Вы находитесь на странице: 1из 25

MASALAH INFESTASI EKTOPARASIT PADA BEBERAPA

JENIS BURUNG ELANG DI HABITAT EKS-


EKS-SITU

SURYA KUSUMA WIJAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Masalah Infestasi Ektoparasit Pada
Beberapa Jenis Burung Elang Di Habitat Eksi-situ di Laboratorium Entomologi
FKH IPB adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing, serta belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2008

Surya Kusuma Wijaya


NRP B04104120
ABSTRACT

SURYA KUSUMA WIJAYA. Ectoparasite Infestation on Spesies of Eagles in Ex-


Situ Habitat. Under the supervised by UPIK KESUMAWATI HADI.
The infestation of ectoparasite can cause many detriments in animal such
as decreasing of body weights and production, alopecia, traumatic, irritation, and
death. The purposed of this research was to identify the spesies of ectoparasite
which infestating several spesies of eagles, the distribution, and the infestation in
several ex-situ habitat in Indonesia. Sample was taken from several spesies of
eagles i.e. brahminy kite, changeable hawk-eagle, crested serpent eagle, javan
hawk-eagle, and white bellied sea eagle. Collecting sites sample were Ragunan
Zoo, Cikananga Animal Rescue Center, Bandung Zoo, and Indonesian Safari
Park. The research was done in July 2007 until January 2008. The ectoparasites
found were lice Anatoecus dentatus and Lipeurus caponis, and mite
Pterolichoidea. Lice, Anatoecus dentatus was found in Brahminy kite in Taman
Margasatwa Ragunan. Lice, Lipeurus caponis was found in brahminy kite and
crested serpent eagle in Bandung Zoo. Mite, Pterolichoidea was found in
changeable hawk-eagles Cikananga Animal Rescue Center and Bandung Zoo.
The presence of ectoparasites caused many detriments in eagle. Infestated eagle
would suffer irritation, feather fall, and primary feather damage so it could not fly
and become stress. The appearance of eagle also changes. Poor condition of
health and housing management will make the infestation of ectoparasite
become worse.
ABSTRAK

SURYA KUSUMA WIJAYA. Masalah Infestasi Ektoparasit pada Beberapa Jenis


Burung Elang di Habitat Eks-Situ. Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI.
Infestasi ektoparasit pada hewan dapat menimbulkan kerugian berupa
penurunan bobot badan, penurunan produksi, kerontokan rambut atau bulu,
trauma, iritasi, anemia, dan kematian. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasikan jenis-jenis ektoparasit yang ada pada beberapa jenis burung
elang, sebaran, dan infestasinya di beberapa habitat eks-situ di Indonesia.
Spesimen ektoparasit diambil dari beberapa jenis burung elang yaitu elang
bondol, elang brontok, elang jawa, elang laut perut putih, dan elang ular bido.
Tempat pengambilan spesimen yaitu Taman Margasatwa Ragunan, Pusat
Penyelamatan Satwa Cikananga, Kebun Binatang Bandung, dan Taman Safari
Indonesia. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2007 hingga Januari 2008.
Ektoparasit yang ditemukan adalah kutu Anatoecus dentatus dan Lipeurus
caponis serta tungau Pterolichoidea. Kutu Anatoecus dentatus ditemukan pada
burung elang bondol di Taman Margasatwa Ragunan. Kutu Lipeurus caponis
ditemukan pada burung elang ular bido dan elang bondol di Kebun Binatang
Bandung. Tungau Pterolichoidea ditemukan pada burung elang brontok di Pusat
Penyelamatan Satwa Cikananga dan Kebun Binatang Bandung. Keberadaan
ektoparasit mengakibatkan kerugian besar bagi burung elang. Burung elang
yang terinfestasi akan mengalami iritasi, kerontokan bulu, dan kerusakan bulu-
bulu primer sehingga elang tidak bisa terbang dan stres. Tampilan elang pun
menjadi berubah. Manajemen kandang dan kesehatan yang buruk akan
memperparah kejadian kejadian ektoparasit.
MASALAH INFESTASI EKTOPARASIT PADA BEBERAPA
JENIS BURUNG ELANG DI HABITAT EKS-SITU

SURYA KUSUMA WIJAYA

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
Judul Skripsi : Masalah Infestasi Ektoparasit pada Beberapa Jenis Burung
Elang di Habitat Ek-Situ
Nama : Surya Kusuma Wijaya
NRP : B04104120

Menyetujui,
Dosen Pembimbing

drh. Upik Kesumawati Hadi, MS, Ph.D


NIP 131 415 083

Mengetahui,
Wakil Dekan
Fakultas Kedokteran Hewan

Dr. Nastiti Kusumorini


NIP 131 669 942

Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT
karena dengan nikmat dan karunia yang telah dianugerahkan-Nya, penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulis sangat berterimakasih kepada Ibu Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi,
MS. sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah merelakan waktunya untuk
memberikan bimbingan dengan kasih sayang, sabar, dan semangat selama
penelitian sampai skripsi ini terwujud.
Penulis juga berterimakasih kepada Dr. drh. I Wayan T Wibawan, MS.
sebagai dosen pembimbing akademik selama penulis menempuh pendidikan di
fakultas, Dr. drh. Susi Soviana, MS. Sebagai dosen penilai dan penguji,
Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, MSc., seluruh staf dan dosen
Laboratorium Entomologi FKH-IPB yang telah membantu penulis selama
penelitian hingga penyusunan skripsi, pihak Taman Margasatwa Ragunan, pihak
Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, pihak Kebun Binatang Bandung, pihak
Taman Safari Indonesia, sahabat seperjuangan penelitian (Combo, Dimut, dan
Winda), himpro SATLI, P*Joker (Bapak & Ibu Joko Santoso, Mas Heri, Mas Dwi,
Febi, Nanda, Krido, Dahlan, Supri, dan Rizqi), keluarga Ir. Bambang Murdiono
dan drh. Elok Budi Retnani, MS., kakak Angkatan 41, Angkatan 41 [Asteroidea],
adik Angkatan 41, dan semua pihak yang tidak dapat penulis untuk menyebutkan
satu per satu. Terima kasih banyak atas dukungan, doa, dan semangat yang
telah diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan dan
menyelesaikan penyusunan skripsi.
Terima kasih juga penulis ucapkan sebesar-besarnya kepada Ibunda
Suryati S.Pd, Ayahanda Drs. Sumaryadi, Candara Ari Tyastuti Wijaya, Megawati
Wijaya, dan Dian Puspita Rini Wijaya serta Roni Eka Abadi atas cinta, dukungan,
doa, dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis selama ini.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun diharapkan untuk
memperbaiki kesalahan yang ada. Semoga skripsi ini berguna untuk kemajuan
ilmu pengetahuan di bidang medis veteriner, khususnya pada satwaliar.

SALAM LESTARI!!!
Bogor, September 2008
Surya Kusuma Wijaya
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tanjung Intan, Lampung Timur pada tanggal
12 Mei 1986. Penulis merupakan putra kedua dari empat bersaudara dari
pasangan Bapak Drs. Sumaryadi dan Ibu Suryati S.Pd.
Penulis masuk TK Pertiwi Tanjung intan pada tahun 1989, lulus
pada tahun 1992. Penulis kemudian masuk SD N 4 Taman Fajar pada
tahun yang sama dan lulus pada tahun 1998. Penulis meneruskan
pendidikannya di SLTP N 1 Purbolinggo dan lulus tahun 2001. Setelah
menempuh pendidikan SD sampai SLTP di Lampung timur, penulis
berkesempatan melanjutkan pendidikannya di SMU N 9 Yogyakarta.
Penulis menyelesaikan pendidikan SMU pada tahun 2004.
Penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor (FKH IPB) pada tahun 2004 melalui Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI). Penulis aktif di berbagai kegiatan kampus antara lain: kegiatan
Angkatan 41, Himpro Satli, dan Komunitas Seni Steril. Penulis pernah
menjabat wakil ketua Himpro Satli dan asisten praktikum mata kuliah
Parasitologi Veteriner: Ektoparasit selama kuliah.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................. v
1 PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 3
2.1 Klasifikasi Burung Elang ......................................................................... 3
2.2 Morfologi Burung Elang........................................................................... 3
2.2.1 Elang Jawa ................................................................................... 7
2.2.2 Elang Bondol ................................................................................. 8
2.2.3 Elang Brontok................................................................................ 9
2.2.4 Elang Ular Bido ............................................................................. 9
2.2.5 Elang Laut Perut Putih ................................................................ 10
2.3 Perilaku, Habitat, dan Penyebaran Geografis Burung Elang ................. 11
2.2.1 Elang Jawa ................................................................................. 11
2.2.2 Elang Bondol ............................................................................... 12
2.2.3 Elang Brontok.............................................................................. 13
2.2.4 Elang Ular Bido ........................................................................... 13
2.2.5 Elang Laut Perut Putih ................................................................ 13
2.4 Ektoparasit ............................................................................................ 16
3 METODOLOGI ........................................................................................... 20
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................... 20
3.2 Pengamatan Habitat Eks-Situ ............................................................... 20
3.3 Pengambilan Spesimen Ektoparasit Secara Manual ............................. 20
3.4 Pengawetan Spesimen ......................................................................... 20
3.5 Identifikasi spesimen ............................................................................. 22
3.6 Analisis Data ......................................................................................... 22
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 23
4.1 Kondisi Habitat Eks-Situ Beberapa Jenis Burung Elang ........................ 23
4.1.1 Taman Margasatwa Ragunan ..................................................... 23
4.1.2 Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga....................................... 24
4.1.3 Kebun Binatang Bandung............................................................ 27
4.1.4 Taman Safari Indonesia .............................................................. 29
4.2 Pembahasan Umum ............................................................................. 31
5 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 37
5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 37
5.2 Saran .................................................................................................... 37
6 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 38
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
Penyebaran bulu burung ............................................................................... 4
Morfologi bulu burung ................................................................................... 5
Ikatan antar barbule ...................................................................................... 5
Berbagai jenis burung elang di Indonesia ................................................... 15
Pengambilan spesimen ektoparasit secara langsung.................................. 21
Kandang burung elang di Taman Margasatwa Ragunan ............................ 23
Kandang burung elang di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga .............. 26
Kandang burung elang di Kebun Binatang Bandung ................................... 27
Kandang burung elang di Taman Safari Indonesia...................................... 30
Anatoecus dentatus pada burung elang bondol .......................................... 33
Tungau Pterolichoidea ................................................................................ 34
Lipeurus caponis ......................................................................................... 35
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1 Infestasi kutu Anatoecus dentatus di Taman Margasatwa Ragunan ........... 24
2 Infestasi tungau Pterolichoidea di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga . 26
3 Infestasi tungau Pterolichoidea di Kebun Binatang Bandung ...................... 28
4 Infestasi kutu Lipeurus caponis di Kebun Binatang Bandung ...................... 29
5 Rekapitulasi jenis dan jumlah ektoparasit pada beberapa jenis burung
elang di empat lokasi habitat eks-situ ......................................................... 32
1 PENDAHULUAN
Burung elang merupakan satu contoh dari berbagai jenis burung
pemangsa. Burung elang adalah hewan berdarah panas, mempunyai sayap dan
tubuh yang diselubungi bulu. Burung elang berkembang biak dengan cara
bertelur yang mempunyai cangkang keras di dalam sarang, akan menjaga
anaknya sampai mampu terbang.
Burung elang dikenal sebagai burung pemangsa berukuran besar, memiliki
kemampuan terbang yang kuat, sayap yang lebar, paruh yang besar dan tajam,
serta kuku yang kuat. Burung elang juga memiliki penglihatan tajam untuk
melihat mangsa dari jarak yang jauh. Dengan kemampuan seperti ini, burung
elang berada di puncak rantai makanan pada ekosistem. Posisi tersebut dalam
rantai makanan berperan sebagai penyeimbang ekosistem agar satwa-satwa lain
pada tingkat bawah rantai makanan jumlahnya tidak berlebihan.
Seluruh jenis burung elang termasuk ke dalam ordo Falconiformes (atau
Ciconiiformes menurut skema Zipcode) (Anonim 2001a). Seluruh ordo ini
merupakan pemakan daging (karnivora). Burung elang memiliki rentang umur
yang panjang, dan laju reproduksi yang rendah. Seluruh elang berpasangan
secara monogami. Spesies burung elang yang terdapat di Indonesia adalah
Elang Brontok, Elang Jawa, Elang Ular Bido (Prawiradilaga et al. 2002), Elang
Bondol, dan Elang Laut Perut Putih (Coates & Bishop 2000). Burung elang jawa
merupakan satwa endemik Indonesia yang populasinya semakin menurun.
Jumlah total populasi burung elang jawa yang ada diperkirakan tinggal 50-60
pasang (Meyburg et al. 1989 dalam Shannaz et al. 1995) dan tergolong genting
(endangered) menurut kriteria International Union for Conservation of Nature
(IUCN) (Anonim 2008b). Rusaknya habitat, perburuan liar, bencana alam, dan
kendala dalam penangkaran merupakan masalah-masalah yang sering dihadapi
dalam mempertahankan jumlah populasi burung elang terutama burung elang
jawa (Shannaz et al. 1995).
Ektoparasit merupakan permasalahan klasik yang merugikan, namun tidak
mendapat perhatian yang baik. Kerugian yang ditimbulkan sangat besar, mulai
dari penurunan bobot badan, penurunan produksi, kerontokan rambut atau bulu,
trauma, iritasi, anemia, sampai dengan kematian. Masalah tersebut sering terjadi
di peternakan-peternakan sampai dengan satwaliar yang ada di dalam hutan.
Hal ini akan berdampak buruk pada jumlah populasi satwaliar. Pengendalian
ektoparasit bukan hal yang mudah untuk dilakukan dan membutuhkan waktu
bertahun-tahun dalam pengerjaannya. Ektoparasit dapat berperan dalam
penyebaran penyakit antar satwa. Hal ini dapat lebih buruk lagi apabila pada
suatu tempat merupakan wilayah endemik suatu penyakit dan ektoparasit
berperan sebagai vektornya. Ektoparasit tersebut dapat berupa lalat, nyamuk,
kutu, pinjal, caplak, dan tungau. Perannya sebagai ektoparasit tidak sama,
tergantung pada stadium perkembangan dan perilaku. Selain itu, ektoparasit
dapat menularkan penyakit pada hewan ke manusia (bersifat zoonosis) (Hadi &
Soviana 2000). Hal ini yang perlu dikaji lebih lanjut karena penelitian tentang
ektoparasit pada satwaliar belum banyak dilakukan. Iklim indonesia yang panas
(tropis) merupakan salah satu faktor pendukung dari banyaknya jenis ektoparasit
yang terdapat pada, hewan kesayangan, hewan ternak, maupun satwaliar.
Jenis-jenis ektoparasit pada burung elang belum tercatat dengan rinci dan
juga belum diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
jenis-jenis ektoparasit yang ada pada beberapa jenis burung elang serta sebaran
dan infestasinya di beberapa habitat eks-situ di Indonesia.
Manfaat hasil penelitian ini adalah memberikan informasi bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ektoparasit pada satwaliar yang
saat ini belum mendapat perhatian dari para peneliti. Penelitian ini juga
diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut untuk upaya-upaya pengendalian
ektoparasit pada satwaliar.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Burung Elang
Berdasarkan ciri-ciri morfologi yang dimilikinya, kelompok burung elang
termasuk ke dalam famili Accipitridae subfamili Accipitrinae (Anonim 2001a).
Secara rinci, klasifikasi burung elang adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Bilateria
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Aves
Subkelas : Neornithes
Ordo : Ciconiiformes/Falconiformes
Subordo : Ciconii/Accipitres
Famili : Accipitridae
Subfamili : Accipitrinae
Indonesia memiliki beberapa spesies burung elang, antara lain : Elang
Brontok, Elang Jawa, Elang Ular Bido (Prawiradilaga et al. 2002), Elang Bondol,
dan Elang Laut Perut Putih (Coates & Bishop 2000).

2.2 Morfologi Burung Elang


Burung elang jantan dan betina pada satu spesies memiliki warna dan
bentuk tubuh yang sama, perbedaan hanya terletak pada ukuran tubuh. Burung
elang betina lebih besar dari pada jantan. Burung elang muda memiliki ciri-ciri
umum yaitu warna mata yang gelap dan warna bulu yang lebih gelap. Burung
elang dewasa memiliki warna mata dan warna bulu yang lebih terang (Brown
1976 dalam Lisah 1992).
Bulu pada unggas merupakan organ fungsional yang kompleks, dibentuk
dari poliferasi sel-sel epidermis berupa protein keratin. -keratin pada bulu,
cakar, dan paruh terdiri atas untaian protein dengan ikatan hidrogen yang
menjadi lipatan . Lipatan tersebut kemudian akan berbelit dan berikatan silang
dengan jembatan sulfida sehingga menjadi lebih kuat daripada -keratin pada
rambut, tanduk, dan kuku mamalia. Bulu melindungi unggas dari air dan
temperatur dingin (Anonim 2008a). Bulu pada burung elang berfungsi untuk
menjaga suhu tubuh burung elang, sekitar 440 C (Peterson 1980 dalam Lisah
1992).
Bulu pada sayap dan ekor juga berperan penting sebagai kendali
penerbangan, sehingga penyebarannya memiliki pola tertentu (Gambar 1). Bulu
memiliki berat yang ringan, tetapi bila ditimbang beratnya dua sampai tiga kali
lebih besar dari pada berat tulang (Anonim 2008a).
Bulu dibagi menjadi dua tipe dasar yaitu bulu penutup dan bulu halus. Bulu
penutup disebut juga bulu Pennaceous atau bulu luar yang tersebar ke seluruh
tubuh. Beberapa bulu penutup berubah menjadi bulu untuk terbang pada sayap
(remigres) dan ekor (rectrices). Morfologi bulu penutup terdiri atas rachis, barb,
barbule, dan barbicel (Gambar 2). Rachis adalah tiang utama bulu. Cabang dari
rachis membentuk barb yang bercabang lagi menjadi barbule. Barbule memiliki
kaitan kecil disebut barbicel, yang dapat melekatkan antar barbule (Gambar 3).
Bulu halus adalah bulu-bulu yang berada di bawah bulu penutup. Barbicel pada
bulu halus tidak mengait satu dengan lainnya sehingga antar barbule menjadi
terpisah. Struktur tersebut menyebabkan udara dapat mengalir di antara bulu
halus sehingga suhu tubuh tetap terjaga. Pada ujung bulu terdapat pemanjangan
rachis yang membentuk calamus, masuk ke dalam folikel kulit (Anonim 2008a)

bulu kapital

bulu humeral

bulu alar

bulu ventral

bulu spinal atau dorsal

bulu femoral

bulu krural

bulu kaudal

Gambar 1 Penyebaran bulu burung (Anonim 2008a)


Keterangan :
1. Bulu penutup
2. Rachis
3. Barb
4. Bagian bulu halus
5. Calamus

Gambar 2 Morfologi bulu burung (Anonim 2008a)

Keterangan : (1) bagian barb (2,3) barbule yang saling mengikat

Gambar 3 Ikatan antar barbule (Anonim 2008a)


Sistem indera penglihatan dan pendengaran elang berkembang dengan
baik. Mata burung elang dilengkapi dengan penglihatan monokular (ke samping)
dan binokular (ke depan). Burung elang dapat melihat benda dengan jarak yang
cukup jauh. Burung elang dapat membedakan pola warna dan terang-gelap.
Retina burung elang 4-8 kali lebih peka dari pada mata manusia (Peterson 1980
dalam Lisah, 1992) karena retinanya terdiri atas sel-sel kerucut yang sensitif
terhadap warna dan sel-sel batang yang sensitif terhadap gelap. Spektrum warna
yang dimiliki mata burung elang lebih luas daripada mata manusia (Fox 1995).
Pendengaran merupakan cara berkomunikasi untuk sesama terutama pada saat
mencari pasangan dan hubungan induk-anakan (Brown 1976 dalam Lisah 1992).
Burung elang dapat mendengar suara dengan jangkauan yang lebih besar
daripada manusia dan dapat membedakan frekuensi suara. Tulang
pendengarannya hanya ada satu dengan lipatan jaringan yang dapat
mengurangi vibrasi dengan cepat di gendang telinga sehingga memudahkan
burung elang untuk mendeteksi suara dalam waktu 0.6-2.5 milidetik (Fox 1995).
Struktur tulang pada burung elang berbeda dengan mamalia. Tulangnya
tidak sepadat tulang mamalia dan terdapat rongga-rongga udara. Rongga ini
berhubungan dengan sistem kantung hawa. Struktur tersebut disebut Os
Pneumatii, membuat tulang burung elang menjadi lebih ringan dan kokoh. Tulang
kaki bagian bawah mengandung sumsum tulang untuk pembentukan sel darah
merah. Tulang pelvis atau synsacrum dan notarium merupakan struktur
gabungan yang dapat dipisahkan menjadi berbagai macam tulang, membuat
tubuh burung elang menjadi kaku. Tulang leher burung elang sangat fleksibel
mengikuti pergerakan kepala dan kompensasi dari kekakuan tulang-tulang tubuh
serta bola mata yang relatif tidak bergerak (Fox 1995).
Struktur pencernaannya burung elang hampir sama dengan unggas pada
umumnya. Dimulai dari paruh atau mulut, esofagus, tembolok, proventrikulus,
ventrikulus (gizard), usus, rektum, dan berakhir di kloaka. Otot lambungnya
berdinding tipis, burung elang tidak perlu menggerus makanannya.
Proventrikulus bersatu dengan ventrikulus menjadi satu organ yang berdinding
tipis berbentuk seperti buah pir. Burung elang dapat memuntahkan bahan-bahan
yang tidak diinginkan seperti bulu atau rambut hewan yang dimangsa (Fox
1995).
Sistem respirasi burung elang berfungsi sebagai pertukaran udara dan
pengaturan suhu tubuh. Burung elang memiliki sistem aliran udara yang
berbeda, udara melewati paru-paru menuju ke kantung udara. Burung elang
tidak memiliki diafragma yang bebas. Otot interkostal dan sternum membantu
untuk memompa kantung udara. Proses tersebut memiliki sinkronisasi dengan
kepakan sayap saat terbang. Burung elang membutuhkan banyak oksigen yang
didapatkan dari cadangan kantong udara, sehingga burung elang tidak perlu
bernafas cepat-cepat tetapi bernafas yang dalam. Burung elang hanya bernafas
15-30 kali permenit. Suhu tubuh yang tinggi dan metabolisme yang cepat
dibutuhkan burung elang untuk terbang (Fox 1995).
Sistem transportasi burung elang terdiri atas jantung dan pembuluh darah
(arteri, vena, dan kapiler). Jantung burung elang memiliki empat ruangan dengan
berat sekitar tujuh gram atau 0,9 persen dari total berat badan. Denyut jantung
rata-rata pada keadaan normal sekitar 80-90 kali permenit. Denyut jantung dapat
meningkat drastis setelah melakukan aktifitas hingga 250 kali permenit (Fox
1995).
2.2.1 Elang Jawa
Burung elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dalam bahasa Inggris disebut
Javan Hawk-eagle memiliki klasifikasi sebagai berikut (Anonim 2001b) :
Famili : Accipitridae
Genus : Spizaetus
Spesies : Spizaetus bartelsi
Burung elang jawa yang baru menetas memiliki bulu seperti kapas yang
berwarna putih. Bulu tersebut bertahan hingga umur sekitar dua minggu,
kemudian akan diganti dengan bulu jarum yang dapat berkembang mendekati
bulu sempurna seiring dengan pertumbuhan badan. Selama periode ini, jambul
mulai tumbuh. Anak burung elang jawa memiliki warna mata hitam, warna kepala
dan mahkotanya coklat, kumis mesial belum terbentuk, iris berwarna coklat tua
(saat lahir) berubah menjadi biru keabu-abuan (muda), jambul berwarna hitam
dengan ujung putih, punggung dan sayap berwarna coklat, serta bagian ekor
berwarna keabu-abuan (Widodo 2004).
Burung elang jawa dewasa memiliki berat sekitar 2,5 kg dan panjang tubuh
antara 60-70 cm (Gambar 4). Tubuh burung elang jawa jantan dewasa lebih kecil
daripada betina. Ciri khas burung elang jawa adalah jambul yang terdiri atas dua
sampai empat bulu yang panjangnya sekitar 12 cm. Bulu jambul berwarna hitam
dengan ujung putih. Warna dibagian tubuhnya bervariasi dari putih, kecoklatan,
sampai hitam. Kepala dan tengkuk berwarna coklat berangan, punggung dan
sayap berwarna coklat gelap, leher berwarna putih dengan garis hitam
ditengahnya, ekor berwarna coklat bergaris hitam, mahkota dan kumis mesial
berwarna hitam, dan bagian tubuh yang lain berwarna putih dengan coreten
coklat gelap dan kuning tua kemerahan. Mata burung dewasa berwarna kuning
dengan iris berwarna kuning terang dan biru keabu-abuan pada elang jawa
muda. Paruh burung elang jawa berwarna gelap dengan garis pada pinggirnya.
Lubang hidung kecil. Kaki berwarna putih dengan garis melintang coklat tua.
Bulu kaki sampai di bagian metatarsus. Taji tajam dengan jari yang kokoh
(Cahyono 2001).
Ketika terbang, burung elang jawa serupa dengan burung elang brontok
(Spizaetus cirrhatus) fase terang, namun cenderung nampak lebih kecoklatan,
dengan perut terlihat lebih gelap, serta berukuran sedikit lebih kecil. Bunyi
nyaring tinggi, berulang-ulang, klii-iiw atau ii-iiiw, bervariasi antara satu hingga
tiga suku kata, atau bunyi bernada tinggi dan cepat kli-kli-kli-kli-kli. Sedikit
banyak, suaranya ini mirip dengan suara burung elang brontok meski
perbedaannya cukup jelas dalam nadanya (Anonim 2008b).
2.2.2 Elang Bondol
Burung elang Bondol (Haliastur indus) atau Brahminy Kite memiliki
klasifikasi sebagai berikut (Anonim 2001c) :
Famili : Accipitridae
Genus : Haliastur
Spesies : Haliastur indus
Anakan burung elang bondol berwarna coklat, bercoret, dan bersisik
bungalan. Ekor agak berpalang, serta memiliki bagian lebih pucat di sayap
bagian bawah bulu primer. Perbedaan antara burung muda dengan dewasa
adalah ujung ekornya bundar bukan menggarpu (Cahyono 2001).
Burung elang bondol berukuran panjang sekitar 45-52 cm, dengan lebar
sayap 110-125 cm, panjang ekor 18-22 cm (Gambar 4). Burung elang bondol
memiliki warna putih pada kepala, leher, dada, dan perut bagian depan. Bagian
sayap atas sampai ekor berwarna coklat kepirangan. Ujung sayap berwarna
hitam. Iris berwarna coklat dengan paruh-sera berwarna abu-abu kehijauan.
Tungkai dan kaki elang bondol berwarna kuning suram. Pekikannya mengelih
dan mengeong-ngeong syii-ii-ii, kwiiaa, atau kyeeer sambil terbang (Rijal 2008).
2.2.3 Elang Brontok
Burung elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) atau Changeable Hawk-eagle
memiliki klasifikasi sebagai berikut (Anonim 2001d) :
Famili : Accipitridae
Genus : Spizaetus
Spesies : Spizaetus cirrhatus
Burung elang brontok berwarna coklat tua pada bagian punggung,
berwarna putih pada bagian perut dan penutup sayap bawah. Bagian kepala
burung elang remaja lebih pucat, sayap terlihat lebih sempit, dan garis-garis pada
ekor tidak begitu nampak. Panjang tubuh burung elang bondol sekitar 60-80 cm
(Coates & Bishop 2000).
Burung elang dengan tubuh besar dan ramping, panjang paruh sekitar 3,7
cm, dan panjang kaki sekitar 10,2 cm (Gambar 4). Sayapnya lebar, ekor
membulat, dan jambul pendek. Mata berwarna kuning terang pada burung elang
dewasa dan gelap pada burung elang remaja. Warna bulu digolongkan dalam
dua fase, yaitu fase gelap dan fase terang. Fase gelap, seluruh tubuh berwarna
coklat gelap mengarah ke hitam dengan garis hitam pada ujung ekor. Warna
ekornya coklat dengan garis melintang sehingga terlihat kontras. Fase gelap
muda berwarna gelap seluruhnya. Fase terang, tubuh bagian atas berwarna
coklat batik dan berwarna putih bergaris-garis coklat kehitaman memanjang.
Garis mata dan kumis berwarna hitam. Bentuk peralihan merupakan bentuk
diantara fase gelap dan fase terang. Perbedaannya terlihat pada bentuk
coretan dan garis serta pola warna. Suaranya memekik tajam
kwip..kwip..kwip..kwip..kwiah meninggi atau kwi-hiww (Prawiradilaga et al.
2002).
2.2.4 Elang Ular Bido
Burung elang Ular Bido (Spilornis cheela) atau Crest Serpent Eagle
memiliki klasifikasi sebagai berikut (Anonim 2001e) :
Famili : Accipitridae
Genus : Spilornis
Spesies : Spilornis cheela
Burung elang ular bido dewasa memiliki dada berwarna kecoklatan hitam
dengan bercak putih. kepala, leher, dan ekornya berwarna hitam dengan bercak
putih pula (Gambar 4). Tubuhnya besar dengan ukuran kurang lebih 55-60 cm.
Punggung, sayap, perut, bulu penutup ekor, dan tunggingnya berwarna
kecoklatan hitam dengan bercak putih. Burung elang tersebut akan terlihat
berwarna hitam lurik putih pada saat terbang jika diamati dari bawah. Paruhnya
kuning dengan bentangan sayap yang lebar. Ujung sayap membulat serta ekor
yang pendek. Terdapat garis abu-abu lebar di tengah garis hitam pada ekor.
Ujung sayap berwarna putih. Burung elang ular bido remaja memiliki pola warna
yang sama dengan elang dewasa, tetapi warnanya lebih coklat dan lebih banyak
warna bercak putih. Suaranya nyaring dan melengking klik-klik yang khas
dengan tekanan pada dua nada terakhir atau kokokoko yang lembut
(Prawiradilaga et al. 2002).
2.2.5 Elang Laut Perut Putih
Burung elang Laut Perut Putih (Haliaeetus leucogaster) atau White Bellied
Sea Eagle memiliki klasifikasi sebagai berikut (Anonim 2001f) :
Famili : Accipitridae
Genus : Haliaeetus
Spesies : Haliaeetus leucogaster
Anakan burung elang laut perut putih berwarna coklat tua, bercoret, dan
bertotol. Kadang-kadang terlihat pita dada hitam. Pola warna sayap terlihat dari
bawah adalah coklat muda pada bagian depan dan sebagian pangkal dari bulu
primer. Ujung bulu primer berwarna hitam (Coates & Bishop 2000).
Burung elang laut perut putih termasuk elang besar dengan ukuran 60-70
cm. Burung elang dewasa berwarna putih pada kepala, leher, dan bagian perut
(gambar 4). Sayap bagian atas berwarna abu-abu gelap. Pola sayap bagian
bawah memperlihatkan bulu primer bagian dalam berwarna putih, kontras
dengan bulu sekunder dan ujung bulu primer luar yang berwarna abu-abu gelap.
Ekor berbentuk seperti baji dengan pangkal berwarna hitam, semakin bertambah
usia semakin semakin pucat bagian putih tersebut. Ketika terbang, sayap
terentang membentuk huruf V (Tan 2001).
Burung elang laut perut putih merupakan burung yang berisik, biasanya di
pagi dan sore hari. Suaranya keras ah-ah-ah-ah bergema seperti duet atau
qua-qua-qua seperti angsa. Saat bersuara, kepala menghadap ke angkasa
(Anonim 2008e).
2.3 Perilaku, Habitat, dan Penyebaran Geografis Burung Elang
2.3.1 Elang Jawa
Burung elang jawa berburu dari tempat bertenggernya di atas pohon-pohon
yang tinggi di dalam hutan. Burung ini menyergap dengan sigap dan tangkas
aneka mangsanya yang berada di dahan pohon maupun yang di atas tanah
seperti, reptil, burung-burung sejenis walik dan punai, dan bahkan ayam
kampung. Selain itu, mamalia berukuran kecil sampai sedang seperti tupai dan
bajing, kalong, musang, sampai dengan anak monyet juga menjadi menu sehari-
hari (Anonim 2008b).
Masa bertelur tercatat mulai bulan Januari hingga Juni. Sarang berupa
tumpukan ranting-ranting berdaun yang disusun tinggi di atas cabang pohon
setinggi 20-30 m dari permukaan tanah. Telur berjumlah satu butir yang dierami
selama kurang-lebih 47 hari (Anonim 2008b).
Pohon-pohon yang dijadikan sarang merupakan jenis-jenis pohon hutan
yang tinggi, seperti rasamala (Altingia excelsa), pasang (Lithocarpus dan
Quercus), tusam (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), dan kisireum
(Eugenia clavimyrtus). Sarang burung elang jawa tidak selalu jauh berada di
dalam hutan. Sarang yang pernah ditemukan hanya sejarak 200-300 m dari
tempat rekreasi (Anonim 2008b).
Burung elang Jawa menyebar jarang-jarang di habitatnya. Total jumlahnya
hanya sekitar 137-188 pasang burung, atau perkiraan jumlah individu elang ini
berkisar antara 600-1.000 ekor (Anonim 2008b).
Burung elang jawa hidup di hutan tropis dari daerah pantai sampai
ketinggian antara 3.000 m di atas permukaan air laut, tetapi burung elang jawa
lebih menyukai daerah dengan ketinggian sekitar 200-2.000 m di atas
permukaan air laut (dpl). Hutan yang dihuni meliputi hutan primer, hutan
sekunder, dan hutan produksi (Prawiradilaga 1999 dalam Widodo 2004).
Penyebaran burung elang jawa hanya terbatas pada pulau Jawa, yaitu Ujung
Kulon, Gn. Halimun, Gn. Salak, Gn. Gede, Gn. Gede Pangrango, Gn.
Papandayan, Gn. Patuha, Gn. Segera, Gn. Slamet, Gn. Besar, Gn. Prahu, Gn.
Merapi, Gn. Wilis, Gn. Arjuno, Gn. Iyang, Karang Anyar, TN Meru Betiri, Kalibaru,
Ijen, dan TN Alas Purwo (Szer 1995 dalam Widodo 2004). Kharateristik pohon
untuk sarang burung elang jawa menurut penelitian Afianto tahun 2001, yaitu
pohon tertinggi dan terbesar di sekitarnya, terdapat tajuk pohon yang relatif
terbuka, pandangan sarang terbuka ke arah lembah. Wilayah yang dikunjungi
secara tetap adalah wilayah yang yang dapat menyuplai makanan, minuman,
dan tempat berlindung serta bersarang. Wilayah tersebut disebut wilayah jelajah
atau home range (Boughey 1973, Pyke 1983, & Noordwijk 1985 dalam Alikodra
2002). Elang jawa memiliki area teritori yang ditandai dengan urin, feses, dan
sekresi lainnya. Daerah teritori dipertahankan dari satwa lain, misalnya dengan
mengeluarkan suara atau melawan satwa tersebut secara langsung. Umumnya,
luas daerah teritori lebih sempit daripada daerah jelajah (Alikodra 2002).
2.3.2 Elang Bondol
Burung elang bondol memiliki kebiasaan terbang melayang-layang sambil
mengintai mangsanya dengan ketinggian 20-50 m. Burung elang bondol akan
terbang menukik untuk menangkap mangsanya jika mangsanya sudah terlihat.
Makanan utama burung elang bondol adalah ikan, katak, reptil, dan sedikit
serangga. Selain itu, burung elang bondol juga sering terbang di atas pelabuhan
kapal pembawa ikan untuk mencuri ikan-ikan tersebut. Burung elang bondol pun
mampu merebut makanan burung pemangsa lainnya seperti burung elang laut
perut putih. Musim kawin terjadi pada bulan November-Desember. Burung elang
bondol sering melakukan akrobatik di udara untuk menarik perhatian pasangan
baik di dekat pasangan maupun di dekat sarangnya. Burung elang bondol
memanfaatkan pohon-pohon besar dan tinggi untuk membangun sarang. Sarang
terbuat dari ranting-ranting pohon yang disusun rapi yang direkatkan dengan
lumpur. Beberapa diantaranya memanfaatkan pohon yang sudah mati. Tinggi
sarang di daerah berpantai dan hutan mangrove berkisar 5-6 m, sedangkan pada
daerah kering sekitar 20-30 m. Tebal sangkar antara 15-30 cm, lebarnya 60-90
cm. Sarang tersebut akan digunakan kembali dan diperbaiki sehingga sarang
menjadi semakin tebal. Jarak antar sarang pasangan burung elang bondol
sekitar 100 m. Burung elang bondol bertelur dua sampai tiga butir telur yang
berwarna putih dengan totol-totol merah kecoklatan (Tan 2001).
Burung elang Bondol dapat ditemukan sendirian atau bersama-sama
dalam kelompok di atas perairan. Mengunjungi kawasan pantai, pesisir sungai,
rawa-rawa, danau, dan hutan pegunungan terbuka sampai ketinggian 3.000 m
(Admin 2007).
Burung elang bondol merupakan penetap umum. Daerah penyebaran
Burung elang Bondol di Indonesia adalah di seluruh Sumatera, Kalimantan, Jawa
dan Bali. Namun saat ini keberadaan burung elang Bondol di Jawa dan Bali
sudah sangat jarang. Burung elang bondol yang terdapat di Cagar Alam Pulau
Rambut Jakarta, diperkirakan tinggal 10 ekor. Meski bukan burung migran antar
benua, penyebaran elang bondol juga ditemukan di India, Cina Selatan, Filipina,
Australia, dan juga di beberapa negara lainnya (Rijal 2008). Burung elang bondol
juga tersebar di seluruh kawasan Wallacea (Coates & Bishop 2000).
2.3.3 Elang Brontok
Burung elang brontok menghuni kawasan dataran rendah sampai hutan
pegunungan, sering terlihat berburu terbang melayang atau menyambar dari atas
pohon (Prawiradilaga et al. 2002).
Penyebarannya burung elang brontok mulai dari India sampai Asia
tenggara. Penyebaran di Indonesia yaitu Sunda besar, Nusa tenggara, dan
wilayah Wallacea meliputi Flores (dataran rendah hingga 1.700 m dpl, Pulau
Komodo, Paloe, dan Sumbawa (400-lebih dari 1.000 m dpl) (Coates & Bishop
2000). Burung elang tersebut juga ditemukan di Taman Nasional Gunung
Halimun yaitu di daerah Gn. Kendeng, Gn. Botol, Gn. Kempul, Gn. Buligir Putih,
Gn. Bodas, Gn. Batu, Gn. Bedil, Gn. Bintang Gading, Cigudeg, Ciusul, dan
Neglasari (Prawiradilaga et al. 2002).
2.3.4 Elang Ular Bido
Burung elang ular bido sering terlihat terbang melingkar di daerah
pedesaan, kebun, hutan, dan sawah. Burung elang ular bido terbang dengan
suara ribut. Makanannya bermacam-macam, antara lain: reptilia dan amfibia.
Hidupnya sendirian atau berpasangan (Iskandar 1989). Pasangan sering saling
memanggil dan memperlihatkan gerakan akrobatik hebat yang lambat pada saat
bercumbu. Bila tidak terbang, burung elang tersebut sering bertengger pada
pohon kering di hutan yang teduh sambil mengamati permukaan tanah atau sela-
sela tanaman untuk mencari mangsa (Prawiradilaga et al. 2002).
Penyebarannnya meliputi India, China selatan, Asia tenggara, Sumatra,
kalimantan, Jawa, Palawan, dan Sunda besar (umum ditemui di hutan sampai
ketinggian 1.900 m). Burung elang ular bido dapat dijumpai di Taman Nasional
Gunung Halimun yaitu di daerah Gn. Kendeng, Gn. Botol, Gn. Kempul, Gn.
Buligir Putih, Gn. Bodas, Gn. Batu, Gn. Bedil, Gn. Bintang Gading, Perkebunan
teh Nirmala, Cigaronggong, Cadas Mahpar, dan Koridor Halimun Salak
(Prawiradilaga et al. 2002).
2.3.5 Elang Laut Perut Putih
Burung elang laut perut putih menghuni di pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kadang ditemui di sekitar sungai sungai besar, danau, dan rawa-rawa pada
daratan rendah sampai 1.700 m dpl. Burung elang laut perut putih menghabiskan
kesehariannya dengan terbang layang atau bertengger di atas batu, pohon, serta
tepi air sambil mengamati dan mencari mangsa. Burung elang laut dapat terbang
rendah di atas permukaan air sejauh satu kilometer dari pantai. Burung elang ini
berburu dengan pasangannya, kadang terlihat bersama-sama dengan burung
elang bondol dan elang hitam. Makanannya utamanya adalah ikan dan ular laut.
Makanan lainnya seperti burung-burung air, mamalia kecil, kepiting, kura-kura,
dan kadang-kadang kelelawar (Tan 2001).
Daerah teritorial burung elang laut perut putih tidak terlihat dengan jelas,
tidak seperti burung pemangsa lainnya. Burung elang akan berteriak kencang di
sekitar sangkar atau tenggerannya yang akan terdengar sampai radius satu
kilometer. Hal ini dilakukan untuk mengusir burung-burung lainnya dan
menghindari konfrontasi. Pasangan burung elang laut perut putih dewasa bila
bertemu akan menampilkan gerakan-gerakan di udara seperti saling mengaitkan
cakar dan jatuh bebas diiringi dengan teriakan keras mirip suara angsa. Tempat
yang dipilih untuk sangkar adalah tempat yang tinggi dan dekat dengan pantai
atau sungai besar. Sangkarnya besar dibuat bersama pasangannya. Ukuran
sangkar berdiameter sekitar 1,5 m dan tingginya mencapai 2 m. Sangkar lama
dapat digunakan kembali, baik oleh pasangan pemilik atau pasangan lain bila
sangkar tersebut sudah ditinggalkan pemiliknya. Ukurannya dapat menjadi lebih
besar seperti gundukan kayu. Induk betina bertelur tiga butir berwarna putih
kebiruan. Telur dierami oleh induk betina dibantu oleh induk jantan selama 50
hari. Tugas induk jantan adalah memberi makan induk betina dan menjaga
sarang. Setelah menetas, anak dirawat oleh induk betina selama 65-70 hari
sampai anak sudah bisa terbang. Indukan bisa merawat dua ekor anak. Anak
dapat mandiri setelah 6 bulan (Tan 2001).
Burung elang remaja dan yang belum berpasangan memiliki daya jelajah
yang besar walaupun jenis burung elang ini bukan termasuk burung migran.
Persebarannya di mulai dari pantai timur India dan Sri Lanka ke selatan Cina
sampai bagian selatan Australia, Tasmania, Papua Nugini, dan kepulauan
Bismarck. Burung elang tersebut dapat hidup di pedalaman hutan yang memiliki
sungai besar seperti di pulau Kalimantan. Jaraknya kurang dari 10 mil dari pantai
(Anonim, 2008c).

Вам также может понравиться