Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
A. PENDAHULUAN
Dalam membicarakan tentang makanan, halal menjadi sesuatu yang wajib
bagi umat islam. Hal ini disebabkan makanan yang akan dikonsumsi dapat
mempegaruhi terhadap pertumbuhan dan kesehatan jasmania dan rohani manusia.
Makana yang halal juga akan mempegaruhi ibadah seseorang sebagaimana
sabda Rasulullah Saw : Hai manusia sesungguhnya Allah Maha Baik. Dia tidak
menerima (sesuatu) kecuali yang baik. Dia memerintahkan kaum mukminin
sebagaimana memerintahkan para Rasul dengan firman-Nya, Wahai Rasul,
makanlah rezeki yang baik yang telah kami anugerahkan kepadamu. (kata perawi)
Rasul kemudian menceritakan tentang seorang musafir yang kumal dan kotor
menadah tangan ke langit berdoa, wahai Tuhan, wahai tuhan (tetapi) makanannya
haram, minumnya haram, pakaiannya haram, barangnya, maka bagaimana doanya
akan dikabulkan1
Dari hadis diatas bahwa perintah memakan makanan yang baik setaraf dengan
perintah mengerjakan amal saleh. Amal saleh itu tidak mungkin (dapat dikerjakan)
kecuali dengan makanan, minuman, berpakaian , dan apa saja yang diperluhkan
olehseorang manusia seperti tempat tinggal, kendaraan, buku-buku untuk belajar dan
sebagainya. Akibatnya adalah amal saleh yang akan diterima adalah amalan saleh
yang dilakukan berdasarkan aturan-aturan Allah dan kesucian jiwa serta raga. Begitu
pula ketika seseorang berdoa memohon kepada Allah, hendaklah iamelakukannya
dalam keadaan suci lahir maupun batin.
Pencantuman lebel halal pada sebuah prodak sangat penting bagi konsumen
maupun produsen. Dengan adanya pencantuman lebel halal. Konsumen lebih merasa
aman dalam mengonsumsi dan menggunakan produk atau makanan tersebut. Selain
itu konsumen juga mendapat jaminan bahwa produk tersebut tidak mengandung
sesuatu yang tidak halal dan diproduksi dengan cara yang halal dan beretika.
1
Sedangkan bagi produsen adanya Pencantuman lebel halal dapat membagun
kepercayaan dan loyalitas konsumen terhadap produk tersebut. Serta produk yang
bersertifikat halal memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan dengan prodak yang
tidak mencantumkan lebel tersebut.
Sertifikat halal adalah fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengaan syariat islam. Bentuk dari
sertifikasi ini adalah dengan pencantuman label alal pada kemasan.
Mengenai pencantuman logo halal Undang-undang juga telah mengatur di
dalam UU. No. 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal (UU JP)
B. PEMBAHASAN
a. Pengertian Halal dalam Islam2
` Kata halal berasal dari akar kata yang berarti lepas atau tidak terikat.
Berdasarkan arti ini perkataan halal bagi umat Islam difahamkan kepada sesuatu yang
dibolehkan oleh syara. Kepatuhan kepada syara adalah usaha untuk melepaskan diri
dari ikatan bahaya dunia dan akhirat. Dengan demikian makanan dan minuman halal
adalah makanan yang dibolehkan memakannya dan dengan memakannya terlepas
ikatan bahaya dunia dan akhirat. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa perintah
makan mempunyai taraf yang sama dengan perintah melakukan amal saleh. Firman
Allah :
Wahai para Rasul, makanlah dari yang baik (bersih dan sehat) dan berbuat
amal salehlah kamu sekalian (Q.S Al-Mukminun 23: 51)
Ayat ini secara jelas mendahulukan perintah memakan yang baik dan halal
daripada berbuat amal saleh, dan ini pula menunjukkan bahwa perbuatan amal saleh
akan sia-sia apabila tidak disertai dengan memakan makanan yang memenuhi
standard ini.
Logikanya makanan halal adalah makanan yang telah terjamin kualitasnya
dari bentuk keburukan, karena memakan makanan yang halal sebagaimana yang
2
diperintahkan oleh Allah Swt akan memberikan kesehatan, terlepas dari penyakit dan
keburukan di dunia. Di sisi lain pula, apabila kita memakan makanan yang halal
bermakna kita telah melaksanakan perintah Allah Swt dengan demikian kita akan
terlepas dari ancaman dan bahaya akhirat.
Para ulama juga sepakat bahwa makanan yang digalakkan oleh Islam adalah
makanan tayyib yang tidak mengandungi unsur-unsur yang merbahaya bagi
kesehatan jiwa dan akal manusia. Dari segi bahasa kata tayyib berarti lezat, baik,
sehat, dan mententeramkan. Para pakar tafsir ketika menjelaskan kata ini dalam
konteks makanan menyatakan bahwa ia berarti makanan yang tidak kotor dari segi
zatnya, atau tidak dicampuri benda najis (menjijikkan). Ada juga yang mengartikan
sebagai makanan yang mengandung selera bagi yang akan memakannya dan tidak
membahayakan fisikal dan akalnya. Berdasarkan pendapatpendapat tersebut
dapatlah kita fahami bahwa perbincangan makanan dalam Islam bukan pada masalah
halal dan haram saja tetapi juga merangkum soal sekuriti atau keamanan, nilai
makanan dan keseimbangan makanan.
Berikut boleh disebutkan panduan cam mengenai makanan halal mengikut
ajaran Islam: 1. Bukan terdiri daripada atau mengandungi apa-apa bahagian atau
benda yang diharamkan oleh syarak, atau tidak disembelih mengikut hukum syarak 2.
Bukan benda-benda najis mengikut hukum syarak 3. Disedia, diproses atau
dikilangkan dengan menggunakan apa-apa alat yang bebas dari benda benda najis
mengikut hukum syarak.
4. Masa penyediaan, pemproses atau penyimpanannya adalah tidak
bersentuhan atau berdekatan dengan benda-benda haram atau najis mengikut hukum
syarak.
Demikian petunjuk yang diterangkan dalam Alquran tentang makanan,
kesemuanya merupakan bagian yang paling fundamental dalam kehidupan manusia
di dunia. Walau demikian makanan bukanlah suatu masalah yang diasingkan dari
amalan saleh lainnya bahkan ia menjadi faktor utama untuk mencapai kesempurnaan
ibadah bagi mendapat keridhaan Allah.
b, UU JPN
Undang-undang No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) telah
ditetapkan pemberlakuannya sejak 17 Oktober 2014. Undang-Undang yang bertujuan
untuk memberikan perlindungan, kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan
kepastian bagi konsumen dalam mengonsumsi dan menggunakan produk halal.3
Dalam UU yang terdiri atas 68 pasal itu ditegaskan, bahwa produk yang
masuk, beredar, dan diperdagangkan di Wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
Untuk itu, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelanggarakan Jaminan Produk
Halal (JPH). Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH itu, menurut UU ini,
dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal ((BPJPH) yang berkedudukan
di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama. Dalam hal diperlukan,
BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah. Ketentuan mengenai tugas, fungsi,
dan susunan organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden, bunyi Pasal 5 Ayat
(5) UU No. 33 Tahun 2014.
Menurut UU ini, dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal, BPJPH
berwenang antara lain: a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH; b. Menetakan
norma, standar, prosedur dan kriteria JPH; c. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat
Halal pada produk luar negeri; dan d. Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada
Produk luar negeri.
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud, BPJPH
bekerjasama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, Lembaga Pemeriksa Halal
(LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI),: bunyi Pasal 7 UU ini.4
Mekanisme
UU ini menegaskan, permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha
secara tertulis kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH menetapkan LPH untuk
melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk. Adapun pemeriksaan
dan/atau pengujian kehalalal Produk dilakukan oleh Auditor Halal di lokasi usaha
pada saat proses produksi.
3 http//:Urgensi-Pemberlakuan-Undang-Undang-Jaminan-Produk-Hala-hukumonline.com di akses
pada tanggal
4 http//: Kementerian-Komunikasi-dan-Informatika.com diakses pada tanggal
Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana dimaksud terdapat Bahan yang
diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium, bunyi Pasal 31
Ayat (3) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.
Selanjutnya, LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian
kehalalal produk kepada BPJPH untuk disampaikan kepada Majelis Ulama Indonesia
(MUI) guna mendapatkan penetapan kehalalan produk.
MUI akan menggelar Sidang Fatwa Halal untuk menetapkan kehalalan
Produk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya hasil pemeriksaan
dan/atau pengujian Produkd ari BPJPH itu. Keputusan Penetapan Halal Produk akan
disampaikan MUI kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal.
Dalam hal Sidang Fatwa Halal menyatakan Produk tidak halal, BPJPH
mengembalikan permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha disertai dengan
alasan, bunyi Pasal 34 Ayat (2) UU ini.
Sementara yang dinyatakan halal oleh Sidang Fatwa Halal MUI akan menjadi
dasar BPJPH untuk menerbitkan Sertifikat Halal paling lama 7 (tujuh) hari kerja
terhitung sejak keputusan kehalalan Produk diterima dari MUI.
Menurut UU ini, Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib
mencantukam Label Halal pada: a. Kemasan produk; b. Bagian tertentu dari Produk;
dan/atau tempat tertentu pada Produk.
Pencantuman Label Halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah
dihapus, dilepas, dan dirusak, bunyi Pasal 39 Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 itu.
Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, dan
wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat
Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berlaku.
Transisi
Sertifikat Halal yang telah ditetapkan oleh MUI sebelum UU ini berlaku dinyatakan
tetap berlaku sampai jangka waktu Sertifikat Halal tersbut berlaku. Dan sebelum
BPJPH dibentukm pengajuan permohonan atau perpanjangan Sertifikat Halal
dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku sebelum UU ini diundangkan.
BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak UU ini
diundangkan, bunyi Pasal 64 UU No. 33/2014 itu.
Adapun peraturan pelaksanaan UU ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun
terhitung sejak UU ini diundangkan.5
Disamping hal yang telah dikemukakan diatas dalam implementasi UU JPH masih
perlu dilakukan revisi. Salah satunya mengenai Definisi produk di pasal 1, poin1,
yaitu: produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman,
obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta
barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Dalam
pasal ini tidak ada kejelasan dalam katagori apa harus ada sertifikat halal6 disamping
itu UU Jaminan Produk Halal akan memberatkan industri mikro, kecil, dan menengah
(IMKM), mengingat biaya sertifikasinya bisa mencapai puluhan juta rupiah.7
C. Kesimpulan
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwan
Perwujudan kebutuhan atas produk halal lahir LPPOM MUI. Dari hasil dari lembaga
tersebut muncul rasa keterjaminan orang islam atas berbagai produk halal yang secara
simbolis tercantumnya logo halal pada produk tersebut.Wallahu alam bis shawab.