Вы находитесь на странице: 1из 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit sistemik
evolutif yang mengenai satu atau beberapa organ tubuh, seperti ginjal, kulit, sel darah
dan sistem saraf, ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat,
bersifat episodik diselingi oleh periode remisi, dan karakteristik adanya autoantibodi,
khususnya antibodi antinuklear dan aktivasi komplemen. Insidens LES pada anak secara
umum mengalami peningkatan, sekitar 15-17%. Penyakit ini jarang terjadi pada usia di
bawah 5 tahun, perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki dan rasio tersebut
juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Onset LES paling sering didapatkan
pada anak perempuan usia antara 9 sampai 15 tahun. Rasio perempuan dan laki-laki
adalah 2:1 sebelum pubertas dan setelah pubertas menjadi 9:1. Insidens LES tidak
diketahui secara pasti tapi bervariasi tergantung etnis dan lokasi. Prevalens LES antara
2,9-400/100.000.1,2

Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa,
sendi,darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun. Dilaporkan
bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis
terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati
27,9%, fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik 19,4% dan demam 16,6%
sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam diskoid
7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7%14.2

Morbititas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Berturut-turut


kesintasan (survival) SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah 93-97%15-
17, 84-95%15-16,18-19, 70-85%15-16,18-19, 64-80%15,19, dan 53-64%15,20.
Kesintasan 5 tahun pasien SLE di RSCM adalah 88% dari pengamatan terhadap 108
orang pasien SLE yang berobat dari tahun 1990-200221 Angka kematian pasien dengan
SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum.15,22 Pada tahun-tahun
pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi
M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan
dengan penyakit vaskular aterosklerosis14,23-25.3

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi SLE2

Systemic Lupus Erythematosus merupakan penyakit sistemik evoluntif yang


mengenai satu atau beberapa organ tubuh, seperti ginjal, kulit, sel darah dan sistem saraf,
ditandai dengan inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik
yang diselingi oleh periode remisi, dan ditandai oleh adanya antibodi khususnya antibodi
antinuklear.

2.2 Epidemiologi4,5

SLE lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria dengan perbandingan 10:1.
Perbandingan ini menurun menjadi 3:2 pada lupus yang diinduksi oleh obat. Penyakit
SLE juga menyerang penderita usia produktif yaitu 1564 tahun. Meskipun begitu,
penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin.
Prevalensi SLE berbedabeda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika Amerika mempunyai
prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per
100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia.
Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus
per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000
populasi.

2.3 Etiologi6

Etiologi LES masih belum jelas, namun telah terbukti bahwa LES merupakan
interaksi antara faktor genetik (disregulasi imun, hormon) dan lingkungan (sinar UVB,
obat), yang berakibat pada terbentuk limfosit T dan B autoreaktif yang persisten.
Diagnosis LES pada anak ditegakkan dengan terpenuhinya paling sedikit 4 dari 11
kriteria klasifikasi yang dibuat oleh American College of Rheumatology 1982, dengan
sensitivitas 96% dan spesifisitas 100%.3 Demam intermiten atau menetap, lelah, berat

2
badan turun, dan anoreksia merupakan gejala LES yang aktif. Kelainan dapat terjadi
pada mukokutan (ruam malar, lesi diskoid, aloplesia, ulserasi mukosa mulut/ nasal),
muskuloskeletal (artralgia, artritis), ginjal (hematuria, proteinuria, hipertensi), susunan
saraf pusat/SSP (kejang, psikosis, halusinasi), jantung (perikarditis), pare (pleuritic),
sindrom, antifosfolipid (tromboemboli), vaskulitis, mata (mata kering), dan
gastrointestinal (mual, hepatitis).

2.4 Patogenesis 6,7


Penelitian terakhir yang menunjukkan beberapa gen berikut HLA_DR 2 dan
HLA-DR 3 berperan dalam mengkode unsur sistem imun. Gen lain yang ikut berperan
seperti gen yang mengkode sel reseptor T, imunoglobulin, dan sitokin.Sistem
neuroendokrin ikut berperan melalui pengaruhnya terhadap sistem imun.Penelitian
menunjukkan bahwa sistem neuroendokrin dengan sistem imun saling mempunyai
hubungan timbal balik. Beberapa penelitian berhasil menunjukkan bahwa hormon
prolaktin dapat merangsang respon imun.
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu pada individu yang mempunyai
predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal pada sel CD4
mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen. Akibatnya muncullah sel
T autoreaktif yang menyebabkan induksi dan ekspansi sel B, baik yang memproduksi
autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Wujud pemicu ini masih belum jelas.
Sebagian diduga hormon seks, sinar UV, infeksi.
Pada SLE autoantibodi terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama
terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, proteinhiston dan non
histon. Kebanyakan di antaranya adalah dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk
agregat protein dan kompleks protein RNA. Ciri khas autoantigen ini mereka tidak tissue
spesific dan merupakan komponen integrasidari semua jenis sel.
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti nuclear antibodi).Dengan
antigen spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar disirkulasi. Klirens
kompleks imun menurun, meningkatnya kelarutan kompleks imun, gangguan
pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptakekompleks imun pada limpa
terjadi pada SLE. Sehingga kompleks imun tersebutdeposit ke luar sistem fagosit
mononuklear. Endapannya di berbagai organ mengakibatkan aktivasi komplemen
sehingga terjadi peradangan. Organ tersebut bisa berupa ginjal, sendi, pleura, pleksus
koroideus, kulit, dll.

3
2.5 Manifestasi Klinis8,910

Manifestasi klinis LES bervariasi antara penyakit kronik dengan riwayat


keluhan dan gejala intermiten sampai pada fase akut yang fatal. Gejala konstitusional
dapat berupa demam yang menetap atau intermiten, kelelahan, penurunan berta badan
dan anoreksia. Satu sistem organ dapat terkena, meskipun penyakit multi sistem lebih
khas.

Sistem Klinis
Konstitusional Demam, malaise penurunan berat badan.
Kulit Ruam kupu-kupu (Butterfly Rush), lupus diskoid, eritema
periungual, fotosensitivitas, alopesia, ulserasi mukosa
Muskuloskeletal Poliartralgia dan arthritis, tenosinovitis, miopati, nekrosis aseptik
Vaskular Fenomena Raynaud, retikularis livedo,trombosis, eritromelalgia,
lupus profundus
Jantung Perikarditis dan efusi, miokarditis, endokarditis Libman-Sack
Paru Pleuritis, pneumonitis Basiler, atelektasis, perdarahan
Gastrointestinal Peritonitis, disfungsi esofagus, kolitis
Hati, Limpa, Hepatomegali, splenomegali, limfadenopati
Kelenjar
Neurologi Seizure,psikosis, polineuritis, neuropati perifer
Mata Eksudat, Papiledema, retinopati
Renal Glomeruonefritis, Sindroma Nefrotik, Hipertensi

2.6 Diagnosis 9,10

Kriteria diagnosis yang digunakan adalah dari American College


of Rheumatology 1997 yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien tersebut SLE jika
ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada. Berikut ini adalah 11 kriteria tersebut.

4
NO Kriteria Definisi
1 Bercak Malar (Butterfly Rush) Eritema, datar atau timbul di atas eminensiamalar
dan bisa meluas ke lipatan nasolabial
2 Discoid rash Bercak kemerahan dengan keratosis bersisik dan
sumbatan folikel. Pada SLE lanjut ditemukan
parut atrofi
3 Fotosensitivitas Ruam kulit akibat reaksi abnormal terhadapsinar
matahari
4 Ulkus oral Ulserasi oral atau nasofaring yang tidak nyeri
5 Artritis nonerosif Melibatkan 2 atau lebih sendi perifer
dengankarakteristik efusi, nyeri, dan bengkak
6 Pleuritis atau perikarditis a. Pleuritis: nyeri pleuritik, ditemukannya
pleuritik rub atau efusi pleura
b. Perikarditis: EKG dan pericardial friction
rub

7 Gangguan renal a. Proteinuria persisten > 0,5 gr per hari atau


kualifikasi >+++
b. Sedimen eritrosit, granular, tubular atau
campuran

8 Gangguan neurologis a. Kejang- tidak disebabkan oleh gangguan


metabolik maupun obat-obatan seperti
uremia, ketoasidosis, ketidakseimbangan
elektrolit
b. Psikosis- tanpa disebabkan obat
maupunkelainan metabolik di atas

9 Gangguan hematologi Anemia hemolitik dengan retikulositosisb.

Leukopenia < 4000/uLc.

Limfopenia < 1500/uLd.

Trombositopenia< 100,000/uL

10 Gangguan imunologi a. antiDNA meningkat


b. anti Sm meningkat
c. antibodi antifosfolipid: IgG IgM

5
antikardiolipin meningkat, tes
koagulasilupus (+) dengan metode
standar, hasil (+) palsu dan dibuktikan
dengan pemeriksaanimobilisasi
T.pallidum 6 bulan kemudian 32atau
fluoresensi absorsi antibodi

11 Antibodi antinuklear(ANA) Titer ANA meningkat dari normal

2.7 Pemeriksaan Laboratorium7,10

Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan indikator inflamasi, uji autoantibodi


(Khususnya ditujukan pada antigen nuklear), pemeriksaan untuk evaluasi keterlibatan
organ dan pemeriksaan untuk memantau efek terapi, termasuk toksisitas obat.

Indikator Inflamasi

Fase akut akan menunjukan peningkatan indikator inflamasi, seperti laju endap darah,
hipergamaglobulinemia poliklonal, dan alfa 2-globulin serum. Sedangkan C-reaktive
protein biasanya masih dalam batas normal, namun dapat meningkat bila LES disertai
dengan infeksi sistemik atau pada serostis dan artritis.

Hematologi

Anemia ringan sampai sedang terjadi pada sebagian besar anak dengan LES, dan
biasanya sesuai dengan tipe penyakit kronik (Normositik,hipokrom), disertai dengan
penurunan serum besi dan kapasitas ikat besi (Iron-Binding Capacity). Pada pasien lain
dapat ditemukan hemolisis autoimun yang disebabkan oleh ikatan antibodi IgG dan
komplemen pada eritrosit, hal tersebut diperiksa melalui uji Coombs. Anemia hemolitik
jarang menjadi berat dan fatal. Apabila berat pun, penurunan kadar hemoglobin biasanya
tidak terlalu berat.

Meskipun leukositosis dapat terjadi, namun limfositopenia (kurang dari 1500sel/mm3)


dan neutropenia lebih sering ditemukan, dan berhubungan dengan trombositopenia.
Beberapa anak menunjukkan adanya purpura trombositopenia, biasanya berkaitan
dengan splenomegali. Pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan peningkatan
megakariosit. Pasien dengan purpura trombositopenia dan anemia hemolitik (sindrom
Evans) dapat berkembang menjadi LES atau purpura trombositopenia trombositik.

6
Antikoagulan lupus menunjukkan adanya pemanjangan waktu APTT dan protrombin.
Fenomena ini disebabkan oleh efek antibodi yang mengikat beta-2-glikoprotein I dan
protrombin, sehingga mempengaruhi interaksi kompleks protrombin aktivator (Faktor Xa
dan V,kalsium dan fosfolipid) dan mencegah konversi protrombin menjadi trombin oleh
tromboplastin.

Sebagian besar pasien dengan antikoagulan lupus juga mempunyai antibodi terhadap
kardiolipin. Antibodi antifosfolipin ini tidak hanya terdapat pada LES,namun juga pada
neoplasma, infeksi, inflamasi dan penyakit autoimun.

Antibodi Antinuklear

Antibodi antinuklear (ANA) terdapat pada sebagian besar serum anak dengan LES aktif.
Namun penentuan titer ANA sendiri tidak cukup untuk diagnosis LES atau memantau
perkembangan penyakit. Antibodi aantinuklear diketahui dengan pemeriksaan
imunofluoresensi indirek pada seluruh inti sel.

Antibodi antinuklear Autoantibodi lain


Antibodi anti dsDNA Antibodi anti eritrosit
Antibodi anti DNP Antibodi anti limfositotoksik
Antibodi anti Ro (SS/A) Antibodi anti jaringan spesifik
Antibodi anti La (SS/B) Antibodi anti fosfolipid
Antibodi anti Sm Faktor remautoid
Antibodi antihiston

Antibodi terhadap DNA

Antibodi terhadap dsDNA merupakan kriteria patognomonik pada LES, terjadi pada
hampir semua anak dengan LES aktif, dan menunjukkan titer yang tinggi saat nefritis
aktif. Mekanisme kerja antibodi ini melalui pembentukan kompleks imun dengan
komplemen dan mengendap dijaringan. Antibodi ini dapat diukur melalui
radioimmunoassay yang menggunakan dsDNA yang diberi label radioaktif, mikroskop
fluoresens yang menggunakan protozoa crithidia luciliae, atau melalui ELISA. Untuk
kepentingan diagnosis, pemeriksaan menggunakan protozoa lebih dipilih, sedangkan
untuk memantau kadar antibodi dsDNA selama masa terapi, lebih digunakan

7
radioimmunoassay atau ELISA. Peningkatan kadar antibodi ini menunjukan adanya
perkembangan penyakit ginjal, terutama bila disertai dengan penurunan kadar
komplemen.

Antibodi terhadap antigen nuklear

Antibodi yang termasukgolongan ini adalah antibodi Sm, Ro/SS-A dan La/SS-B.
Antibodi tersebut berkaitan dengan LES. Antibodi anti Ro/SS-A bekerja dengan
mengganggu translasi RNA atau transport, dan berkaitan juga dengan penyakit ginjal.
Pasien dengan antibodi anti Ro dapat menunjukkan hasil yang negatif pada pemeriksaan
ANA. Antibodi anti La/SS-B bekerja dengan mengganggu kerja enzim RNA polimerase
III, dan biasa juga mempunyai hasil pemeriksaan antibodi anti Ro. Sedangkan antibodi
anti Sm bekerja pada sintesis RNA dan pemisahan (messenger RNA synthesis and
splicing).

Antibodi antihison

Antibodi terhadap histon terdapat pada sebagian besar dengan LES, meskipun juga
banyak terdapat pada LES yang diinduksi oleh obat. Antibodi ini bekerja dengan
mempengaruhi sintesis RNA. Adanya antibodi ini disertai dengan hasil negatif
pemeriksaan antibodi anti dsDNA menunjukkan adanya LES yang diinduksi oleh obat.

Antibodi antifosfolipid

Antifosfolipid bertanggung jawab terhadap berbagai gangguan klinis dan laboratorium


penderita LES, misalnya trombosis arteri dan vena berulang, koma, trombositopenia,
livedo retikular, hipertensi labil. Antifosfolipid tidak terdapat hanya pada penderita LES
tetapi ditemukan pula pada berbagai neoplasma, infeksi, inflamasi dan penyakit
autoimun. Secara biologis antifosfolipid dapat membuat reaksi positif palsu pada uji
sifilis VDRL.

8
Kompleks imun

Pemeriksaan kompleks imun hanya berpengaruh sedikit pada penegakan diagnosis LES,
meskipun kompleks imun merupakan dasar patogenesis LES. Krioglobulinemia pada
penyakit lupus merupakan campuran dari IgM, IgG, dan terkadang IgA poliklonal.
Krioglobulin merupakan petanda adanya kompleks imun dalam serum dan sering disertai
antiDNA serta penurunan kadar komplemen. Adanya kroglobulin sering menyertai
gangguan viseral dengan vaskulitis.

Komplemen

Penentuan kadar komplemen serum penting dalam penegakan diagnosis LES aktif.
Selama masa aktif penyakit lupus maka fraksi komplemen akan terpakai, terutama bila
disertai gangguan ginjal. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan
komponen C3, C4 atau komplemen hemolitik total (CH50). Komponen CH50
menunjukkan integritas kaskade komplemen total. Kosentrasi C3 lebih sering menurun
dibandingkan CH50 atau C4 konsisten dan menjadi indikator yang penting pada nifritis
aktif, apabila kadar dasar diketahui dan anak memang tidak mempunyai defisiensi C4.

Urinalisis dan Evaluasi Keterlibatan Ginjal

Anak-anak dengan lupus nefritis aktif biasanya mempunyai abnormalitis dalam sedimen
urin yang menandakan adanya keterlibatan ginjal. Proteinuria merupakan temuan
abnormal yang paling sering, namun hematuria dan silinder sel darah merah merupakan
temuan khas terhadap adanya glumerulis aktif. Pada penyakit ginjal yang berat dapat
ditemukan sedimen berupa silinder lemak (Fatty Casts) ataupun badan lemak (Fat
Bodies) pada sindrom nefrotik. Proteinuria masif dengan berat jenis 1010nmenandakan
lupus nefritis yang kronik. Abnormalitas lainnya dapat berupa asidosis tubular renal.
Adanya kadar anti-dsDNA yang tinggi, kadar komplemen yang rendah, khususnya C4
dan abnormalitas urinalisis sangat menunjang adanya nefritis lupus yang aktif. Evaluasi
keterlibatan ginjal dalam SLE memerlukan beberapa pemeriksaan laboratorium.

9
Urinalisi Mikroskopis dan kimia, kultur bila terdapat
sel darah putih
Pengukuran fungsi glomerular Kreatinin plasma, nitrogen urea
Kreatinin klirens, ekskresi protein 24 jam
Radionuclide glomerular filtration rate

Evaluasi aktivitas penyakit Kadar antibodi anti-dsDNA serum


Serum complement assay
Ultrasonografi renal dan biopsi Mikroskop cahaya
Mikroskop elektron
Imunoflurescence

Tabel 1. Evaluasi Lupus Nefritis

Analisis cairan inflamasi

Cairan sinovial pada LES biasanya mengalami inflamasi dengan kadar sel darah putih yang
rendah (kurang dari 2000sel/mm3). Kandungan protein bervariasi antara transudatif sampai
eksudatif. Kadar cairan sinovial juga rendah. Cairan pleura dapat mengandung protein yang
meningkat (lebih dari 3 g/dl/0, sel darah putih yang meningkat (2500-5000sel/mm3) dengan
dominasi sel mononuklear dan penurunan kadar C3 dan C4.

Anjuran pemeriksaan laboratorium

Berdasarkan deskripsi klinis dan laboratorium maka dapat dibuat suatu daftar rekapitulasi
untuk pemeriksaan penyakit lupus.

1 Analisis darah tepi lengkap (darah besar dan LED)


2 Antibodi antinuklear (ANA)
3 Anti-dsDNA
4 Autoantibodi lain (anti Sm, RF, Antifosfolipid, antihiston, dll)
5 Titer komplemen C3,C4dan CH50
6 Titer IgM, IgG, dan IgA

10
7 Krioglobulin
8 Masa pembekuan
9 Serologi sivilis (VDRL)
10 Uji Coombs
11 Elektroforesis protein
12 Kreatinin dan ureum darah
13 Protein urin (total protein dalam 24 jam)
14 Biakan kuman, terutama dalam urin
15 Foto Rontgen dada
Tabel 2. Anjuran pemeriksaan laboratorium untuk SLE

2.8 Pengobatan2,4

Penatalaksanaan Umum

Penyakit LES adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan relaps. Terapi suportif
tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan anak penting dalam merencanakan
program terapi yang akan dilakukan. Edukasi dan konseling memerlukan tim ahli yang
berpengalaman dalam menangani penyakit multisistem pada anak dan remaja, dan harus
meliputi ahli reumatologi anak, perawat, petugas sosial dan psikologis. Ahli ginjal perlu
dilibatkan pada awal penyakit untuk pengamatan yang optimal terhadap komplikasi ginjal.
Demikian pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis juga diperlukan. Perpindahan terapi
ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja.

Perlu pula diperhatikan mengenai diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Dengan
adanya kenaikan berat badan akibat penggunakan obat glukokortikoid, maka perlu dihindari
makanan Junk Food atau makanan mengandung tinggi sodium untuk menghindari kenaikan
berat badan berlebih. Penggunaan tabir surya dengan kadar SPF lebih dari 15 perlu diberikan
pada anak jika berada diluar rumah, karena dapat melindungi dari sinar UVB. Pencegahan
infeksi dilakukan dengan cara imunisasi, karena resiko infeksi meningkat pada anak dengan
LES. Pemberian antibiotik sebagai profilaksis harus dihindari dan hanya diberikan sesuai
dengan hasil kultur.

11
Terdapat beberapa patokan untuk penatalaksanaan infeksi pada penderita lupus yaitu 1)
diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit infeksi, terutama infeksi bakterial 2) sebelum
dibuktikan penyebab lain, demam disertai leukositosis (Leukosit> 10.000) harus dianggap
dahulu sebagai gejala infeksi 3) gambaran radiologi infiltrat limpositik paru harus dianggap
dahulu sebagai infeksi bakterial sebelum dibuktikan sebagai keadaan lain, dan 4) setiap
kelainan urin harus dipikirkan dulu kemungkinan pielonefritis.

Berikut merupakan pendekatan tatalaksana yang dilakukan pada LES

Umum Konseling
Edukasi,
Pendekatan Tim
Istirahat cukup
Nutrisi yang tepat
Penggunaan tabir surya
Imunisasi, khususnya vaksin antipneumokokus
Tatalaksana tepat untuk infeksi
Antikoagulan Jika terdapat antibodi antikardiolipin dalam kadar yang bermakna, maka
diberikan:
Aspirin dosis rendah, jika trombosis belum terjadi
Heparin, diikuti warfarin jika sudah terjadi trombosis
Hidroksiklorokuin Untuk penyakit kulit dan tambahan bagi glukokortikoid untuk penyakit
sistemik
Glukokortikoid
Prednisolon oral 1-2mg/kg/hari
Inisialmetil prednisolon IV, dengan interval tiap bulan untuk terapi
pemeliharaan pada penyakit berat.

Imunosupresif Azatioprin 1-2 mg/kg/hari (per oral)


Siklofosfamid 1-2 mg/kg/hari (per oral) atau 500-1000/mg/m2 bulan
pada penyakit berat.

12
TATALAKSANA LES

TABIR
SURYA,PROFILAKSIS
ENDOKARDITIS

KELAINAN KULIT DAN


ARTRITIS DEMAM KELAINAN PROFIL LIPID KELAINAN SSP MUKOSA ALOPESIA
CEPAT LELAH
PROTEIN UREA
PRESISTEN
HIPERTENSI
PENINGKATAN BUN,

AINS STEROID DOSIS TINGGI HIDROKSIKLOROKUIN


DIET DAN OLAHRAGA
INDOMETASIN ATAU SIKLOFOSFAMID KREATININ C3 DAN C4
HIDROKSIKLOROKUIN MINYAK IKAN
INTRAVENA TETAP RENDAH

JIKA BERLANJUT JIKA BERLANJUT JIKA BERLANJUT BIOPSI GINJAL

METROTEKSAT + STEROID + STATIN KELAS 1 KELAS iII DAN IV KELAS V KELAS VI

STEROID DOSIS TINGGI


ATAU SIKLOFLOSAMID MONITORING KETAT
STEROID,MMF,
STEROID INTRAVENA DIALISIS DAN CANGKOK
SIKLOSPORIN
ALTERNATIVEF GINJAL
MMF,AZATIORIPIN

13
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Systemic Lupus Erythematosus merupakan penyakit sistemik evoluntif yang


mengenai satu atau beberapa organ tubuh, seperti ginjal, kulit, sel darah dan sistem saraf,
ditandai dengan inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik
yang diselingi oleh periode remisi, dan ditandai oleh adanya antibodi khususnya antibodi
antinuklear. Manifestasi klinis LES bervariasi antara penyakit kronik dengan riwayat
keluhan dan gejala intermiten sampai pada fase akut yang fatal. Gejala konstitusional
dapat berupa demam yang menetap atau intermiten, kelelahan, penurunan berta badan
dan anoreksia. Satu sistem organ dapat terkena, meskipun penyakit multi sistem lebih
khas.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepriadi, Setiabudiawan B. 2005. Pedoman diagnosis dan terapi Ilmu Kesehatan Anak
Edisi Ke-3. Bandung: Bagian IKA FK Universitas Padjajaran
2. Lamont DW, Mai KL, Silber SH. 2015. Systemic Lupus Eritmatosus. Diunduh dari
www.emedicine. Com. Diakses tanggal 27 Desember 2015.
3. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS et all. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). In :
Harrisons Manual of Medicine. 16th ed. New York : McGraw-Hill Medical Publishing
Division. 2006.779-85.
4. Saraswati PDA, Soekrawati E. Systemic Lupus Erythematosus n Dexa Media Jurnal
Kedokteran dan Faramsi Vol. 19. Denpasar : SMF Kulit dan Kelamin RSUD Wangaya.
2006. 26-0.
5. Lipsky PE, Diamond B. Systemic autoimune disease. Harrisons Principle of
Internal Medicine.15th ed. New York: Mc Graw Hill; 2001.p.1842-
6. Mok, C.C., and Lau, C.S., 2003, Review : Pathogenesis of Systemic Lupus
Erythematosus, In: J Clin Pathol 2003; 56, p. 481 490.
7. Walling HW, Sontheimer RD. Cutaneus lupus erythematosus. Issuesin diagnosis and
treatment. Am J Clin Dematol. 2009;10(6):365-81.
8. Rothfield N, Sontheimer RD, Bernstein M. Lupus erythematosus:systemic and cutaneous
manifestations. Clin Dermatol. 2006;24(5):348-62.
9. Font J, Cervera R, Ramos-Casals M, Garcia-Carrasco M, Sents J,Herrero C, et al.
Clusters of clinical and immunologic features insystemic lupus erythematosus: analysis of
600 patients from asingle center. Semin Arthritis Rheum. 2004;33(4):217-30.
10. Singh RR. SLE: translating lessons from model systems to human disease [published
correction appears in Trends Immunol.2006;27:59-60.]. Trends Immunol. 2005;26:572-9.

15

Вам также может понравиться