Вы находитесь на странице: 1из 27

UU No.

23 tahun 2002

UU No.35 Tahun 2014

Perlindungan Anak
PENDAHULUAN

Pembentukan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak didasarkan pada


pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan landasan yuridis
dan bagian kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam mewujudkan kehidupan anak
dalam berbangsa dan bernegara.[1] Berdasarkan pemikiran tersebut maka semua bentuk
perhatian, pemeliharaan, dan seluruh aspek yang dapat dikategorikan dan dijangkau oleh kata
perlindungan anak maka dapat dijadikan sebagai landasan yuridis. Sebelumnya perhatian
terhadap hak dan kewajiban anak hanya terfokus kepada para orang tua sebagai orang yang
terdekat dan yang paling bertanggung jawab terhadap tumbuh kembang anak. Namun sejalan
dengan banyaknya perlakuan tidak baik dan tak manusiawi terhadap anak, baik di luar
maupun di tengah-tengah keluarganya sendiri, maka Negara dalam hal ini pemerintah
berkewajiban untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak.

Perlindungan anak yang diberikan oleh negara harus dapat menjamin terpenuhinya hak-

hak anak secara optimal demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi anak. Namun

perlindungan yang diberikan hendaknya sesuai dengan asas dan prinsip dasar kemanusiaan

serta norma-norma yang ada. Sehingga perlindungan yang diberikan tidaklah melanggar hak-

hak orang lain dan juga tidak melanggar norma agama sebagai norma yang harus dijunjung

tinggi kemurnian ajarannya.

Makalah ini akan membahas tentang hak dan kewajiban anak yang terdapat dalam UU

Perlindungan Anak No. 23 tahun 2003, pasal 4 sampai pasal 19 undang-undang a quo.

Dalam pembahasannya pasal-pasal tersebut tentu tidak dapat berdiri sendiri melainkan

mempunyai hubungan satu sama lain dengan pasal-pasal sebelumnya atau sesudahnya,

sebagai satu kesatuan yang utuh. Oleh sebab itu, ketika menjelaskan pasal-pasal yang

dimaksud banyak pasal lainnya juga yang dijelaskan oleh Penulis. Dalam makalah ini

Penulis akan menelaah undang-undang tersebut dilihat dalam perspektif hukum Islam serta

mencoba menampilkan keselarasan maupun kesenjangan kedua hukum tersebut.

PEMBAHASAN
A. Sejarah Lahirnya Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002

Masalah seputar kehidupan anak merupakan persoalan yang harus mendapatkan

perhatian secara khusus. Akibat kegagalan pranata sosial disinyalir sebagai penyebab

ketidakmampuan pemerintah untuk mewujudkan kondisi ideal dalam melindungi hak-hak

anak Indonesia. Walaupun banyak naskah akademik, seminar-seminar, lokakarya yang

mengusung tentang tema perlindungan anak namun belum dapat memberikan kontribusi yang

besar terhadap perlindungan anak dalam arti menyeluruh (komprehensif).

Jika mengacu kepada sejarah lahirnya Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23

tahun 2002 maka keberadaan UU a quo merupakan bentuk kepedulian dari Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM) yang memperjuangkan terlaksananya draf pertama Rancangan

Undang-undang tentang Perlindungan Anak. Draf pertama ini tersusun pata tahun 1998

dalam kondisi politik dan keamanan Indonesia yang kurang menguntungkan serta krisis

ekonomi yang begitu menghawatirkan masa pergantian pemerintahan dari Soeharto ke

Habibie, kemudian dilanjutkan pada masa Abdurrahman Wahid - yang menyebabkan draf

Rancangan Undang-undang ini tertunda.

Situasi yang tidak kondusif seperti ini mendorong UNICEF untuk mempasilitasi

penyusunan suatu Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Anak melalui suatu tim

yang dikenal dengan Tim-7, yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil Departemen

Kehakiman, Departemen Sosial, Kantor Menteri Kesejahteraan Rakyat, Lembaga Bantuan

Hukum, Perguruan Tinggi, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, dan Komisi Nasional

Lembaga Perlindungan Anak. Sejumlah masukan dari masyarakat, pakar, pejabat pemerintah,

dan penegak hukum, diterima oleh Tim-7, diolah, dan diintegrasikan ke dalam naskah RUU

tentang Perlindungan Anak.[2]

Singkatnya RUU tersebut disampaikan kepada DPR-RI, kemudian oleh DPR-RI

disampaikan kepada Presiden RI dengan surat Nomor RU-02/1090/DPR-RI/2002 tanggal 20


Februari 2002 dengan permintaan untuk dibicarakan dengan pemerintah guna mendapatkan

persetujuan. Akhirnya Presiden mengutus Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan

Menteri Sosial guna mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut dengan DPR-RI.

Untuk menyongsong pembahaan RUU tentang Perlindungan Anak di DPR-RI, sebagian

anggota Tim-7 membentuk tim baru dengan nama Tim-5 yang difasilitasi oleh UNICEF

dengan maksud dapat memberikan masukan sebagai bahan penyempurnaan atau

pertimbangan Komisi VII DPR-RI yang membahas RUU tentang Perlindungan Anak. Tim-5

bertindak sebagai Tim Asistensi dari Komisi VII DPR-RI. Selanjutnya RUU tersebut

disahkan pada tanggal 22 Oktober 2002.[3]

B. Hak dan Kewajiban Anak dalam Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun

2002.

Pembahasan hak dan kewajiban anak dalam Undang-undang Perlindungan Anak

Nomor 23 tahun 2002 terdapat pada Bab III, dari pasal 4 sampai pasal 19. Hak anak dalam

UU tersebut meliputi : [4]

Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan

dan diskriminasi (Pasal 4).

Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal

5).

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai

dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua (Pasal 6).

(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya

sendiri.

(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau

anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak
asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku ( Pasal 7 ).

Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan

kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8).

(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan

pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.

(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang

cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki

keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus (Pasal 9).

Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan

memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan

dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 10).

Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak

yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat

kecerdasannya demi pengembangan diri (Pasal 11).

Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan

pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12).

Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang

bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :

a. Diskriminasi;

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

c. Penelantaran;

d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;

e. Ketidakadilan; dan

f. Perlakuan salah lainnya (Pasal 13).


Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman (Pasal

13).

Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau

aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik

bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir (Pasal 14).

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :

a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;

b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata;

c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;

d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;

e. Pelibatan dalam peperangan (Pasal 15).

(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau

penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai

dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (Pasal 16).

(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :

a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang

dewasa;

b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya

hukum yang berlaku; dan

c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak

memihak dalam sidang tertutup untuk umum (Pasal 17).

(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan

hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17).


Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan

hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18).

Setiap anak berkewajiban untuk :

a. Menghormati orang tua, wali, dan guru;

b. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;

c. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara;

d. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan

e. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. (Pasal 19)

C. Hak dan Kewajiban Anak dalam Hukum Islam

Untuk membandingkan hak dan kewajiban yang ada dalam UU Perlindungan Anak

maka di bawah ini Penulis kemukakan hak dan kewajiban terhadap anak dalam hukum Islam

antara lain sebagai berikut :

Anak berhak untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Islam melarang orang tua untuk

membunuh anak-anak mereka dengan tujuan apapun. Perlindungan untuk hidup, tumbuh dan

berkembang tersebut diberikan Islam sejak masa dalam kandungan. Sebagaimana terdapat

dalam al-Quran surat al-Isra ayat 31 :





Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah

yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh

mereka adalah suatu dosa yang besar.




Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan

lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah rezekikan kepada
mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah

sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk..

Hak dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi.

Nabi saw telah memerintahkan kepada sahabat untuk tidak melakukan kekerasan,

penganiayaan bahkan pembunuhan terhadap anak-anak. Banyak riwayat yang menuturkan

tentang perbuatan dan perkataan lemah lembut Rasulullah saw kepada anak-anak. Misalnya

hadis yang meriwayatkan tentang teguran Rasulullah saw terhadap seorang perempuan yang

menarik anaknya ketika kencing di pangkuan Rasulullah saw. Hadis lainnya antara lain

menerangkan bahwa Rasulullah tidak pernah memukul anak, tapi Beliau menjelaskan aturan

memukul dan bahaya pemukulan. Dari Aisyah ra berkata :




Rasulullah tidak pernah sama sekali memukul sesuatu dengan tangannya, baik

terhadap istri maupun pelayannya, kecuali bila berjihad di jalan Allah.[5] Rasulullah juga

bersabda,Seorang yang kuat bukanlah orang yang dapat membanting orang lain, tetapi

orang yang kuat ialah yang mampu mengendalikan dirinya saat sedang marah.[6]

Nabi Muhammad saw pun memerintahkan supaya umatnya berlaku adil terhadap anak-

anaknya dan tidak berlaku diskriminasi. Dari An-Numan bin Basyir radhiallahu anhuma dia

berkata:





"Ayahku pernah memberikan sebagian hartanya kepadaku, lantas ibuku yang bernama

Amrah bintu Rawahah berkata, Saya tak akan rela akan hal ini sampai kamu meminta

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai saksinya. Maka ayahku pergi menemui

Nabi shallallahu alaihi wasallam utk meminta beliau menjadi saksi atas pemberian tersebut,

akan tetapi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepadanya: Apakah kamu

berbuat demikian kepada semua anak-anakmu? dia menjawab, Tidak. Beliau bersabda:

Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah di antara anak-anakmu. Kemudian ayahku

pulang & meminta kembali pemberiannya kepadaku.[7]

Hak atas suatu nama, identitas diri, status dan mengetahui orang tuanya.

Anak berhak mendapatkan nama dan identitas diri dalam Islam. Untuk nama anak,

Allah swt telah mengisyaratkan dalam al-Quran bahwa anak harus diberi nama.
( : )


Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh)

seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan

orang yang serupa dengan dia (QS. Maryam: 7).

Anak juga berhak atas status dan mengetahui orang tuanya. Allah berfirman dalam al-

Quran :
( : ) ...
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak

mereka (QS. Al-Ahzab: 5)

Bagi anak yang terlahir dalam ikatan perkawinan yang sah tidak ada ikhtilaf dalam

nasab, sedangkan bagi anak yang dilahirkan di luar ikatan pernikahan terdapat perbedaan di

kalangan fuqoha. Perbedaan tersebut dikarenakan adanya ikhtilaf dalam memahami arti

nikah sehingga berujung terhadap perbedaan memahami teks al-Quran dan teks hadis.
A. Pendapat Imam Syafii.[8]

Perzinaan tidak menetapkan hurmatul mushaharah (kehormatan kerabat) yaitu hubungan

kekeluargaan yang diperoleh dengan jalan perkawinan. Jadi kalau seorang lelaki meyakini

bahwa akibat dari perzinahannya dengan seorang perempuan, lahirlah seorang anak (wanita),

maka laki-laki tersebut atau anaknya atau bapaknya masing-masing tidak ada halangan untuk

menikahi anak itu sebagaimana anak dari laki-laki itu atau bapaknya tidak berhalangan untuk

menikahi perempuan tersebut. Alasan yang dikemukakan antara sebagai berikut :

1. Wanita yang dizinahi oleh seorang lelaki keadaannya sebagai berikut :

a) Tidak dapat dianggap sebagai istri, maka ia dianggap selaku ibu tiri dari anak si lelaki

tersebut, yang oleh karena itu tidak dapat diperlakukan ayat al-Quran yang berbunyi :

Dan janganlah kamu mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh bapakmu,

kecuali pada masa yang lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh

Allah dan seburuk-buruk jalan.

b) Tidak dapat dianggap sebagai istri, maka ia dianggap sebagai menantu dari bapak si lelaki

tersebut, oleh karena itu tidak dapat diperlakukan ayat al-Quran yang berbunyi :

Dan diharamkan atasmu (mengawini) istri-istri dari anak kandungmu (menantu).

c) Anak yang dilahirkan oleh wanita tersebut dari perzinaan itu tidak, dapat dianggap sebagai

putri yang sah dari laki-laki itu, yang oleh karenanya tidak dapat diperlakukan ayat al-Quran

yang berbunyi :

Diharamkan atasmu (mengawini) ibumu dan anak-anakmu yang perempuan.

d) Ibu dari wanita tersebut tidak dapat dianggap sebagai mertua dari laki-laki tersebut, yang oleh

karena itu tidak dapat diperlakukan ayat al-Quran yang berbunyi :

Dan diharamkan atasmu (mengawini) ibu-ibu dari istrimu (mertua).


Dengan demikian menurut Imam Syafii wanita yang dizinahi itu, anaknya dan ibunya serta

anak yang dihasilkan dari perzinaan dengan laki-laki tersebut tidak termasuk dalam ayat

muharramat, hal tersebut termasuk ke dalam ayat :

Dan dihalalkan bagimu (mengawini) wanita-wanita selain dari yang tersebut itu

2. Perzinaan adalah persetubuhan yang haram, perbuatan yang terkutuk dan menimbulkan

permusuhan dan bencana. Perbuatan seperti itu tidak wajar mendapat hurmatul mushaharah.

B. Pendapat Imam Abu Hanifah, Ahmad ibn Hanbal dan Imamiyah menurut riwayat yang

masyhur.[9]

Memandang bahwa perzinaan menetapkan hurmatul mushaharah, kebalikan dari

pendapat Syafii. Wanita yang berzina dengan lelaki tersebut seolah-olah dalam hukum

adalah istrinya, ibunya seolah-olah mertua dan anak yang hasil zina dalam hukum adalah

anaknya. Anak dari lelaki tersebut diharamkan mengawini wanita itu karena ia dalam hukum

adalah ibu tiri, menurut ayat al-Quran yang berbunyi :

Jangalah kamu setubuhi wanita-wanita yang telah disetubuhi oleh bapakmu,

terkecuali pada masa yang sudah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan

dibenci oleh Allah dan seburuk-buruk jalan.

Jadi menurut ulama fiqh Hanafi ayat ini melarang menyetubuhi wanita yang disetubuhi

oleh bapak itu dengan akad nikah yang sah atau akad milkul yamin (membeli budak) atau

mendapatkannya karena warisan atau tawanan perang ataukah dengan zina atau karena

terjadinya kekeliruan (wathi subhat)...tegasnya akibat dari persetubuhan itu sama dengan

akibat yang ditimbulkan oleh akad nikah yang sah.


C. Pendapat Imam Malik menurut qaul yang masyhur.[10]

Sependapat dengan pendapat yang pertama (Syafii) kecuali dalam hal anak yang hasil

dari zina. Mengenai hukum anak ini adalah bahwa perzinaan menetapkan hurmatul

mushaharah. Menurut pendapat golongan ini bahwa anak zina itu terjadi dari air maninya

yang mana keadaannya tidak berbeda antara haram dan halal dalam proses kejadiannya

sebagaimana diketahui dari sabda Nabi terhadap peristiwa Hilal bin Umaiyah yang dituduh

berzina : ...lihatlah anaknya nanti, kalau anak itu bentuknya serupa dengan si Syuraik bin

Samha (laki-laki yang menzinainya) maka ia adalah anak Syuraik (diriwayatkan oleh Abu

Daud). Hadis ini : Diharamkan atasmu (mengawini) ibumu dan anak-anakmu yang

perempuan.

Hak memelihara, membesarkan dan mengasuh.

Nabi saw memerintahkan kepada orang tua untuk membesarkan dan mengasuh anak.

Nabi Muhammad saw pernah menetapkan hak hadanah kepada seorang ibu (janda) selama

dia belum melakukan perkawinan lagi dengan orang lain. Rasulullah saw bersabda :

Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum berkawin. (Riwayat Ahmad

dan Abu Dawud)

Hak dan tanggung jawab seorang ibu dalam mengasuh dan membesarkan anaknya

berlangsung hingga anak mencapai mumayyiz. Setelah itu anak diberi keleluasan untuk

memilih siapa yang paling ia sukai. Rasulullah saw bersabda :


Wahai anak! Ini Bapakmu dan ini Ibumu, peganglah tangan siapa yang kamu suka

antara mereka berdua. Lalu anak itu memegang tangan ibunya, lantas ibunya membawa ia

pergi.(Riwayat Imam Ahmad)

Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial.

Rasulullah saw menjenguk, mendoakan kesembuhan dan mengobati anak-anak yang

sakit. Dari As-Saib bin Yazid berkata : Bibiku membawaku pergi menemui Rasulullah lalu

berkata, Wahai Rasulullah, keponakanku ini sedang sakit. Maka Rasulullah mengusap

kepalaku dan mendoakan keberkahan bagiku dan beliau berwudu lalu aku minum dari bekas

air wudunya. Setelah itu aku berdiri di belakang punggungnya dan kulihat cap kenabian ada

di antara kedua pundaknya seperti telur burung puyuh. (Muttafaq Alaih)

Nabi saw pun memerintahkan untuk memberi makanan dan pakaian kepada anak

sebagai jaminan kehidupan baginya. Ubadah bin Al Walid berkata, Rasulullah bersabda,

Berilah mereka makan dari apa yang kalian makan dan berilah mereka pakaian dari apa

yang kalian pakai.[11]

Hak berpikir, dan berekspresi

Rasulullah saw membiarkan anak-anak untuk berpikir dan berekspresi sesuai dengan

bakat dan kemampuannya. Dari Aisyah ra bahwa Abu Bakar masuk ke tempatnya saat ia

bersama dua budak yang menyanyikan dan memukul rebana pada hari-hari Mina.

Sementara itu, Rasulullah sedang membentangkan (menjemur) baju beliau. Maka Abu Bakar

membentak mereka berdua. Rasulullah pun melongokkan wajah dari balik baju yang

dijemurnya dan bersabda, Biarkanlah saja wahai Abu Bakar karena ini sedang hari Raya.

Aisyah berkata, Aku melihat Rasulullah menutup dirinya dariku dengan jubahnya
sedangkan aku melihat orang-orang Habasyah yang sedang bermain saat aku masih kecil.

Maka mereka menghormati kadudukan anak kecil. [12]

Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran.

Dalam berbagai literatur hadis, banyak diriwayatkan tentang pentingnya pendidikan

dan kewajiban seseorang, khususnya orang tua untuk memberikan pendidikan dan

pengajaran. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dan Baihaqi dari Abu Hurairah,

Rasulullah bersabda,Sesungguhnya sebagian dari hak anak atas orang tuanya ialah

memberinya nama yang baik, mengajarkannya baca-tulis dan menikahkannya jika sudah

dewasa.

Kemudian hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Jabir ibnu Samurah,

Rasulullah bersabda, Sebenarnya seorang ayah mendidik anaknya adalah lebih baik dari

pada dia bersedekah dengan beras (4 liter).

Hak untuk mendapatkan perlindungan dalam kegiatan politik, pelibatan sengketa,

peperangan, kerusuhan dan kekerasan.

Rasulullah saw melarang membunuh anak-anak ketika terjadi peperangan :


, , ,
) ) ,

Abdullah bin Umar r.a. berkata : Pernah terjadi dalam salah satu peperangan Nabi

saw ada wanita terbunuh, maka Nabi saw murka dan melarang pembunuhan terhadap

wanita dan anak-anak. (Bukhari Muslim).

Tawanan perang dalam Islam bukanlah rakyat dari negeri yang berhasil dikalahkan,

melainkan individu yang ikut bertempur. Rasulullah saw bersabda kepada penduduk Mekkah

pada peristiwa Fathu Mekkah: Pergilah kalian, kalian adalah orang-orang yang telah
bebas. Suku-suku Arab biasa membawa anak dan istri mereka dalam peperangan, sehingga

selalu terdapat regu perempuan bagian logistik di belakang pasukan perang. Ketika pasukan

utamanya kalah, maka perempuan serta anak-anak yang ikut berperang tertangkap, sehingga

ikut menjadi tawanan perang. Tawanan perang termasuk ghanimah dan terbagi dalam dua

bagian, yaitu wanita dan anak kecil, serta laki-laki yang sudah baligh.[13]

Hak mendapat perlindungan dan bantuan hukum.

Rasulullah bersabda, Orang yang meminta perlindungan kepada kalian atas nama

Allah maka lindungilah dan siapa yang meminta kepada kalian dengan nama Allah maka

berilah.[14]

Hak mendapatkan hukuman yang sesuai dan manusiawi.

Abdullah bin Busr Al Mazini berkata : Ibuku mengutusku untuk mengantarkan

setangkai anggur kepada Rasulullah. Namun, aku memakannya sebelum sampai kepada

beliau. Ketika aku tiba di tempat beliau, beliau menjewer telingaku (secara halus) dan

memanggilku dengan sebutan, Wahai penghianat kecil. [15]

Rasulullah bersabda : Apabila seseorang di antara kalian memukul, maka hindarilah

bagian wajah. [16]

Hak untuk tidak dieksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

Anak berhak atas penghidupan yang layak, tidak dibeda-bedakan dan tidak

diperlakukan diskriminatif. Anak pun tidak berhak untuk dieksploitasi, baik oleh orang

tuanya maupun masyarakat atau negara. Rasulullah saw selalu memberikan suri tauladan

kepada umatnya dalam hal tersebut. Rasul saw memerintahkan untuk tidak berlaku
diskriminatif, antara lain dalam satu riwayat yang menerangkan tentang Rasulullah selalu

menyambut dan mencium Fatimah ketika ia datang, menggandeng tangannya,

mempersilahkan ia duduk di sebelah beliau. Rasulullah bersabda, Barang siapa memiliki

tiga anak perempuan, atau tiga saudara perempuan, atau dua anak perempuan atau dua

saudara perempuan lalu memperlakukan mereka dengan baik (adil) dan bertakwa kepada

Allah dalam mengasuh mereka, maka baginya surga. [17]

Rasulullah tidak pernah mengeksploitasi anak baik dalam ekonomi maupun seksual

/gender. Ubadah bin Al Walid berkata, Rasulullah bersabda, Berilah mereka makan dari

apa yang kalian makan dan berilah mereka pakaian dari apa yang kalian pakai [18]

Al Ghazali mengatakan, Hendaknya seorang anak tidak dibiarkan berbangga diri di

depan teman-teman sebayanya dengan harta yang dimiliki oleh orang tuanya atau dengan

sesuatu dari makanannya, pakaiannya, atau buku dan penanya. Akan tetapi, hendaklah anak

dibiasakan bersikap rendah hati, menghormati setiap orang yang bergaul dengannya, dan

lemah lembut tutur sapanya dengan mereka. (Ihya Ulumuddin)

Kewajiban menghormati orang tua, wali, dan guru;

Allah swt mewajibkan manusia untuk menghormati orang tua (ibu dan bapaknya),

sebagaimana firman-Nya dalam al-Quran :



( : )
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-

bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan

menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu

bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS; Lukman : 31)

Kemudian Rasulullah memerintahkan supaya memuliakan gurunya :



Rasulullah saw bersabda : Muliakanlah orang-orang yang telah memberikan

pelajaran padamu. (HR. Abu Hasan Mawardi)

Rasulullah juga bersabda, Tidak termasuk golonganku orang yang tidak belas kasih

terhadap yang lebih muda dan tidak mau menghormati orang yang lebih tua serta tidak pula

menghargai hak orang yang alim di antara kita. [19]

Kewajiban mencintai tanah air, bangsa, dan negara.

Islam mengajarkan untuk mencintai tanah air, bangsa dan negara. Memberitahu anak-

anak tentang keadaan bangsa dan negaranya, bahkan menceritakan peperangan yang mungkin

pernah dialami oleh tanah air, bangsa dan negaranya. Sahabat Rasulullah misalnya, ia

menceritakan kepada anaknya tentang peperangan yang pernah dialami kaum muslimin

ketika menghadapi musuh. Urwah menceritakan bahwa ayahnya, Zubair mempunyai

beberapa bekas luka pada tubuhnya yang dialami sewaktu dalam peperangan badar. Urwah

berkata : Aku sering memasukkan jariku ke dalam bekas luka pukulan pedang yang sudah

sembuh itu seraya memainkannya sewaktu aku masih kecil [20]

Kewajiban beretika dan berakhlak mulia.

Ajaran Islam sangat mengutamakan etika dan akhlak dalam berinteraksi dengan sesama

manusia bahkan sesama makhluk Allah di muka bumi ini. Rasulullah pernah

bersabda :Seorang hamba dengan akhlak baiknya dapat mencapai derajat tertinggi di

akhirat, kedudukan yang terhormat sekalipun dia kurang ibadahnya dan sesungguhnya dia

akan mencapai tempat paling bawah di neraka jahannam karena akhlaknya yang

buruk. (HR. Thabrani)

Kewajiban mencintai keluarga, masyarakat dan teman.


Mencintai keluarga, masyarakat dan teman termasuk ajaran Islam yang sangat

diutamakan. Kecintaan terhadapnya akan menimbulkan kasih sayang dan kebaikan, jauh dari

pertengkaran dan permusuhan, yang pada akhirnya akan terbentuk masyarakat yang aman

dan damai yang diridhai Allah swt.

Mencintai keluarga :

Rasulullah sendiri apabila putrinya, Fatimah, masuk menemuinya, beliau bangkit

menyambutnya dan menciumnya serta mendudukannya di tempat duduknya. Begitu pula

sebaliknya, apabila beliau masuk menemuinya, ia bangkit menyambutnya dan menciumnya

serta mempersilahkannya duduk di tempat duduknya.[21]

Mencintai masyarakat :

Rasulullah bersabda : Tidaklah beriman kepadaku orang yang tidur malam dalam

keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan dan ia mengetahuinya.[22]

Mencintai teman :

Al Ghazali mengatakan, Hendaknya seorang anak tidak dibiarkan berbangga diri di

depan teman-teman sebayanya dengan harta yang dimiliki oleh orang tuanya atau dengan

sesuatu dari makanannya, pakaiannya, atau buku dan penanya. Akan tetapi, hendaklah anak

dibiasakan bersikap rendah diri, menghormati setiap orang yang bergaul dengannya, dan

lemah lembut tutur sapanya dengan mereka. [23]

Kewajiban untuk tidak menelantarkan anak.


Rasulullah bersabda : Bila ia keluar karena berusaha mencari nafkah untuk anaknya

yang masih kecil maka ia berada di jalan Allah. Bila ia keluar mencari nafkah untuk dirinya

maka ia berada di jalan Allah. Dan bila ia keluar mencari nafkah karena ingin dilihat atau

sebagai kebanggaan maka ia berada di jalan setan.

PERSAMAAN, PERBEDAAN, KESELARASAN DAN KETIDAKSELARASAN

Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui persamaan dan perbedaan maupun

keselarasan ataupun ketidakselarasan antara UU Perlindungan Anak (untuk selanjutnya

disebut UUPA) dengan Hukum Islam tentang Hak dan Kewajiban Anak. Pada dasarnya antar

kedua hukum tersebut memiliki persamaan dan juga keselarasan antara ketentuan yang satu

dengan ketentuan lainnya. Penulis berpendapat bahwa pasal-pasal yang terkandung dalam

UUPA No. 23 tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban, pasal 4 sampai dengan pasal 19 tidak

bertentangan dengan hukum Islam. Hak dan kewajiban yang diatur dalam UU a quo juga

dijarkan dalam syariat Islam dan dijadikan sebagai norma-norma dasar sebagai landasan

untuk membentuk serta mempersiapkan generasi Islam.

Hanya saja ada point penting yang perlu dibahas di sini yang mungkin bagi sebagian

kelompok diartikan sebagai suatu perbedaan dan ketidakselarasan. Point penting yang Penulis

maksud antara lain tentang definisi anak dan perlindungan anak itu sendiri dan hak untuk

mengetahui orang tuanya. Hak dan kewajiban dalam kedua hukum tersebut dapat dikatakan

sama dan selaras jika tidak ada perbedaan dan pertentangan antara keduanya, paling tidak

keduanya sama dan selaras dalam aturan dan berbeda dalam obyek pelaku.

Perbedaan definisi anak menurut Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 tahun

2002 dengan Hukum Islam.


Anak dalam pasal 1 butir 1 UUPA didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia

18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.[24] Dasar pertimbangan penentuan

batas usia dalam UU ini mengacu kepada ketentuan dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang

telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990. Dalam

definisi tersebut disebutkan bahwa anak juga termasuk mereka yang masih dalam

kandungan. Hal ini dimaksud bahwa anak yang masih dalam kandungan dianggap telah lahir

apabila kepentingan anak memerlukan untuk itu, sebaliknya dianggap tidak pernah ada

apabila anak meninggal pada waktu dilahirkan. Ketentuan ini juga penting untuk mencegah

adanya tindakan dari orang yang tidak bertanggung jawab terhadap usaha penghilangan janin

yang dikandung seseorang. Definisi anak dalam UUPA tidak dibatasi dengan syarat belum

pernah kawin berbeda dengan UU Kesejahteraan Anak dan Pengadilan Anak yang tidak

dibatasi belum pernah kawin.[25]

Nampaknya tidak adanya pembatasan usia belum pernah kawin tersebut bukan tanpa

tujuan. Dalam penjelasan buku Perlindungan Anak disebutkan bahwa adanya ketentuan

tersebut tadi agar UU ini dapat memberikan perlindungan kepada anak secara utuh tanpa

adanya diskriminasi antara yang sudah kawin dengan yang pernah kawin dimana persyaratan

tersebut menekankan pada segi legalistiknya, sedangkan dalam perlindungan anak penentuan

batas usia anak lebih dititikberatkan pada aspek untuk melindungi anak agar dapat tumbuh

dan berkembang secara optimal sesuai dengan harkat dan martabatnya.[26]

Perbedaan UUPA dengan Hukum Islam dalam definisi anak sangat terlihat jelas

pengertiannya dalam beberapa literatur fikih Islam. Anak dalam shariat Islam didefinisikan

sebagai seseorang yang belum mencapai umur baligh. Baligh dalam Islam dimaknai sebagai

batasan umur seseorang yang sudah dapat dipertanggungjawabkan perbuatan yang

dilakukannya secara hukum. Nabi saw bersabda :


. :
"Tuntutan untuk mengamalkan syari'at tidak diberlakukan bagi tiga orang : (salah

satunya) bagi anak kecil sampai dia keluar sperma " (HR. Abu Daud dan Al-Baihaqi).

Atas dasar hadis tersebut, di dalam banyak pembahasan fiqh Islam disebutkan ciri-ciri

balighnya seseorang dapat ditandai dengan datangnya haid pertama pada perempuan dan

keluar sperma bagi laki-laki atau mimpi jima (ihtilam).[27] Sedangkan fakta empiris

membuktikan bahwa terjadinya haid pertama pada perempuan juga keluarnya sperma bagi

laki-laki terjadi pada rata-rata usia anak di bawah 15 tahun. Dalam Psikologi Perkembangan

dijelaskan bahwa pada usia sekitar 10-14 tahun, individu mengalami "bermimpi" (pollusio).

[28]

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa usia anak-anak dalam shariat Islam

hanya dibatasi sejak dalam kandungan (lihat al-Quran surat al-Isra 31 : ) sampai usia baligh.

Akan tetapi hal ini menurut Penulis butuh penjelasan secara khusus, karena kalau tidak

batasan usia anak menurut Islam dapat berpotensi menimbulkan konflik. Potensi konflik

yang dimaksud antara lain adalah ketika batasan usia tersebut dikonversi ke dalam ketentuan

Undang-undang Perkawinan. Islam sering dituduh sebagai agama yang melegalkan

perkawinan di bawah umur, perkawinan yang menurut UNICEF sebagai praktek tradisi yang

sangat berbahaya.[29] Hampir setiap negara Muslim memperbaharui batasan usia anak

sehubungan dengan diratifikasinya batasan umur oleh Konvensi Hak Anak. Ada juga oleh

karena menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Tahir Mahmood misalnya, menulis

batasan-batasan usia perkawinan di beberapa negara Muslim dengan sangat bervariatif. Ada

batasan umur yang cukup tinggi seperti negara Al-Jazair dan Banglades yang menetapkan 21

untuk pria dan 18 untuk perempuan, ada juga batasan umur yang termasuk kategori sedang,

seperti Indonesia 19 bagi pria dan 16 bagi perempuan, dan batasan umur yang rendah seperti

Libanon yang menetapkan 16 bagi pria dan 15 bagi perempuan, dll.[30]


Jadi dari kedua perspektif hukum tadi dapat disimpulkan bahwa definisi anak menurut

UUPA dan Hukum Islam adalah seseorang yang ada sejak dalam kandungan, akan tetapi

untuk batasan umur tertinggi terdapat perbedaan yang cukup signifikan.

Perbedaan tentang anak berhak mengetahui orang tua kandungnya menurut

Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 dengan Hukum Islam.

Dalam pasal 7 UUPA disebutkan bahwa anak berhak mengetahui orang tuanya,

dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Penulis berpendapat bahwa UU ini

mengandung kontradiksi dengan perundangan lainnya yang berlaku di Indonesia. Bunyi

pasal tersebut mengandung penafsiran yang beragam, baik dalam teknik pelaksanaan maupun

dalam aturan tertulis. Banyak aturan dalam segi teknik pelaksanaan yang tidak bisa sinkron

dengan bunyi pasal tersebut. Misalnya, seorang anak di luar nikah tidak dapat mengurus

akte kelahirannya, karena syarat pembuatan akte kelahiran antara lain harus mencantumkan

nama ayah biologisnya dalam ikatan perkawinan yang sah. Anak luar nikah hasil pernikahan

sirri, perzinahan, perkosaan, ditambah anak adopsi tidak mungkin dapat mencantumkan ayah

kandungnya dalam akte kelahiran tersebut karena perundangan tidak memberi peluang untuk

itu. Contoh kongkrit adalah pernikahan Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar dengan

Moerdiono, anak dari pasangan tersebut tidak dapat mencantumkan nama Moerdiono sebagai

ayah kandungnya karena pernikahan yang dilakukan adalah pernikahan sirri. Padahal kalau

mengacu kepada UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 1 disebutkan bahwa pernikahan sah

jika dilakukan menurut agama dan kepercayaan yang dianut. Akan tetapi karena pernikahan

tersebut tidak dicatat maka akibatnya Muhammad Iqbal Ramadhan anak suami istri tersebut

tidak dapat mencantumkan Moerdiono sebagai ayah kandungnya. Oleh karena itu, pada

tanggal 27 Februari 2012, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materil UU

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang

menyatakan: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya harus dibaca Anak yang dilahirkan di luar

perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan

laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan

teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk

hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Namun, meskipun MK sudah memutuskan bahwa anak di luar perkawinan mempunyai

hubungan perdata dengan ayah biologisnya, akan tetapi Peraturan Pemerintah (PP) atas

putusan tersebut belum disusun, dan putusan tersebut tidak akan berarti apa-apa dalam

pelaksanaannya jika PP tentang aturan anak di luar nikah tidak ada, sebagaimana ketika MK

belum memutuskan anak mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya.

Sebetulnya PP tersebut merupakan amanat dari UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 43

butir 2, akan tetapi selama 35 tahun PP tersebut tidak pernah dibuat atau terealisasi, yang

pada akhirnya anak-anak di luar nikah tidak pernah terlindungi karena tidak ada payung

hukum. Oleh karena itu, Penulis sungguh sangat berharap supaya Kementerian Agama yang

memiliki kewenangan dalam membuat PP tersebut dengan sungguh-sungguh memperhatikan

amanat tersebut.

Permasalahan lain yang juga anak sering kali tidak dapat mengetahui orang tua

biologisnya karena berlakunya suatu undang-undang yaitu pengangkatan anak atau adopsi

anak. Adopsi anak dalam prakteknya adalah memutuskan hubungan nasab dengan orang tua

kandungnya. DalamStaatsblad 1917 : 129, bab II pasal 7 [2] menyatakan bahwa anak angkat

mempunyai kedudukan yang sama dengan anak kandung. Bunyi lengkapnya sebagai berikut :

Dalam hal yang diangkat adalah seorang anggota keluarga, baik anak sah maupun

anak di luar nikah, maka hubungan keturunannya haruslah sama derajatnya seperti halnya

derajat yang ia peroleh karena keturunan.[31]

Akibat hukum yang ditimbulkan dari persamaan kedudukan antara anak kandung dengan

anak angkat sebagaimana yang tercantum dalam Staatsblad tersebut, adalah sebagai berikut :

1. Anak angkat secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat (pasal 11).
2. Anak angkat dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat

(pasal 12 ayat 1).

3. Anak angkat menjadi ahli waris orang tua angkat.

4. Karena pengangkatan anak, terputus segala hubungan perdata yang berpangkal pada

keturunan karena kelahiran (antara anak dengan orang tua kandung).[32]

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pada prakteknya anak angkat dapat

kehilangan haknya untuk mengetahui orang tua biologisnya karena nama yang diperoleh

bukan nama ayah kandungnya melainkan ayah adoptan. Adopsi ini sangat berbeda dengan

pengangkatan anak secara adat. Biasanya pengangkatan anak secara adat tidak sampai

memutuskan hubungan nasab karena masing-masing orang tua, baik kandung maupun orang

tua angkat sama-sama tahu, punya tujuan untuk menolong, dan biasanya berasal dari

keluarganya sendiri.

Cara-cara dan syarat-syarat pengangkatan anak secara adat memiliki perbedaan.

Misalnya di Jawa Tengah, cara pengangkatan anak dengan dididik, diasuh, dirawat seperti

anak sendiri, sampai dikawinkan oleh orang tua angkatnya, sedangkan di Bali/Denpasar

syaratnya harus bertempat tinggal sampai beranak cucu di rumah adoptan, dan turut

mengabenkan dan memelihara sangrah (tempat pemujaan).[33] Menurut penelitian, di Jawa

Barat akibat pengangkatan anak membawa suatu akibat hukum yang penting yaitu bahwa

pengangkatan anak tidak dapat dibatalkan sepihak baik oleh orang tua angkat maupun orang

tua kandung.[34] Di Tanah Toraja sebaliknya, di sana pengangkatan anak dapat dibatalkan,

baik dengan mengusir anak yang bersangkutan atau dengan kembalinya anak yang

bersangkutan kepada orang tua asalnya.[35]

Dari kedua contoh tersebut Penulis berpendapat bahwa anak secara konstitusi dirugikan

dengan berlakunya suatu undang-undang, yang dalam hal ini anak sulit untuk mengetahui

seluk beluk dirinya karena pemberlakuan suatu undang-undang. Padahal jika mengacu

kepada UUPA yang telah disebutkan tadi anak mempunyai hak yang tidak boleh diabaikan,

sebagai bentuk perlindungan negara terhadap anak. Memang konsep yang ideal belum tentu
diikuti oleh pelaksanaan yang ideal pula, hanya saja dengan adanya UUPA masyarakat

Indonesia boleh bernapas lega, karena setidaknya sudah ada payung hukum walaupun masih

banyak yang harus disempurnakan.

Hukum Islam dalam hal ini mempunyai aturan tersendiri. Untuk masalah anak yang

dilahirkan di luar perkawinan dan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya serta

keluarga ibunya, Penulis mempunyai pendapat lain berdasarkan dalil-dalil shari. Dalam

UUPA pasal 43 ayat 1 jo KHI pasal 100, memang anak yang lahir di luar pernikahan yang sah

memiliki hubungan perdata dengan ibunya (sebelum diuji oleh MK), keputusan MK yang

mensahkan adanya hubungan perdata juga dengan ayah biologisnya ditanggapi keras oleh

sebagian masyarakat muslim Indonesia terutama MUI, MK dianggap sudah menetapkan

keputusan di luar shariat Islam. Atas reaksi tersebut Penulis berpendapat bahwa

sesungguhnya apa yang diyakini oleh sebagian umat Islam merupakan bagian dari ihktilaf.

Dalam literatur fikih Syafii anak zina memiliki hubungan perdata dengan ibunya, sedangkan

fikih Abu Hanifah anak zina memiliki hubungan perdata dengan ayahnya, hal tesebut karena

terdapat perbedaan dalam mendefinisikan nikah, yang pada akhirnya berbeda memahami teks

nash, baik al-Quran maupun Hadis. Kemudian, jika MK mempunyai pendapat lain yaitu

anak hasil zina mempunyai hubungan terhadap kedua-duanya (ibu dan ayah biologis),

sungguh sebuah logika yang sangat mudah dipahami. Karena hadis yang menyatakan anak

milik tempat tidur itu bisa bermakna kedua-duanya yaitu ayah dan ibunya, karena yang tidur

di tempat tersebut dua-duanya. Jadi ditinjau dari hukum Islam anak dapat mengetahui dan

mengakui adanya hubungan perdata dengan orang tua biologisnya.

Untuk masalah anak adopsi, Islam sudah menjawab dalam al-Quran bahwa seorang

anak harus dinasabkan kepada ayah kandungnya bukan kepada ayah angkatnya. Islam

melarang memutuskan hubungan darah yang berarti tidak boleh menghilangkan seluk beluk

si anak. Allah berfirman dalam al-Quran : Panggilah mereka (anak-anak angkat itu)

dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil dari sisi Allah. Dan jika

mereka tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka panggilah mereka sebagai saudara-
saudaramu saagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang

kamu khilaf terhadapnya, tetapi apa yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah adalah maha

pengampun lagi maha penyayang. (Surat Al-Ahzab 33 : 5)

KESIMPULAN

Hak dan kewajiban anak menurut UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

dalam perspektif Islam memiliki persamaan dan keselarasan. Sebagian besar pasal yang

terdapat dalam pasal 4 sampai pasal 19 UU a quo memiliki keselarasan dengan hukum Islam

dan tidak bertentangan dengan kandungan hukum Islam. Hanya saja dalam definisi tentang

anak, UUPA tidak sama dengan definisi hukum Islam. Definisi anak dalam UUPA dimulai

sejak anak dalam usia kandungan sampai usia 18 tahun, sedangkan dalam hukum Islam anak

dimulai sejak dalam kandungan sampai usia baligh.

Perbedaan selanjutnya terdapat dalam pasal 7 UUPA tentang anak berhak mengetahui

orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dalam teks secara tertulis

memang tidak ada hal yang dianggap bertentangan dengan Islam akan tetapi, dalam

pelaksanaannya anak-anak sering tidak memperoleh haknya untuk mengetahui siapa orang

tua sesungguhnya, hal ini disebabkan karena berlakunya undang-undang yang secara

substansial bertentangan dengan pemberlakuan UUPA, sebagaimana dicontohkan dalam

uraian tersebut mengenai pembuatan akte kelahiran serta proses pengangkatan anak (adopsi

anak).

-----------------------------------------------------
Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Pelatihan Aparat
[1]
Penegak Hukum tentang Perlindungan Anak, (Jakarta : KPAI), h.
20.
[2] Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Perlindungan Anak
berdasarkan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak (Jakarta : KPAI), h. 1.
[3] Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Perlindungan Anak
berdasarkan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, h. 2.
[4] UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI dan Departemen
Sosial, h. 16-20.
[5] Muslim, Kitab Fadhail, No. 4296.
[6] Muttafaq Alaih.

[7] HR. Al-Bukhari no. 2650 & Muslim no. 1623

Ibrahim Hosen. Fiqh Perbandingan, Jakarta : Balai


[8]
Penerbitan & Perpustakaan Islam Yayasan Ihya Ulumuddin
Indonesia, Jilid 1, 1971, h. 68.
[9] Ibrahim Hosen, h. 69.
[10] Ibrohim Hosen, h. 70.
[11] Shahih, Adabul Mufrad, 566.
[12] Shahih Al Jami, 2199.
[13] Sayyid Sabiq. Fikih Sunah (Jakarta: Penerbit Pena), 2006, Jilid 4.
[14] Shahih Al Jami, 6021
[15] Musnad Asy Syamiyyin: II, 355.
[16] Muslim, Kitab Birri wash Shilah, No. 4729.
[17] At Turmidzi, Kitab Barri wash Shilah, 1839 dan Abu Dawud, Kitab Adab, 4481.
[18] Shahih, Adabul Mufrad, 566
[19] Ahmad, Musnad Anshar, 21693.
[20] Bukhari, Kitab Maghazi, 3678.
[21] Ibn[21] Shahih Al Jami, 5505
[22] Abdil Bar, At Tamhid: XXIII, 204
[23] Ihya Ulumuddin
[24] UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, h.
13.
[25] Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Perlindungan Anak
berdasarkan UU No. 23 tahun 2002, h.7-8.
[26] Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Perlindungan Anak
berdasarkan UU No. 23 tahun 2002, h.8.
[27] Muhammadiyah Djafar. Pedoman Ibadah Muslim dalam
Empat Madzhab Sunni dan dalil-dalilnya, Jawa Timur : GBI
(Anggota IKAPI), 1993, Cet-1, hal 6.
[28] http://m.Abatasa.com.
[29] Lihat UNICEF. Early Marriage : A Harmful Traditional
Practice, New York : United Nations, 2005.
[30] Tahir Mahmood. Personal Law in Islamic Countries, (Tripathi : New Delhi), 1987 hlm. 270.

[31] M. Budiarto. Pengangkatan Anak ditinjau dari Segi


Hukum, (Jakarta : AKAPRESS, 1991), Cet-II, h. 113.
[32] M. Budiarto, h. 21.
[33] J. Satrio. Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak
Angkat dalam Undang-undang, (Jakarta : PT. Citra Aditya Bakti,
2000) Cet. I, h. 266.
[34] Rd. Soepomo. Hukum Perdata Adat Jawa Barat, (Jakarta :
Djambatan) 1982, Cet-II, h. 29.
[35] C. Van Vollenhoven. Penemuan Hukum Adat, (Jakarta :
Djambatan), 1987, Cet-II, h. 355.

Вам также может понравиться