel1. Penyebab Hipopigmentasi Post Inflamasi

Dermatitis Kontak Alergi


Dermatitis Atopik
Graft Kronis vs Reaksi Host
Diskoid Lupus Eritematosus
Reaksi Serangga Gigitan
Lichen Planus
1 Penyakit Kulit Inflamasi Lichen Striatus
Lymphomatoid Papulosis
Pitiriasis Lichenoides Kronika
Psorias is
Sarkoidosis
Scleroderma
Sindrom Stevens-Johnson
Chickenpox
Herpes Zoster
2 Infeksi Impetigo
Onchocerciasis
Pinta
Pityriasis Versicolor
Sipilis
Chemical Peeling
Cryotherapy
3 Terkait prosedur
Dermabrasi
Laser
4 Lain-lain Luka Bakar

C. EPIDEMIOLOGI

Hipopigmentasi post-inflamasi dapat terjadi pada seluruh jenis kulit, namun lebih
sering ditemukan pada orang-orang yang berkulit gelap. Tidak ada perbedaan antara laki-laki
maupun perempuan dalam jumlah insidensi hipopigmentasi post-inflamasi.

D. Tabel 5. Insiden hipopigmentasi post-inflamasi8

E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
L.
M.
N.
O.
P.
Q. 2.3.2. Etiopatogenesis
R.
S. Terdapat berbagai inflamasi pada kulit yang dapat menyebabkan terjadinya hipopigmentasi
post-inflamasi. Beberapa penyakit seperti pityriasis lichenoides chronica (PLC) dan lichen
striatus (LS) lebih cenderung menyebabkan hipopigmentasi daripada hiperpigmentasi.
Trauma pada kulit seperti luka bakar, trauma akibat iritan ataupun prosedur dermatologika,
seperti peeling dengan zat kimiawi, dermabrasi, krioterapi dan terapi laser, dapat
menyebabkan terjadinya hipopigmentasi.
LS merupakan salah satu penyebab hipopigmentasi post-inflamasi yang cukup sering,
dengan insiden mencapai 59%. Dermatosis akan menghilang secara spontan dalam 2 tahun dan
meninggalkan bekas hipopigmentasi, terutama pada orang-orang yang berkulit gelap. Selain
itu, masa-masa inflamasi sering kali tidak terdeteksi dan hanya bermanifestasi sebagai
hipopigmentasi. Pada pasien yang memiliki warna kulit gelap, PLC dapat muncul dengan tanda
hipopigmentasi yang disertai pula dengan lesi papul-papul berskuama.
T. Perubahan pigmentasi juga sering terjadi setelah trauma akibat luka bakar ataupun
dingin. Pada luka bakar superfisial, hiperpigmentasi post-inflamasi sering kali
terjadi sedangkan pada luka bakar yang dalam sering menyebabkan hipopigmentasi
post-inflamasi. Melanosit sangat sensitif terhadap suhu dingin dan kerusakan yang
ireversibel dapat terjadi pada suhu -4 hingga -7 OC. Suhu dingin menyebabkan
terhambatnya transfer melanin dari melanosit menuju keratinosit. Hal tersebut
mengakibatkan melanosit berpindah menuju lesi, sehingga muncul daerah
hipopigmentasi dengan tepi hiperpigmentasi. Perubahan pigmentasi dapat
berlangsung selama sekitar 6 bulan akibat tidak terdapatnya melanosom pada
keratinosit, yang kemungkinan disebabkan karena berkurangnya jumlah melanosit,
reduksi sintesis melanosom atau terhambatnya perpindahan melanosom.
U. Hipopigmentasi juga dapat menjadi salah satu komplikasi yang mungkin terjadi
setelah dilakukaan peeling dengan menggunakan zat kimia. Kemungkinan
terjadinya hipopigmentasi juga terkait dengan fototipe kulit, dengan fototipe
Fitzpatrick I memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami
hipopigmentasi.9 Penelitian yang dilakukan oleh Savant melaporkan bahwa dari 65
pasien yang menjalani proses dermabrasi, 41 pasien mengalami hipopigmentasi
permanen.
V. Terapi dermatologi dengan menggunakan laser sering kali menyebabkan terjadi
hipopigmentasi dan lesi tersebut dapat menjadi permanen. Lesi muncul biasanya
sekitar tiga hingga enam bulan setelah dilakukannya tindakan terapi.
W. Literatur yang menjelaskan mekanisme dan patogenesis pasti dari hipopigmentasi
post-inflamasi masih sangat terbatas jumlahnya. Adanya variasi respon masing-
masing individual terhadap suatu inflamasi pada kulit ataupun terhadap trauma
masih belum dapat dijelaskan dengan pasti. Melanosit dapat memberikan reaksi
berupa peningkatan ataupun penurunan produksi melanin jika terjadi inflamasi
pada kulit ataupun trauma pada kulit.

X. PATOFISIOLOGI

4
Melanosit dapat bereaksi dengan normal, meningkat atau menurun dalam

produksi melanin ketika menanggapi peradangan kulit atau trauma. Kecenderungan

kromatik ini ditentukan secara genetik, dan diwariskan secara autosomal dominan.

Orang dengan melanosit yang lemah, yang memiliki kerentanan tinggi terhadap

kerusakan, lebih mungkin untuk menderita hipopigmentasi, sedangkan mereka dengan

melanosit yang kuat cenderung untuk menderita hiperpigmentasi. Namun,orang

berkulit gelap tidak selalu memiliki melanosit yang kuat,dan begitu juga sebaliknya.7

Hipomelanosis terjadi segera setelah resolusi penyakit primer dan mulai

menghilang setelah beberapa minggu hingga beberapa bulan terutama pada area yang

terpapar matahari. Patogenesis proses ini dianggap sebagai hasil dari gangguan transfer

melanosom dari melanosit ke keratinosit. Pada dermatitis hipopigmentasi mungkin

merupakan akibat dari edema sedangkan pada psoriasis mungkin akibat meningkatnya

epidermal turnover.5

Melanogenesis adalah proses yang kompleks, yang mencakup sintesis melanin,

transportasi dan pelepasan ke keratinosit. Hal ini dikendalikan oleh beberapa mediator

(misalnya, faktor pertumbuhan, sitokin) yang bekerja pada melanosit, keratinosit dan

fibroblast. Melalui pelepasan mediator ini, peradangan kulit dapat menyebabkan

penyimpangan melanogenesis. Sebuah studi dikatakan bahwa hipopigmentasi

lebih diakibatkan oleh penghambatan melanogenesis daripada kehancuran melanosit.

Namun, peradangan parah dapat menyebabkan hilangnya melanosit atau bahkan

kematian melanosit, dan mengakibatkan perubahan pigmen permanen.5,6,7

Y. DIAGNOSIS

5
Diagnosis umumnya dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Ukuran dan bentuk lesi hipopigmentasi biasanya berkorelasi dengan distribusi dan

konfigurasi dermatosis inflamasi asli, dan warna berkisar dari hipopigmentasi ke

depigmentasi.Namun, dalam beberapa kondisi, inflamasi pasien yang mengalami

perubahan pigmen yang sama, digambarkan sebagai cincin hiperpigmentasi , diikuti

oleh kerak seperti wafer, hipopigmentasi dan akhirnya resolusi dalam waktu 2 minggu

sampai 6 bulan.Hipomelanosis biasanya berdampingan dengan lesi inflamasi, tetapi

kadang-kadang hanya lesi hipopigmentasi yang terlihat, misalnya pada sarkoidosis atau

mikosis fungoides. Depigmentasi lengkap paling sering terlihat setelah pasien

menderita dermatitis atopik parah dan diskoid lupus eritematosus. 5,6,7

Pemeriksaan Wood dapat membantu membedakan antara hipopigmentasi dan

lesi depigmented. Selain itu, mungkin membantu untuk menyingkirkan beberapa

diagnose lain. Histopatologi dari hipopigmentasi post inflamasi menunjukkan temuan

yang nonspesifik seperti penurunan epidermal melanin, derajat infiltrasi variabel

lymfositikyang dangkal, dan adanyamelanophages pada dermis atas. Selain itu,

mungkin adabeberapa bukti histopatologi yang dapat membantu untukmenegakkan

diagnosis penyebab hipopigmentasi post inflamasi, seperti pada lupus eritematosus.7

Z. DIAGNOSIS BANDING
1. Vitiligo

2. Pitiriasis Versicolor

3. Pitiriasis Alba

6
4. Hypopigmented mycosis fungoides

5. Naevus depigmentosus

6. Nummular eczema

7. Idiopathic guttate hypomelanosis

AA. PENATALAKSANAAN

Pengobatan melibatkan identifikasi dan mengobati penyebab yang

mendasarinya. Selama peradangan masih berlanjut, repigmentation tidak mungkin

terjadi. Setelah penyebab yang mendasari secara efektif diobati, hipopigmentasi yang

biasanya membaik seiring waktu.5,6

Aplikasi dua kali sehari dari steroid topikal potensi sedang dalam kombinasi

dengan preparat berbasis tar. Steroid dapat mempengaruhi sel inflamasi yang

bertanggung jawab untuk peradangan , sementara tar dapat menyebabkan

melanogenesis.Aplikasi dua kali sehari 1 % pimecrolimus krim selama 16 minggu.

Tingkat perbaikan selama 2 minggu pertama setelah penggunaan pertama. Aplikasi

topikal dari 0,1 % 8 - methoxypsoralen , 0,5-1 % tar batubara atau anthralin diikuti oleh

paparan sinar matahari dapat membantu dalam memulihkan pigmen.7

Berbagai regimen photochemotherapy topikal (topikal psoralen UVA, PUVA)

seperti aplikasi topikal dari 0,001- 0,5% 8-methoxypsoralen di aquaphor atau salep

hidrofilikke daerah yang sakit selama 20-30 menit, diikuti oleh UVA 1-3 kali per

minggu pada dosis awal 0,2 - 0,5 J / cm2 , ditingkatkan 0,2-0,5 J / cm2 perminggu.

Excimer laser 308 nm dapat digunakan untuk merangsang pigmentasi lesi

7
hipopigmentasi, dan memiliki tingkat respon 60-70 % setelah sembilan perawatan dua

kali seminggu . Namun, pengobatan selanjutnya teratur diperlukan setiap 1-4 bulan

untuk menjaga hasil . Untuk lesi yang luas, narrow-band UVB fototerapi atau oral

PUVA dapat digunakan 2-3 kali seminggu. 7

Dalam lesi depigmented dengan kerusakan total melanosit, cangkok epidermal

atau melanosit dapat dipertimbangkan. Berbagai metode kamuflase termasuk make-

up, produk penyamakan dan tato mungkin menjadi alternatif pilihan.5,6,7

BB. KOMPLIKASI

CC. PENCEGAHAN

DD. PROGNOSIS

Hipopigmentasi minimal biasanya sembuh dalam beberapa minggu, tapi

hipopigmentasi parah dan depigmentasi terkait dengan lupus eritematosus,

scleroderma atau luka bakar mungkin memerlukan beberapa tahun untuk

menjadi repigmented, dan tidak menutup kemungkinan untuk permanen.7

8
BAB III

PENUTUP

Terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada dr. Berny M.


Prawiro, Sp.KK sebagai pembimbing yang telah memberikan masukan dan bimbingan
dalam pembuatan referat ini dan kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan dukungan secara langsung maupun tidak langsung
sehingga referat ini dapat terselesaikan.

Akhir kata, kami penyusun menyadari bahwa referat ini masih jauh dari
sempurna, baik pemikiran, pengetahuan, penyusunan bahasa, maupun sistematika.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang
membaca referat ini sangat diharapkan guna menjadi pembelajaran bagi penyusun
dalam menyusun referat di waktu yang akan datang. Semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. L.Mescher Anthony. Kulit. Dalam : Hartanto Huriawati, editor. Histologi Dasar

JUNQUEIRA Teks Dan Atlas. Edisi 12. Jakarta: EGC. 2011: 312

2. P. GARTNER LESLIE, L. HIATT JAMES. Integumen. Dalam : Susilowati,

editor. Atlas Berwarna Histologi. Edisi Kelima. Pamulang - Tangerang Selatan.

BINARUPA AKSARA. 2012 : 265

3. P. Eroschenko Victor. Sistem Integumen. Dalam : Dharmawan Didiek,

Yesdelita Nella, editor. Atlas Histologi DIFIORE. Edisi 11. Jakarta: EGC.2008

: 225

4. Pigmentation disorders; DermNet NZ

5. Ortonne JP, Bahadoran P, dkk. Hypomelanosis and Hypermelanosis. Dalam:

Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, dkk, editor. Fitzpatricks Dermatology in

General Medicine. Sixth edition. Mc Graw-Hill. New York. 2003 : 836-862.

6. Soepardiman L. Kelainan pigmen. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,

editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keempat. FKUI. Jakarta.

2005:289-300.

10
11

Вам также может понравиться