Вы находитесь на странице: 1из 2

Langit nampak ceria pagi ini.

Biru cerah, awan putih di beberapa bagian, ditambah beberapa garis oranye hasil goresan sang surya
seolah menunjukkan kegagahannya di langit. Anginpun tak mau kalah untuk menjalin persahabatan, hembusannya menyapa dengan ramah.
Benar benar moment yang pas yang kunikmati bersama secangkir kopi dan sepiring pisang goreng di teras samping rumah.
Belum mandi Ra? Tanya ibu yang tiba tiba muncul membawa tambahan pisang goreng yang sepertinya baru saja diangkat dari
penggorengan.
Belum Bu. Aku mengambil sepotong pisang goreng lagi. Baru juga jam segini. Lagian Ra juga lagi gak mau kemana mana. Aku
melanjutkkan.
Loh, nggak lanjut nyari kerja? Atau nyari kegiatan apa gitu? Ibu bertanya lagi.
Aku meneguk sekali kopi hitam yang adalah minuman wajibku setiap pagi. Capek bu. Ra mau istirahat dulu beberapa bulan, baru
deh nyari kerjaan. Aku menyandarkan kepalaku di pundak ibu, Atau ibu udah gak mau ngurusin Ra yah?
Kamu ini bicara apa sih? Mau kamu sekolah, kerja, ataupun nganggur kaya gini, yah kamu tetap tanggung jawab ibu. Ibu
mengangkat kepalaku untuk menatap wajahnya. Tapi jangan malas malasan begini. Kalau belum mau kerja, nyari kegiatan apa gitu, supaya
nggak malas malasan gini. Mandi sana.
Aku memasang wajah cemberut, namun sepertinya tidak berguna. Akhirnya aku bangkit dan mengikuti keinginan ibu.
Aku, Nadira, tapi lebih sering dipanggil Ra oleh orang orang sekitarku. Aku baru saja menyelesaikan pendidikanku dibidang
ekonomi. Ya, semakin tahun semakin banyak juga ahli ekonomi yang tersedia di negeri ini, mungkin itu salah satu penyebab mengapa mencari
pekerjaan itu sulit. Tapi sebenarnya kesulitan itu belum nampak padaku, mengapa? Bukan karena aku memang beruntung, tapi hanya saja karena
memang aku belum mencoba untuk mencari pekerjaan. Namun, terlahir di keluarga berdarah jawa, membuatku tidak mudah untuk menikmati
waktu sesuka hati. Ya, seorang anak gadis menghabiskan waktunya hanya dengan duduk minum kopi di teras rumah, menonton tv seharian, atau
bisa juga bermalas malasan di sofa atau di kamar, sepertinya bukan pemandangan yang diijinan dirumahku.
Dengan mengendarai sepeda motor yang telah kumiliki sejak masuk kuliah, aku meninggalkan pekarangan rumah tanpa tujuan.
Rencananya, aku ingin berkeliling sekitar kopleks rumah saja sejam atau dua jam, asal cukup untuk mencari angin segar dan tidak diam di rumah
saja.
Begitu sampai di gerbang kompleks perumahan, keramaian kendaraan langsung menyambutku, belum begitu macet, mengingat ini
belum pukul 7. Aku menghentikan motorku di depan sebuah warung yang bertuliskan Jual Nasi Kuning. Sepertinya dua potong pisang goreng
tadi belum cukup bagiku.
Dek, nasi kuningnya satu yah, pake rendang. Aku duduk di sebuah kursi plastik tepat di sisi jendela. Warung ini tergolong warung
kecil, tetapi peminatnya cukup banyak. Aku memperhatikan adik yang sedang meracik nasi kuning beserta lauknya kedalam sebuah piring.
Usianya sekitaran 11 tahun. Meski masih sangat muda, ia sangat cekatan dalam meladeni pelanggan di tempatnya berjualan ini.
Ini kak nasi kuningnya. Dengan menunjukkan senyumannya, ia meletakkan sepiring nasi kuning yang masih mengelarkan asap di
atas meja di depanku. Aku membalasnya dengan senyuman.
Aku mulai menikmati menu sarapan keduaku ini, lumayan enak juga. Nasi kuning, oseng kacang panjang, serondeng, telur rebus
setengah dan 2 potong rendang. Aku begitu menikmatinya. Sesekali mataku mengawasi adik si penjual nasi kuning ini. Usia segini, apa yang ada
di pikirannya yah ketika dia sudah harus bekerja seperti ini?
Aku meneguk segelas air putih setelah menyendok suapan terakhirku. Adik penjual nasi kuning sedang duduk sendiri menatap jalan,
pelanggan yang lain telah beranjak. Hanya tinggal aku dan dia. Dek, duduk sini Panggilku. Diapun berpindah duduk di hadapanku.
Ada apa kak? Tanyanya.
Tidak apa apa, hanya penasaran saja, kalau kamu berjualan nasi kuning seperti ini, apa tidak terlambat ke sekolahnya? Tanyaku
hati hati.
Oh, saya sekolahnya siang kak, jadi pagi pagi begini saya bisa bantu ibu jualan nasi kuning Jawabnya sambil tersenyum. Manis
sekali.
Ibunya sekarang dimana?
Ibu sedang masak di rumah kak, untuk jualan menu makan siang nanti. Kalau siang, ibu berjualan nasi campur disini, palingan jam 9
nanti ibu sudah datang. Nah dari pada saya tidak ada kerjaan di rumah, saya pikir lebih baik membantu ibu berjualan menu sarapan, ya nasi
kuning ini kak. Lumayan buat nambah biaya hidup untuk kami dan adik - adik sejak ayah meninggal.
Penjelasannya membuatku terdiam. Sungguh dewasa untuk usia segini. Aku meneguk kembali gelas berisi air putih di depanku,
mencoba mencairkan pikiranku sendiri. Kamu kelas berapa dek?
Kelas 4 kak, bentar lagi naik kelas 5 jawabnya.
Aku tersenyum, Sekolahnya yang rajin ya dek, jangan malas malas. Aku mengeluarkan 2 lembar uang sepuluh ribuan dari saku
celanaku dan memberikannya untuk biaya makanku pagi ini.
Aku melanjutkan perjalananku pagi ini dengan begitu banyak pemikiran. Aku mulai mengingat ingat apa yang kulakukan ketika
duduk di kelas 4 SD, ke sekolah, main, jajan, merengek, bahkan ngambek ketika apa yang kuminta tidak dipenuhi ibu. Ayah selalu mengajakku
liburan ketika libur, pantai, taman bermain, makan di restoran, dan bebas memilih komik di toko buku.
Bagaimana dengan adik si penjual nasi kuning tadi? Bagaimana dunia masa kecilnya ini? Apakah dia juga sering berlibur bersama
keluarganya saat liburan datang? Apakah dia pernah mengeluh sudah harus bekerja saat ini?
Aku menepi, berteduh sejenak di bawah jembatan penyeberangan, siang ini benar benar panas. Aku sedikit menyesal kenapa sampai
sejauh ini, cuaca benar benar tidak bersahabat.
Sembari meneguk sebotol air mineral yang kubeli dari pedagang asongan yang lewat, aku memperhatikan jalanan yang berada di
depanku. Kendaraan yang begitu beragam melintas begitu saja, aku seperti melihat beberapa kehidupan berbeda di jalanan ini. Beraneka ragam
mobil melintas, dari yang super mewah sampai yang biasa aja, ada juga kehidupan pengendara motor yang menjadi sasaran empuk sinar matahari
siang ini, ada juga pejalan kaki di tepi jalan, ada yang berpakaian rapi, ada yang berpakaian santai, mungkin sesuai dengan lokasi tujuan mereka.
Nampak juga para pedagang asongan berlalu lalang, mereka terdiri dari beragam usia.
Aku memanggil seorang anak yang berjualan Koran.
Korannya satu dek. Kataku.
tiga ribu kak Jawab adik itu. Aku memberinya uang lima ribu, dia mencari uang dua ribu di saku celananya.
buat adik saja dua ribunya, kataku sambil mengelus kepalanya.
Dia menatapku, tersenyum kemudian berkata, Terimakasih kak.
Nama Kamu siapa? Tanyaku.
Ian kak, kalau kakak?
Dira. Jawabku tersenyum. Kamu tidak sekolah?
Ian menggeleng, nampak raut sedih di wajahnya,Kalau saya sekolah, mau bayar pakai apa kak? Belum uang makan sehari hari.
Aku sedih mendengarnya, Bukannya sekolah sudah gratis yah?
Sekolahnya memang gratis kak, tapi seragam sekolah, tas, buku, alat tulis kan butuh biaya juga. Jawabnya. Jadi mending saya kerja
kak dari pada sekolah, tambahnya.
Jadi menurut kamu, sekolah tidak penting? Tanyaku.
Malah menurut saya, sekolah itu sangat penting, makanya saya berusaha keras untuk bekerja dari sekarang. Jawabnya.
Loh? Kok? Aku bingung dengan jawaban Ian.
Supaya saya bisa nabung kak,dan uangnya buat masuk sekolah adik saya tahun depan. Adik saya harus sekolah kak. Jawabannya
menjawab kebingunganku sekaligus membuatku terdiam. Bagaimana mungkin anak sekecil ini sudah berpikir seperti itu?
Ian memutuskan berhenti sekolah agar adiknya bisa sekolah, sungguh luar biasa. Aku menghabiskan sejam lebih untuk mengobrol
dengannya. Pandangan anak itu tentang hidup benar benar membuatku kagum. Pola hidup yang dia jalani benar benar membuatnya memiliki
cara sendiri untuk menilai hidup. Aku benar benar merasa ciut.
Aku menyusuri jalan menuju rumahku dengan sedikit bersenandung. Pikiranku terus saja diisi oleh dua anak yang aku ajak bicara hari
ini. Adik si penjual nasi kuning yang memutuskan untuk membantu ibunya di pagi hari sebelum ia berangkat ke sekolah siang harinya. Dan
tentang Ian yang memilih tidak melanjutkan sekolah demi mencari uang untuk biaya sekolah adiknya tahun depan. Lalu aku, apa yang telah
kulakukan selama ini? Apalah aku jika dibandingkan dengan niat tulus dan perjuangan mereka?
Begitu tiba di rumah, aku segera berlari menuju kamarku,membuka laptop dan mulai mengetik dengan sangat serius. Ibu yang
keheranan mengikutiku ke kamar, lalu berdiri di sampingku.
Tidak makan dulu Ra? Tanya ibu.
Bentar aja Bu. Jawabku tanpa memalingkan wajah dari layar laptop.
Kamu lagi buat apa?
Ra lagi bikin surat lamaran pekerjaan Bu, Ra mau kerja. Aku menghentikan gerakan jariku di atas laptop, kemudian memandang
ibu. Ra sudah cukup merepotkan ibu, sekarang Ra sudah jadi sarjana, rasanya Ra malu kalau terus merepotkan ibu. Ra mau kerja. Walaupun ibu
merasa nggak direpotkan, tapi Ra juga mau berkarya, mau buat ibu bangga.
Ibu tersenyum,Entah apa yang kamu temui di jalan tadi Ra, tapi apapun itu ibu selalu bangga nak.
Ra sayang ibu. Kataku.
ya sudah, ibu siapin makan siang dulu, kalau sudah selesai segera turun makan siang yah.
Aku mengangguk, kemudian melihat ibu membalikkan badannya menuju pintu kamar dan menutupnya dari luar. Sebelum berbalik
tadi, dapat kulihat dengan jelas air mata ibu di sudut matanya. Air mata haru.
Ibu, Ra akan buat ibu bangga.

Вам также может понравиться