Вы находитесь на странице: 1из 5

BIMA DWI DARMA

14043148

SEMINAR AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK

A. JUDUL ARTIKEL:
TEORI INSTITUSI DAN KORUPSI: STUDI EMPIRIS PADA
ORGANISASI SEKTOR PUBLIK DI CINA DAN INDONESIA
B. RINGKASAN JURNAL
I. Pendahuluan

Asia merupakan wilayah yang potensial untuk dilakukan penelitian


berkaitan dengan isu-isu di bidang korupsi (Luo, 2002). Transparency
International (2013) menunjukkan tingkat korupsi pada organisasi sektor
publik dengan menggunakan Corruption Perceptions Index (CPI) untuk 34
negara di Asia, hanya Singapura, Hongkong SAR dan Jepang yang mempunyai
nilai cukup tinggi secara berurutan yaitu 86, 75 dan 74. Sedangkan, Uni Emirat
Arab, Qatar, Buthan, Taiwan, Brunei, Korea Selatan dan Malaysia mempunyai
skor antara 50 sampai dengan 70. Negara sisanya mempunyai skor dibawah 50,
yang mengindikasikan adanya korupsi dengan tingkatan yang serius.
Penelitian pada bidang korupsi selama ini lebih menekankan pada
pengujian faktor-faktor makro seperti desentralisasi, demokrasi politik,
kebebasan media, kebebasan ekonomi serta desentralisasi fiskal (Lecuna, 2012;
Alexeef dan Habodazzova, 2012; Goel dan Nelson, 2005).Sedangkan untuk
penelitian yang menguji hubungan korupsi pada konteks organisasional masih
sangat terbatas (Luo, 2002; Pillay dan Kluvers, 2014).
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan terjadinya
korupsi pada organisasi sektor publik dengan pendekatan organizational,
sedangkan tujuan khususnya adalah untuk mengetahui apakah variabel task
environment dan institusional environment mempunyai pengaruh terhadap
terjadinya korupsi, serta pengaruh variabel kultur demokrasi dalam
memengaruhi persepsi mengenai korupsi di Cina dan Indonesia.
II. Kajian Teori

Teori Institusional dan Korupsi


Korupsi dapat didefinisikan secara luas maupun sempit.Pendefinisian
tersebut tergantung pada fokus studi dan batasannya. Definisi secara sempit
adalah perilaku menyimpang dari norma atau pelanggaran terhadap aturan,
dengan motivasi untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan memanfaatkan
jabatan sebagai birokrat pemerintah. Sedangkan arti luasnya adalah sebuah
perilaku menyimpang terhadap tanggung jawab formalnya yang terjadi
diberbagai lembaga/organisasi (tidak hanya pemerintah atau organisasi sektor
publik) demi mendapatkan keuntungan pribadi (Luo, 2002). Sedangkan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsimenyebutkan bahwa tindak pidana korupsi adalah setiap orang
yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.

III. Model

Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah task environment dan
institutional environment sebagai variabel independen, sertadeterrent outcomes
untuk mengukur dampak terjadinya korupsi pada organisasi sektor publik.Model
penelitian tersebut dikembangkan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan Luo
(2005) dan Pillay dan Kluvers (2014).
Kuesioner dikembangkan dari penelitian Pillay dan Kluvers (2014) dan
diterjemahkan ke dalam Bahasa Cina dan Indonesia serta telah ditelaah oleh ahli
bahasa Cina dan Indonesia untuk menghindari bias yang terjadi karena perbedaan
bahasa.Task environmentdijelaskan dengan 7 item pertanyaan, institutional
environment dengan 8 item pertanyaan dan deterrent outcomes dengan 2
pertanyaan.Semua item pertanyaan diukur dengan menggunakan skala likert, skor
1 diberikan untuk menilai jawaban sangat tidak setuju, dan skor 5 untuk jawaban
sangat setuju.

IV. Hasil Temuan

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan terjadinya korupsi pada


organisasi sektor publik dengan menggunakan. Teori Institusi yang menjelaskan
faktor lingkungan (task environment dan institutional environment) mendasari
terjadinya korupsi.Hipotesis pertama (H1) dalam penelitian ini menyatakan bahwa
task environment berpengaruh terhadap terjadinya korupsi berhasil terdukung
secara statistik.Nilai t hitung untuk variabel task environment sebesar 2,246 > t
tabel 1,653 dan nilai signifikansinya adalah 0,026 < = 0,05 (tabel 4).
Sedangkan hipotesis kedua (H2) yang menyatakan bahwa institutional
environment berpengaruh terhadap terjadinya korupsi berhasil terdukung secara
statistik. Pada tabel 4 terlihat nilai t hitung sebesar 6,492 > t tabel 1,653 dan nilai
signifikansinya 0,000 < = 0,05. Hasil ini memberikan bukti empiris terhadap
model institusional yang dikemukakan oleh Luo (2005) dan dikembangkan oleh
Pillay dan Kluvers (2014) dengan mengambil latar belakang studi komparasi antar
negara dengan tingkat korupsi yang relatif tinggi. Task Environment seperti
kontrol terhadap regulasi, ketidakpastian struktur, pemusatan kekuatan pada
kelompok tertentu dan Institutional Environment seperti transparansi, keadilan,
kompleksitas institusi dapat memengaruhi terjadinya korupsi dalam konteks
organisasi sektor publik. Penelitian menambah kontribusi empiris dalam studi
tentang korupsi dalam lingkup organisasi dengan menguji validitas dan reliabilitas
instrument pengukuran untuk variabel task environment dan institutional
environment yang dikembangkan oleh Pillay dan Kluvers (2014), serta menguji
hubungan variabel independen tersebut dengan variabel deterrent outcome untuk
mengukur dampak terjadinya korupsi pada institusi sektor publik.
Pada tabel 7, p-value uji ANOVA dari variabel task environment,
institutional environment dandeterrent outcomemenunjukkan p-value> 0,05. Hal
tersebut menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan persepsi responden di kedua
negara tersebut, sehingga hipotesis ketiga (H3)yang menyatakan bahwa tingkat
demokrasi mempunyai pengaruh terhadap persepsi tentang korupsi antara Cina
dan Indonesia tidak berhasil terdukung secara statistik.

V. Penutup

Kesimpulan Dan Keterbatasan Penelitian


Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa:
1. Teori institutional dapat menjelaskan terjadinya korupsi pada level organisasi,
yaitu dengan memberikan bukti secara empiris bahwa faktor lingkungan (task
environment dan institutional environment) memengaruhi terjadinya korupsi
dalam organisasi sektor publik;
2. Kultur demokrasi tidak berpengaruh terhadap terjadinya korupsi dalam sudut
pandang organisasional;
3. Keterbatasan penelitian ini adalah responden penelitian yang tidak mewakili
government employee dan public services pada tiap-tiap departemen/dinas.
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah menambah sampel penelitian
dengan melibatkan responden dari tiap provinsi dan lintas departemen/dinas
sehingga akan menambah tingkat generalisasi hasil penelitian.

C. PEMBAHASAN

Pada latar belakang penelitian ini, penulis sudah menjelaskan variabel-varibel


dengan baik terkait penelitian begitu juga dengan tujuan umum dan khusus yang
dikemukakan penulis. Akan tetapi peneliti belum menjelaskan kontribusi yang
dapat diberikan oleh penelitian ini. Kemudian pada kajian teori, peneliti lebih
baik menambahkan teori-teori lain atau teori pendukung lainnya yang terkait
penelitian ini. Sasaran dari penelitian sudah jelas hal tersebut bisa dilihat dari
judul artikel ini, yaitu Cina dan Indonesia.
D. Kesimpulan dan saran

Penelitian berikutnya menambah variabel yang belum bisa digambarkan


dalam penelitian ini dan juga memperbanyak sapel aar hasil dari penelitian ini
bisa digeneralisasi pada populasi lain.

Вам также может понравиться