Вы находитесь на странице: 1из 14

BAB 1.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Keputusan adalah pilihan yang dibuat dari dua atau lebih pilihan. Pengambilan
keputusan biasanya terjadi atas adanya masalah ataupun suatu pilahan tentang
kesempatan. Dalam suatu organisasi diperlukan suatu kebijakan dalam pengambilan
keputusan yang baik dalam menentukan strategi, sehingga menimbulkan pemikiran
tentang cara-cara baru untuk melanjutkannya.
Proses pengambilan keputusan adalah bagaimana perilaku dan pola komunikasi
manusia sebagai individu dan sebagai anggota kelompok dalam struktur organisasi.
Tidak ada pembahasan kontemporer pengambilan keputusan akan lengkap tanpa
dimasukkannya etika. Mengapa? Karena pertimbangan etis seharusnya merupakan
suatu kriteria yang penting dalam pengambilan keputusan. Sebagai contoh anda
sebagai orang pertama yang memasuki kelas etika bisnis. Ketika anda duduk, anda
menemukan sebuah iPod di bawah kursi yang berdekatan dengan anda. Kemudian anda
mengambilnya dan menyalakannya. IPod itu berfungsi dengan baik, dan bahkan
memuat beberapa musik favorit anda. Melihat sekeliling, anda menyadari bahwa anda
masih sendirian di ruangan itu dan tidak akan ada seorang pun yang akan tahu jika anda
yang menyimpannya.
Karena tidak dapat memutuskan dengan segera, dan melihat bahwa mahasiswa
lainnya mulai memasuki kelas, anda menaruh iPod tersebut ke lantai di samping tas dan
buku anda. Ketika kelas sudah dimulai, anda menyadari bahwa anda memiliki waktu
sepanjang seperkuliahan itu untuk memutuskan apa yang akan dilakukan. Apa yang
akan Anda pikirkan ketika Anda duduk disana ?, Apa yang akan Anda lakukan ?
Sekarang mari kita ubah skenarionya. Anda bukan menjadi yang menemukan
iPod tersebut, tetapi menjadi seorang teman yang duduk disamping orang tersebut.
Ketika kelas dimulai, teman anda tersebut menceritakan apa yang terjadi, dan meminta
saran anda.
Terakhir, bayangkan anda sebagai seorang perwakilan mahasiswa pada dewan
yudisial di kampus anda. Mahasiswa yang menemukan iPod memutuskan untuk
menyimpannya belakangan dituduh mencuri. Bagaimana anda membuat keputusan ?
Kesimpulan dari contoh diatas adalah bagaimana cara kita mengambil
keputusan yang tepat dan dapat di terima oleh semua pihak dan tidak merugikan orang
lain. Pengambilan keputusan yang etis adalah pengambilan keputusan yang dapat di
terima oleh semua pihak dan tidak mementingkan kepentingan pribadi.
Ketika prinsip-prinsip atau peraturan tertentu yang terkandung dalam kode etik
tidak sepenuhnya berlaku untuk masalah tertentu yang dihadapi oleh seorang menejer
atau yang mengambil keputusan, para pembuat keputusan dapat berpedoman pada
prinsip-prinsip umum untuk sampai pada keputusan etis yang dapat dipertahankan.
Apakah yang dimaksud dengan prinsip-prinsip umum etika dan bagaimana
penerapannya? Dibutuhkan suatu pembahasan tentang prinsip-prinsip etika dan
bagaimana mengembangkan sebuah kerangka keputusan menyeluruh yang praktis dan
komprehensif berdasarkan pada bagaimana tindakan yang diusulkan akan
mempengatuhi pemangku kepentingan utuk membuat keputusan. Oleh karena itu,
penulis ingin mengangkat suatu topik yang berjudul Pengambilan Keputusan yang Etis
dalam konteks Pribadi dan Profesiona menjadi pokok pembahasan dalam tugas kali ini
dan dapat memahami serta dapat menerapkan kerangka keputusan menyeluruh yang
praktis dan komprehensif berdasarkan pada bagaimana tindakan yang diusulkan akan
mempengaruhi pemangku kepentingan utuk membuat keputusan.
BAB 2. PEMBAHASAN
1.1 Sebuah proses pengambilan keputusan untuk etika
Hal yang dapat dilakukan saat Anda ingin menyelesaikan contoh kasus diatas
atau bahkan mengalaminya sendiri adalah mengingat kembali tentang ethical decision
making process, atau bisa disebut proses pengambilan keputusan yang etis. Pertama,
mungkin Anda bertanya-tanya mengapa iPod tersebut bisa berada di lantai. Apakah
benar benar hilang? Atau mungkin sengaja dibuang oleh pemilik sebelumnya. Bukankah
fakta tersebut akan membuat sebuah perbedaan besar dalam penilaian etis yang akan
Anda ambil? Atau misalnya orang yang menemukan iPod tersebut melihatnya terjatuh
dari tas seseorang. Bukanlah hal itu akan membuat sebuah perbedaan dalam penilaian
Anda terhadap orang itu?
Keputusan pertama yang harus diambil adalah menentukan fakta-fakta dalam
situasi tersebut. Memberikan upaya yang cukup untuk memahami situasi tersebut,
membedakan fakta yang sebenarnya dari opini belaka, adalah hal yang sangat penting.
Perbedaan persepsi atau bisa disebut perceptual differences adalah bagaimana
seseorang mengalami dan memahami situasi dapat menjelaskan perdebatan etis.
Mengetahui fakta-fakta dan meninjau secara cermat keadaannya akan memberikan
kemudahan dalam memecahkan perselisihan pendapat pada tahap awal.
Sehubungan dengan pentingnya menentukan fakta-fakta, terdapat sebuah peran
bagi ilmu pengetahuan dan alasan teoretis dalam setiap studi mengenai etika. Sebuah
penilaian etis yang dibuat berdasarkan penentuan yang cermat atas fakta-fakta yang
ada merupakan sebuah penentuan etis yang lebih masuk akal daripada penilaian yang
tidak dibuat berdasarkan fakta sebenarnya. Seorang yang bertindak sesuai dengan fakta
yang ada dan pertimbangan yang cermat telah bertindak dalam cara yang lebih
bertanggung jawab secara etis.
Langkah kedua dalam pengambilan keputusan etis yang bertanggung jawab
mensyaratkan kemampuan untuk mengenali sebuah keputusan atau permasalahan
sebagai keputusan atau permasalahan etis. Seseorang dapat dengan mudah tersesat
karena gagal mengenali adanya komponen etis dalam sebagian keputusan.
Mengindentifikasikan isu-isu etis yang terlibat merupakan langkah selanjutnya dalam
membuat keputusan yang bertanggung jawab.
Kita perlu menyadari bahwa keputusan etis dan keputusan ekonomi atau
bisnis tidaklah terpisah satu sama lain. Hanya karena sebuah keputusan diambil
berdasarkan pertimbangan ekonomis tidak berarti bahwa hal itu tidak
mempertimbangkan pertimbangan etis. Sensitifitas terhadap isu etis sangatlah penting
sebagai karakteristik orang-orang yang bertanggung jawab secara etis. Selain
sensitivitas, diperlukan juga pengetahuan tentang dampak dari keputusan yang kita buat
terhadap kesejahteraan orang-orang yang terlibat. Sebuah keputusan dapat dikatakan
sebagai keputusan etis jika dapat mempengaruhi kesejahteraan, kesehatan, harga diri,
intergritas, kebebasan, serta rasa hormat dari orang-orang yang terlibat dengan
keputusan tersebut.
Langkah ketiga dalam pengambilan keputusan yang etis melibatkan satu dari
elemen vitalnya. Kita diminta untuk mengidentifikasi dan mempertimbangkan semua
pihak yang dipengaruhi oleh sebuah keputusan, orang-orang ini biasa disebut dengan
para pemegang kepentingan (stakeholders). Mempertimbangkan isu-isu dari berbagai
sudut pandang orang lain membantu kita dalam membuat keputusan yang lebih masuk
akal dan bertanggungjawab. Salah satu bentuk latihan untuk memikirkan dampak dari
sebuah keputusan terhadap orang lain adalah dengan mengubah peran seseorang. Alih-
alih menjadi orang yang menemukan iPod itu, apa pendapat Anda terhadap kasus ini
jika Anda dalam posisi orang yang kehilangan barang itu? Bagaimana hal itu
memengaruhi pemikiran Anda? Bagaimana pertimbangan Anda jika Anda adalah teman
yang dimintai saran? Sebuah tradisi lama dalam etika filosofis menyatakan bahwa
menguji legitimasi etis adalah dengan melihat apakah sebuah keputusan diterima dari
sudut pandang semua pihak yang terlibat. Jika dari setiap sudut pandang pihak yang
terlibat sebuah keputusan dianggap sah maka keputusan tersebut merupakan
keputusan yang adil, independen, dan etis.
Kenyataan bahwa banyak keputusan bisnis melibatkan kepentingan berbagai
pemegang kepentingan membantu kita memahami tantangan utama dalam
pengambilan keputusan yang etis. Fakta bahwa terdapat banyak pandangan dan
kepentingan yang dipertaruhkan disini berarti bahwa keputusan etis sering kali menjadi
dilematis. Mengambil keputusan untuk keuntungan salah satu pihak sering kali berarti
bahwa merugikan pihak yang lainnya. Setelah meninjau fakta-fakta, mengamati isu-isu
etis yang terlibat, dan mengidentifikasi para pemegang kepentingan, kita perlu
mempertimbangkan alternatif-alternatif yang tersedia. Kreativitas dalam mengidentifikasi
pilihan-pilihan yang disebut dengan imajinasi moral adalah satu elemen yang
membedakan antar orang baik yang mengambil keputusan etis dengan orang baik yang
tidak melakukan hal tersebut. Penting untuk tidak hanya mempertimbangkan pilihan-
pilihan dengan dilema tertentu, tetapi juga pilihan-pilihan yang hampir tidak terpikirkan
yang mungkin tidak terlalu jelas terlihat saat pertama. Pada kasus menemukan iPod
mungkin memutuskan untuk menyimpannya karena dia berpendapat bahwa
kesempatan menemukan pemilik sebenarnya sangat kecil dan jika dia tidak
menyimpannya, orang berikut yang akan menemukannya pasti akan menyimpan iPod
itu. Orang lain mampu menemukan beberapa alternatif. Sebagai contoh, ia dapat datang
lebih awal pada kelas dan melihat siapa yang duduk di kursi itu atau ia dapat dapat
mencari tau siapa yang mengajar pada kelas sebelumnya dan meminta tolong pengajar
untuk mengidentifikasi siapa pemilik iPod itu.
Langkah selanjutnya dalam proses pengambilan keputusan adalah
membandingkan dan mempertimbangkan alternatif-alternatif mengevaluasi dampak
tiap alternatif yang telah Anda pikirkan terhadap masing-masing pemegang kepentingan
yang telah Anda identifikasi. Mungkin cara yang paling mudah adalah dengan mencoba
menempatkan seseorang dalam posisi orang lain, memahami sebuah situasi dari sudut
pandang orang lain. Sebuah elemen penting dalam evaluasi ini adalah pertimbangan
cara untuk mengurangi, meminimalisasi, atau mengganti konsekuensi-konsekuensi
yang mendatangkan manfaat. Dalam kasus iPod mahasiswa tersebut digambarkan
memperhatikan keadaan sekelilingnya untuk mengecek apakah ada orang lain yang
sadar akan temuannya itu. Apakah perilaku Anda akan berubah jika ada orang lain yang
melihatnya? Maksud dari latihan ini adalah untuk menyadari bahwa keputusan yang
penuh dengan tanggung jawab harus dapat dijelaskan dan dapat dibenarkan kepada
seluruh pihak yang terlibat. Konsekuensi-konsekuensi atau pembenaran-pembenaran
bukanlah satu-satunya cara dalam membandingkan alternatif. Beberapa alternatif
mungkin mempertimbangkan hal-hal yang menyangkut hak, kewajiban, dan prinsip yang
mengesampingkan konsekuensi. Salah satu faktor tambahan dalam membandingkan
dan mempertimbangkan alternatif-alternatif mengharuskan adanya pertimbangan akan
dampak dari sebuah keputusan terhadap integritas dan karakter kita sendiri. Memahami
karakter kita dan nilai-nilai yang kita anut seharusnya dapat membantu dalam
pengambilan keputusan. Seseorang yang bertanggung jawab akan bertanya kebiasaan
macam apa yang akan saya bentuk ketika mengambil keputusan ini dibanding
mengambil keputusan lainnya?, tipe budaya perusahaan seperti apa yang ingin saya
bentuk? pertanyaan semacam inilah yang diajukan dari dalam benak pemimpin bisnis
yang etis. Orang yang jujur bahkan mungkin tidak akan berpikir untuk menyimpan iPod
tersebut.
Setelah Anda menyelidiki semua variabel diatas, sekarang waktunya untuk
membuat sebuah keputusan. Bagaimanapun juga, proses ini belum lengkap. Agar
pengambilan keputusan kita dapat dipertanggungjawabkan, kita tidak dapat dengan
sengaja mengakhiri proses ini, hanya dengan mengangkat tangan ketika sebuah
keputusan sudah diambil. Namun, sebagai manusia kita memiliki kemampuan untuk
belajar dari pengalaman. Kemampuan tersebut membentuk sebuah tanggungjawab
untuk kemudian mengevaluasi implikasi dari keputusan yang diambil, memantau dan
belajar dari hasil, dan memodifikasi tindakan kita berdasar pengalaman tersebut ketika
dihadapkan dengan tantangan serupa dimasa depan.

1.2 Ketika Pengambilan Keputusan yang Etis Tidak Berjalan Baik: Mengapa Orang
Baik Melakukan Tindakan yang Buruk ?
Orang-orang yang berniat baik gagal mengambil keputusan yang bersifat etis.
Apakah faktor-faktor yang menentukan perusahaan atau individu mana yang melakukan
perbuatan etis atau tidak? Mengapa orang-orang yang kita anggap baik melakukan
perbuatan buruk? hal ini tidak berarti bahwa keputusan atau tindakan tidak etis ini
dapat dimaafkan, akan tetapi individu yang berperilaku tidak etis mungkin memiliki
berbagai alasan atas tindakan tersebut. Pada akhirnya, banyak batu sandungan dalam
pengambilan keputusan dan perilaku yang bertanggung jawab.
Beberapa batu sandungan terhadap tindakan yang bertanggung jawab bersifat
kognitif atau intelektual. Sebagaimana model pengambilan keputusan etis yang telah
dijelaskan sebelumnya, jenis ketidaktahuan tertentu dapat mengakibatkan keputusan
yang tidak etis. Terkadang ketidaktahuan tersebut telah ditetapkan dan disengaja.
Setelah Anda menemukan iPod, mungkin Anda akan berpikir bahwa tidak ada yang akan
tahu, tidak ada yang akan dirugikan, dan pemilik yang sangat ceroboh itu layak untuk
kehilangan iPodnya. Mungkin Anda akan berusaha memberikan alasan pada diri sendiri
bahwa Anda hanya melakukan apa yang orang lain akan lakukan dalam kondisi seperti
ini. Bahkan mungkin Anda akan memilih untuk tidak memikirkannya dan mencoba
membuang rasa bersalah dari pikiran Anda.
Rintangan kognitif lainnya adalah bahwa terkadang kita hanya
mempertimbangkan alternatif-alternatif yang terbatas. Ketika berhadapan dengan
sebuah situasi yang memiliki dua alternatif pemecahan yang jelas, terkadang kita hanya
mempertimbangkan dua jalan keluar yang jelas, melupakan kenyataan kemungkinan
adanya alternatif lain. Setelah menemukan sebuah iPod yang hilang, mungkin Anda
menyimpulkan bahwa jika Anda tidak mengambilnya, orang lain akan melakukannya.
Karena pemilik yang asli akan tetap kehilangan iPod itu dalam kedua alternatif
pemecahan kasus ini, maka akan lebih baik jika Anda mengambil manfaat dari
kerugiannya daripada orang lain yang mendapatkannya. Pengambilan keputusan yang
bertangung jawab mengharuskan kita untuk mendisiplinkan diri dalam menyelidiki
metode tambahan dari pemecahan masalah.
Batu sandungan lainnya tidak bersifat kognitif atau intelektual akan tetapi berkaitan
dengan motivasi dan keinginan yang kuat. Sebagaimana yang dijelaskan oleh John
Grisham dalam bukunya, Rainmaker, Setiap pengacara, paling tidak sekali dalam
setiap kasus, pernah melewati garis batas yang sebenarnya tidak ingin dilewatinya. Itu
terjadi begitu saja. Terkadang lebih mudah untuk melakukan hal yang salah.
Sayangnya, kita tidak selalu dapat mempersiapkan batasan perilaku yang pantas
sebelumnya, dan walaupun kita membuatnya, batasan ini tidak terlalu jelas. Seperti yang
dinyatakan oleh Grisham, terkadang lebih mudah melakukan hal kecil yang melewati
batas, dan selanjutnya akan menjadi lebih mudah, dan seterusnya seperti itu. Suatu
waktu, Anda akan menyadari diri Anda sudah jauh melewati batas etis lebih dari yang
pernah Anda pikirkan.
Terkadang orang-orang juga mengambil keputusan yang belakangan mereka sesali
karena mereka kurang memiliki keberanian untuk melakukan sebaliknya. Tidak selalu
mudah membuat keputusan yang benar ; mungkin Anda akan kehilangan penghasilan,
pekerjaan, atau komponen berharga lain dalam kehidupan Anda.

2.3 Pengambilan Keputusan yang Etis dalam Peran Manajerial


Pada beberapa pokok pembahasan sebelumnya, kita telah mengetahui bahwa
pengambilan keputusan seseorang dapat sangat dipengaruhi oleh konteks sosial di
mana keputusan itu diambil. Keadaan sosial dapat mempermudah ataupun mempersulit
kita untuk bertindak sesuai dengan penilaian kita. Dalam dunia bisnis, terkadang konteks
organisasi mempersulit kita untuk bertindak secara etis bahkan bagi orang yang berniat
paling baik sekalipun, atau mempersulit orang yang tidak jujur untuk bertindak tidak etis.
Tanggung jawab atas keadaan yang dapat mendorong perilaku etis dan menekan
perilaku tidak etis jatuh kepada manajemen bisnis dan tim eksekutif. Dalam situasi
bisnis, para individu harus mempertimbangkan implikasi etis dari pengambilan
keputusan pribadi dan profesional (personal and professional decision making). Dalam
konteks bisnis, para individu mengisi peran sebagai karyawan, manajer, eksekutif
senior, dan anggota dewan. Para manajer, eksekutif, dan anggota dewan memiliki
kemampuan untuk menciptakan dan membentuk konteks organisasi di mana semua
karyawan mengambil keputusan. Oleh karena itu, mereka memiliki sebuah tanggung
jawab untuk meningkatkan pengaturan organisasi yang mendorong perilaku etis dan
menekan perilaku tidak etis.
Untuk menerapkan model pengambilan keputusan dalam kasus iPod, pertama-
tama kita akan mencoba menentukan fakta-fakta. Mengetahui iPod itu dapat berfungsi
dengan baik akan menjadi bukti yang layak bahwa benda itu telah ditinggalkan dengan
tidak sengaja, alih-alih dibuang dengan sengaja. Mengetahui harga iPod sebenarnya
akan menjadi bukti bahwa benda itu bernilai tinggi dan bukanlah sesuatu yang mudah
dibuang begitu saja. Biaya membeli iPod tersebut, sebagaimana pemahaman Anda
terhadap harta benda pribadi, membuat jelas bahwa situasi ini menimbulkan isu etis
berkaitan dengan hak, kebahagiaan, integritas pribadi, dan kejujuran.
Jelas sekali, kasus ini akan melibatkan dua pemegang kepentingan utama:
pemilik yang sebenarnya dan Anda sendiri. Namun melalui proses berpikir, Anda dapat
memahami bahwa keputusan apa pun yang akan Anda ambil akan memberikan dampak
yang lebih luas. Orang-orang akan membicarakan iPod yang dicuri atau iPod yang
dikembalikan, dan hal ini akan meningkatkan atau mencoreng budaya kampus atas
kepercayaan dan kejujuran.
Dengan membayangkan diri Anda sebagai orang yang kehilangan iPod atau
sebagai mahasiswa yang mungkin diadili dalam sebuah pemeriksaan yudisial kampus
dapat memberikan suatu perspektif yang kemungkinan besar akan terabaikan andaikata
Anda hanya memikirkan diri sendiri. Membayangkan akibat dari menyimpan iPod itu dan
mendapati terbongkarnya fakta itu adalah langkah berguna lainnya. Bagaimana Anda
mencoba membenarkan keputusan Anda kepada orang lain? Pertimbangkan berapa
waktu yang diperlukan oleh seseorang yang mungkin harus bekerja sambil kuliah untuk
mengumpulkan uang guna membeli iPod baru pun dapat memberikan perspektif yang
penting lainnya. Terakhir, suatu pertimbangan mengenai itegritas pribadi akan
mendorong Anda untuk memikirkan tipe orang yang menyimpan barang orang lain dan
menanyakan diri sendiri apakah Anda adalah orang yyang seperti itu dan apakah Anda
ingin menjadi seperti itu. Setelah mendapat pengetahuan mengenai langkah-langkah
yang telah diberikan tadi, akan sulit untuk membayangkan seseorang dapat
membenarkan keputusan untuk menyimpan iPod itu.

2.4 Permasalahan Lainnya dalam Pengambilan Keputusan Etis


2.4.1 Masalah Bersama
Istilah masalah bersama mengacu pada kesengajaan atau mengetahui
penggunaan aset atau sumber daya yang dimiliki bersama secara berlebihan. Namun,
dalam praktiknya sering kali pengambil keputusan tidak peka terhadap masalah
bersama, sehingga tidak akan memberikan atribut nilai yang cukup tinggi untuk
penggunaan aset atau sumber daya, dan karena itu mereka membuat keputusan yang
salah. Kesadaran akan masalah ini dapat memperbaiki hal tersebut dan memperbaiki
pengambilan keputusan. Jika seorang eksekutif dihadapkan pada penggunaan suatu
aset atau sumber daya yang berlebihan, mereka akan melakukan dengan baik untuk
menggunakan solusi yang diterapkan di zaman dahulu.
2.4.2 Mengembangkan Aksi yang Lebih Etis
Perbaikan yang berulang-ulang adalah salah satu keuntungan dari
menggunakan kerangka kerja Etika Decision Making yang diusulkan. Menggunakan
serangkaian pendekatan filosofis, lima pertanyaan, standar moral, Pasti, atau
pendekatan bersama yang memungkinkan aspek-aspek tidak etis dari sebuah
keputusan dapat diidentifikasi, kemudian dimodifikasi secara berulang-ulang untuk
memperbaiki dampak keseluruhan dari keputusan tersebut. Pada akhir setiap
pendekatan Etika Decision Making, harus ada pencarian yang spesifik untuk hasil sama-
sama untung. Proses ini melibatkan pelaksanaan imajinasi moral. Terkadang, direktur,
eksekutif, atau akuntan profesional akan mengalami kelumpuhan keputusan akibat dari
kompleksitas analisis atau ketidakmampuan untuk menentukan pilihan maksimal karena
alasan ketidak pastian, kendala waktu, atau sebab lainnya. Herbert Simon mengusulkan
konsep satisficing untuk memecahkan masalah ini. Ia berargumen bahwa seseorang
tidak boleh membiarkan kesempurnaan menjadi musuh kebaikan perbaikan yang
harus terus menerus sampai tidak ada kemajuan lebih lanjut yang dibuat seharusnya
menghasilkan solusi yang dianggap cukup baik dan bahkan optimal pada titik waktu
tersebut.
2.4.3 Kekeliruan Umum dalam Pengambilan Keputusan Etis
Menghindari perangkap umum pengambilan keputusan etis sangatlah penting.
Pengalaman menunjukkan bahwa para pengambil keputusan secara berulang-ulang
membuat kesalahan berikut:
1. Menyetujui budaya perusahaan yang tidak etis. Ada banyak contoh dimana
budaya perusahaan yang tidak didasarkan pada nilai-nilai etika telah
memengaruhi atau memotivasi eksekutif dan karyawan untuk
membuat/mengambil keputusan yang tidak etis. Dalam banyak kasus tidak
adanya etika kepemimpinan merupakan penyebabnya.di lain kasus, perusahaan
itu diam atau kurang jelas tentang nilai-nilai inti mereka, atau ini disalah artikan,
untuk memungkinkan diambilnya tindakan tidak etis dan ilegal. Pada
kesempatan lain, sistem penghargaan yang tidak etis memotivasi karyawan
untuk memanipulasi hasil keuangan atau berfokus pada kegiatan yang tidak
dalam kepentingan terbaik organisasi.
2. Salah menafsirkan harapan masyarakat. Banyak eksekutif salah mengira bahwa
tindakan tidak etis dapat diterima karena:
a. Semua orang melakukannya, atau
b. Jika saya tidak melakukannya, orang lain akan melakukannya, atau
c. Saya bebas dari beban tanggung jawab karena atasan memerinahkan saya
untuk melakukannya. Dalam dunia sekarang ini, pembenaran bagi keputusan
yang tidak etis sangat mencurigakan. Setiap tindakan harus dipikirkan
dengan saksama dari sisi standar etika.
3. Berfokus pada keuntungan jangka pendek dan dampak pada pemegang saham.
Sering kali, dampak yang paling signifikan (bagi para pemangku kepentingan
yang bukan pemegang saham) dari tindakan yang diusulkan adalah apa yang
akan terjadi di masa depan akan terlebih dahulu menimpa pemangku
kepentingan yang bukan pemegang saham. Hanya setelah kelompok-kelompok
ini bereaksi barulah pemegang saham menanggung biaya untuk kelakuan buruk
mereka. Sarana bagi pemikiran yang dangkal ini adalah untuk memastikan
pandangan yang tepat untuk melakukan analisis, dan untuk memperhitungkan
eksternalitas atas dasar biaya, dampak dari manfaat yang diukur pada awalnya
dirasakan oleh sekelompok non-pemegang saham.
4. Berfokus hanya pada legalitas. Banyak manajer hanya peduli dengan suatu
tindakan yang sah secara hukum. Mereka berpendapat, Jika sah secara hukum,
maka tindakan tersebut etis. Sayangnya, banyak ditemukan perusahaan yang
dikenai boikot konsumen, karyawan yang mundur, meningkatnya regulasi
pemerintah untuk menutup celah, dan denda. Beberapa tidak peduli karena
mereka hanya berniat untuk bekerja di perusahaan ini untuk sementara waktu.
Faktanya adalah undang-undang dan peraturan tidak seperti yang diinginkan
masyarakat, tetapi reaksi bisa datang jauh sebelum undang-undang dan
peraturan yang baru dibuat. Salah satu alasannya adalah bahwa perusahaan
mencoba memengaruhi perubahan aturan tersebut. Hanya karena tindakan yang
diusulkan sah secara hukum, tidak berarti itu membuatnya menjadi tindakan
yang etis.
5. Batas keberimbangan. Terkadang, pengambil keputusan memiliki sikap bias
atau ingin bersikap adil hanya untuk kelompok yang mereka suka. Sayangnya,
mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan opini publik dan
biasanya harus membayar kekeliruan mereka di akhir. Banyak eksekutif telah
mengalah pada organisasi-organisasi aktivis, tetapi juga belajar bahwa jika isu-
isu lingkungan diabaikan maka akan berbahaya bagi mereka. Sebuah kajian
penuh tentang keadilan untuk semua pemangku kepentingan adalah satu-
satunya cara untuk memastikan sebuah keputusan akan menjadi etis.
6. Batas untuk meneliti hak. Bias tidak terbatas pada keadilan saja. Para pembuat
keputusan harus meneliti dampak pada keseluruhan hak semua kelompok
pemangku kepentingan. Selain itu, para pembuat keputusan harus didorong
untuk mempertimbangkan nilai-nilai mereka sendiri saat membuat keputusan.
7. Konflik kepentingan. Bias yang didasarkan atas prasangka bukan satu-satunya
alasan penilaian keliru dari tindakan yang diusulkan. Penilaian dapat menutupi
kepentingan pribadi yang saling bertentangankepentingan pengambil
kepuutusan versus kepentingan terbaik perusahaan, atau kepentingan kelompok
dimana pembuat keputusan bersikap parsial versus kepentingan terbaik
perusahaan, keduanya dapat menyebabkan penilaian dan keputusan yang
keliru. Kadang-kadang, karyawan terjebak pada apa yang disebut dengan
slippery slope, dimana mereka mulai dengan keputusan kecil yang bertentangan
dengan kepentingan majikan mereka, diikuti oleh keputusan lain yang tumbuh
secara signifikan, dan akan menjadi sangat sulit untuk mengoreksi atau
mengakui keputusan yang mereka buat sebelumnya.
8. Keterkaitan di antara pemangku kepentingan. Sering kali, para pengambil
keputusan gagal mengantisipasi apa yang mereka lakukan untuk sau kelompok
akan berkontribusi memicu tindakan orang lain. Sebagai contoh, pencemaran
lingkungan di negara yang jauh dari perusahaan dapat menyebabkan reaksi
negatif dari pelanggan dalam negeri dan pasar modal.
9. Kegagalan untuk mengidentifikasi semua kelompok pemangku kepentingan.
Kebutuhan untuk mengidentifikasi semua kelompok pemangku kepentingan dan
kepentingan mereka sebelum menilai dampaknya pada masing-masing
kelompok merupakan bukti pribadi. Namun, hal ini merupakan langkah yang
sering diambil tanpa pemahaman, dengan hasil bahwa isu-isu penting menjadi
tidak diketahui. Pendekatan yang berguna untuk membantu masalah ini adalah
untuk berspekulasi pada kemungkinan buruk yang mungkin terjadi dari tindakan
yang diusulkan, dan mencoba untuk menilai bagaimana media akan bereaksi.
10. Kegagalan untuk membuat peringkat kepentingan tertentu dari para pemangku
kepentingan. Kecenderungan yang umum adalah untuk memperlakukan
kepentingan seluruh pemangku kepentingan menjadi sama pentingnya. Namun,
mereka yang mendesak biasanya menjadi yang terpenting. Mengabaikan hal ini
benar-benar picik, dan dapat menghasilkan keputusan yang suboptimal dan tidak
etis.
11. Mengacuhkan kekayaan, keadilan, atau hak. Seperti yang ditunjukkan
sebelumnya, keputusan etis yang komprehensif tidak bisa dilakukan jika salah
satu dari ketiga aspek ini ada yang terlupakan. Namun, berulang kali para
pembuat keputusan mengambil jalan pendek dan menderita akibatnya.
12. Kegagalan untuk mempertimbangkan motivasi untuk keputusan. Selama
bertahun-tahun, pengusaha dan profesional tidak khawatir tentang motivasi
untuk sebuah tindakan, selama konsekuensinya dapat diterima. Sayangnya,
banyak pengambil keputusan kehilangan kebutuhan untuk meningkatkan
manfaat bersih secara keseluruhan bagi semua (atau sebanyak mungkin orang),
dan mengambil/membuat keputusan yang dibuat untuk menguntungkan dirinya,
aau hanya beberapa di antaranya, yang bermanfaat dalam jangka pendek dan
merugikan orang lain pada jangka panjang. Keputusan picik ini, yang diambil
demi keuntungan pribadi pengambil keputusan, mencerminkan risiko tata kelola
yang tinggi bagi organisasi.
13. Kegagalan untuk mempertimbangkan kebajikan yang diharapkan untuk
ditunjukkan. Anggota dewan, eksekutif, dan akuntan profesional diharapkan
untuk bertindak dengan itikad baik dan melaksanakan tugas fidusia bagi orang-
orang yang bergantung pada mereka. Mengabaikan kebajikan yang diharapkan
dari mereka dapat menyebabkan ketidakjujuran, kurangnya integritas dalam
penyusunan laporan, kegagalan untuk bertindak atas nama pemangku
kepentingan, dan kegagalan untuk menunjukkan keberanian dalam menghadapi
orang lain yang terlibat dalam tindakan tidak etis, atau whistle-blowing saat
dibutuhkan. Akuntan profesional yang mengabaikan kebajikan yang diharapkan
dari mereka cenderung melupakan bahwa mereka diharapkan untuk melindungi
kepentingan umum.
BAB 3. PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Keputusan yang diambil pemimpin tentunya akan menghasilkan dampak bagi
orang lain. Idealnya, seorang pemimpin mempunyai integritas yang menjunjung tinggi
nilai moral dan etika. Sehingga, keputusan yang diambilnya adalah mengacu tidak hanya
pada kepentingannya sendiri, melainkan juga kepentingan orang banyak termasuk
lingkungannya.
REFERENSI

Brooks, Leonard J dan Paul Dunn. 2011. Etika Bisnis & Profesi untuk Direktur, Eksekutif,
dan Akuntan. Salemba Empat : Jakarta.
Hartman, Laura P and Desjardins, Joe.2008.Business Ethics Decision Making for
Personal Integrity & Social Responsibility. Penerbit Erlangga : Jakarta.

Вам также может понравиться