Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
23 tahun 2002
Perlindungan Anak
PENDAHULUAN
Perlindungan anak yang diberikan oleh negara harus dapat menjamin terpenuhinya hak-
hak anak secara optimal demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi anak. Namun
perlindungan yang diberikan hendaknya sesuai dengan asas dan prinsip dasar kemanusiaan
serta norma-norma yang ada. Sehingga perlindungan yang diberikan tidaklah melanggar hak-
hak orang lain dan juga tidak melanggar norma agama sebagai norma yang harus dijunjung
Makalah ini akan membahas tentang hak dan kewajiban anak yang terdapat dalam UU
Perlindungan Anak No. 23 tahun 2003, pasal 4 sampai pasal 19 undang-undang a quo.
Dalam pembahasannya pasal-pasal tersebut tentu tidak dapat berdiri sendiri melainkan
mempunyai hubungan satu sama lain dengan pasal-pasal sebelumnya atau sesudahnya,
sebagai satu kesatuan yang utuh. Oleh sebab itu, ketika menjelaskan pasal-pasal yang
dimaksud banyak pasal lainnya juga yang dijelaskan oleh Penulis. Dalam makalah ini
Penulis akan menelaah undang-undang tersebut dilihat dalam perspektif hukum Islam serta
PEMBAHASAN
A. Sejarah Lahirnya Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002
perhatian secara khusus. Akibat kegagalan pranata sosial disinyalir sebagai penyebab
mengusung tentang tema perlindungan anak namun belum dapat memberikan kontribusi yang
tahun 2002 maka keberadaan UU a quo merupakan bentuk kepedulian dari Lembaga
Undang-undang tentang Perlindungan Anak. Draf pertama ini tersusun pata tahun 1998
dalam kondisi politik dan keamanan Indonesia yang kurang menguntungkan serta krisis
Habibie, kemudian dilanjutkan pada masa Abdurrahman Wahid - yang menyebabkan draf
Situasi yang tidak kondusif seperti ini mendorong UNICEF untuk mempasilitasi
penyusunan suatu Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Anak melalui suatu tim
yang dikenal dengan Tim-7, yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil Departemen
Hukum, Perguruan Tinggi, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, dan Komisi Nasional
Lembaga Perlindungan Anak. Sejumlah masukan dari masyarakat, pakar, pejabat pemerintah,
dan penegak hukum, diterima oleh Tim-7, diolah, dan diintegrasikan ke dalam naskah RUU
Menteri Sosial guna mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut dengan DPR-RI.
anggota Tim-7 membentuk tim baru dengan nama Tim-5 yang difasilitasi oleh UNICEF
pertimbangan Komisi VII DPR-RI yang membahas RUU tentang Perlindungan Anak. Tim-5
bertindak sebagai Tim Asistensi dari Komisi VII DPR-RI. Selanjutnya RUU tersebut
B. Hak dan Kewajiban Anak dalam Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun
2002.
Nomor 23 tahun 2002 terdapat pada Bab III, dari pasal 4 sampai pasal 19. Hak anak dalam
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal
5).
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua (Pasal 6).
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya
sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau
anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak
asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang
cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki
Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan
memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak
yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan
Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang
a. Diskriminasi;
c. Penelantaran;
e. Ketidakadilan; dan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman (Pasal
13).
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau
aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai
dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (Pasal 16).
dewasa;
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan
Untuk membandingkan hak dan kewajiban yang ada dalam UU Perlindungan Anak
maka di bawah ini Penulis kemukakan hak dan kewajiban terhadap anak dalam hukum Islam
Anak berhak untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Islam melarang orang tua untuk
membunuh anak-anak mereka dengan tujuan apapun. Perlindungan untuk hidup, tumbuh dan
berkembang tersebut diberikan Islam sejak masa dalam kandungan. Sebagaimana terdapat
yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh
Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan
lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah rezekikan kepada
mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah
Nabi saw telah memerintahkan kepada sahabat untuk tidak melakukan kekerasan,
tentang perbuatan dan perkataan lemah lembut Rasulullah saw kepada anak-anak. Misalnya
hadis yang meriwayatkan tentang teguran Rasulullah saw terhadap seorang perempuan yang
menarik anaknya ketika kencing di pangkuan Rasulullah saw. Hadis lainnya antara lain
menerangkan bahwa Rasulullah tidak pernah memukul anak, tapi Beliau menjelaskan aturan
terhadap istri maupun pelayannya, kecuali bila berjihad di jalan Allah.[5] Rasulullah juga
bersabda,Seorang yang kuat bukanlah orang yang dapat membanting orang lain, tetapi
orang yang kuat ialah yang mampu mengendalikan dirinya saat sedang marah.[6]
Nabi Muhammad saw pun memerintahkan supaya umatnya berlaku adil terhadap anak-
anaknya dan tidak berlaku diskriminasi. Dari An-Numan bin Basyir radhiallahu anhuma dia
berkata:
"Ayahku pernah memberikan sebagian hartanya kepadaku, lantas ibuku yang bernama
Amrah bintu Rawahah berkata, Saya tak akan rela akan hal ini sampai kamu meminta
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai saksinya. Maka ayahku pergi menemui
Nabi shallallahu alaihi wasallam utk meminta beliau menjadi saksi atas pemberian tersebut,
akan tetapi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepadanya: Apakah kamu
berbuat demikian kepada semua anak-anakmu? dia menjawab, Tidak. Beliau bersabda:
Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah di antara anak-anakmu. Kemudian ayahku
Hak atas suatu nama, identitas diri, status dan mengetahui orang tuanya.
Anak berhak mendapatkan nama dan identitas diri dalam Islam. Untuk nama anak,
Allah swt telah mengisyaratkan dalam al-Quran bahwa anak harus diberi nama.
( : )
Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh)
seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan
Anak juga berhak atas status dan mengetahui orang tuanya. Allah berfirman dalam al-
Quran :
( : ) ...
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak
Bagi anak yang terlahir dalam ikatan perkawinan yang sah tidak ada ikhtilaf dalam
nasab, sedangkan bagi anak yang dilahirkan di luar ikatan pernikahan terdapat perbedaan di
kalangan fuqoha. Perbedaan tersebut dikarenakan adanya ikhtilaf dalam memahami arti
nikah sehingga berujung terhadap perbedaan memahami teks al-Quran dan teks hadis.
A. Pendapat Imam Syafii.[8]
kekeluargaan yang diperoleh dengan jalan perkawinan. Jadi kalau seorang lelaki meyakini
bahwa akibat dari perzinahannya dengan seorang perempuan, lahirlah seorang anak (wanita),
maka laki-laki tersebut atau anaknya atau bapaknya masing-masing tidak ada halangan untuk
menikahi anak itu sebagaimana anak dari laki-laki itu atau bapaknya tidak berhalangan untuk
a) Tidak dapat dianggap sebagai istri, maka ia dianggap selaku ibu tiri dari anak si lelaki
tersebut, yang oleh karena itu tidak dapat diperlakukan ayat al-Quran yang berbunyi :
Dan janganlah kamu mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh bapakmu,
kecuali pada masa yang lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh
b) Tidak dapat dianggap sebagai istri, maka ia dianggap sebagai menantu dari bapak si lelaki
tersebut, oleh karena itu tidak dapat diperlakukan ayat al-Quran yang berbunyi :
c) Anak yang dilahirkan oleh wanita tersebut dari perzinaan itu tidak, dapat dianggap sebagai
putri yang sah dari laki-laki itu, yang oleh karenanya tidak dapat diperlakukan ayat al-Quran
yang berbunyi :
d) Ibu dari wanita tersebut tidak dapat dianggap sebagai mertua dari laki-laki tersebut, yang oleh
anak yang dihasilkan dari perzinaan dengan laki-laki tersebut tidak termasuk dalam ayat
Dan dihalalkan bagimu (mengawini) wanita-wanita selain dari yang tersebut itu
2. Perzinaan adalah persetubuhan yang haram, perbuatan yang terkutuk dan menimbulkan
permusuhan dan bencana. Perbuatan seperti itu tidak wajar mendapat hurmatul mushaharah.
B. Pendapat Imam Abu Hanifah, Ahmad ibn Hanbal dan Imamiyah menurut riwayat yang
masyhur.[9]
pendapat Syafii. Wanita yang berzina dengan lelaki tersebut seolah-olah dalam hukum
adalah istrinya, ibunya seolah-olah mertua dan anak yang hasil zina dalam hukum adalah
anaknya. Anak dari lelaki tersebut diharamkan mengawini wanita itu karena ia dalam hukum
terkecuali pada masa yang sudah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan
Jadi menurut ulama fiqh Hanafi ayat ini melarang menyetubuhi wanita yang disetubuhi
oleh bapak itu dengan akad nikah yang sah atau akad milkul yamin (membeli budak) atau
mendapatkannya karena warisan atau tawanan perang ataukah dengan zina atau karena
terjadinya kekeliruan (wathi subhat)...tegasnya akibat dari persetubuhan itu sama dengan
Sependapat dengan pendapat yang pertama (Syafii) kecuali dalam hal anak yang hasil
dari zina. Mengenai hukum anak ini adalah bahwa perzinaan menetapkan hurmatul
mushaharah. Menurut pendapat golongan ini bahwa anak zina itu terjadi dari air maninya
yang mana keadaannya tidak berbeda antara haram dan halal dalam proses kejadiannya
sebagaimana diketahui dari sabda Nabi terhadap peristiwa Hilal bin Umaiyah yang dituduh
berzina : ...lihatlah anaknya nanti, kalau anak itu bentuknya serupa dengan si Syuraik bin
Samha (laki-laki yang menzinainya) maka ia adalah anak Syuraik (diriwayatkan oleh Abu
Daud). Hadis ini : Diharamkan atasmu (mengawini) ibumu dan anak-anakmu yang
perempuan.
Nabi saw memerintahkan kepada orang tua untuk membesarkan dan mengasuh anak.
Nabi Muhammad saw pernah menetapkan hak hadanah kepada seorang ibu (janda) selama
dia belum melakukan perkawinan lagi dengan orang lain. Rasulullah saw bersabda :
Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum berkawin. (Riwayat Ahmad
Hak dan tanggung jawab seorang ibu dalam mengasuh dan membesarkan anaknya
berlangsung hingga anak mencapai mumayyiz. Setelah itu anak diberi keleluasan untuk
antara mereka berdua. Lalu anak itu memegang tangan ibunya, lantas ibunya membawa ia
sakit. Dari As-Saib bin Yazid berkata : Bibiku membawaku pergi menemui Rasulullah lalu
berkata, Wahai Rasulullah, keponakanku ini sedang sakit. Maka Rasulullah mengusap
kepalaku dan mendoakan keberkahan bagiku dan beliau berwudu lalu aku minum dari bekas
air wudunya. Setelah itu aku berdiri di belakang punggungnya dan kulihat cap kenabian ada
Nabi saw pun memerintahkan untuk memberi makanan dan pakaian kepada anak
sebagai jaminan kehidupan baginya. Ubadah bin Al Walid berkata, Rasulullah bersabda,
Berilah mereka makan dari apa yang kalian makan dan berilah mereka pakaian dari apa
Rasulullah saw membiarkan anak-anak untuk berpikir dan berekspresi sesuai dengan
bakat dan kemampuannya. Dari Aisyah ra bahwa Abu Bakar masuk ke tempatnya saat ia
bersama dua budak yang menyanyikan dan memukul rebana pada hari-hari Mina.
Sementara itu, Rasulullah sedang membentangkan (menjemur) baju beliau. Maka Abu Bakar
membentak mereka berdua. Rasulullah pun melongokkan wajah dari balik baju yang
dijemurnya dan bersabda, Biarkanlah saja wahai Abu Bakar karena ini sedang hari Raya.
Aisyah berkata, Aku melihat Rasulullah menutup dirinya dariku dengan jubahnya
sedangkan aku melihat orang-orang Habasyah yang sedang bermain saat aku masih kecil.
dan kewajiban seseorang, khususnya orang tua untuk memberikan pendidikan dan
pengajaran. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dan Baihaqi dari Abu Hurairah,
Rasulullah bersabda,Sesungguhnya sebagian dari hak anak atas orang tuanya ialah
memberinya nama yang baik, mengajarkannya baca-tulis dan menikahkannya jika sudah
dewasa.
Kemudian hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Jabir ibnu Samurah,
Rasulullah bersabda, Sebenarnya seorang ayah mendidik anaknya adalah lebih baik dari
Abdullah bin Umar r.a. berkata : Pernah terjadi dalam salah satu peperangan Nabi
saw ada wanita terbunuh, maka Nabi saw murka dan melarang pembunuhan terhadap
Tawanan perang dalam Islam bukanlah rakyat dari negeri yang berhasil dikalahkan,
melainkan individu yang ikut bertempur. Rasulullah saw bersabda kepada penduduk Mekkah
pada peristiwa Fathu Mekkah: Pergilah kalian, kalian adalah orang-orang yang telah
bebas. Suku-suku Arab biasa membawa anak dan istri mereka dalam peperangan, sehingga
selalu terdapat regu perempuan bagian logistik di belakang pasukan perang. Ketika pasukan
utamanya kalah, maka perempuan serta anak-anak yang ikut berperang tertangkap, sehingga
ikut menjadi tawanan perang. Tawanan perang termasuk ghanimah dan terbagi dalam dua
bagian, yaitu wanita dan anak kecil, serta laki-laki yang sudah baligh.[13]
Rasulullah bersabda, Orang yang meminta perlindungan kepada kalian atas nama
Allah maka lindungilah dan siapa yang meminta kepada kalian dengan nama Allah maka
berilah.[14]
setangkai anggur kepada Rasulullah. Namun, aku memakannya sebelum sampai kepada
beliau. Ketika aku tiba di tempat beliau, beliau menjewer telingaku (secara halus) dan
Anak berhak atas penghidupan yang layak, tidak dibeda-bedakan dan tidak
diperlakukan diskriminatif. Anak pun tidak berhak untuk dieksploitasi, baik oleh orang
tuanya maupun masyarakat atau negara. Rasulullah saw selalu memberikan suri tauladan
kepada umatnya dalam hal tersebut. Rasul saw memerintahkan untuk tidak berlaku
diskriminatif, antara lain dalam satu riwayat yang menerangkan tentang Rasulullah selalu
tiga anak perempuan, atau tiga saudara perempuan, atau dua anak perempuan atau dua
saudara perempuan lalu memperlakukan mereka dengan baik (adil) dan bertakwa kepada
Rasulullah tidak pernah mengeksploitasi anak baik dalam ekonomi maupun seksual
/gender. Ubadah bin Al Walid berkata, Rasulullah bersabda, Berilah mereka makan dari
apa yang kalian makan dan berilah mereka pakaian dari apa yang kalian pakai [18]
depan teman-teman sebayanya dengan harta yang dimiliki oleh orang tuanya atau dengan
sesuatu dari makanannya, pakaiannya, atau buku dan penanya. Akan tetapi, hendaklah anak
dibiasakan bersikap rendah hati, menghormati setiap orang yang bergaul dengannya, dan
Allah swt mewajibkan manusia untuk menghormati orang tua (ibu dan bapaknya),
bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu
Rasulullah juga bersabda, Tidak termasuk golonganku orang yang tidak belas kasih
terhadap yang lebih muda dan tidak mau menghormati orang yang lebih tua serta tidak pula
Islam mengajarkan untuk mencintai tanah air, bangsa dan negara. Memberitahu anak-
anak tentang keadaan bangsa dan negaranya, bahkan menceritakan peperangan yang mungkin
pernah dialami oleh tanah air, bangsa dan negaranya. Sahabat Rasulullah misalnya, ia
menceritakan kepada anaknya tentang peperangan yang pernah dialami kaum muslimin
beberapa bekas luka pada tubuhnya yang dialami sewaktu dalam peperangan badar. Urwah
berkata : Aku sering memasukkan jariku ke dalam bekas luka pukulan pedang yang sudah
Ajaran Islam sangat mengutamakan etika dan akhlak dalam berinteraksi dengan sesama
manusia bahkan sesama makhluk Allah di muka bumi ini. Rasulullah pernah
bersabda :Seorang hamba dengan akhlak baiknya dapat mencapai derajat tertinggi di
akhirat, kedudukan yang terhormat sekalipun dia kurang ibadahnya dan sesungguhnya dia
akan mencapai tempat paling bawah di neraka jahannam karena akhlaknya yang
diutamakan. Kecintaan terhadapnya akan menimbulkan kasih sayang dan kebaikan, jauh dari
pertengkaran dan permusuhan, yang pada akhirnya akan terbentuk masyarakat yang aman
Mencintai keluarga :
Mencintai masyarakat :
Rasulullah bersabda : Tidaklah beriman kepadaku orang yang tidur malam dalam
Mencintai teman :
depan teman-teman sebayanya dengan harta yang dimiliki oleh orang tuanya atau dengan
sesuatu dari makanannya, pakaiannya, atau buku dan penanya. Akan tetapi, hendaklah anak
dibiasakan bersikap rendah diri, menghormati setiap orang yang bergaul dengannya, dan
yang masih kecil maka ia berada di jalan Allah. Bila ia keluar mencari nafkah untuk dirinya
maka ia berada di jalan Allah. Dan bila ia keluar mencari nafkah karena ingin dilihat atau
Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui persamaan dan perbedaan maupun
disebut UUPA) dengan Hukum Islam tentang Hak dan Kewajiban Anak. Pada dasarnya antar
kedua hukum tersebut memiliki persamaan dan juga keselarasan antara ketentuan yang satu
dengan ketentuan lainnya. Penulis berpendapat bahwa pasal-pasal yang terkandung dalam
UUPA No. 23 tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban, pasal 4 sampai dengan pasal 19 tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Hak dan kewajiban yang diatur dalam UU a quo juga
dijarkan dalam syariat Islam dan dijadikan sebagai norma-norma dasar sebagai landasan
Hanya saja ada point penting yang perlu dibahas di sini yang mungkin bagi sebagian
kelompok diartikan sebagai suatu perbedaan dan ketidakselarasan. Point penting yang Penulis
maksud antara lain tentang definisi anak dan perlindungan anak itu sendiri dan hak untuk
mengetahui orang tuanya. Hak dan kewajiban dalam kedua hukum tersebut dapat dikatakan
sama dan selaras jika tidak ada perbedaan dan pertentangan antara keduanya, paling tidak
keduanya sama dan selaras dalam aturan dan berbeda dalam obyek pelaku.
18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.[24] Dasar pertimbangan penentuan
batas usia dalam UU ini mengacu kepada ketentuan dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang
telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990. Dalam
definisi tersebut disebutkan bahwa anak juga termasuk mereka yang masih dalam
kandungan. Hal ini dimaksud bahwa anak yang masih dalam kandungan dianggap telah lahir
apabila kepentingan anak memerlukan untuk itu, sebaliknya dianggap tidak pernah ada
apabila anak meninggal pada waktu dilahirkan. Ketentuan ini juga penting untuk mencegah
adanya tindakan dari orang yang tidak bertanggung jawab terhadap usaha penghilangan janin
yang dikandung seseorang. Definisi anak dalam UUPA tidak dibatasi dengan syarat belum
pernah kawin berbeda dengan UU Kesejahteraan Anak dan Pengadilan Anak yang tidak
Nampaknya tidak adanya pembatasan usia belum pernah kawin tersebut bukan tanpa
tujuan. Dalam penjelasan buku Perlindungan Anak disebutkan bahwa adanya ketentuan
tersebut tadi agar UU ini dapat memberikan perlindungan kepada anak secara utuh tanpa
adanya diskriminasi antara yang sudah kawin dengan yang pernah kawin dimana persyaratan
tersebut menekankan pada segi legalistiknya, sedangkan dalam perlindungan anak penentuan
batas usia anak lebih dititikberatkan pada aspek untuk melindungi anak agar dapat tumbuh
Perbedaan UUPA dengan Hukum Islam dalam definisi anak sangat terlihat jelas
pengertiannya dalam beberapa literatur fikih Islam. Anak dalam shariat Islam didefinisikan
sebagai seseorang yang belum mencapai umur baligh. Baligh dalam Islam dimaknai sebagai
satunya) bagi anak kecil sampai dia keluar sperma " (HR. Abu Daud dan Al-Baihaqi).
Atas dasar hadis tersebut, di dalam banyak pembahasan fiqh Islam disebutkan ciri-ciri
balighnya seseorang dapat ditandai dengan datangnya haid pertama pada perempuan dan
keluar sperma bagi laki-laki atau mimpi jima (ihtilam).[27] Sedangkan fakta empiris
membuktikan bahwa terjadinya haid pertama pada perempuan juga keluarnya sperma bagi
laki-laki terjadi pada rata-rata usia anak di bawah 15 tahun. Dalam Psikologi Perkembangan
dijelaskan bahwa pada usia sekitar 10-14 tahun, individu mengalami "bermimpi" (pollusio).
[28]
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa usia anak-anak dalam shariat Islam
hanya dibatasi sejak dalam kandungan (lihat al-Quran surat al-Isra 31 : ) sampai usia baligh.
Akan tetapi hal ini menurut Penulis butuh penjelasan secara khusus, karena kalau tidak
batasan usia anak menurut Islam dapat berpotensi menimbulkan konflik. Potensi konflik
yang dimaksud antara lain adalah ketika batasan usia tersebut dikonversi ke dalam ketentuan
perkawinan di bawah umur, perkawinan yang menurut UNICEF sebagai praktek tradisi yang
sangat berbahaya.[29] Hampir setiap negara Muslim memperbaharui batasan usia anak
sehubungan dengan diratifikasinya batasan umur oleh Konvensi Hak Anak. Ada juga oleh
batasan-batasan usia perkawinan di beberapa negara Muslim dengan sangat bervariatif. Ada
batasan umur yang cukup tinggi seperti negara Al-Jazair dan Banglades yang menetapkan 21
untuk pria dan 18 untuk perempuan, ada juga batasan umur yang termasuk kategori sedang,
seperti Indonesia 19 bagi pria dan 16 bagi perempuan, dan batasan umur yang rendah seperti
UUPA dan Hukum Islam adalah seseorang yang ada sejak dalam kandungan, akan tetapi
Dalam pasal 7 UUPA disebutkan bahwa anak berhak mengetahui orang tuanya,
dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Penulis berpendapat bahwa UU ini
pasal tersebut mengandung penafsiran yang beragam, baik dalam teknik pelaksanaan maupun
dalam aturan tertulis. Banyak aturan dalam segi teknik pelaksanaan yang tidak bisa sinkron
dengan bunyi pasal tersebut. Misalnya, seorang anak di luar nikah tidak dapat mengurus
akte kelahirannya, karena syarat pembuatan akte kelahiran antara lain harus mencantumkan
nama ayah biologisnya dalam ikatan perkawinan yang sah. Anak luar nikah hasil pernikahan
sirri, perzinahan, perkosaan, ditambah anak adopsi tidak mungkin dapat mencantumkan ayah
kandungnya dalam akte kelahiran tersebut karena perundangan tidak memberi peluang untuk
itu. Contoh kongkrit adalah pernikahan Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar dengan
Moerdiono, anak dari pasangan tersebut tidak dapat mencantumkan nama Moerdiono sebagai
ayah kandungnya karena pernikahan yang dilakukan adalah pernikahan sirri. Padahal kalau
mengacu kepada UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 1 disebutkan bahwa pernikahan sah
jika dilakukan menurut agama dan kepercayaan yang dianut. Akan tetapi karena pernikahan
tersebut tidak dicatat maka akibatnya Muhammad Iqbal Ramadhan anak suami istri tersebut
tidak dapat mencantumkan Moerdiono sebagai ayah kandungnya. Oleh karena itu, pada
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyatakan: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya harus dibaca Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan
laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan ayah biologisnya, akan tetapi Peraturan Pemerintah (PP) atas
putusan tersebut belum disusun, dan putusan tersebut tidak akan berarti apa-apa dalam
pelaksanaannya jika PP tentang aturan anak di luar nikah tidak ada, sebagaimana ketika MK
Sebetulnya PP tersebut merupakan amanat dari UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 43
butir 2, akan tetapi selama 35 tahun PP tersebut tidak pernah dibuat atau terealisasi, yang
pada akhirnya anak-anak di luar nikah tidak pernah terlindungi karena tidak ada payung
hukum. Oleh karena itu, Penulis sungguh sangat berharap supaya Kementerian Agama yang
amanat tersebut.
Permasalahan lain yang juga anak sering kali tidak dapat mengetahui orang tua
biologisnya karena berlakunya suatu undang-undang yaitu pengangkatan anak atau adopsi
anak. Adopsi anak dalam prakteknya adalah memutuskan hubungan nasab dengan orang tua
kandungnya. DalamStaatsblad 1917 : 129, bab II pasal 7 [2] menyatakan bahwa anak angkat
mempunyai kedudukan yang sama dengan anak kandung. Bunyi lengkapnya sebagai berikut :
Dalam hal yang diangkat adalah seorang anggota keluarga, baik anak sah maupun
anak di luar nikah, maka hubungan keturunannya haruslah sama derajatnya seperti halnya
Akibat hukum yang ditimbulkan dari persamaan kedudukan antara anak kandung dengan
anak angkat sebagaimana yang tercantum dalam Staatsblad tersebut, adalah sebagai berikut :
1. Anak angkat secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat (pasal 11).
2. Anak angkat dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat
4. Karena pengangkatan anak, terputus segala hubungan perdata yang berpangkal pada
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pada prakteknya anak angkat dapat
kehilangan haknya untuk mengetahui orang tua biologisnya karena nama yang diperoleh
bukan nama ayah kandungnya melainkan ayah adoptan. Adopsi ini sangat berbeda dengan
pengangkatan anak secara adat. Biasanya pengangkatan anak secara adat tidak sampai
memutuskan hubungan nasab karena masing-masing orang tua, baik kandung maupun orang
tua angkat sama-sama tahu, punya tujuan untuk menolong, dan biasanya berasal dari
keluarganya sendiri.
Misalnya di Jawa Tengah, cara pengangkatan anak dengan dididik, diasuh, dirawat seperti
anak sendiri, sampai dikawinkan oleh orang tua angkatnya, sedangkan di Bali/Denpasar
syaratnya harus bertempat tinggal sampai beranak cucu di rumah adoptan, dan turut
Barat akibat pengangkatan anak membawa suatu akibat hukum yang penting yaitu bahwa
pengangkatan anak tidak dapat dibatalkan sepihak baik oleh orang tua angkat maupun orang
tua kandung.[34] Di Tanah Toraja sebaliknya, di sana pengangkatan anak dapat dibatalkan,
baik dengan mengusir anak yang bersangkutan atau dengan kembalinya anak yang
Dari kedua contoh tersebut Penulis berpendapat bahwa anak secara konstitusi dirugikan
dengan berlakunya suatu undang-undang, yang dalam hal ini anak sulit untuk mengetahui
seluk beluk dirinya karena pemberlakuan suatu undang-undang. Padahal jika mengacu
kepada UUPA yang telah disebutkan tadi anak mempunyai hak yang tidak boleh diabaikan,
sebagai bentuk perlindungan negara terhadap anak. Memang konsep yang ideal belum tentu
diikuti oleh pelaksanaan yang ideal pula, hanya saja dengan adanya UUPA masyarakat
Indonesia boleh bernapas lega, karena setidaknya sudah ada payung hukum walaupun masih
Hukum Islam dalam hal ini mempunyai aturan tersendiri. Untuk masalah anak yang
dilahirkan di luar perkawinan dan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya serta
keluarga ibunya, Penulis mempunyai pendapat lain berdasarkan dalil-dalil shari. Dalam
UUPA pasal 43 ayat 1 jo KHI pasal 100, memang anak yang lahir di luar pernikahan yang sah
memiliki hubungan perdata dengan ibunya (sebelum diuji oleh MK), keputusan MK yang
mensahkan adanya hubungan perdata juga dengan ayah biologisnya ditanggapi keras oleh
keputusan di luar shariat Islam. Atas reaksi tersebut Penulis berpendapat bahwa
sesungguhnya apa yang diyakini oleh sebagian umat Islam merupakan bagian dari ihktilaf.
Dalam literatur fikih Syafii anak zina memiliki hubungan perdata dengan ibunya, sedangkan
fikih Abu Hanifah anak zina memiliki hubungan perdata dengan ayahnya, hal tesebut karena
terdapat perbedaan dalam mendefinisikan nikah, yang pada akhirnya berbeda memahami teks
nash, baik al-Quran maupun Hadis. Kemudian, jika MK mempunyai pendapat lain yaitu
anak hasil zina mempunyai hubungan terhadap kedua-duanya (ibu dan ayah biologis),
sungguh sebuah logika yang sangat mudah dipahami. Karena hadis yang menyatakan anak
milik tempat tidur itu bisa bermakna kedua-duanya yaitu ayah dan ibunya, karena yang tidur
di tempat tersebut dua-duanya. Jadi ditinjau dari hukum Islam anak dapat mengetahui dan
Untuk masalah anak adopsi, Islam sudah menjawab dalam al-Quran bahwa seorang
anak harus dinasabkan kepada ayah kandungnya bukan kepada ayah angkatnya. Islam
melarang memutuskan hubungan darah yang berarti tidak boleh menghilangkan seluk beluk
si anak. Allah berfirman dalam al-Quran : Panggilah mereka (anak-anak angkat itu)
dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil dari sisi Allah. Dan jika
mereka tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka panggilah mereka sebagai saudara-
saudaramu saagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang
kamu khilaf terhadapnya, tetapi apa yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah adalah maha
KESIMPULAN
Hak dan kewajiban anak menurut UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dalam perspektif Islam memiliki persamaan dan keselarasan. Sebagian besar pasal yang
terdapat dalam pasal 4 sampai pasal 19 UU a quo memiliki keselarasan dengan hukum Islam
dan tidak bertentangan dengan kandungan hukum Islam. Hanya saja dalam definisi tentang
anak, UUPA tidak sama dengan definisi hukum Islam. Definisi anak dalam UUPA dimulai
sejak anak dalam usia kandungan sampai usia 18 tahun, sedangkan dalam hukum Islam anak
Perbedaan selanjutnya terdapat dalam pasal 7 UUPA tentang anak berhak mengetahui
orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dalam teks secara tertulis
memang tidak ada hal yang dianggap bertentangan dengan Islam akan tetapi, dalam
pelaksanaannya anak-anak sering tidak memperoleh haknya untuk mengetahui siapa orang
tua sesungguhnya, hal ini disebabkan karena berlakunya undang-undang yang secara
uraian tersebut mengenai pembuatan akte kelahiran serta proses pengangkatan anak (adopsi
anak).
-----------------------------------------------------
Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Pelatihan Aparat
[1]
Penegak Hukum tentang Perlindungan Anak, (Jakarta : KPAI), h.
20.
[2] Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Perlindungan Anak
berdasarkan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak (Jakarta : KPAI), h. 1.
[3] Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Perlindungan Anak
berdasarkan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, h. 2.
[4] UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI dan Departemen
Sosial, h. 16-20.
[5] Muslim, Kitab Fadhail, No. 4296.
[6] Muttafaq Alaih.