Вы находитесь на странице: 1из 2

Swasembada Pangan untuk Ketahanan Pangan Nasional

Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan sumber daya alamnya. Di
sisi lain, Indonesia dikenal juga sebagai negara yang menduduki peringkat ke empat terpadat
didunia dengan jumlah penduduk 237.556.363 jiwa (BPS : 2010). Pada kenyataannya sekarang,
kondisi ideal pemenuhan pangan terhadap pertambahan jumlah penduduk di Indonesia belum
tercapai. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI) pada tahun 2010 lalu dengan judul Studi Tentang Kemandirian Pangan Sumber
Karbohidrat Dan Protein Untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan, di ketahui bahwa angka
ketersediaan pangan telah melebihi kebutuhan pangan yang diperlukan. Walaupun penyediaan
pangan pada tingkat nasional telah melampaui kebutuhan pangan, tidak berarti bahwa
kecukupan pangan pada tingkat rumah tangga telah terpenuhi.
Di beberapa daerah di Indonesia masih dapat dijumpai masalah gizi seperti; kurang
energi protein, kekurangan vitamin A, defisiensi Fe, serta kurang zat gizi lainnya. Masalah ini
dapat juga menyangkut pertambahan penduduk yang meningkat, semakin terbatasnya
sumberdaya alam, masih terbatasnya sarana dan prasarana usaha di bidang pangan, semakin
banyaknya produk impor yang melindas produksi dalam negeri, masih minimnya pengembangan
terhadap lahan serta besarnya proporsi penduduk miskin.
Yang menjadi perhatian di sini adalah sejauh mana perkembangan teknologi pertanian
serta produktivitas lahan pertanian di Indonesia dalam mendukung persediaan bahan pangan itu
sendiri?. Di satu sisi, import bahan pangan dapat menjadi salah satu alternatif pemenuhan
ketahanan pangan yang efektive melihat sering terjadinya rawan pangan di Indonesia, namun
dilihat dari kacamata ekonomi makro hal tersebut dirasa kurang efisien. Selain itu, dampak dari
import itu sendiri perlu diperhatikan. Jika terjadi defisit perdangangan terus menerus akibat
import pangan dalam jangka panjang, inflasi bisa saja melanda Indonesia. Hal lain yang bisa
ditawarkan adalah pelaksanaan kembali program swasembada pangan seperti yang terjadi pada
mas orde baru tahun 1984. Namun, realitanya bagi petani hal tersebut terasa sulit. Selain
teknologi yang kurang memadai, masalah fluktuasi harga pasar yang tidak stabil serta
ketidakpastian persediaan pangan riil menjadi kendala yang menyebabkan dilema di kalangan
petani, apakah lebih baik impor atau tetap mengusahakan budidaya di negara sendiri tapi
Rawan Pangan?.
Data konkrit mengenai persediaan dan kebutuhan pangan sangat diperlukan, karena jika
memang tidak mencukupi, tidak perlu dikatakan surplus hanya untuk menenangkan publik
karena hal itu justru bisa memicu rawan pangan jika kondisi di lapangan persediaan pangan
menipis. Seperti berita yang dimuat dalam Kompas pada hari Rabu, 20 Juli 2011, pukul. 18:35
WIB, serangan hama wereng serta musibah banjir menyebabkan banyak petani yang gagal
panen serta ketidakpastian megenai persediaan panga riil yang akhirnya menyebabkan rawan
pangan.
Kondisi yang terjadi di atas memang seringkali terjadi. Namun, jika terjadi terus
menerus tanpa ada pengendalian, mungkin jalan alternatif lain adalah mengimport dari luar
negeri. Dan jika import yang dipilih, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan masalah
baru dari segi ekonomi makro negara Indonesia.
Dijelaskan Menteri, dari total luas lahan pertanian saat ini seluas 70 juta Ha, yang efektif
untuk produksi pertanian hanya 45 juta Ha. Luas lahan sawah cenderung menurun sebagai akibat
alih fungsi lahan sawah menjadi lahan non pertanian yang mencapai 50 hingga 70 ribu Ha per
tahun. Padahal pencetakan sawah hanya seluas 20 hingga 40 ribu Ha per tahun
Dalam pemecahan masalah dualisme tersebut, menurut hemat penulis sebenarnya terletak
dari bagaimana kebijakan dalam masalah pangan ini dibuat. Baik dari sisi teknologinya ataupun
komunikasi yang terjalin antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah begitupun dengan
para petaninya. Jika semua aspek tersebut berjalan secara sinergis, maka budidaya tanaman
pangan untuk pemenuhan kebutuhan pangan penduduk di dalam negeri akan lebih terasa
menguntungkan dibandingkan harus import untuk pencapaian target ketahanan pangan ini.
Selain itu juga konversi lahan produktif harus di kurangi untuk menghindari penyempitan lahan
sebagai akibat dari pembangunan atau penggunaan lahan untuk sektor non pertanian dan yang
terpenting adalah kesiapan dari negara ini untuk melakukan swasembada pangan.
Jadi, sinergisitas antara Pemerintah, Petani, Pemilik lahan serta mereka yang memiliki
peranan penting dalam hal ketahanan pangan ini sangat diperlukan agar tidak perlu lagi
dilakukan import bahan pangan dari luar negeri dan program swasembada pangan dapat
terealisasi.

Вам также может понравиться