Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Tatanan tektonik sebelah barat Sumatera dan selatan Jawa, didominasi oleh pergerakan ke utara dari tepian aktif lempeng
samudera Hindia dan lempeng benua Australia terhadap lempengan Sunda dengan kecepatan sekitar 6-7 cm/tahun. Komponen
gerakan lempengan yang relatif tegak lurus terhadap arah batas lempeng sebagian besar membentuk sesar-sesar naik di sepanjang
zona subduksi Sumatera dan Java, sedangkan komponen lempeng yang parallel terhadap batas lempeng didominasi oleh
terbentuknya sesar-sesar geser pada zona sesar.
Kajian tepian tektonik aktif difokuskan untuk mengidentifikasi bentuk geomorfologi dasar laut dari masing-masing segmen
lempeng. Empat bentuk morfologi utama dapat diidentifikasi, seperti zona subduksi, palung laut, prisma akresi, dan cekungan
busur muka. Gambaran bentuk geomorfologi dasar laut ini kemungkinan merupakan contoh morfologi dasar laut yang terbaik di
dunia.
Batas-batas bentuk geomorfologi dasar laut ini sangat jelas terlihat pada rekaman seismic dan citra seabeam. Makin kearah selatan,
dasar laut makin banyak mengalami pensesaran normal. Sesar-sesar ini nampaknya lebih intensif makin jauh dari palung laut.
Pada sumbu palung, bentuk kerak samudera telah banyak mengalami pensesaran dan membentuk pola-pola horst dan graben
secara luas.
Tatanan geologi kelautan Indonesia merupakan bagian yang sangat unik dalam tatanan kelautan dunia, karena berada pada
pertemuan paling tidak tiga lempeng tektonik: Lempeng Samudera Pasifik, Lempeng Benua Australia-Lempeng Samudera India
serta Lempeng Benua Asia. Berdasarkan karakteristik geologi dan kedudukan fisiografi regional, wilayah laut Indonesia dibagi
menjadi zona dalam (inboard) dan luar (outboard) yang menempati regim zona tambahan (contiguous), Zona Ekonomi Eksklusif
dan Landan Kontinen. Bagian barat zona dalam ditempati oleh Paparan Sunda (Sunda Shelf) yang merupakan sub-sistem dari
lempeng benua Eurasia, dicirikan oleh kedalaman dasar laut maksimum 200 m yang terletak pada bagian dalam gugusan pulau-
pulau utama yaitu Sumatera, Jawa, dan Kalimantan (menurut Toponim internasional seharusnya disebut pulau Borneo).
Bagian tengah zona dalam merupakan zona transisi dari sistem paparan bagian barat dan sistim laut dalam di bagian timur.
Kedalaman laut pada zona transisi ini mencapai lebih dari 3.000 meter yaitu laut Bali, Laut Flores dan Selat Makasar. Bagian
paling timur zona dalam adalah zona sistem laut Banda yang merupakan cekungan tepian (marginal basin) dicirikan oleh
kedalaman laut yang mencapai lebih dari 6.000 m dan adanya beberapa keratan daratan (landmass sliver) yang berasal dari tepian
benua Australia (Australian continental margin) seperti pulau Timor dan Wetar (Curray et al, 1982, Katili, 2008).
Zona bagian luar ditempati oleh sistem Samudera Hindia, Laut Pasifik, Laut Timor, laut Arafura, laut Filipina Barat, laut Sulawesi
dan laut Cina Selatan. Menurut Hamilton (1979), kerumitan dari tatanan fisiografi dan geologi wilayah laut Nusantara ini
disebabkan oleh adanya interaksi lempeng-lempeng kerak bumi Eurasia (utara), Hindia-Australia (selatan), Pasifik-Filipina Barat
(timur) dan Laut Sulawesi (utara).
Proses geodinamika global (More et al, 1980), selanjutnya berperan dalam membentuk tatanan tepian pulau-pulau Nusantara tipe
konvergen aktif (Indonesia maritime continental active margin), dimana bagian luar Nusantara merupakan perwujudan dari zona
penunjaman (subduksi) dan atau tumbukan (kolisi) terhadap bagian dalam Nusantara, yang akhirnya membentuk fisiografi
perairan Indonesia.
Lempeng samudera bergerak menunjam lempeng benua membentuk zona penunjaman aktif, sehingga wilayah perairan Indonesia
di bagian barat Sumatera dan selatan Jawa disamping mempunyai potensi aspek geologi dan sumberdaya mineral juga berpotensi
terjadinya bencana geologi (gempabumi, tsunami, longsoran pantai dan gawir laut).
Di bagian tengah kerak samudera India ini terbentuk suatu jalur lurus yang disebut Mid Oceanic Ridge (Pematang Tengah
Samudra), sedangkan dibagian timurnya atau sebalah barat terbentuk jalur punggungan lurus utara-selatan yang disebut Ninety
East Ridge (letaknya hampir berimpit dengan bujur 90 timur) merupakan daerah mineralisasi (Usman, 2006). Bagian yang dalam
membentuk cekungan kerak samudera yang terisi oleh sedimen yang berasal dari dataran India membentuk Bengal Fan hingga
ke perairan Nias dengan ketebalan sedimen antara 2.000-3.000 meter (Ginco, 1999). Daerah Pematang Tengah Samudra pada
Lempeng Indo-Australia merupakan implikasi dari proses Sea Floor Spereading (Pemekaran Lantai Samudera) yang mencapai
puncaknya pada Miosen Akhir dengan kecepatan 6-7 cm/tahun, sebelumnya pada Oligosen awal hanya 5 cm/tahun (Katili, 2008).
Gambar di bawah ini memperlihatkan bentuk ideal geomorfologi pada tepian lempeng aktif adalah mengikuti proses-proses
penunjaman yaitu palung samudera (trench), prisma akresi (accretionary prism), punggungan busur muka (forearc ridge),
cekungan busur muka (forearc basin), busur gunungapi (volcanic arc), dan cekungan busur belakang (backarc basin). Busur
gunungapi dan cekungan busur belakang lazimnya berada di bagian daratan atau kontinen (Lubis et al, 2007).
Gambar 2. Komponen tektonik ideal pada penunjaman tepian lempeng aktif (Hamilton, 1979)
Hasil identifikasi bentuk dasar laut dari beberapa lintasan seismik, citra seabeam dan foto dasar laut maka dapat dikenali beberapa
bentuk geomorfologi utama yang umum terdapat pada kawasan subduksi lempeng aktif. Empat bentuk morfologi utama dapat
diidentifikasi, yaitu zona subduksi, palung laut, prisma akresi, dan cekungan busur muka. Gambaran bentuk geomorfologi dasar
laut ini kemungkinan merupakan contoh morfologi dasar laut yang terbaik di dunia karena batas-batasnya yang jelas dan mudah
dikenali.
Sebagai konsekuansi dari tepian aktif, maka banyak proses tektonik yang mungkin terjadi diantaranya, sesar-sesar mendatar,
sesar-sesar normal yang biasanya membentuk horst dan graben, serta kemunginan aktivitas gunung api (hot spot?). Salah satu
diantaranya adalah terbentuknya gunungapi (submarine volcano atau seamount?) di luar busur volkanik. Indikasi adanya
gunungapi atau tinggian seperti yang ditemukan Tim ekspedisi CGG Veritas (BPPT-LIPI-PPPGL-Berlin University) pada bulan
Mei 2009 yang lalu sebenarnya bukan merupakan gunungapi baru. Beberapa peta batimetri dan citra satelit telah mencantumkan
adanya tinggian tersebut, hanya sampai saat ini belum diberikan nama resmi (toponimi) yang tepat (PPPGL, 2008).
Lintasan survei deep-seismic CGGV-04 telah mendeteksi adanya puncak gunung bawah laut pada posisi koordinat 421.758 LU,
9925,002 BT. Puncak gunung bawah laut ini berada pada kedalaman 1.285 m dengan dasar atau kaki gunung pada kedalaman
5.902 m. Hasil interpretasi data memperlihatkan bahwa gunung bawah laut ini memiliki ketinggian 4.617 m dan Lebar kaki
gunung sekitar 50 km. Lokasi gunung bawah laut yang terdeteksi ini berada pada jarak 320 km sebelah barat dari Kota Bengkulu
(Gambar 3). Namun demikian, berdasarkan konsepsi tektonik, gunungapi di Lantai Samudera tidak seberbahaya dibandingkan
gunungapi yang terbentuk di tepian benua aktif.
Gambar 3. Gambaran Geomorfologi Pada Zona Subduksi Dan Kenampakan Seamount Di Kerak Samudera India, Sumbu
Palung Laut Dan Prisma Akresi Di Lepas Pantai Bengkulu.
Gambar 4. Satuan geomorfologi palung samudra di sebelah selatan Jawa (PPPGL, 2008).
Beberapa patahan yang muncul di sekitar palung laut ini dapat reaktif kembali seperti yang diperlihatkan oleh hasil plot pusat-
pusat gempa di sepanjang lepas pantai pulau Sumatera dan Jawa. Sesar mendatar Mentawai yang ditemukan pada Ekspedisi
Mentawai Indonesia-Prancis tahun 1990-an terindikasi sebagai sesar mendatar yang berpasangan namun di berarapa bagian
memperihatkan bentuk sesar naik. Hal ini merupakan salah satu sebab makin meningkatnya tekanan kompresif dan seismisitas
yang menimbulkan kegempaan.
Di bagian barat pulau Sumatera, pergerakan lempeng samudera India mengalibatkan terangkatnya sedimen (seabed) di kerak
samudera dan prisma-prisma akresi yang merupakan bagian terluar dari kontinen. Sesar-sesar normal yang terbentuk di daerah
bagian dalam yang memisahkan prisma akresi dengan busur kepulauan (island arc) mengakibatkan peningkatan pasokan sedimen
yang lebih besar (Lubis et al, 2007). Demikian pula akibat terjadinya pengangkatan tersebut maka morfologi palung laut di
kawasan ini memperlihatkan bentuk lereng yang terjal dan sempit dibandingkan dengan palung yang terbentuk di kawasan timur
Indonesia.
Pulau-pulau prisma akresi merupakan prisma akresi yang terangkat sampai ke permukaan laut sebagai konsekuensi desakan
lempeng Samudera Hindia ke arah utara dengan kecepatan 6-7 cm/tahun terhadap lempeng Benua Asia-Eropa sebagai benua pasif
menerima tekanan (Hamilton, 1979). Oleh sebab itulah pengangkatan dan sesar-sesar naik di beberapa tempat, seperti yang terjadi
di Kep. Mentawai, Enggano, Nias, sampai Simelueu yang terangkat membentuk gugusan pulau-pulau memanjang parallel
terhadap arah zona subduksi (Lubis, 2009). Gambar 5. memperlihatkan prisma akresi yang naik ke permukaan laut membentuk
pulau-pulau prisma akresi di lepas pantai Aceh, sedangkan contoh prisma akresi yang belum naik ke permukaan laut diperlihatkan
pada Gambar 6. yaitu prisma akresi di lepas pantai selatan Jawa. Selain itu proses pembentukan lainnya yang lazim terjadi di
kawasan ini adalah aktifnya patahan (sesar) dan amblasan (subsidensi) di sekitar pantai sehingga pulau-pulau akresi yang
terbentuk terpisah dari daratan utamanya (Cruise Report SO00-2, 2009).
Prisma akresi merupakan wilayah yang paling rawan terhadap kegempaan karena pusat-pusat gempa berada di bawahnya. Batuan
prisma akresi memiliki ke-khasan tersendiri yaitu ditemukannya batuan campur-aduk (melange, ofiolit) yang umumnya berupa
batuan Skist berumur muda. Sejarah kegempaan di kawasan ini membuktikan bahwa episentrum gempa-gempa kuat umumnya
terletak pada prisma akresi ini karena merupakan gempa dangkal (kedalaman < 30 Km). Gempa kuat yang pernah tercatat
mencapai skala 9 Richter pada tagl 26 Desember 2004. Beberapa ahli geologi juga masih mengkhawatirkan suatu saat akan
terulang gempa sebesar ini di kawasan barat Bengkulu, karena prisma akresi di kawasan ini masih belum melepaskan energi
kegempaan (locked zone) sementara kawasan disekitarnya sudah terpicu dan melepaskan energi melalui serangkaian gempa-
gempa sedang-kuat.
Di Sumatera ditemukan dua prisma akresi, yaitu accretionary wedge 1 di bagian luar & accretionary wedge 2 di bagian dalam
outer arc high yang memisahkan prisma akresi dengan cekungan busur muka (Mentawai forearc asin). Adanya outer arc high
yang memisahkan dua prisma akresi tersebut mengalibatkan sedimen yang berasal dari daratan induknya tidak dapat menerus ke
bagian barat tetapi terendapkan di cekungan busur muka.
Gambar 5. Geomorfologi Prisma Akresi Yang Naik Kepermukaan Sebagai Pulau Prisma Akresi Di Lepas Pantai Sebelah Barat
Aceh.
Gambar 6. Geomorfologi Prisma Akresi Di Selatan Jawa Yang Belum Muncul Ke Permukaan Laut.
Di sisi barat cekungan ini ditemukan sesar-sesar mendatar yang mengontrol aktifnya sesar-sesar tumbuh (growth fault) sehingga
mengakibatkan deformasi struktur batuan sedimen pada tepian cekungan. Berdasarkan seismik stratigrafi, umur sedimen pengisi
cekungan ini relatif muda (Miocene) sehingga kurang memungkinkan terjadi pematangan sebagai source rock (IPA, 2002). Selain
itu, tingkat pematangan (maturitas) batuan reservoar relatif rendah karena laju pengendapan yg relatif cepat di laut dalam,
demikian pula dengan pengaruh proses pematangan diagenesa volkanisme di bagian timur yang jaraknya terlalu jauh.
Salah satu contoh terbaik terbentuknya cekungan busur muka adalah cekungan Lombok yang telah teridentifikasi memiliki
komponen toponimi yang lengkap, seperti koordinat (x,y,z), batas-batas cekungan, luas, kedalaman.
Gambar 7. Geomorfologi cekungan Lombok sebagai cekungan busur muka (PPPGL, 2008)
Zona Subduksi
Daerah pertemuan antar lempeng di lokasi zona subduksi disebut sebagai patahan gempa, atau sebuah megathrust. Palung Sunda
dianggap sebagai sebuah megathrust. Pada zona subduksi Sumatra, lempeng tektonik India dan Australia bergerak perlahan ke
arah timur laut sebesar 61 mm/ tahun dan menujam lempeng Burma (bagian dari lempeng Eurasia). Proses penujaman ini sangat
mengakibatkan kedua lempeng saling menekan satu sama lain, dan menimbulkan tegangan. Apabila tegangan semakin membesar
hingga besar tertentu, maka bagian lempeng akan mulai runtuh karena tidak kuat menahan tegangan. Keruntuhan tidak terjadi di
sepanjang zona subduksi akan tetapi berada pada bidang-bidang tertentu.
Gambar 8. Megathrust Sunda. Angka dan arah panah menunjukkan gerakan relatif lempeng. Terlihat Indonesia terletak pada
suatu daerah dimana pergerakan lempeng sangat kompleks.
.
Gambar 9. Zona Subduksi Sumatera
Kedua peta di atas memperlihatkan keadaan tipikal dari sebuah zona subduksi: palung lautan, bubungan busur-depan (fore-arc
ridge) cekungan busur-depan (fore-arc basin), dan busur kepulauan (island arc). Palung Sunda merupakan tanda batas antar
lempeng, yakni sebuah jalur dengan air laut yang sangat dalam yang sejajar dengan pantai Sumatera. Di bagian kiri bawah,
lempeng Australia menujam lempeng Sunda (yang ditandai dengan panah melengkung) dan membentuk palung yang dalam. Pada
tepi lempeng Sunda, sekitar 100 km dari Palung Sunda dan 180 km dari Sumatera terdapat barisan kepulauan yang merupakan
puncak dari bubungan busur-depan. Bubungan ini terbentuk terbentuk dari bagian sedimen laut lempeng Australia yang tergerus
dan membentuk tumpukan pada tepi lempeng Sunda. Sedimen ini disebut baji naik.