Вы находитесь на странице: 1из 20

MAKALAH

ABSES SUBMANDIBULA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Ilmu Kedokteran Klinik


di Instalasi Bedah Sentral RSUD Blambangan Banyuwangi

Oleh:

Syamsul Bachri 121611101063


Galistiyanissa W. 121611101067
Dinar Prafita Sari D 101611101068

Pembimbing :
dr. Arif Dharmawan, Sp.B

ILMU KEDOKTERAN KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2017
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi odontogenik merupakan salah satu infeksi yang sering terjadi pada
rongga mulut. Infeksi ini awalnya berasal dari kerusakan gigi atau jaringan
penyangganya yang disebabkan oleh bakteri flora normal yang menjadi patogen.
Infeksi odontogen disebabkan bakteri patogen rongga mulut yang predominan bakteri
anaerob dan biasanya lebih dari satu spesies. Infeksi ini juga dapat menjadi beberapa
tipe lesi tergantung lokasi infeksi dan tipe jaringan yang terlibat. Infeksi odontogenik
dapat menjadi berbahaya dan terkadang fatal (French, 2017).
Penyebaran infeksi odontogen ke dalam jaringan lunak dapat berupa abses.
Abses merupakan kumpulan pus yang terlokalisir akibat proses supurasi oleh bakteri
piogenik. Abses juga merupakan tahap akhir dari suatu infeksi yang diawali dari proses
inflamasi. Daerah supurasi terdiri dari polimorfonuklear leukosit hancur yang
dikelilingi leukosit hidup dan terkadang limfosit. Abses terbentuk dalam suatu ruang
potensial yang disebut fasia (Inanto, 2015). Abses submandibula merupakan
peradangan yang disertai pembentukan pus pada daerah submandibula dan memiliki
urutan tertinggi dari semua abses leher yang sering terjadi. 70-85% kasusnya
disebabkan oleh infeksi gigi (Novialdy dan Asyari, 2011).
Penatalaksanaan kasus abses submandibula biasanya dengan pemberian
antibiotik dosis tinggi sesuai dengan hasil kultur dan mikroskopinya serta pembedahan
seperti insisi dan drainase jika diperlukan (Novialdy dan Asyari, 2011). Terapi
medikamentosa yang adekuat dalam 48 jam biasanya tidak ada perubahan sehingga
tindakan pembedahan diperlukan pada kasus infeksi yang telah komplikasi atau
tindakan pencegahan komplikasi. Prinsip penatalaksanaannya yaitu mempertahankan
faktor pertahanan tubuh, menghilangkan etiologi penyakit serta evaluasi terhadap
perawatan yang diberikan.
Abses pada daerah leher termasuk kedaruratan yang mengancam jiwa apabila
disertai komplikasi seperti obstruksi jalan napas, septic emboli, intrakranial abses,
cavernous sinus thrombosis, kelumpuhan saraf hingga ruptur arteri karotis interna
(Inanto, 2015).
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Abses

Abses adalah kumpulan pus yang terletak dalam satu kantung yang terbentuk
dalam jaringan yang disebabkan oleh suatu proses infeksi oleh bakteri, parasit atau
benda asing lainnya (Ardhehali, 2006). Abses merupakan pus yang terlokalisir
akibat adanya infeksi dan supurasi jaringan. Abses merupakan reaksi pertahanan
yang bertujuan mencegah agen-agen infeksi menyebar ke bagian tubuh lainnya.
Pus itu sendiri merupakan suatu kumpulan sel-sel jaringan lokal yang mati, sel-sel
darah putih, organisme penyebab infeksi atau benda-benda asing dan racun yang
dihasilkan oleh organisme dan sel-sel darah. Abses bisa terjadi pada semua struktur
atau jaringan rongga mulut (Gadre, 2006).

2.2 Anatomi Mandibula

Mandibula adalah tulang rahang bawah dan tulang muka yang paling besar dan
kuat. Mandibula merupakan satu-satunya tulang pada tengkorak yang dapat
bergerak. Mandibula dapat ditekan dan diangkat pada waktu membuka dan
menutup mulut. Selain itu, mandibula juga dapat ditonjolkan, ditarik ke belakang
dan sedikit digoyangkan dari kiri ke kanan sebagaimana terjadi pada waktu
mengunyah. Mandibula garis besar dibagi menjadi corpus mandibulae, processus
alveolaris, ramus mandibulae, processus coronoideus, angulus mandibulae, dan
processus condylaris.
a. Proc. condylaris
Proc. condylaris memiliki bentuk cembung dari belakang dan dari sisi ke sisi, serta
lebih meluas pada bagian posterior dibandingkan pada permukaan anterior. Dari
ujung lateral kondilus terdapat tuberkulum kecil untuk perlekatan ligamen
temporomandibula. Proc. condylaris bersendi dengan os temporale pada articulatio
temporomandibularis (TMJ).

b. Ramus mandibulae
Ramus mandibula pada permukaan lateralnya datar dan ditandai oleh tonjolan
miring pada bagian bawah, memberi perlekatan pada hampir seluruh messeter. Pada
permukaan medial terdapat foramen mandibula untuk pusat pembuluh dan saraf
alveolar inferior. Batasnya tidak teratur dan diatasnya terletak tulang tajam, lingula
mandibula yang berikatan pada sphenomandibular, pada bagian bawah dan belakang
terdapat alur mylohyoid yang berjalan ke bawah dan tempat dari perkumpulan
pembuluh dan saraf mylohyoid. Kanalis mandibula membentang miring ke bawah
dan ke depan dalam ramus. Kanalis berisi pembuluh dan saraf alveolar inferior,
dimana cabangnya didistribusikan ke gigi. Batas bawah ramus tebal, lurus, dan
berlanjut dengan batas posterior sudut mandibula. Batas posterior tebal, halus, bulat,
dan ditutupi oleh kelenjar parotis. Ramus terdiri dari dua permukaan, yaitu :

1. Permukaan eksternus (lateralis) Permukaan ini kasar dan datar. Bagian


posterior atas licin yang berhubungan dengan glandula parotis. Sisa dari
permukaan merupakan insersio dari muskulus masseter .

2. Permukaan internus (medialis) Pada permukaan ini terletak foramen


mandibulae yang merupakan awal dari kanalis mandibularis dan dilalui oleh
oleh vena inferior alveolar, saraf inferior alveolar dan arteri inferior alveolar
(Paulsen, 2013).

c. Linea oblique externa


Dari ujung processus coronoideus, ujung anterior ramus akan menuju ke arah corpus
tulang dan bergabung dengan linea oblique externa pada permukaan luar korpus.
Linea ini menjadi makin samar dengan makin ke bawahnya permukaan tersebut ke
arah foramen mentale. Linea ini memisahkan prosessus alveolaris di bagian atas
dengan elemen basal dari tulang di bagian bawah Sloane, 2003).

d. Juga alveolaris
Susunan gigi di mandibula yang menyerupai busur, berjumlah 16, dan memiliki
variasi kedalamannya sesui dengan jenis giginya.

e. Proc. coronoideus
Proc. coronoideus pada permukaan lateralnya datar dan ditandai oleh tonjolan
miring pada bagian bawah, tempat perlekatan pada hampir seluruh m. masseter.
Pada permukaan medial terdapat foramen mandibula untuk pusat pembuluh dan
saraf alveolar inferior, memiliki batas yang tidak teratur, dan diatasnya terdapat
tulang tajam. Selain itu, terdapat lingula mandibula yang berikatan pada
sphenomandibular(Paulsen, 2013).
f. Symphysis mandibulae
Symphysis mandibulae memiliki kerutan yang samar, yang merupakan salah satu
simphisis yang paling menonjol yang memisahkan basis mandibula. Terdapat dua
muskulus yang berorigo pada simphisis mandibula yaitu m. geniohyoid dan m.
genioglossus.

g. Foramen mentale
Foramen mentale merupakan lubang di bagian bukal mandibula biasanya di daerah
bawah dan diantara gigi premolar. Saraf aferen dari bibir bawah dan gingiva labial
melewati foramen ini, bersama-sama dengan pembuluh darah dan menyatu dengan
cabang insisif dari saraf alveolaris inferior yang terletak di dalam tulang.

h. Basis mandibulae merupakan bagian dasar mandibula di sepanjang corpus


mandibula.

i. Tuberculum mentale
Pada bagian garis median tepat di atas perlekatan mylohyoideus terdapat dua
tuberkulum kecil, tuberkulum mentale, yang akan bergabung untuk membentuk
sayap vertikal dari tulang. Daerah ini merupakan perlekatan m. geniohyoideus dan
genioglossus.

j. Protuberantia mentalis
Tonjolan tulang pada bagian terdepan dari basis mendibulae. Simfisis dari
permukaan luar mandibula dan membungkus suatu segitiga, tonjolan, yang tertekan
di pusat tapi dibesarkan di kedua sisi untuk membentuk tuberkulum mental. Tulang
ini berperan dalam pembentukan dagu seseorang.

k. Corpus mandibulae
Corpus adalah bagian horizontal tulang mandibula. Di anterior corpus kiri dan kanan
bergabung pada median line membentuk tulang berbentuk U dan berbentuk seperti
tapal kuda. Corpus mandibulae memiliki 2 permukaan, yakni:
1. Permukaan eksternus Permukaan eksternus kasar dan cembung. Pada bagian
ini terdapat suatu linea oblikum yang meluas dari ujung bawah pinggir anterior
ramus menuju ke bawah dan ke muka serta berakhir pada tuberkum mentale di
dekat garis tengah. Selain itu, terdapat juga foramen mentale yang terletak di
atas linea oblikum.

2. Permukaan internus Permukaan internus agak cekung. Pada permukaan ini


terletak sebuah linea milohyodea, yang meluas oblik dari di bawah gigi molar
ke tiga menuju ke bawah dan ke muka mencapai garis tengah, linea milohyodea
ini merupakan origo dari m. milohyodeus (Paulsen, 2013).

l. Angulus mandibulae Terletak di belakang dan di bawah foramen mandibulae,


permukaan dalam ramus biasanya kasar karena merupakan daerah insersi m.
pterygoideus medialis. Daerah inilah yang disebut dengan angulus mandibulae.

m. Pars alveolaris Merupakan bagian dari mandibula yang berdekatan dengan gigi
yang berisi alveolus gigi (Snell, 2012).
a. Colum mandibulae
Colum mandibula adalah krista tulang yang berakhir pada kutub luar caput
mandibula dan merupakan bagian dari proccesus condyle yang menopang kepala
mandibula. Berperan juga pada proses pengunyahan, dimana otot pengunyah yang
berperan adalah muskulus pterygoideus lateralis yang memiliki fungsi menarik
collum mandibula ke depan.

b. Lingula mandibula
Lingula mandibula adalah proyeksi tulang yang berbentuk seperti lidah pada
permukaan dalam foramen mentale. Selain itu, lingula mandibula merupakan tempat
perlekatan ligamentum sphenomandibular.
c. Sulkus mylohyoideus
Sulkus mylohyoideus adalah alur sempit yang terletak pada permukaan internal
ramus, dimulai dari tepi inferior foramen mandibula sampai ke bagian anterior dekat
persimpangan ramus, terdapat arteri mylohyoideus dan nervus mylohyoideus yang
melewatinya.

d. Caput mandibulae
Caput mandibulae mempunyai diameter mesiodistal 20-25 mm dan diameter
anteroposterior 10 mm. Dari depan ke belakang caput tampak berbentuk conveks
dan sedikit conveks bila dilihat dari samping. Pada saat lahir, caput mandibulae
umumnya terletak sedikit diatas proc. alveolaris. Pada individu dewasa, dengan
terjadinya penambahan tinggi vertikal dari ramus mandibula, caput mandibulae akan
terletak dengan jarak yang bervariasi diatas facies occlusalis gigi geligi. N.
auriculotemporalis berhubungan erat dengan daerah tulang ini.

e. Foramen mandibulae
Dari foramen mandibulae terdapat kanalis mandibularis yang merupakan saluran
yang memanjang dan terletak pada permukaan medial ramus. Kanalis ini dilalui oleh
vena inferior alveolar, saraf inferior alveolar dan arteri inferior alveolar. Selain arteri
dan vena diatas, kanalis ini juga dialiri cabang nervus trigeminus yaitu nervus
mandibularis. Kanalis internal berjalan melintang melalui bagian tengah rahang
bawah dari posterior ke anterior.

f. Linea myelohyoidea
Linea mylohyoidea tampak sebagai rigi oblik yang berjalan ke belakang dan lateral
dari area spina mentalis menuju ke area di bawah dan belakang gigi molar tiga. Linea
mylohyoidea membentuk suatu krista bertingkat yang berfungsi sebagai tempat
melekatnya m. mylohyoideus dan membatasi ketinggian dasar/lantai mulut.
g. Fossa digastrika
Fossa digastrika terdapat pada kedua sisi garis median antara linea mylohyoidea di
bagian atas dan tepi bawah corpus tulang di bagian bawah. Di dalam fossa ini
terdapat origo venter anterior m. digastricus.

h. Spina mentalis
Spina mentalis merupakan proyeksi tulang kecil pada median posterior mandibula,
bagian atas merupakan tempat origo m. genioglossus dan bagian bawah tempat origo
m. geniohyoideus.

i. Fovea sublingualis
Fovea sublingualis merupakan sebuah lekukan kecil pada mandibula untuk kelenjar
sublingual.

j. Fovea submandibularis
Fovea submandibular merupakan lekukan kecil yang melekuk dalam sisi medial
tubuh mandibula bawah garis mylohyoid. Selain itu, fovea submandibularis adalah
lokasi untuk kelenjar submandibular.

k. Tuberositas pterygoideas
Permukaan kasar internal ramus dekat angulus mandibulae, sebagai tempat untuk
m. pterygoideus medial.
2.3 Abses Submandibula

2.3.1 Definisi

Abses submandibular didefinisikan sebagai terbentuknya abses pada ruang


potensial di regio submandibular yang disertai dengan rasa nyeri tenggorok, demam
dan terbatasnya gerakan membuka mulut. Abses submandibular merupakan bagian
dari abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di ruang potensial diantara
fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti
gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda
klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan diruang leher dalam yang terlibat
(Ballengger, 1991; Fachruddin, 2007; Scott dkk, 2001)

2.3.2 Epidemiologi

Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002, menemukan
kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula (15,7%)
merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4), diikuti oleh
angina Ludovici (12,4%), parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).
Sakaguchi dkk, menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 91 kasus dari
tahun 1985 sampai 1994. Rentang usia dari umur 1-81 tahun, laki-laki sebanyak
78% dan perempuan 22%. Infeksi peritonsil paling banyak ditemukan, yaitu 72
kasus, diikuti oleh parafaring 8 kasus, submandibula, sublingual dan submaksila 7
kasus dan retrofaring 1 kasus.

2.3.3 Etiologi

Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjer liur atau
kelenjer limfa submandibula. Sebagian lain dapat merupakan kelanjutan infeksi
ruang leher dalam lainnya terlibat (Fachruddin, 2007; Scott dkk, 2001). Sebelum
ditemukan antibiotika, penyebab tersering infeksi leher dalam adalah faring dan
tonsil, tetapi sekarang adalah infeksi gigi (Huang dkk, 2004). Bottin dkk,
mendapatkan infeksi gigi merupakan penyebab yang terbanyak kejadian angina
Ludovici (52,2%), diikuti oleh infeksi submandibula (48,3%), dan parafaring.
Sebagian besar kasus infeksi leher dalam disebabkan oleh berbagai kuman,
baik aerob maupun anaerob (Fachruddin, 2007). Kuman aerob yang paling sering
ditemukan adalah Streptococcus sp, Staphylococcus sp, Neisseria sp, Klebsiella sp,
Haemophillus sp. Pada kasus yang berasal dari infeksi gigi, sering ditemukan
kuman anaerob Bacteroides melaninogenesis, Eubacterium Peptostreptococcus dan
yang jarang adalah kuman Fusobacterium (Scott,2001).

2.3.4 Patogenesis

Tingkat keparahan infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh
dan lokasi anatomi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran
infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya (Lawson,
1998).
Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke
parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang
submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya
(Ariji, 2002). Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu
limfatik, melalui celah antara ruang leher dalam dan trauma tembus (Rosen,2002).
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan
pus pada daerah submandibula. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada
leher bagian dalam (deep neck infection). Abses di ruang submandibula adalah
salah satu abses leher dalam yang sering ditemukan. Ruang submandibula terdiri
dari ruang sublingual dan submaksila yang dipisahkan oleh otot milohioid. Ruang
submaksila dibagi lagi menjadi ruang submental dan submaksila (lateral) oleh otot
digastrikus anterior (Fachruddin, 2007).
Pada umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula berasal dari proses
infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga
kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.Selain disebabkan oleh infeksi gigi,
infeksi di ruang submandibula bisa disebabkan oleh sialadenitis kelenjar
submandibula, limfadenitis, trauma, atau pembedahan dan bisa juga sebagai
kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain. Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh
kuman aerob, anaerob atau campuran. Infeksi di ruang submandibula biasanya
ditandai dengan pembengkakan di bawah rahang, baik unilateral atau bilateral dan
atau di bawah lidah yang berfluktuasi, dan sering ditemukan trismus.Beberapa
penelitian melaporkan bahwa infeksi gigi atau odontogenik merupakan penyebab
terbanyak dari abses leher dalam. Berhubungan dengan ini, ruang submandibula
sering terkena infeksi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal.
Penyebaran infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya
(Lemonick, 2002).

Gambar Penyebaran Infeksi melalui Gigi

Lee dkk melaporkan 83,3% hasil kultur positif untuk kuman aerob dan
31,3% untuk anaerob pada abses leher dalam. Pada abses leher dalam yang
bersumber dari infeksi gigi, bakteri yang paling sering ditemukan adalah grup
Streptococcus milleri dan bakteri anaerob. Mazita dkk, melaporkan mayoritas hasil
kultur tidak ditemukan pertumbuhan kuman.
2.3.5 Gejala Klinis

Menurut Smeltzer dan Bare (2001), gejala dari abses tergantung kepada
lokasi dan pengaruhnya terhadap fungsi suatu organ saraf. Gejala tersebut dapat
berupa :
Nyeri
Teraba hangat
Pembengkakan
Kemerahan
Demam

Pada abses submandibular didapatkan pembengkakan dibawah dagu atau


dibawah lidah baik unilateral atau bilateral, disertai rasa demam, nyeri tenggorok
dan trismus. Mungkin didapatkan riwayat infeksi atau cabut gigi. Pembengkakan
dapat berfluktuasi atau tidak (Ballengger, 1991; Fachruddin, 2007; Scott dkk,
2001).

2.3.6 Diagnosis

Diagnosis abses leher dalam ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis yang


cermat, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada beberapa kasus
kadang-kadang sulit untuk menentukan lokasi abses terutama jika melibatkan
beberapa daerah leher dalam dan jika pasien sudah mendapatkan pengobatan
sebelumnya (Scott, 2001).
Pemeriksaan penunjang sangat berperan dalam menegakkan diagnosis. Pada
foto polos jaringan lunak leher anteroposterior dan lateral didapatkan gambaran
pembengkakan jaringan lunak, cairan di dalam jaringan lunak, udara di subkutis
dan pendorongan trakea. Pada foto polos toraks, jika sudah terdapat komplikasi
dapat dijumpai gambaran pneumotoraks dan juga dapat ditemukan gambaran
pneumomediastinum (Scott, 2001)..
Jika hasil pemeriksaan foto polos jaringan lunak menunjukkan kecurigaan
abses leher dalam, maka pemeriksaan tomografi komputer idealnya dilakukan.
Tomografi Komputer (TK) dengan kontras merupakan standar untuk evaluasi
infeksi leher dalam. Pemeriksaan ini dapat membedakan antara selulitis dengan
abses, menentukan lokasi dan perluasan abses. Pada gambaran TK dengan kontras
akan terlihat abses berupa daerah hipodens yang berkapsul, dapat disertai udara di
dalamnya, dan edema jaringan sekitar. TK dapat menentukan waktu dan perlu
tidaknya operasi (Scott, 2001; Munoz, 2001).
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan pencitraan resonansi
magnetik (Magnetic resonance Imaging/MRI) yang dapat mengetahui lokasi abses,
perluasan dan sumber infeksi. Sedangkan Ultrasonografi (USG) adalah
pemeriksaan penunjang diagnostik yang tidak invasif dan relatif lebih murah
dibandingkan TK, cepat dan dapat menilai lokasi dan perluasan abses (Al-
Ebrahim,1995; Scott, 2001).
Foto panoramik digunakan untuk menilai posisi gigi dan adanya abses pada
gigi. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada kasus abses leher dalam yang diduga
sumber infeksinya berasal dari gigi. Pemeriksaan darah rutin dapat melihat adanya
peningkatan leukosit yang merupakan tanda infeksi. Analisis gas darah dapat
menilai adanya sumbatan jalan nafas. Pemeriksaan kultur dan resistensi kuman
harus dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan antibiotik yang sesuai (Scott,
2001).

2.3.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan abses submandibula umumnya adalah dengan evakuasi


abses baik dilakukan dengan anestesi lokal maupun dengan anestesi umum serta
dengan pemberian antibiotik intravena dosis tinggi. Antibiotika dosis tinggi
terhadap kuman aerob dan anaerob diberikan secara parenteral. Hal yang paling
penting adalah terjaganya saluran nafas yang adekuat dan drainase abses yang baik.
Infeksi leher dalam sering disebabkan campuran bakteri (gram positif, gram
negatif, aerob dan anaerob) sehingga diberikan antibiotik kombinasi secara empiris
menunggu hasil kultur keluar. Antibiotik yang dapat diberikan yaitu seftriakson
dan metronidazole.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotik adalah
efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi kuman
minimal, toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja yang lebih lama.
Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid,
tergantung letak dan luas abses. Eksplorasi dilakukan secara tumpul sampai
mencapai ruang sublingual, kemudian dipasang salir.Pasien dirawat inap sampai 1-
2 hari gejala dan tanda infeksi reda.

2.3.8 Komplikasi

Komplikasi terjadi karena keterlambatan diagnosis, terapi yang tidak tepat


dan tidak adekuat. Komplikasi diperberat jika disertai dengan penyakit diabetes
mellitus, adanya kelainan hati dan ginjal dan kehamilan. Komplikasi yang berat
dapat menyebabkan kematian (Ballenger,1991; Scott, 2001; Munoz, 2001; Al-
Ebrahim, 1995).
Infeksi dapat menjalar ke ruang leher dalam lainnya, dapat mengenai struktur
neurovaskular seperti arteri karotis, vena jugularis interna dan n. X. Penjalaran
infeksi ke daerah selubung karotis dapat menimbulkan erosi sarung karotis atau
menyebabkan trombosis vena jugularis interna. Infeksi yang meluas ke tulang dapat
menimbulkan osteomielitis mandibula dan vertebra servikal. Dapat juga terjadi
obstruksi saluran nafas atas, mediastinitis, dehidrasi dan sepsis (Scott, 2001; Al-
Ebrahim, 1995; Gadre, 2006; Yusa, 2002; Rosenblatt, 2006).
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ebrahim KE. Descending necrotizing mediastenitis: a case report and review of the
literature. Eur J Cardio-thorac Surg 1995;9:161-2

Ardehali MM, Jafari M, Haqh AB. Submandibular space abscess: a clinical trial for
testing a new technique. Cited 2017 Sept 1. Available from:
www.ncbi.nml.nih.gov/pubmed/22267495#.

Ariji Y. Odontogenic infection pathway to the submandibular space: imaging


assessment. Int J. oral Maxillofac. Surg. 2002; 31:165-9

Ballenger JJ. Infection of the facial space of neck and floor of the mouth. In Ballenger
JJ editors. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck.15th ed.
Philadelphia, London: Lea and Febiger. 1991:p.234-41

Bottin R, Marioni G, Rinalsi R, boninsema M, Salvadori L, Staffieri A. Deep neck


infection: a present-day complication. A retrospective review of 83 cases
(1998-2001). Eur Arch Otolaryngol.2003; vol 260;576-9

Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku ajar
ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 7. Jakarta: Balai Penerbit FK-
UI. 2007:p. 185-8

Fachruddin DR, Helmi. Penatalaksanaan infeksi leher dalam. Up-date 1995. Prinsip
dasar penatalaksanaan penyakit infeksi, dalam rangka dies natalis FK-UI ke-
46(1995).

French, K; Brown, E; Collin, J dan Bell, C. 2017 Extra-ora; drainage of Submandibular


Abscess Under Local Anaesthetic: Review of the Literature and Case
Series.Oral Surgery. Vol. 10:20-29.
Gadre AK, Gadre KC. Infection of the Deep Spaces of the Neck. Bailey BJ, et al. In:
Head & Neck Surgery-Otolaryngology. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins 2006.p.666-8

Huang T, chen T, Rong P, Tseng F, Yeah T, Shyang C. Deep neck infection: analysis
of 18 cases. Head and neck. Ock, 2004.860-4

Inanto, Mukhlis. 2015. Evaluasi Penatalaksanaan Abses Leher Dalam di Departemen


THT-KL Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode Januari 2012-
Desember 2012. Juke Unila. Vol.5, No. 9, Maret 2015.

Lawson W, Reino AJ. Odontogenic infection. In: Byron Bailey, MD editor.


Otolaryngologi head and neck surgery. Philadelphia: JB.Lippincott.Co 1998:p.
671-80

Lee, K.J dkk. (eds) Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, McGraw Hill
Medical Publishing Division, USA.

Lemonick DM. Ludwigs Angina: Diagnosis and Treatment. [update July 2002; cited
May 1st, 2010] Available from: http://www.turner-white.com

Munoz A, Castillo M, Melchor MA, Gutierrez R. Acute Neck infection:prospective


comparison between CT and MRI in 47 patient. J comput Assist
Tomogr.2001;25:733-41

Novialdy dan Asyari, Ade. 2011. Penatalaksanaan Abses Submandibula dengan


Penyulit Uremia dan Infark Miokardium Lama. Bagian Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL). Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas: Padang.

Rosen EJ. Deep neck spaces and infections. Grand rounds Presentation University of
Texas Dept of Otolaryngology; 2002.p
Rosenblatt. Airway Management.In: Barash PG,Cullen BF, Stoelting RK editors.5thed
Clinical anasthesia. Philadelphia: Lippincont Williams & Wilkins.
2006.p.596-693

Sakaguchi M, Sato S, Ishiyama T, Katsuno T, Taguchi K. characterization and


management of deep neck infection. J. Oral Maxillofac Surg. 1997;26:131-
134

Scott BA, Steinberg CM, Driscoll BP. Infection of the deep Space of the neck. In:
Bailley BJ, Jhonson JT, Kohut RI et al editors. Otolaryngology Head and neck
surgery. Philadelphia: JB.Lippincott Company 2001.p.701-15

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. 2001. Keperawatan Medikal Bedah 2, Edisi
8. Jakarta : EGC

Yusa H, Yoshida H, Euno E, Onizawa K, Yanagawa T. Ultrasound-guided surgical


drainage of face and neck abscess. J oral Maxillofac Surgery.2002;31:327-9

Вам также может понравиться