Вы находитесь на странице: 1из 7

Nama : Andi Rahmat

Nim : C 111 14 06

Kelompok :1B

Asisten : Sucitra

TUGAS PENDAHULUAN MIKROBIOLOGI

SISTEM KEDOKTERAN TROPIS

2017

1. Jelaskan patogenesis dari Mycobacterium leprae

Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah karena
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang
lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan
derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah reaksi
granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh
karena itu penyakit lepra dapat disebut sebagai penyebab imunologik. Kelompok umur
terbanyak terkena lepra adalah usia 25-35 tahun.

Onset lepra adalah membahayakan yang dapat mempengaruhi saraf, kulit dan
mata. Hal ini juga dapat mempengaruhi mukosa (mulut, hidung dan faring), testis, ginjal,
otot-otot halus, sistem retikuloendotel dan endotelium pembuluh darah.

Basil masuk kedalam tubuh biasanya melalui sistem pernafasan, memiliki


patogenisitas rendah dan hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi menimbulkan tanda-
tanda penyakit. Masa inkubasi M. leprae biasanya 3-5 tahun. Setelah memasuki tubuh
basil bermigrasi kearah jaringan saraf dan masuk kedalam sel Schwann. Bakteri juga
dapat ditemukan dalam makrofag, sel-sel otot dan sel-sel endotelpembuluh darah.

Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri tergantung pada
perlawanan dari individu yang terinfeksi. Basil mulai berkembangbiak perlahan (sekitar
12-14 hari untuk satu bakteri membagi menjadi dua) dalam sel, dapat dibebaskan dari
sel-sel hancur dan memasuki sel terpengaruh lainnya. Basil berkembang biak,
peningkatan beban bakteri dalam tubuh dan infeksi diakui oleh system imunologi serta
limfosit dan histiosit (makrofag) menyerang jaringan terinfeksi. Pada tahap ini
manifestasi klinis mungkin muncul sebagai keterlibatan saraf disertai dengan penurunan
sensasi dan atau skin patch. Apabila tidak didiagnosis dan diobati pada tahap awal,
keadaan lebih lanjut akan ditentukan oleh kekuatan respon imun pasien.

Sitem Imun Seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap penderita lepra.


Ketika SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan menghilang
secara spontan atau menimbulkan lepra dengan tipe Pausibasilar (PB). Apabila SIS
rendah, infeksi menyebar tidak terkendali dan menimbulkan lepra dengan tipe
Multibasilar (MB). Kadang-kadang respon imun tiba-tiba berubah baik setelah
pengobatan atau karena status imunologi yang menghasilkan peradangan kulit dan atau
saraf dan jaringan lain yang disebut reaksi lepra (tipe 1 dan 2).

2. Jelaskan patogenesis dari Corynebacterium diphtheriae


Corynebacterium diphtheriae merupakan makhluk anaerobik fakultatif dan gram
positif, ditandai dengan tidak berkapsul, tidak berspora, dan tak bergerak.
Corynebacterium diphtheriae terdiri dari 3 biovar, yaitu gravis, mitis, dan intermedius.
Di alam, bakteri ini terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang
yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri yang berada dalam
tubuh akan mengeluarkan toksin yang aktivitasnya menimbulkan penyakit difteri.
Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama terutama laring, amandel
dan tenggorokan. Penyakit ini sering kali diderita oleh bayi dan anak-anak. Perawatan
bagi penyakit ini adalah dengan pemberian antitoksin difteri untuk menetralkan racun
difteri, serta eritromisin atau penisilin untuk membunuh bakteri difteri. Sedangkan untuk
pencegahan bisa dilakukan dengan vaksinasi dengan vaksin DPT.

Di alam, Corynebacterium diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan, dalam


luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri.
Bakteri disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu yang peka. Bakteri
kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri mulai
menghasilkan toksin. Pembentukan toksin ini secara in vitro terutama bergantung pada
kadar besi. Pembentukan toksin optimal pada kadar besi 0,14 g/ml perbenihan tetapi
benar-benar tertekan pada 0,5g/ml. Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya toksin in
vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam amino, pH, dan tersedianya sumber-sumber
karbon dan nitrogen yang cocok. Toksin difteri adalah polipeptoda tidak tahan panas
(BM 62.000) yang dapat mematikan pada dosis 0,1 g/kg. Bila ikatan disulfida dipecah,
molekul dapat terbagi menjadi 2 fragmen, yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen B
tidak mempunyai aktivitas tersendiri, tetapi diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke
dalam sel. Fragmen A menghambat pemanjangan rantai polipeptida (jika ada NAD)
dengan menghentikan aktivitas faktor pemanjangan EF-2. Faktor ii diperlukan untuk
translokasi polipeptidil-RNA transfer dari akseptor ke tempat donor pada ribosom
eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan aktivitas EF-2 dengan mengkatalisis reaksi
yang menhasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu kompleks adenosin difosfat-ribosa-
EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek nekrotik dan neurotoksik toksin difteria
disebabkan olehpenghentian sintesis protein yang mendadak.
Toksin difteria diabsorbsi ke dalam selaput mukosa dan menyebabkan destruksi
epitel dan respons peradangan superfisial. Epitel yang mengalami nekrosis tertanam
dalam eksudat fibrin dan sel-sel darah merah dan putih, sehingga terbentuk
pseudomembran yang berwarna kelabu yang sering melapisi tonsil, faring, atau laring.
Setiap usaha untuk membuang pseudomembran akan merusak kapiler dan
mengakibatkan pendarahan. Kelenjar getah bening regional pada leher membesar, dan
dapat terjadi edema yang nyata di seluruh leher. Corynebacterium diphtheriae dalam
selaput terus menghasilkan toksin secara aktif. Toksin ini diabsorbsi dan mengakibatkan
kerusakan di tempat yang jauh, khususnya degenerasi parenkim, infiltrasi lemak, dan
nekrosis otot jantung, hati, ginjal, dan adrenal, kadang-kadangdiikuti oleh pendarahan
hebat.Toksin juga mengakibatkan kerusakan syaraf yang sering mengakibatkan paralisis
palatum molle, otot-otot mata, atau ekstremitas.

3. Jelaskan patogenesis dari Malassezia furfur


Malassezia furfur merupakan flora normal dan terdapat pada mukosa dan kulit.
Jamur ini berupa kelompok sel-sel bulat, bertunas, berdinding tebal, dan hifanya
berbatang pendek dan bengkok. Malassezia furfur menghasilkan konidia sangat kecil
( mikrokonidia ) pada hifanya, tetapi di samping itu juga menghasilkan makrokonidia
besar, multiseptat, berbentuk gelendong yang jauh lebih besar daripada mikrokonidianya.
Infeksi karena jamur Malassezia furfur akan menimbulkan penyakit pitiriasis
versikolor atau panu. Gejalanya berupa bercak-bercak putih, kadang kemerahan atau
cokelat. Biasanya terdapat di badan tapi bisa juga menyebar ke wajah dan disertai rasa
gatal bila berkeringat.
Pitiriaris versikolor timbul ketika ragi Malassezia furfur yang secara normal
mengkoloni kulit berubah dari bentuk yeast menjadi bentuk miselia yang patologik,
kemudian menginvasi stratum korneum kulit. Hal ini disebabkan oleh faktor predisposisi
baik endogen maupun eksogen.
Faktor eksogen meliputi panas, kelembaban, penutupun kulit oleh kosmetik atau
pakaian, dimana terjadi peningkatan CO2, mikoflora, dan pH. Sedangkan faktor endogen
berupa malnutrisi, terapi imunosupresan, hiperhidrosis, dan riwayat keluarga yang
positif. Disamping itu, diabetes mellitus, pemakaian steroid jangka panjang, kehamilan,
dan penyakit berat yang memudahkan timbulnya pitiriasis versikolor.
Selain itu, pitiriasis versikolor pada situasi tertentu dapat menjadi masalah bagi
pasien penerima nutrisi makanan melalui intra vena, dimana saluran infus dipasang pada
daerah sekitar lengan, maka akan membuat kandungan lipid pada daerah itu meningkat,
sehingga jamur Malassezia furfur akan dengan cepat tumbuh. Pada pasien dengan
immunocompromised seperti AIDS dan malnutrisi, jamur Malassezia furfur dengan cepat
menginfeksi dan dapat menyebabkan lesi yang cukup parah.
Hipopegmentasi yang terjadi pada penyakit pitiriasis versikolor, disebabkan oleh
zat toksin yang terdapat dalam jamur yang mencegah pembentukan melanin dan asam
azeleat yang dihasilkan oleh pityrosporum dari asam lemak dalam sebum yang
merupakan inhibitor kompetitif dari tirosinase.

4. Jelaskan patogenesis dari Microsporum canis!

Elemen kecil dari jamur disebut hifa, berupa benang-benang filament terdiri dari
sel-sel yang mempunyai dinding. Dinding sel jamur merupakan karakteristik utama yang
membedakan jamur, karena banyak mengandung substrat nitrogen disebut dengan chitin.
Struktur bagian dalam (organela) terdiri dari nukleus, mitokondria, ribosom, retikulum
endoplasma, lisosom, apparatus golgi dan sentriol dengan fungsi dan peranannya
masing-masing. Benang-benang hifa bila bercabang dan membentuk anyaman disebut
miselium.

Dermatofita berkembang biak dengan cara fragmentasi atau membentuk spora,


baik seksual maupun aseksual. Spora adalah suatu alat reproduksi yang dibentuk hifa,
besarnya antara 1-3, biasanya bentuknya bulat, segi empat, kerucut atau lonjong. Spora
dalam pertumbuhannya makin lama makin besar dan memanjang membentuk hifa.
terdapat 2 macam spora yaitu spora seksual (gabungan dari dua hifa) dan spora aseksual
(dibentuk oleh hifa tanpa penggabungan).

Infeksi Dermatofita diawali dengan perlekatan jamur atau elemen jamur yang dapat
tumbuh dan berkembang pada stratum korneum. Pada saat perlekatan, jamur dermatofita
harus tahan terhadap rintangan seperti sinar ultraviolet, variasi temperatur dan
kelembaban, kompetensi dengan flora normal, spingosin dan asam lemak. Kerusakan
stratum korneum, tempat yang tertutup dan maserasi memudahkan masuknya jamur ke
epidermis. Masuknya dermatofita ke epidermis menyebabkan respon imun pejamu baik
respon imun nonspesifik maupun respon imun spesifik. Respon imun nonspesifik
merupakan pertahanan lini pertama melawan infeksi jamur. Mekanisme ini dapat
dipengaruhi faktor umum, seperti gizi, keadaan hormonal, usia, dan faktor khusus seperti
penghalang mekanik dari kulit dan mukosa, sekresi permukaan dan respons radang.

Respons radang merupakan mekanisme pertahanan nonspesifik terpenting yang


dirangsang oleh penetrasi elemen jamur. Terdapat 2 unsur reaksi radang, yaitu pertama
produksi sejumlah komponen kimia yang larut dan bersifat toksik terhadap invasi
organisme. Komponen kimia ini antara lain ialah lisozim,sitokin,interferon,komplemen,
dan protein fase akut. Unsur kedua merupakan elemen seluler,seperti netrofil, dan
makrofag, dengan fungsi utama fagositosis, mencerna, dan merusak partikel asing.
Makrofag juga terlibat dalam respons imun yang spesifik. Selsel lain yang termasuk
respons radang nonspesifik ialah basophil, sel mast, eosinophil, trombosit dan sel NK
(natural killer). Neutrofil mempunyai peranan utama dalam pertahanan melawan infeksi
jamur. Imunitas spesifik membentuk lini kedua pertahanan melawan jamur setelah jamur
mengalahkan pertahanan nonspesifik. Limfosit T dan limfosit B merupakan sel yang
berperan penting pada pertahanan tubuh spesifik. Sel-sel ini mempunyai mekanisme
termasuk pengenalan dan mengingat organism asing, sehingga terjadi amplifikasi dari
kerja dan kemampuannya untuk merspons secara cepat terhadap adanya presentasi
dengan memproduksi antibodi, sedangkan limfosit T berperan dalam respons seluler
terhadap infeksi. Imunitas seluler sangat penting pada infeksi jamur. Kedua mekanisme
ini dicetuskan oleh adanya kontak antara limfosit dengan antigen.

5. Jelaskan patogenesis dari Aspergillus sp.!

Toksin yang dihasilkan suatu spesies jamur seperti Aspergillus sp dikenal dengan
istilah mycotoksin. Biasanya jamur-jamur tersebut tumbuh pada hasil-hasil pertanian
yang tidak mendapat penanganan yang baik pada pasca panen. Untuk wilayah kita
komoditi Jagung, gaplek serta dedak merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
jamur-jamur tersebut. Mycotoxin yang dihasilkan oleh species Aspergillus yaitu CPA,
Aflatoxin B1, B2, G1, G2 , dan Ochratoxin A.Saat ini, beberapa mycotoxin yang sudah
teridentifikasi di Indonesia yaitu AFB1, ZEN, DON dan CPA dan dipertegas oleh
Devegowda (2005) bahwa hampir 81% sample dari feedmill yang ada terkontaminasi
oleh CPA. Keberadaan CPA ini merupakan ancaman bagi saluran pencernaan unggas.
Faktor-faktor pendukung timbulnya asperegilosis adalah keadaan kandang dengan
ventialsi yang kurang memadahi, kandang berdebu, kandang dengan kelembaban tinggi
dan temperature relative tinggi (>25OC), kadar ammonia tinggi, liter basah dan lembab,
pakan lembab dan berjamur, penyakit imunosupresif, pencemaran pada inkubator dan
temperatur pemanas yang rendah pada saat pemeliharaan DOC.

Pada manusia dikenal tiga bentuk yaitu pneumomikosis, meninggo- enchepalitis


dan opthalmitis. Kejadian pada manusia, aspergilosis bronkopulmonum
alergika (allergic bron-chopulmonary aspergillosis = ABPA) ialah penyakit
kronis saluran pernafasan, yang terjadi pada penderita asma atopi akibat kolonisasi
jamurAspergillus spp. Kasus pertama ABPA didiagnosis di Inggris pada tahun 1952 dan
kasus pertama di Amerika Serikat ditemukan pada tahun 1968. Di Medan (Indonesia)
kasus tersangka ABPA pernah pula dilaporkan pada tahun 1987. ABPA diawali oleh salah
satu sebab, yaitu terperangkapnya miselia Aspergillus sppdalam plug 4atho penderita
asma atau kolonisasi Aspergillus spp pada saluran pemafasan(bronchial tree) penderita
asma. Material 4athogene dari Aspergillus spp tersebut merangsang produksi 4athogen
IgE, IgG, IgA dan mensensitisasi limfosit. Asma 4athogene pada sebagian ABPA
melibatkan degranulasi sel mast dan melepaskan IgE yang mengakibatkan peningkatan
resistensi jalan udara. Terjadinya bronkiektasis yang dikaitkan dengan kelainan ini
diduga akibat pembentukan kompleks-imun di dalam jalan udara proksimal. Reaksi
tanggap-kebal (immune-response) ini dapat dilihat pada individu-individu yang terpapar
antigen. Berdasarkan studi imunofluorensi terhadap 4athog kulit dari penderita tersebut
diatas ternyata menunjukkan deposisi IgG, IgM, IgA dan komplemen. Pada beberapa
penderita telah dibuktikan pula bahwa penyakit saluran pernafasan tersebut disebabkan
oleh hipersensitivitas lambat (delayed hypersensitivity).Jadi 4athogenesis ABPA ini
tergantung pada reaksi imunologik tipe I dan III dan mungkin pula tipe IV.

Infeksi Aspergillus pada umumnya didapat dengan cara inhalasi conidia ke paru-
paru walaupun cara yang lain dapat juga dijumpai seperti terpapar secara lokal akibat
luka operasi, kateter intravenous dan armboard yang terkontaminasi. Invasive
aspergillosis jarang dijumpai pada pasien immunokompeten. Spesies Aspergillus pada
umumnya memproduksi toksin / mikotoksin yang dapat berperan pada manifestasi klinis
yaitu aflatoxins, achratocin A, fumagillin dan gliotoxins. Gliotoxins dapat menurunkan
fungsi makrofag dan neutrophil.

Вам также может понравиться