Вы находитесь на странице: 1из 30

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya
(NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika
dan Bahan/ Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang
memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama
multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan
secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.1
Maraknya penyalahgunaan NAPZA tidak hanya dikota-kota besar saja, tapi sudah
sampai ke kota-kota kecil diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial
ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Dari data yang ada,
penyalahgunaan NAPZA paling banyak berumur antara 1524 tahun.
Berdasarkan data penelitian pengguna NAPZA di dunia, dilaporkan hampir 40%
penduduk di dunia pernah menggunakan NAPZA dalam hidup mereka. Beberapa
substansi tersebut menyebabkan kelainan status mental secara internal, seperti
menyebabkan perubahan mood, secara eksternal menyebabkan perubahan perilaku.
Substansi tersebut juga dapat menimbulkan problem neuropsikiatrik yang masih belum
ditemukan penyebabnya, seperti skizofrenia dan gangguan mood, sehingga kelainan
primer psikiatrik dan kelainan yang disebabkan oleh NAPZA menjadi sangat
berhubungan.1
Peran penting sektor kesehatan sering tidak disadari oleh petugas kesehatan itu
sendiri, bahkan para pengambil keputusan, kecuali mereka yang berminat dibidang
kesehatan jiwa, khususnya penyalahgunaan NAPZA. Dan minimnya pengetahuan
mengenai masalah NAPZA, penggunaannya, masalah psikiatri yang ditimbulkan, serta
penangannya, mendorong penulis untuk menyusun referat mengenai Gangguan Akibat
Penyalahgunaan NAPZA dan penanggulangannya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1
A. BATASAN DAN PENGERTIAN
1. Napza
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang bila
masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat,
sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi
kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA(4).
Istilah NAPZA umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitik
beratkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. NAPZA
sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga
menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran(4).
2. Narkoba
NARKOBA adalah singkatan Narkotika dan Obat/Bahan berbahaya. Istilah ini sangat
populer di masyarakat termasuk media massa dan aparat penegak hukum yang sebetulnya
mempunyai makna yang sama dengan NAPZA. Ada juga menggunakan istilah Madat untuk
NAPZA Tetapi istilah Madat tidak disarankan karena hanya berkaitan dengan satu jenis
Narkotika saja, yaitu turunan Opium(4).
B. JENIS NAPZA YANG DISALAHGUNAKAN
1. NARKOTIKA
Menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, NARKOTIKA
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun
semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan(4).
NARKOTIKA dibedakan kedalam golongan-golongan(4,5) :
Narkotika Golongan I :
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak
ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan
ketergantungan, (Contoh : heroin/putauw, kokain, ganja)
Narkotika Golongan II :

2
Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat
digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan (Contoh : morfin, petidin)
Narkotika Golongan III :
Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan (Contoh : kodein).
2. Psikotropika
Menurut Undang-undang RI No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika, Yang dimaksud dengan
PSIKOTROPIKA adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan Narkotika, yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
PSIKOTROPIKA dibedakan dalam golongan-golongan sebagai berikut(4,5) :
PSIKOTROPIKA GOLONGAN I : Psikotropika yang hanya dapat digunakan
untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta
mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. (Contoh :
ekstasi, shabu, LSD)
PSIKOTROPIKA GOLONGAN II : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
dapat digunakan dalam terapi, dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta menpunyai
potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan . ( Contoh amfetamin,
metilfenidat atau ritalin)
PSIKOTROPIKA GOLONGAN III : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan (Contoh :
pentobarbital, Flunitrazepam).
PSIKOTROPIKA GOLONGAN IV : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan (Contoh :
diazepam, bromazepam, Fenobarbital, klonazepam, klordiazepoxide, nitrazepam,
seperti pil BK, pil Koplo, Rohip, Dum, MG).
3. Zat adiktif lainnya

3
Yang dimaksud disini adalah bahan/zat yang berpengaruh psikoaktif diluar yang disebut
Narkotika dan Psikotropika, meliputi(4,5) :
Minuman berakohol, Mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan
susunan syaraf pusat, dan sering menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari
dalam kebudayaan tertentu. Jika digunakan sebagai campuran dengan narkotika atau
psikotropika, memperkuat pengaruh obat/zat itu dalam tubuh manusia. Ada 3
golongan minumanberakohol, yaitu :
o Golongan A: kadar etanol 1-5%, (Bir)
o Golongan B : kadar etanol 5-20%, (Berbagai jenis minuman anggur)
o Golongan C : kadar etanol 20-45 %, (Whiskey, Vodca, TKW, Manson
House, Johny Walker, Kamput.)
Inhalansia (gas yang dihirup) dan solven (zat pelarut) mudah menguap berupa
senyawa organik, yang terdapat pada berbagai barang keperluan rumah tangga,
kantor dan sebagai pelumas mesin. Yang sering disalah gunakan, antara lain : Lem,
thinner, penghapus cat kuku, bensin.
Tembakau : Pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat luas di
masyarakat. Pada upaya penanggulangan NAPZA di masyarakat, pemakaian rokok
dan alkohol terutama pada remaja, harus menjadi bagian dari upaya pencegahan,
karena rokok dan alkohol sering menjadi pintu masuk penyalahgunaan NAPZA lain
yang lebih berbahaya.
Bahan/ obat/zat yang disalahgunakan dapat juga diklasifikasikan sebagai berikut(5) :
Sama sekali dilarang : Narkotoka golongan I dan Psikotropika Golongan I.
Penggunaan dengan resep dokter: amfetamin, sedatif hipnotika.
Diperjual belikan secara bebas : lem, thinner dan lain-lain.
Ada batas umur dalam penggunannya : alkohol, rokok.
Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat digolongkan
menjadi tiga golongan (4):
1. Golongan Depresan (Downer)
Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis
ini menbuat pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan bahkan membuatnya tertidur
dan tidak sadarkan diri. Golongan ini termasuk Opioida (morfin, heroin/putauw,

4
kodein), Sedatif (penenang), hipnotik (otot tidur), dan tranquilizer (anti cemas)
dan lain-lain.
2. Golongan Stimulan(Upper)
Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan
kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan
bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini adalah : Amfetamin (shabu, esktasi),
Kafein, Kokain.
3. Golongan Halusinogen
Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat
merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang
berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan ini tidak digunakan
dalam terapi medis. Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja), LSD, Mescalin

C. PENYALAHGUNAAN DAN KETERGANTUNGAN


Penyalahgunaan dan Ketergantungan adalah istilah klinis/medik-psikiatrik yang
menunjukan ciri pemakaian yang bersifat patologik yang perlu di bedakan dengan tingkat
pemakaianpsikologik-sosial, yang belum bersifat patologik Penyalahgunaan Napza adalah
penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara berkala atau teratur diluar indikasi
medis,sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan gangguan fungsi sosial(1,4).
Ketergantungan Napza adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan
psikis, sehingga tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah (toleransi), apabila
pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal symptom).
Oleh karena itu ia selalu berusaha memperoleh NAPZA yang dibutuhkannya dengan cara
apapun, agar dapat melakukan kegiatannya sehari-hari secara normal(1,4)

D. TINGKAT PEMAKAIAN NAPZA


Pemakaian coba-coba (experimental use), yaitu pemakaian NAPZA yang tujuannya
ingin mencoba,untuk memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian pemakai berhenti pada tahap
ini, dan sebagian lain berlanjut pada tahap lebih berat(5).

5
Pemakaian sosial/rekreasi (social/recreational use) : yaitu pemakaian NAPZA dengan
tujuan bersenang-senang,pada saat rekreasi atau santai. Sebagian pemakai tetap bertahan
pada tahap ini,namun sebagian lagi meningkat pada tahap yang lebih berat(5)
Pemakaian Situasional (situasional use) : yaitu pemakaian pada saat mengalami
keadaan tertentu seperti ketegangan, kesedihan, kekecewaaqn, dan sebagainnya, dengan
maksud menghilangkan perasaan-perasaan tersebut(5).
Penyalahgunaan (abuse): yaitu pemakaian sebagai suatu pola penggunaan yang bersifat
patologik/klinis (menyimpang) yang ditandai oleh intoksikasi sepanjang hari, tak mapu
mengurangi atau menghentikan, berusaha berulang kali mengendalikan, terus
menggunakan walaupun sakit fisiknya kambuh. Keadaan ini akan menimbulkan
gangguan fungsional atau okupasional yang ditandai oleh : tugas dan relasi dalam
keluarga tak terpenuhi dengan baik,perilaku agresif dan tak wajar, hubungan dengan
kawan terganggu, sering bolos sekolah atau kerja, melanggar hukum atau kriminal dan
tak mampu berfungsi secara efektif(5).
Ketergantungan (dependence use) : yaitu telah terjadi toleransi dan gejala putus zat, bila
pemakaian NAPZA dihentikan atau dikurangi dosisnya. Agar tidak berlanjut pada tingkat
yang lebih berat (ketergantungan), maka sebaiknya tingkat-tingkat pemakaian tersebut
memerlukan perhatian dan kewaspadaan keluarga dan masyarakat. Untuk itu perlu
dilakukan penyuluhan pada keluarga dan masyarakat(5).

E. PENYEBAB PENYALAHGUNAAN NAPZA


Penyebab penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks akibat interaksi antara faktor yang
terkait dengan individu, faktor lingkungan dan faktor tersedianya zat (NAPZA). Tidak terdapat
adanya penyebab tunggal (single cause) Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
penyalagunaan NAPZA adalah sebagian berikut (1,4) :
1. Faktor individu (1,4):
Kebanyakan penyalahgunaan NAPZA dimulai atau terdapat pada masa remaja, sebab
remaja yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik maupun sosial yang pesat
merupakan individu yang rentan untuk menyalahgunakan NAPZA. Anak atau remaja dengan
ciri-ciri tertentu mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi penyalahguna NAPZA. Ciri-ciri
tersebut antara lain :

6
o Cenderung membrontak dan menolak otoritas
o Cenderung memiliki gangguan jiwa lain (komorbiditas) seperti Depresi,Cemas,
Psikotik, keperibadian dissosial.
o Perilaku menyimpang dari aturan atau norma yang berlaku
o Rasa kurang percaya diri (low selw-confidence), rendah diri dan memiliki citra diri
negatif (low self-esteem)
o Sifat mudah kecewa, cenderung agresif dan destruktif
o Keingintahuan yang besar untuk mencoba atau penasaran
o Keinginan untuk bersenang-senang (just for fun)
o Keinginan untuk mengikuti mode,karena dianggap sebagai lambang keperkasaan dan
kehidupan modern.
o Keinginan untuk diterima dalam pergaulan.
o Identitas diri yang kabur, sehingga merasa diri kurang jantan
o Kurang menghayati iman kepercayaannya

2. Faktor Lingkungan(1,4) :
Faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan baik disekitar
rumah, sekolah, teman sebaya maupun masyarakat. Faktor keluarga,terutama faktor orang tua
yang ikut menjadi penyebab seorang anak atau remaja menjadi penyalahguna NAPZA antara lain
adalah :
a. Lingkungan Keluarga
o Komunikasi orang tua-anak kurang baik/efektif
o Hubungan dalam keluarga kurang harmonis/disfungsi dalam keluarga
o Orang tua otoriter atau serba melarang
o Orang tua yang serba membolehkan (permisif)
o Kurangnya orang yang dapat dijadikan model atau teladan
o Kurangnya kehidupan beragama atau menjalankan ibadah dalam keluarga
o Orang tua atau anggota keluarga yang menjadi penyalahguna NAPZA
b. Lingkungan Sekolah
o Sekolah yang kurang disiplin
o Sekolah yang terletak dekat tempat hiburan dan penjual NAPZA

7
o Sekolah yang kurang memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan diri
secara kreatif dan positif
o Adanya murid pengguna NAPZA
c. Lingkungan Teman Sebaya
o Berteman dengan penyalahguna
o Tekanan atau ancaman teman kelompok atau pengedar
d. Lingkungan masyarakat/sosial
o Lemahnya penegakan hukum
o Situasi politik, sosial dan ekonomi yang kurang mendukung

3. Faktor Napza(1,4)
Mudahnya NAPZA didapat dimana-mana dengan harga terjangkau
Banyaknya iklan minuman beralkohol dan rokok yang menarik untuk dicoba
Khasiat farmakologik NAPZA yang menenangkan, menghilangkan nyeri, menidurkan,
membuat euforia/fly/stone/high/teler dan lain-lain.
Faktor-faktor tersebut diatas memang tidak selau membuat seseorang kelak menjadi
penyalahguna NAPZA. Akan tetapi makin banyak faktor-faktor diatas, semakin besar
kemungkinan seseorang menjadi penyalahguna NAPZA.

8
Gangguan Berhubungan dengan Penggunaan Zat Inhalan
Di dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-
IV), kategori gangguan berhubungan dengan inhalan memasukkan sindrom psikiatrik yang
disebabkan oleh penggunaan oleh pelarut, lem, perekat, bahan pembakar aerosol, pengencer cat,
dan bahan bakar. Senyawa aktif dalam bahan inhalan tersebut adalah toluene, acetone, benzene,
trichloroethylene, 1,2-dichloropropane, dan hidrokarbon berhalogen. DSM-IV secara spesifik
mengeluarkan gas-gas anestetik (contoh, nitrogen oksida dan ether) dan nitrit kerja cepat
(contoh, amylnitrite) dari gangguan berhubungan denan inhalan, DSM-IV
mengklasifikasikannya sebagai gangguan berhubungan dengan zat lain (atau tidak diketahui)(1).
a. Epidemiologi
Zat inhalan tersedia secara legal, tidak mahal, dan mudah didapatkan. Ketiga faktor
tersebut berperan pada pemakaian inhalan yang tinggi diantara orang-orang miskin dan orang-
orang muda. Pada tahun 1991, kira-kira 5 persen dari total populasi di Amerika Serikat telah
menggunakan inhalan sekurangnya satu kali, dan kira-kira 1 persen pemakai sekarang ini. Di
antara orang dewasa yang berusia 18-25 tahun, 11 persen pernah menggunakan inhalan
sekurangnya satu kali dan 2 persen merupakan pemakai sekarang ini. Diantara pemuda yang
berusia 12-17 tahun, 7 persen pernah menggunakan inhalan sekurangnya satu kali, dan 2 persen
merupakan pemakai sekarang ini. Dalam suatu penelitian, terhadap pelahjar sekolah menengah
ke atas, 18 persen dilaporkan telah menggunakan inhalan dalam bulan sebelumnya. Suatu data
menyatakan bahwa di Amerika Serikat, pemakai inhalan lebih sering pada masyarakat di
pinggiran perkotaan daripada masyarakat perkotaan(1).
Pemakaian inhalan berjumlah 1 persen dari semua kematian yang berhubungan dengan zat
dan kurang dari 0,5 persen dari semua kunjungan ruang gawat darurat yag berhubungan dengan
zat. Kira-kira 20 persen kunjungan ke ruang gawat darurat oleh pemakai inhalan dilakukan oleh
orang yang perusia kurang dari 18 tahun. Penggunaan inhalan diantara remaja paling sering pada
mereka yang mempunyai orangtua atau saudara kandung lainnya yang menggunakan zat yang
ilegal. Penggunaan inhalan di kalangan remaja juga dihubungkan dengan gangguan onduksi atau
gangguan kepribadian anti-sosial (1).

9
b. Neurofarmakologi
Inhalan biasanya dilepaskan ke dalam paru-paru dengan menggunakan suatu tabung,
kaleng, atau kantung plastik, atau dengan suatu kain yang direndam dengan inhalan. Pemakai
dapat menghirupinhalan melalui hidung atau menyedot inhalan melalui mulut. Kerja umum
inhalan adalah sebagai depresan sistem saraf pusat. Toleransi terhadap inhalan tidak terjadi,
walaupun gejala pemutusan inhalan biasanya sangat ringan dan tidak diklasifikasikan sebagai
gangguan dalam DSM-IV(1).
Inhalan sangat cepat diserap melalui paru-paru dan cepat dikirim ke otak. Efeknya tampak
dalam 5 menit dan bertahan hingga 30 menit sampai beberapa jam. Tergantung pada zat inhalan
dan dosisnya. Konsentrasi darah dari banyak zat inhalan meningkat jika digunakan dalam
kombinasi dengan alkohol, kemungkinan karena kombinasi untuk enzim hepatik. Walaupun kira-
kira seperlima zat inhalan diekskresikan oleh paru-paru dalam bentuk yang tidak berubah,
sisanya dimetabolisme oleh hati. Inhalan dalam hati dapat terdeteksi dalam darah selama 4
sampai 10 jam setelah penggunaannya, dan sampel darah harus diambil di ruang gawat darurat
jika dicurigai penggunaan inhalan(1).
Inhalan menimbulkan efek farmakodinamik spesifik yang tidak dimengerti dengan baik.
Karena efeknya biasanya mirip dengan efek depresan pada sistem saraf pusat (contoh etanol,
barbiturat, dan benzodiazpine), beberapa peneliti menyatakan bahwa inhalan beerja melalui suatu
peningkatan sistem gamma-aminobutyric acid (GABA)(1).

c. Diagnosis
Kriteria diagnosis untuk intoksikasi inhalan (1):
A. Pemakaian inhalan volatil yang disengaja dan belum lama atau pemaparan dengan inhalan
volatil jangka pendek dan dosis tinggi (termasuk gas anestetik dan vasodilator kerja cepat)
B. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis (misalnya
kenakalan, penerangan, apati, gangguan pertimbangan, gangguan fungsi sosial atau
pekerjaan) yang berkembang selama, atau segera setelah, pemakaian atau pemaparan
dengan inhalan volatil.
C. Dua (atau lebih) tanda berikut, yang berkembang selama, atau segera setelah, pemakaian
atau pemaparan dengan inhalan

10
(1). Pusing
(2). Nistagmus
(3). Inkoordinasi
(4). Bicara cadel
(5). Gaya berjalan tidak mantap
(6). Letargi
(7). Depresi refleks
(8). Retardasi Psikomotor
(9). Tremor
(10). Kelemahan otot umum
(11). Pandangan Kabur atau diplopia
(12). Stupor atau koma
(13). Euforia
D. Gejala bukan karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan
mental lain.

Beberapa gangguan yang berhubungan dengan inhalan (1,5) :


1. Ketergantungan dan penyalahgunaan inhalan
Sebagian besar orang mungkin menggunakan inhalan untuk jangka waktu singkat tanpa
menimbulkan pola penggunaan jangka panjang yang berakibat ketergantungan dan
penyalahgunaan. Namun, ketergantungan dan penyalahgunaan dapat terjadi.
2. Intoksikasi Inhalan
Keadaan intoksikasi inhalan sering ditandai dengan apati, penurunan fungsi sosial dan
okupasional, daya nilai terganggu, serta perilaku impulsif atau agresif, dan dapat disertai mual,
anoreksia, nistagmus, refleks terdepresi, dan diplopia. Pada dosis tinggi dan pajanan jangka
panjang, status neurologis pengguna dapat berlanjut menjadi stupor dan tidak sada, dan
seseorang mungkin kemudian menjadi amnesik selama periode intoksikasi.

d. Gambaran klinis
Pada dosis awal, inhalan dapat menyebakan disinhibisi serta dapat menimbulkan perasaan
euforia dan eksitasi serta sensasi mengambang yang menyenangkan. Dosis tinggi inhalan dapat

11
menyebabkan gejala psikologis ketakutan, ilusi sensorik, halusinansi, serta distorsi ukuran tubuh.
Gejala neurologis dapat mencakup bicara cadel, penurunan kecepatan bicara, dan ataksia (1,5).

e. Pengobatan
Biasanya, penggunan inhalan adalah relatif singkat dalam kehidupan sesenan baheorang.
Orang tersebut menghentikan aktivitas menggunakan zat atau pindah ke zat lain. Identifikasi
penggunaan inhalan pada seorang remaja adalah indikasi bahwa remaja tersebut harus
mendapatkan konseling dan pendidikan tentang masalah umum penggunaan zat. Adanya
diagnosis penyerta gangguan konduksi atau gangguan kepribadian anti sosial harus mengarahkan
dokter untuk menilai situasi dengan mendalam karena adanya peningkatan kemungkinan bahwa
remaja tersebut akan menjadi semakin terlibat dalam penggunaan zat. Tetapi pada sebagian besar
orang dengan penyalah gunaan inhalan adalah orang lanjut usia dan cacat yang memerlukan
intervensi sosial yang nyata sebagai bagian dari pendekatan pengobatan(1).
Intoksikasi inhalan biasanya tidak memerlukan perhatian medis dan bisa sembuh spontan.
Namun, efek intoksikasi seperti koma, bronkospasme, larigospasme, aritmia jantung, trauma atau
luka bakar memerlukan tindakan cepat. Penanganan agresif terhadap penyulit yang mengancam
nyawa bersama dengan penatalaksanaan konservatif intoksikasi sudah cukup memadai(1,5).

12
Gangguan Berhubungan dengan Penggunaan Alkohol
Alkohol merupakan substansi yang paling banyak digunakan di dunia, dan tidak ada obat
lain yang dipelajari sebanyak alkohol. Dari segi kimiawi, alkohol merupakan suatu senyawa
kimia yang mengandung gugus OH. Alkohol dalam masyarakat umum mengacu kepada etanol
atau grain alkohol. Etanol dapat dibuat dari fermentasi buah atau gandum dengan ragi(1).
Istilah alkohol sendiri pada awalnya berasal dari bahasa Arab Al Kuhl yang digunakan
untuk menyebut bubuk yang sangat halus yang biasanya dipakai untuk bahan kosmetik
khususnya eyeshadow. Sejak 5000 tahun yang lalu alkohol digunakan sebagai minuman dengan
berbagai tujuan, seperti sarana untuk komunikasi transedental dalam upacara kepercayaan dan
untuk memperoleh kenikmatan(1).
Alkohol bersifat depresan terhadap sistem saraf pusat dengan menghambat aktivitas
neuronal. Ini berakibat hilangnya kendali diri dan mengarah kepada keadaan membahayakan diri
sendiri maupun orang disekitarnya. Diperkirakan alkohol menjadi penyebab 25% kunjungan ke
Unit Gawat Darurat rumah sakit.1 Alkohol dapat menyebabkan komplikasi yang serius dalam
menangani dan mengobati pasien trauma. Interaksi antara alkohol dengan obat lainnya dapat
terjadi, sehingga harus diperhitungkan secara hati-hati penggunaannya dalam obat, operasi,
maupun obat anestesi. Akibat penggunaan alkohol dapat muncul masalah kesehatan lainnya
seperti gangguan hati, cardiomyopati, gangguan pembekuan darah, gangguan keseimbangan
cairan, hingga ketergantungan terhadap alkohol. Ini akan menyebabkan perlunya pertimbangan
yang lebih matang dalam menangani pasien dengan Alkohol(1).
Mengidentifikasi permasalahan yang dapat timbul akibat penggunaan alkohol pada
pasien yang memerlukan pembedahan pada saat perioperatif merupakan suatu tantangan bagi
dokter, terutama ahli bedah dan anestesi. Setelah diiidentifikasi, masalah pada pasien dapat
ditangani dengan lebih efektif untuk meningkatkan outcome dari pembedahan dan mengurangi
efek samping yang dapat terjadi(1).
Epidemiologi
Sekitar 14 juta warga Amerika termasuk dalam kriteria alkoholism, membuatnya sebagai
peringkat ketiga penyakit yang memerlukan kunjungan ke psikiater dan menghabiskan lebih dari
165 miliar dolar amerika setiap tahunnya akibat penurunan produksi kerja, kematian, dan biaya
pengobatan langsung. Diantara mereka 10% wanita dan 20% pria termasuk dalam kriteria

13
penyalahgunaan alkohol, sedangkan 3-5% wanita dan 10% pria dimasukkan dalam
ketergantungan alkohol(1).
Usia 13-15 tahun merupakan usia yang berisiko dimana pada usia tersebut remaja mulai
menjadi peminum. Pengkonsumsi alkohol terbanyak berkisar pada usia 20-35 tahun.2 Penelitian
pada sebuah sekolah di Amerika menunjukkan bahwa siswa kulit putih mengkonsumsi alkohol
terbanyak, siswa kulit hitam merupakan peminum yang paling sedikit, dan siswa Hispanic berada
diantaranya. Survey memfokuskan kepada masalah yang dihadapi oleh 4.390 siswa dimana
hampir 80% dilaporkan menjadi peminuman saat pesta. Lebih dari 50% mengaku Alkohol
menyebabkan mereka merasa sakit, kehilangan sekolah maupun pekerjaan, ditahan polisi, atau
mengalami kecelakaan lalu lintas(1).
Pria dilaporkan mengkonsumsi alkohol lebih banyak dibandingkan wanita. Wanita mulai
mengkonsumsi alkohol lebih lambat dibandingkan pria. Namun wanita lebih cepat menjadi
alkoholik karena rendahnya kadar air dalam tubuh dan tingginya lemak pada wanita
dibandingkan pria.2 Karena tingginya kadar alkohol, wanita memiliki risiko yang lebih besar
untuk mengalami gangguan kesehatan yang berkaitan dengan alkohol seperti cirosis,
cardiomiopaty, dan atropi otak(1).
Kimiawi Alkohol
Dalam kimia, alkohol (atau alkanol) adalah istilah yang umum untuk senyawa organik
apa pun yang memiliki gugus hidroksil (-OH) yang terikat pada atom karbon, yang ia sendiri
terikat pada atom hidrogen dan/atau atom karbon lain.3 Rumus kimia umum alkohol adalah
CnH2n+1OH. Alkohol dapat dibagi kedalam beberapa kelompok tergantung pada bagaimana
posisi gugus -OH dalam rantai atom-atom karbonnya. Kelompok-kelompok alkohol antara lain
alkohol primer, sekunder, dan tersier. Titik didih alkohol meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah atom karbon(1).
Alkohol murni tidaklah dikonsumsi manusia. Alkohol sering dipakai untuk menyebut
etanol, yaitu minuman yang mengandung alkohol. Hal ini disebabkan karena memang etanol
yang digunakan sebagai bahan dasar pada minuman tersebut, bukan metanol, atau grup alkohol
lainnya. Bahan ini dihasilkan dari proses fermentasi gula yang dikandung dari malt dan beberapa
buah-buahan seperti hop, anggur dan sebagainya(1).
Setiap Negara memiliki aturan yang membahas kadar alkohol dalam darah yang masih
ditolerir demi keamanan bersama. Kadar alkohol dalam darah atau Blood Alkohol Concentration

14
(BAC) digunakan sebagai satuan ukur intoksikasi alkohol untuk tujuan hukum maupun medis.
BAC dihitung dengan membandingkan massa tubuh per volume. Jumlah alkohol yang
dikonsumsi tidak dapat di hitung dengan BAC, karena bervariasi terhadap berat badan, jenis
kelamin, dan lemak tubuh. Namun secara umum diperkirakan bahwa satu gelas alkohol yang
tidak menyebabkan mabuk (contohnya 14 gram (17,74 ml) ethanol berdasarkan standar amerika)
akan meningkatkan 0,02-0,05% BAC dalam 1,5 sampai 3 jam berikutnya(1).
Farmakokinetik Alkohol
Absorpsi
Setelah diminum, alkohol kebanyakan diabsorpsi di duodenum melalui difusi. Kecepatan
absorpsi bervariasi, tergantung beberapa faktor, antara lain (1);
a. Volume, jenis, dan konsentrasi alkohol yang dikonsumsi. Alkohol dengan konsentrasi
rendah diabsorpsi lebih lambat. Namun alkohol dengan konsentrasi tinggi akan
menghambat proses pengosongan lambung. Selain itu, karbonasi juga dapat
mempercepat absorpsi alkohol.
b. Kecepatan minum, semakin cepat seseorang meminumnya, semakin cepat absorpsi
terjadi.
c. Makanan. Makanan memegang peranan besar dalam absorpsi alkohol. Jumlah, waktu,
dan jenis makanan sangat mempengaruhi. Makanan tinggi lemak secara signifikan
dapat memperlambat absorpsi alkohol. Efek utama makanan terhadap alkohol adalah
perlambatan pengosongan lambung.
d. Metabolisme lambung, seperti juga metabolisme hati, dapat secara signifikan
menurunkan bioavailabilitas alkohol sebelum memasuki sistem sirkulasi.
Distribusi
Alkohol didistribusikan melalui cairan tubuh. Terdapat perbedaan komposisi tubuh antara
pria dan wanita, dimana wanita memiliki proporsi cairan tubuh yang lebih rendah dibandingkan
pria, meskipun mereka memiliki berat badan yang sama. Karena itu, meskipun seorang wanita
dengan berat badan yang sama, mengkonsumsi alkohol dalam jumlah yang sama dengan pria,
wanita tersebut akan memiliki kadar alkohol darah yang lebih tinggi(1).
Metabolisme
Metabolisme primer alkohol adalah di hati, dengan melalui 3 tahap. Pada tahap awal,
alkohol dioksidasi menjadi acetaldehyde oleh enzim alkohol dehydrogenase (ADH). Enzim ini

15
terdapat sedikit pada konsentrasi alkohol yang rendah dalam darah. Kemudian saat kadar alkohol
dalam darah meningkat hingga tarap sedang (social drinking), terjadi zero-order kinetics, dimana
kecepatan metabolisme menjadi maksimal, yaitu 7-10 gram/jam (setara dengan sekali minum
dalam satu jam). Namun kecepatan metabolisme tersebut sangat berbeda antara masing-masing
individu, dan bahkan berbeda pula pada orang yang sama dari hari ke hari(1).
Tahap kedua reaksi metabolisme, acetaldehyde diubah menjadi acetate oleh enzim
aldehyde dehydrogenase. Dalam keadaan normal, acetaldehyde dimetabolisme secara cepat dan
biasanya tidak mengganggu fungsi normal. Namum saat sejumlah besar alkohol di konsumsi,
sejumlah acetaldehyde akan menimbulkan gejala seperti sakit kepala, gastritis, mual, pusing,
hingga perasaan nyeri saat bangun tidur(1).
Tahap ketiga merupakan tahap akhir, terjadi konversi gugus acetate dari koenzim A
menjadi lemak, atau karbondioksida dan air.6 Tahap ini juga dapat terjadi pada semua jaringan
dan biasanya merupakan bagian dari siklus asam trikarbosilat (siklus Krebs). Jaringan otak dapat
mengubah alkohol menjadi asetaldehid, asetil koenzim A, atau asam asetat(1).
Pada peminum alkohol kronis dapat terjadi penumpukan produksi lemak (fatty acid).
Fatty acis akan membentuk plug pada pembuluh darah kapiler yang mengelilingi sel hati dan
akhirnya sel hati mati yang akan berakhir dengan cirrosis hepatis(1).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Wilkinson menunjukkan bahwa konsentrasi
alkohol dalam darah (BAC) setelah mengonsumsi secara cepat berbeda pada setiap orang. Selain
itu, jika sejumlah alkohol di konsumsi dalam jangka waktu yang lama, BAC menjadi lebih
rendah.8 Dibawah ini ditunjukkan konsentrasi alkohol dalam darah setelah beberapa jam. 100
mg% merupakan konsentrasi alkohol dalam darah yang masih di ijinkan pada beberapa negara,
sedangkan BAC 50 mg% merupakan kadar aman yang masih diperbolehkan untuk
mengemudikan kendaraan(1).
Farmakodinamik Alkohol
Alkohol lebih banyak bekerja pada sistem saraf, terutama otak. Pada otak, alkohol
mengakibatkan depresi yang menyerupai depresi akibat narkotik, kemungkinan melalui
gangguan pada transmisi sinaptik, dimana impuls saraf akan mengalami inhibisi. Terjadi
pembebasan pusat otak yang lebih rendah dari kontrol pusat yang lebih tinggi dan inhibisi(1).

16
a. Efek pada sistem GABA
Alkohol menimbulkan efek seperti kerja GABA-A dengan berinteraksi dengan
GABA-A reseptor, namun melalui tempat yang berbeda dari tempat berikatannya
GABA ataupun benzodiazepine. Interaksi ini akan mengaktifkan neuron DA di sistem
mesolimbik. Akibatnya muncul efek sedatif, anxiolytic, dan hyperexcitability(1).
b. Efek pada sistem Dopamin dan Opioid
Alkohol tidak bekerja secara langsung pada reseptor DA, namun secara tidak
langsung dengan meningkatkan kadar DA pada sistem mesocorticolimbic.
Peningkatan ini memiliki efek terhadap penguatan efek alkohol dalam tubuh.
Interaksi alkohol dengan sistem opioid juga tidak langsung dan mengakibatkan
pengaktifan sistem opioid. Interaksi ini bersifat menguatkan (kemungkinan melalui
reseptor MU). Sistem opioid juga terlibat dalam munculnya kecanduan alkohol(1).
c. Efek terhadap sistem lain (NMDA, 5HT, stress hormone)
Alkohol menghambat reseptor NMDA, tidak dengan berikatan langsung pada
glutamate binding site, namun dengan mengubah jalan glutamate menuju tempatnya
berikatan pada reseptor (allosteric effect). Interaksi ini juga memfasilitasi munculnya
efek sedatif/hypnotic alkohol, seperti halnya neuroadaptation(1).
Sistem serotonin juga berperanan dalam farmakologi alkohol. Meskipun mekanisme
kerja belum jelas, namun membantu dalam pelepasan DA. Peningkatan kadar
serotonin pada sinap menurunkan pengambilan alkohol(1).
Konsumsi alkohol akut juga memiliki efek terhadap hypothalamic-pituitary axis,
kemungkinan dengan melibatkan hormone CRF (corticotrophin releasing factor).
Kerja pada tempat ini kemungkinan mendasari efek penekanan stress pada alkohol(1).
Interaksi Alkohol dengan Obat
Terdapat dua tipe interaksi alkohol dan obat lain, yaitu interaksi farmakokinetik, dimana
alkohol mempengaruhi efek obat, dan interaksi farmakodinamik, alkohol mengubah efek obat,
umumnya di sistem saraf pusat (contoh : sedasi). Interaksi farmakokinetik umumnya terjadi di
hati, dimana alkohol dan banyak obat-obatan di metabolisme, kebanyakan oleh enzim yang
sama. Pada alkohol dosis akut (sekali minum atau beberapa kali minum setelah beberapa jam)
dapat menghambat metabolisme obat dengan berkompetisi dengan menggunakan enzim
metabolisme yang sama. Interaksi ini akan memperpanjang dan mengubah kemampuan obat,

17
berpotensi meningkatkan risiko terjadinya efek samping obat. Pada peminum alkohol kronis
(dalam jangka waktu lama), alkohol akan mengaktifkan enzim metabolisme. Ini akan
menurunkan dan mengurangi efek kerja obat. Setelah enzim diaktifkan, mereka akan selalu ada
meskipun tanpa adanya alkohol, mempengaruhi metabolisme beberapa obat selama beberapa
minggu setelah penghentian konsumsi alkohol(1).
Sejumlah golongan obat dapat menimbulkan interaksi dengan alkohol, termasuk obat
anestesi, antibiotic, antidepresan, antihistamin, barbiturate, benzodiazepine, histamine H2
receptor antagonis, muscel relaxan, obat penghilang nyeri golongan non narkotik, antiinflamasi,
opioid, dan warfarin(1).
Obat Anestesi
Obat-obatan anestesi diberikan mengawali pembedahan untuk membuat pasien tidak
nyeri dan tenang. Konsumsi alkohol secara kronik meningkatkan dosis propofol yang diperlukan
untuk menurunkan kesadaran pasien. Konsumsi alkohol dalam jangka lama akan meningkatkan
risiko kerusakan hati oleh pemakaian gas anestesi seperti enflurane dan halotan(1).
Antikoagulan
Warfarin berfungsi untuk memperlambat pembekuan darah. Adanya konsumsi alkohol
akut mengubah kemampuan warfarin, menyebabkan pasien berpeluang mengalami pendarahan
yang mengancam nyawa. Konsumsi alkohol secara kronik menurunkan kerja warfarin,
menimbulkan gangguan pembekuan darah(1).
Antidepressant
Alkohol meningkatkan efek sedasi dari tricyclic anti-depressant seperti amitriptyline,
menurunkan kemampuan yang diperlukan dalam mengemudi. Konsumsi alkohol kronic
meningkatkan kerja beberapa tricyclic dan menurunkan kerja tricyclic lainnya. sebuah substansi
kimia yang disebut tyramine terdapat dalam beberapa bir dan wine, berinteraksi dengan beberapa
antidepresan, seperti monoamine oxidase (MAO) inhibitor menyebabkan peningkatan tekanan
darah yang berbahaya(1).
Antihistamin
Obat seperti diphenhydramine dapat digunakan untuk menangani gejala alergi dan
insomnia. Alkohol bersifat meningkatkan efek sedasi pada antihistamin. Obat ini menyebabkan
kelebihan sedasi dan nyeri kepala pada orang tua. Efek kombinasi dengan alkohol akan sangat
signifikan berbahaya pada kelompok ini(1).

18
Penghilang rasa nyeri golongan narkotik
Obat golongan ini digunakan untuk nyeri sedang hingga berat. Yang termasuk dalam
golongan ini antara lain morfin, codein, propoxyphene, dan meperidine. Kombinasi alkohol
dengan opioid meningkatkan efek sedasi kedua substansi tersebut, meningkatkan risiko kematian
akibat overdosis. Satu dosis alkohol dapat meningkatkan kemampuan kerja propoxyphene, dan
meningkatkan efek samping sedasi. opioid merupakan agen yang memiliki efek seperti opium
(sedatif, penghilang nyeri, dan euphoria) yang digunakan untuk pengobatan. Overdosis alkohol
dan opioid sangat berbahaya karena mereka dapat menurunkan reflek batuk dan fungsi
pernafasan, sehingga berpotensi untuk terjadinya regurgitasi maupun sumbatan jalan nafas(1).
Penghilang Nyeri golongan non-Narkotik
Aspirin paling sering dipergunakan oleh orang tua. Beberapa obat jenis ini dapat
menyebabkan pendarahan lambung dan menghambat pembekuan darah. Alkohol dapat
memperparah efek ini. Orang tua yang mencampurkan alkohol dengan aspirin dalam dosis besar
tanpa resep dokter memiliki risiko lebih besar untuk mengalami pendarahan lambung. Aspirin
juga meningkatkan kerja alkohol. Konsumsi alkohol secara kronis mengaktifkan enzim yang
mengubah acetaminophen menjadi substansi kimia yang dapat menyebabkan kerusakan hati,
meskipun acetaminophen dipergunakan dalam kadar therapeutic. Efek ini dapat terjadi dengan
2,6 gr acetaminophen yang diberikan pada pengkonsumsi alkohol berat(1).
Sedatif dan Hipnotik
Interaksi farmakodinamik antara dosis kecil diazepam denga alkohol telah diteliti dengan
menggunakan double blind randomized study. Diazepam yang diberikan sebanyak 5 mg dengan
pemberian oral pada pasien yang telah disuntikkan alkohol intravena hingga kadar dalam darah
0,5 gram. Dari penelitian ini didapatkan bahwa kombinasi diazepam dan alkohol kebanyakan
bersifat addictive tanpa interaksi sinergis yang signifikan(1).
Benzodiazepines seperti diazepam (Valium) pada umumnya digunakan untuk
mengobati kecemasan dan insomnia. Karena keamanannya, mereka telah menggantikan
barbiturates, yang sebagian besar digunakan untuk perawatan darurat untuk kejang. Dosis
Benzodiazepines yang diberikan secara berlebihan sebagai obat penenang disertai dengan adanya
alkohol dapat menyebabkan rasa kantuk yang hebat, meningkatkan risiko kecelakaan rumah
tangga dan lalu lintas. Lorazepam telah digunakan untuk anticemas dan obat penenang.
Kombinasi dari alkohol dan lorazepam dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada jantung

19
dan fungsi pernafasan, oleh karena itu Lorazepam sebaiknya tidak diberikan kepada pasien
mabuk(1).
Relaksasi Otot
Beberapa obat relaksasi (carisoprodol, cyclobenzaprine, dan baclofen), saat digunakan
bersama alkohol dapat menimbulkan reaksi seperti narkotik, seperti kelemahan pada alat gerak,
pusing, euphoria, dan kebingungan. Carisopodol dikenal sebagai obat narkotik yang dijual di
jalanan. Campuran carisoprodol dengan bir merupakan bahan adiktif yang popular di masyarakat
jalanan untuk mendapatkan keadaan euphoria secara cepat(1).
Permasalahan pasien alkoholik
Alkohol secara signifikan berperanan dalam terjadinya trauma. Berdasarkan miller
(1984), intoksifikasi (BAC 100 mg/dl) berhubungan dengan 40-50% kecelakaan lalulintas yang
fatal. Roizen (1988) melaporkan bahwa antara 20-37% dari semua kasus trauma di Unit Gawat
Darurat disebabkan karena penggunaan alkohol(1).
Hasil dari tes laboratorium dan pengakuan pasien sangat penting untuk mengidentifikasi
penyakit yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan juga untuk menangani lukanya(1).
Permasalahan yang dapat terjadi pada pasien dengan penyalahgunaan alkohol antara lain
thrombocytopenia., dimana terjadi penurunan jumlah platelet dalam darah. Dengan
menghentikan penggunaan alkohol, trombositosis akan terjadi setelah satu minggu. Karena
kedua kondisi ini dapat menyebabkan komplikasi dalam pembedahan, maka sangatlah penting
untuk memonitor secara ketat vital sign, fungsi jantung, dan kadar elektrolit selama operasi dan
dalam perawatan pasca operasi(1).
Gejala Klinis
Telah disebutkan bahwa alkohol termasuk dalam zat adiktif dimana zat tersebut dapat
menimbulkan candu. Penyalahgunaan atau ketergantungan jenis Alkohol ini dapat
dimenimbulkan gangguan mental organik yaitu gangguan dala fungsi berpikir, perasaan dan
perilaku. Berikut geala-gejala gangguan mental organik yang terjadi pada seseorang (3,5) :
1. Terdapat dampak perubahan berupa perubahan perilaku, misalnya berkelahi, atau tindak
kekerasan lain.
2. Terdapat gejala fisiologik sebagai berikut: pembicaraan cadel. Ganggua koordinasi, cara
berjalan yang tidak mantap, mata jereng, muk merah.

20
3. Tampak gejala psikologik sebagai berikut : perubahan alam perasaan (euphoria atau
disforia), mudah marah dan tersingga, banyak bicra, gangguan perhtian atau konsentrasi

Menurut Jellinek progresifitas alkoholisme terbagi dalam 3 fase (3):


1. Fase dini ditandai dengan bertambahnya toleransi terhadap alkohol, amnesia, timbulnya rasa
bersalah karena mengonsumsi alkohol dan terhadap perilaku yang diakibatkannya.
2. Fase krusial ditandai dengan hilangnya kendali terhadap kebiasaan mengkonsumsi alkohol,
perubahan kepribadian, kehilangan teman dan pekerjaan.
3. Fase kronis ditandai kebiasaan mengonsumsi alkohol di pagi hari, tremor serta halusinasi
Bagi mereka yang sudah ketagihan akan menimbulkan sindrom putus alkohol, ditandai gejala-
gejala tersebut antara lain (2,3) :
1. Gemetaran (tremor), kasar pada tangan, lidah dan kelopak mata.
2. Ampak gejala fisik sebagai berikut, yaitu mual muntah, lemah letih lesu, hiperaktif saraf
otonom, hipotensi ortostatik.
Tampak gejala psikologik sebagai berikut: kecemasan dan ketakutan, perubahan alam
perasaan, mengalami halusinsi dan delusi.

Diagnosis dan Gambaran Klinis


Kriteria DSM-IV untuk putus alkohol memerlukan dihentikannya atau penurunan
penggunaan alkohol yang sebelumnya adalah berat dan lama, dan juga adanya gejala fisik atau
neuropsikiatrik spesifik. Diagnosis DSM IV juga memungkinakna untuk menentukan dengan
gangguan persepsi(1,2).
Tanda Klasik dari putus alkohol adalah gemetar, walaupun spectrum dgejala dapat
meluas sampai termasuk gejala psikoik dan perepsi (cth: waham dan halusinasi), kejang, dan
gejala delirium tremens, atau delirium putus alkohol(1).
Medikasi utama untuk mengendalikan gejala putus alkohol adalah benzodiazepine.
Banyak penelitian telah menemukan bahwa benzodiazepine membantu mengontrol aktivitas
kejang, delirium, kecemasan, takikardia, hipertensi, dan tremor yang berhubungan dengan putus
alkohol. Benzodiazepine dapat diberikan peroral maupun parenteral; tetapi baik diazepam
maupun chlordiazepoxide tidak boleh diberikan secara intramuscular karena adanya absorbs
yang tidak menentu bila diberikan dengan cara tersebut(1).

21
Selain itu, dapat juga diberikan obat lain secara simptomatik sesuai dengan keluhan
pasien, misalnya anti psikotik untu gejala psikosis yang dialami oleh pasien(5).

22
Gangguan Berhubungan dengan Penggunaan Dextromethorphan (DMP)
DEFINISI
Menurut kamus besar bahasa Indonesia penyalahgunaan adalah proses, cara, perbuatan
menyalahgunakan; penyelewengan. Dalam aritan luasnya adalah suatu kegiatan dimana
seseorang melakukan kegiatan yang menyalahgunakan apapun itu diluar dari koridor yang
seharusnya(5).
Dextromethorphan (DXM atau DMP) merupakan bahan kimia sintetik dengan nama
kimianya adalah 3 methoxy-17-methyl morphinan monohydrat yang merupakan d-isomer dari
levophenol, analog dari kodein dan analgesik opioid. Dekstrometorfan berupa serbuk kristal
berwarna putih, tidak berbau, larut dalam air maupun ethanol dan tidak larut dalam ether.
Adapun struktur kimia dari dekstrometorfan adalah: C18H25NO.HBr.H2O dengan berat
molekul: 370,3(1,2)
Dextromethorphan merupakan jenis obat penekan batuk (antitusif) yang dapat diperoleh
secara bebas, dan banyak dijumpai pada sediaan obat batuk maupun flu. Dosis dewasa adalah 15-
30 mg, diminum 3-4 kali sehari. Efek anti batuknya bias bertahan 5-6 jam setelah penggunaan
per-oral. Jika digunakan sesuai aturan, jarang menimbulkan efek samping yang berarti(1,2)

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi penggunaan obat dextrometorfan untuk anak-anak dibawah umur boleh
dikatakan cukup tinggi. Sebagai contoh survey yang dilakukan oleh badan narkotika provinsi
Jawa barat dalam situs resminya mengatakan bahwa 38,50% anak yang pernah memakai pil
dextro merasakan pusing dan tidak nyaman. Tetapi mereka ingin mencoba lagi. Sementara
38,07% merasa pusing dan tidak nyaman, serta ingin segera berhenti.
Serta dari hasil kunjungan kerja ke 26 kota/kabupaten di Jabar. Ternyata hasilnya
ditemukan pemakaian narkoba sudah bergeser dari sebatas sabu, putaw, ekstasi, menjadi pil
dextro. Selain ketakutan terhadap ancaman hukuman penjara yang cukup berat, pil dextro relatif
mudah dibeli dan murah.(3)

23
ETIOLOGI& PATOFISIOLOGI
Ada tiga kemungkinan seorang memulai penyalahgunaan obat (3,5) :
1. Seseorang awalnya memang sakit, misalnya nyeri kronis, kecemasan, insomnia, dll,
yang memang membutuhkan obat, dan mereka mendapatkan obat secara legal dengan resep
dokter. Namun selanjutnya, obat-obat tersebut menyebabkan toleransi, di mana pasien
memerlukan dosis yang semakin meningkat untuk mendapatkan efek yang sama. Merekapun
kemudian akan meningkatkan penggunaannya, mungkin tanpa berkonsultasi dengan dokter.
Selanjutnya, mereka akan mengalami gejala putus obat jika pengobatan dihentikan, mereka akan
menjadi kecanduan atau ketergantungan terhadap obat tersebut, sehingga mereka berusaha untuk
memperoleh obat-obat tersebut dengan segala cara.
2.Seseorang memulai penyalahgunaan obat memang untuk tujuan rekreasional. Artinya,
sejak awal penggunaan obat memang tanpa tujuan medis yang jelas, hanya untuk memperoleh
efek-efek menyenangkan yang mungkin dapat diperoleh dari obat tersebut. Kejadian ini
umumnya erat kaitannya dengan penyalahgunaan substance yang lain, termasuk yang bukan obat
diresepkan, seperti kokain, heroin, ecstassy, alkohol, dll.
Yang
3. Seseorang menyalahgunakan obat dengan memanfaatkan efek samping seperti yang
telah disebutkan di atas. Bisa jadi penggunanya sendiri tidak tahu, hanya mengikuti saja apa yang
diresepkan dokter. Obatnya bukan obat-obat yang dapat menyebabkan toleransi dan ketagihan.
Penggunaannya juga mungkin tidak dalam jangka waktu lama yang menyebabkan
ketergantungan.
Dextro ditujukan sebagai antitusif, yaitu menekan batuk. Secara farmakologi, obat ini akan
menaikkan ambang batas rangsang batuk, sehingga pasien tidak terlalu sensitif dengan rangsang
batuk. Karena molekul dextro mudah berikatan ke berbagai reseptor jadilah efeknya tidak
spesifik hanya menekan si batuk saja, tetapi juga dapat menyebabkan efek rekreasi dan berbagai
efek samping seperti gatal-gatal, pusing, mual, kesulitan bernafas (pada dosis normal), juga
halusinasi, muntah, pandangan kabur, berkeringat, demam, hipertensi, dan lain-lain (pada dosis
12,5-75x lipat dari dosis normal)(4)
Dextromethorphan merupakan isomer levorphanol (suatu analog kodein, turunan
morfin).Hal inilah yang menyebabkannya memiliki afinitas terhadap reseptor opioid (reseptornya
narkoba) dan mengaktifkan reseptor tersebut sehingga dapat menimbulkan efek rekreasi. Selain

24
itu, dextromethorphan juga bisa menjadi antagonis reseptor NMDA, Penghambatan reseptor
NMDA yang berlebihan ini dapat menyebabkan berkurangnya fungsi memori, halusinasi,
confusion, analgesik, dan justru disalah artikan sebagai fungsi 'rekreasi'. Padahal, hal ini bahkan
bisa sampai menyebabkan skizofrenia yang disebabkan oleh neurotoksisitas(5).
Untuk menjelaskan tentang adiksi, perlu dipahami dulu istilah system reward pada
manusia. Manusia, umumnya akan suka mengulangi perilaku yang menghasilkan sesuatu yang
menyenangkan. Sesuatu yang menyebabkan rasa menyenangkan tadi dikatakan memiliki efek
reinforcement positif. Reward bisa berasal secara alami, seperti makanan, air, sex, kasih sayang,
yang membuat orang merasakan senang ketika makan, minum, disayang, dll. Bisa juga berasal
dari obat-obatan. Pengaturan perasaan dan perilaku ini ada pada jalur tertentu di otak, yang
disebut reward pathway. Perilaku-perilaku yang didorong oleh reward alami ini dibutuhkan oleh
makhluk hidup untuk survived (mempertahankan kehidupan)(5).
Bagian penting dari reward pathway adalah bagian otak yang disebut: ventral tegmental
area (VTA),nucleus accumbens, dan prefrontal cortex. VTA terhubung dengan nucleus
accumbens dan prefrontal cortex melalui jalur reward ini yang akan mengirim informasi melalui
saraf. Saraf di VTA mengandung neurotransmitter dopamin, yang akan dilepaskan menuju
nucleus accumbens dan prefrontal cortex. Jalur reward ini akan teraktivasi jika ada stimulus yang
memicu pelepasan dopamin, yang kemudian akan bekerja pada system reward(5).
Obat-obat yang dikenal menyebabkan adiksi / ketagihan seperti kokain, misalnya, bekerja
menghambat re-uptake dopamin, sedangkan amfetamin, bekerja meningkatkan pelepasan
dopamine dari saraf dan menghambat re-uptake-nya, sehingga menyebabkan kadar dopamine
meningkat(5).
GAMBARAN KLINIS
Penderita dengan gangguan penyalahgunaan obat dextromentrofan mempunyai gambaran
klinis(3):
Pada dosis normal:
Tubuh ruam / gatal
mual
kantuk
pusing
Kesulitan bernapas

25
Pada dosis 12,5-75 kali dosis normal:
halusinasi
muntah
penglihatan kabur
merah mata
dilatasi pupil
berkeringat
demam
hipertensi
Pernapasan dangkal
diare
retensi urin
Penyalahgunaan dextromethorphan menggambarkan adanya 4 plateau yang tergantung dosis,
seperti berikut(3):

Plateau Dose (mg) Behavioral Effects


1st 100200 Stimulasi ringan

2nd 200400 Euforia dan halusinasi

Gangguan persepsi visual dan hilangnya


3rd 300 600
koordinasi motorik

4th 500-1500 Dissociative sedation

PROGNOSIS
Prognosis umumnya dipengaruhi oleh besar kecilnya predisposisi (pengaruh factor
kepribadian, sosio budaya dan fisik), mudah-sukarnya mendapatkan obat tersebut dan sering-
jarangnya kesempatan memakai obat tersebut serta lamanya ketergantungan. Makin mudah
faktor-faktor ini dapat ditangani, makin baik prognosisnya(3).

26
PENATALAKSANAAN
Penyalahgunaan obat memerlukan upaya-upaya yang terintegrasi, yang melibatkan
pendekatan psikologis, sosial, hukum, dan medis, serta kondisi yang perlu diatasi secara
farmakoterapi pada keadaan ketergantungan obat yaitu ada dua, kondisi intoksikasi dan kejadian
munculnya gejala putus obat Dengan demikian, sasaran terapinya bervariasi tergantung
tujuannya (5):
1. Terapi pada intoksikasi/over dosis tujuannya untuk mengeliminasi obat dari tubuh,
menjaga fungsi vital tubuh
2. Terapi pada gejala putus obat tujuannya untuk mencegah perkembangan gejala supaya
tidak semakin parah, sehingga pasien tetap nyaman dalam menjalani program
penghentian obat
3. Pengobatan medika mentosa pada orang-orang yang mengalami ketergantungan pada
obat dextromethorphan dapat menggunakan obat Naltrexone, dimana Naltrexone bekerja
dengan menghalangi perasaan menyenangkan, atau "tinggi," mendapatkan seseorang dari
ketergantungan obat, sehingga mengurangi motivasi untuk mengkonsumsi. Naltrexone
dapat digunakan setiap hari sebagai pil dan tersedia dalam injeksi long-acting.

27
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan data penelitian pengguna NAPZA di dunia, dilaporkan hampir 40%


penduduk di dunia pernah menggunakan NAPZA dalam hidup mereka. Beberapa
substansi tersebut menyebabkan kelainan status mental secara internal, seperti
menyebabkan perubahan mood, secara eksternal menyebabkan perubahan perilaku.
Substansi tersebut juga dapat menimbulkan problem neuropsikiatrik yang masih belum
ditemukan penyebabnya, seperti skizofrenia dan gangguan mood, sehingga kelainan
primer psikiatrik dan kelainan yang disebabkan oleh NAPZA menjadi sangat
berhubungan.
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat
yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama
otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan
fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan
(dependensi) terhadap NAPZA
Penyebab penyalahgunaan napza karena factor genetic dan juga psikodinamik.
Penyalahhunaan NAPZA sendiri memiliki Komorbid dengan gangguan kepribadian
antisocial dan juga prilaku bunuh diri. Gejala-gejala klinis gangguan penyalahgunaan
NAPZA adalah:
1. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa ( kompulsi )
untuk menggunakan NAPZA
2. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan NAPZA sejak
awal
3. Keadaan putus NAPZA secara fisiologis ketika penghentian penggunaan
NAPZA atau pengurangan
4. Adanya bukti toleransi
5. Secara progressif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena
penggunaan NAPZA.
6. Meneruskan penggunaan NAPZA meskipun ia menyadari dan memahami
adanya akibat yang merugikan kesehatan akibat penggunaan NAPZA.

28
Terapi pada gangguan akibat penyalahgunaan NAPZA itu sendiri dibagi menjadi 3 fase:
1. Fase penilaian
2. Fase terapi detoksifikasi
3. Fase terapi lanjutan

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, Sadock. 2010. Sinopsis Psikiatri. Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis Edisi 10. Alih
bahasa: Widjaja Kusuma. Jawa Barat: Binarupa Aksara
2. Departemen Kesehatan RI. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia (PPDGJ). Edisi ke III. Jakarta
3. Maslim, R. Buku Saku Diagnosis Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa Unika Atmajaya: Jakarta. 2003
4. Maslim, R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik edisi ketiga. Bagian ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.2007
5. Joewana, Satya. 2005. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif.
Jakarta: EGC.

30

Вам также может понравиться