Вы находитесь на странице: 1из 62

Laporan Praktikum

Teknologi Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian


Daging dan Ikan

Disusun oleh :
Kelompok 7 / Kelas THP-C
Faizah Yuski Zamzami 151710101009
Nency Veronica 161710101080
Rina Dian Safitri 161710101094
Vidita Imrotus Sholeha 161710101105
Avista Istiqfaridiana 161710101111
Muhammad Hidayahtullah Dika 161710101123

Asisten Dosen : 1. Fery Defriyanto


2. Kiki Wahyuningtyas
3. Lilik Krisna
4. Wulan Suci
5. Baruna Eka Putra

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS JEMBER

2017
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia,
kebutuhan manusia akan pangan juga semakin meningkat. Salah satu komponen
dari makanan yang penting bagi manusia adalah proten, lipid, karbohidrat,
mineral, asam nukleat, vitamin, dan koenzim. Bahan pangan olahan daging dan
ikan umumnya mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi ditinjau dari kandungan
protein, asam amino, lemak, dan mineral. Ronny (2011) menjelaskan bahwa
daging dan ikan merupakan bahan pangan penyuplai protein yang tinggi bagi
manusia. Daging dan ikan banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dan
mudah ditemui pada pasar, supermarket, dll. Pada daging dan ikan terdapat
protein, lemak, dan asam amino essensial yang lengkap dan seimbang serta
beberapa jenis mineral dan vitamin. Maka dari itu daging dan ikan perlu
dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi.
Daging adalah jaringan otot dari hewan yang telah disembelih dan telah
mengalami perubahan post mortem. Daging juga dapat didefinisikan sebagai
sekumpulan otot dari karkas hewan. Karkas merupakan bagian tubuh ternak yang
telah disembelih, dikuliti, dan dihilangkan bagian isi perut serta kepala dan bagian
kaki bawahnya (Yanti, 2008). Hewan yang umumnya diambil dagingnya untuk
dikonsumsi adalah hewan ternak seperti sapi, babi, kambing, domba, dan kerbau.
Sifat spesifik sensori yang dimiliki daging dapat menentukan daya terima bagi
konsumen. Menurut Purbowati (2006), terdapat beberapa kualitas spesifik yang
mempengaruhi daya terima konsumen terhadap daging adalah warna, pH, daya
ikat air, susut masak, dan keempukan. Yanti (2008) menambahkan bahwa
konsumen lebih menghendaki daging yang berwarna cerah, rendah lemak, empuk,
bebas pestisida dan diproses secara higienis.
Ikan adalah bahan pangan yang mengandung protein tinggi yang sangat
dibutuhkan oleh manusia karena selain mudah dicerna juga mengandung asam
amino dengan pola yang hampir sama dengan asam amino yang terdapat dalam
tubuh manusia. Untuk mendapatan nutrisi yang terdapat dalam ikan, maka ikan

1
harus dalam kondisi yang segar sebelum dilakukan pengolahan lanjutan (Suhartini
dan Hidayat, 2005).
Parameter yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat kesegaran
ikan, baik secara fisik, kimiawi, biologis maupun organoleptik. Pengamatan
secara fisik dapat dilakukan pada insang, mata, lendir, permukaan bahan, sayatan
daging maupun isi perut. Pengujian organoleptik dilakukan terhadap bau dan
flavor ikan. Sedangkan secara kimiawi kesegaran ikan dapat ditentukan dengan
mengukur komponen-komponen yang terbentuk selama proses penurunan mutu
ikan (proses pembusukan ikan) setelah ikan mati (Liviawaty, 2014).
Daging dan ikan merupakan bahan makanan segar yang mudah sekali
rusak setelah pasca panen. Kualitas atau kesegarannya yang digunakan untuk
konsumsi terutama meliputi warna, keempukan atau tekstur, aroma, cita rasa. Di
samping itu lemak intramuskuler, susut masak (cooking loss) yaitu berat sampel
yang hilang selama pemasakan, retensi cairan, pH ikut menentukan kualitas
daging. Oleh karena itu praktikum kali ini dilakukan untuk mengetahui kondisi
daging dan ikan yang masih segar dan perubahan pada daging dan ikan post
mortem serta perbedaan daging dari beberapa spesies ternak.

1.2 Tujuan Praktikum


Adapun tujuan dilakukannya praktikum ini adalah sebagai berikut.
1. Mengamati perbedaan daging atau ikan segar dan yang kurang segar
2. Mengetahui kualitas daging berdasarkan tingkatan penyebaran lemak
intramuscular (marbling)
3. Mengetahui perubahan warna pada daging dan ikan setelah waktu tertentu
maupun perlakuan tertentu
4. Mengetahui nilai pH dari daging/ikan
5. Mengetahui cara pengukuran tekstur dan cara menghitung nilai tekstur
daging
6. Mengamati penyusutan berat daging aibat pemasakan
7. Mengetahui kehilangan bobot daging akibat drip pada daging beku
8. Mengetahui ciri-ciri daging dari beberapa jenis spesies ternak.

2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Daging dan Ikan


2.1.1 Daging Sapi
Daging sapi merupakan daging merah yang sering dikonsumsi oleh
rakyat Indonesia. Komponen bahan kering yang terbesar dari daging
adalah protein sehingga nilai nutrisi dagingnya pun tinggi (Muchtadi
dan Sugiono, 1992). Daging sapi memiliki warna merah terang, mengkilap, dan
tidak pucat secara fisik daging elastis, sedikit kaku dan tidak lembek. Jika
dipegang masih terasa basah dan tidak lengket di tangan. Dari segi aroma, daging
sapi sangat khas (gurih) (Usmiati, 2010). Sapi pedaging dapat dibedakan dari jenis
kelamin dan umur, dimana dengan perbedaan tersebut akan membedakan mutu
dari daging sapi. Pada saat hewan dipotong akan diperoleh karkas dan non
karkas. Dari seekor sapi yang beratnya 500 kg, akan diperoleh 350 kg karkas dan
270 kg daging (Susilawati, 2001).
Daging sapi mempunyai warna merah. Jumlah mioglobin pada veal sekitar
1 sampai 3 mg setiap gram ototnya, 4 sampai 10 mg untuk setiap gram beef dan
16 sampai 20 mg untuk setiap gram beef yang lebih tua. Otot merah mengandung
serabut merah. Dari segi tenderness (keempukan), daging sapi kurang empuk jika
dibandingkan dengan keempukan daging domba atau babi. Hal ini disebabkan
karena daging sapi mempunyai perototan yang lebih besar dan struktur yang lebih
kasar. Veal mempunyai flavor yang lebih ringan daripada beef. Flavor dan aroma
daging sapi yang dimasak hampir sama atau identik dengan daging domba atau
babi (Soeparno, 2005). Menurut Sudarmono (2008), menerangkan bahwa daging
sapi mempunyai kadar protein 16 sampai 22% dan kadar air 65 sampai 80%.
2.1.2 Daging Kambing
Daging kambing memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan daging sapi.
Namun, kambing memiliki serat lebih kecil dibandingkan serat daging sapi, serta
aroma daging kambing yang khas goaty. Daging domba dan kambing masing-
masing mengandung protein 17,1% dan 16,6% dan lemak 14,8% dan 9,2%
(Usmiati, 2010). Daging kambing memiliki ciri yang khas yaitu hampir tidak

3
memiliki lemak dibawah kulit, kelebihan lemaknya ditimbun sebagai lemak yang
tersebar diantara serat daging. Susunan karkas daging kambing yaitu daging 62%,
tulang 19%, dan lemak 19% (Tiven, dkk., 2007).
Warna daging kambing hampir sama dengan daging sapi akan tetapi
mempunyai tingkat kemerahan yang lebih pekat. Warna ini ditentukan oleh
kandungan otot merah penyusun daging. Flavor dan aroma daging kambing
spesifik keras, yang dapat berasal dari fraksi polar senyawa karbonil bebas dari
lemak dan mempunyai hubungan dengan komposisi dan tipe serabut (Soeparno,
2005).
Daging kambing merupakan daging yang unik dalam hal bau, palatabilitas
(rasa) dan keempukannya. Dagingnya kurang berlemak dibandingkan daging lain
dan biasanya kurang empuk. Daging kambing disebut cobrito atau chevor
tergantung umur saat kambing itu dipotong. Cobrito berasal dari anak kambing
yang dipotong setelah menerima kolustrum beberapa hari permulaan hidupnya.
Daging itu terutama digunakan untuk daging panggang. Chevor berasal dari
kambing yang dipotong pada saat disapih atau lebih tua lagi (Blakely and Bade,
1991).
2.1.3 Daging Babi
Warna daging babi adalah putih dan banyak ditemui serabut putih. Jumlah
mioglobin pada daging babi sekitar 0,038%. Karkas babi rata-rata berwarna pucat
karena selain banyak mengandung serabut putih anaerobik juga kandungan
glikogennya tinggi. Flavor dan aroma pada daging babi tidak jauh berbeda dengan
spesies lain. Pork yang disimpan lama sebelum pemasakan dapat mempunyai
flavor seperti keju, karena ransiditas lemak. Daging babi mempunyai aroma yang
identik dengan daging sapi dan domba. Fraksi volatil daging dari spesies babi
adalah sagat serupa dengan fraksi volatil pada sapi dan domba. Sementara
penyimpangan aroma atau bau spesifik daging babi jantan yang disebut bau boar,
terutama disebabkan oleh senyawa yang terdapat didalam lemak yang tidak
tersabun yang telah diidentifikasi sebagai 5-androst-16ene-3-one (Soeparno,
2005).

4
2.1.4 Daging Ayam
Memilih daging ayam segar yang biasa perlu diperhatikan beberapa
hal, yaitu warna daging yang putih kekuningan, warna lemak yang putih
kekuningan dan merata di bawah kulit, memiliki bau yang segar, kekenyalan
yang elastis dan tidak ada tanda-tanda memar atau tanda lain yang
mencurigakan. Daging ayam termasuk mengandung gizi yang tinggi, selain dari
proteinnya juga daging ayam mengandung lemak. Protein pada ayam yaitu 18,2
gram sedangkan lemaknya berkisar 25 gram (Litbang Deptan, 2007). Menurut
Rasyaf (2002), daging ayam di Indonesia adalah daging dari hasil
penyembelihan ayam yang telah disahkan di rumah potong dan telah
membudidaya di masyarakat.
Daging ayam banyak diminati masyarakat disebabkan oleh teksturnya
yang elastis, artinya jika ditekan dengan jari, daging dengan cepat akan kembali
seperti semula. Jika ditekan daging tidak terlalu lembek dan tidak berair. Warna
daging ayam segar adalah kekuning-kuningan dengan aroma khas daging ayam
tidak amis tidak berlendir dan tidak menimbulkan bau busuk. Ciri khas dari
daging ayam yaitu Warna putih kekuningan cerah (tidak gelap, tidak pucat, tidak
kebiruan, tidak terlalu merah). Warna kulit ayam putih kekuningan, cerah,
mengkilat dan bersih. Bila disentuh, daging terasa lembab dan tidak lengket (tidak
kering). Bau spesifik daging (tidak ada bau menyengat, tidak berbau amis, tidak
berbau busuk). Konsistensi otot dada dan paha kenyal, elastis (tidak lembek).
Bagian dalam karkas dan serabut otot berwarna putih agak pucat, pembuluh darah
dan sayap kosong (tidak ada sisa-sisa darah) (Kasih et al.2012).
2.1.5 Ikan Kembung
Ikan kembung merupakan ikan yang hidup di tepian pantai dan pada
musim tertentu hidup bergerombol di permukaan laut, sehingga
penangkapannya secara besar-besaran mudah dilakukan. Ikan ini banyak
dikonsumsi oleh masyarakat karena kandungan gizi yang cukup tinggi,
harganya relatif murah dan mudah diperoleh di pasaran (Yulisma, dkk., 2012).
Ikan kembung (Indian Mackerel-Scombridae) memiliki karakteristik badan
lonjong dan pipih. Di belakang sirip punggung kedua dan sirip dubur

5
terdapat 5 sirip tambahan (finlet) dan terdapat sepasang keel pada ekor.
Pada ikan ini terdapat noda hitam di belakang sirip dada. Pada semua jenis
terdapat barisan noda hitam di bawah sirip punggung. Jenis ikan Kembung
yang tertangkap di Indonesia terdiri dari spesies Rastelliger brachysoma,
R. faughni dan R. kanagurta. Ikan kembung memiliki nama lokal Rumahan,
Temenong, Mabong, Pelaling, Banyar, Kembung Lelaki. Habitat ikan kembung
tersebar membentuk gerombolan (schooling) besar di wilayah perairan pantai.
Ikan ini sering ditemukan bersama dengan ikan famili Clupeidae seperti
Lemuru dan Tembang. Jenis makanannya adalah Phytoplankton (Diatom),
Zooplankton (Cladocera, Ostracoda, Larva Polychaeta). Ikan dewasa
memakan Makroplankton seperti larva udang dan ikan (Wiadnya, 2012).
Menurut Saanin (1968), klasifikasi ikan kembung adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Actinopterygii
Subkelas : Teleostei
Ordo : Perciformes
Famili : Scombridae
Genus : Rastrelliger
Spesies : Rastrelliger kanagurta

Menurut Astuti (2007), morfologi Ikan Kembung (Rastrellinger sp) Tubuh


ikan pada umumnya terbagi atas tiga bagian, yaitu:
1) Caput adalah bagian kepala, yaitu mulai dari ujung moncong terdepan
sampai dengan ujung tutup insang paling belakang. Pada bagian kepala
terdapat mulut, rahang atas, rahang bawah, gigi, sungut, hidung, mata,
insang, tutup insang, otak, jantung, dan sebagainya.
2) Truncus adalah bagian badan, yaitu mulai dari ujung tutup insang bagian
belakang sampai dengan permulaan sirip dubur. Pada bagian badan
terdapat sirip punggung, sirip dada, sirip perut, serta organ-organ dalam
seperti hati, empedu, lambung, usus, gonad, gelembung renang, ginjal,
limpa, dan sebagainya.

6
3) Cauda adalah bagian ekor, yaitu mulai dari permulaan sirip dubur sampai
dengan ujung sirip ekor bagian paling belakang. Pada bagian ekor
terdapat anus, sirip dubur, sirip ekor, dan kadang-kadang juga terdapat
scute dan finlet.
2.1.6 Ikan Lele
Menurut Saanin dan Setiaji (2009), klasifikasi Ikan Lele (Clarias sp.)
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Sub-kingdom : Metazoa
Phyllum : Chordata
Sub-phyllum : Vertebrata
Klas : Pisces
Sub-klas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub-ordo : Siluroidea
Familia : Clariidae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias batrachus
Bentuk tubuh ikan lele memanjang, agak silindris (membulat) dibagian
depan dan mengecil ke bagian ekornya. Kulitnya tidak memiliki sisik,
berlendir, dan licin. Jika terkena sinar matahari, warna tubuh ikan lele berubah
menjadi pucat dan jika terkejut warna tubuhnya otomatis menjadi loreng seperti
mozaik hitam-putih. Mulut ikan lele dumbo relatif lebar, yaitu sekita dari
panjang total tubuhnya (Khairuman dan Khairul, 2002).
Ikan lele merupakan hewan nokturnal dimana ikan ini aktif pada
malam hari dalam mencari mangsa. Ikan-ikan yang termasuk ke dalam genus
lele dicirikan dengan tubuhnya yang tidak memiliki sisik, berbentuk memanjang
serta licin. Ikan Lele mempunyai sirip punggung (dorsal fin) serta sirip anus (anal
fin) berukuran panjang, yang hampir menyatu dengan ekor atau sirip ekor.
Ikan lele memiliki kepala dengan bagian seperti tulang mengeras di bagian
atasnya. Mata ikan lele berukuran kecil dengan mulut di ujung moncong
berukuran cukup lebar. Dari daerah sekitar mulut menyembul empat pasang
barbel (sungut peraba) yang berfungsi sebagai sensor untuk mengenali
lingkungan dan mangsa. Lele memiliki alat pernapasan tambahan yang
dinamakan Arborescent. Arborescent ini merupakan organ pernapasan yang

7
berasal dari busur insang yang telah termodifikasi. Pada kedua sirip dada
lele terdapat sepasang duri (patil), berupa tulang berbentuk duri yang tajam.
Pada beberapa spesies ikan lele, duri-duri patil ini mengandung racun ringan.
Hampir semua species lele hidup di perairan tawar. Berikut kisaran parameter
kualitas air untuk hidup dan pertumbuhan optimum ikan lele menurut beberapa
penelitian dalam Witjaksono (2009).

2.2 SNI Daging dan Ikan


2.2.1 SNI Daging Sapi
Berdasarkan nomor SNI 3932:2008, standar mutu karkas dan daging sapi
adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Tingkatan mutu karkas
Persyaratan Mutu
No. Jenis Uji
I II III
1. Ketebalan 12 mm 13 - 22 mm 22 mm
lemak
2. Konformasi cekung - rata - cembung sangat cembung
agak
cekung
3. Warna skor 1 - 3 skor 4 - 6 skor 7 - 9
4. Perubahan bebas dari ada satu memar ada satu memar atau
warna memar dan atau freeze burn freeze burn diameter 2
freez burn dengan diameter cm di bagian selain
2 cm di bagian daerah prime cut dan
selain daerah prime atau ada lebih dari satu
cut memar dengan diameter
2 cm selain pada prime
cut

Tabel 2.2 Tingkatan mutu daging sapi


Persyaratan Mutu
No. Jenis Uji
I II III
1. Warna daging merah terang merah kegelapan merah gelap
skor 1 - 5 skor 6 - 7 skor 8 - 9
2. Warna lemak putih skor 1 - 3 putih kekuningan kuning skor 7 -
skor 4 - 6 9
3. Marbling skor 9 - 12 skor 5 - 8 skor 1 - 4
4. Tekstur halus sedang kasar

8
2.2.2 SNI Daging Ayam
Berdasarkan nomor SNI 3924:2009, standar mutu daging ayam adalah
sebagai berikut:
Tabel 2.3 Tingkatan mutu fisik karkas
Faktor Tingkatan Mutu
No.
Mutu I II III
ada sedikit kelainan
ada kelainan pada tulang
1. Konformasi sempurna pada tulang dada
dada dan paha
atau paha
2. Perdagingan tebal sedang tipis
3. Perlemakan banyak banyak sedikit
tulang utuh, kulit tulang dada ada yang
sobek sedikit, tetapi patah, ujung sayap
4. Keutuhan utuh
tidak pada bagian terlepas ada kulit yang
dada sobek pada bagian dada
bebas dari
ada memar sedikt
memar
Perubahan tetapi tidak pada ada memar sedikit tetapi
5. dan atau
warna bagian dada dan tidak ada "freeze burn"
"freeze
tidak "freeze burn"
burn"
ada bulu tunas
bebas dari
sedikit yang
bulu tunas
6. Kebersihan menyebar, tetapi ada bulu tunas
(pin
tidak pada bagian
feather)
dada

Tabel 2.4 Tingkatan Mutu dan Syarat Mutu Daging Kambing


Berdasarkan nomor SNI 3925:2008, standar mutu daging kambing adalah
sebagai berikut:
Derajat Marbling Umur
I0 I1 I2 I3-4
Banyak Mutu I Mutu I Mutu I Mutu II
Sedang Mutu I Mutu I Mutu II Mutu III
Sedikit Mutu I Mutu II Mutu III Mutu III
Tanpa Marbling Mutu II Mutu III Mutu III Mutu III
KETERANGAN
I0 10 bulan I2 13 - 18 bulan I1 10 - 12 bulan I3-4 18 bulan

9
2.3 Pengaruh Penambahan Enzim pada Daging dan Ikan
Keempukan (kelunakan) dan tekstur daging merupakan salah satu faktor
penentu kualitas daging. Pemberian enzim terhadap daging sebelum dimasak
dapat menghemat energi, karena enzim protease terlebih dahulu akan mengubah
struktur serat protein yang sukar larut, sehingga daging yang telah direndam
dengan ekstrak enzim protease tidak perlu dimasak berlama-lama untu
memperoleh daging yang empuk.
Enzim protease atau proteolitik merupakan enzim yang dapat memeceh
protein sehingga dapat melunakkan daging. Enzim proteolitik akan menghidrolisis
daging sehingga daging akan mengendur dan menjadi lebih empuk. Enzim
proteolitik secara alami dapat dijumpai pada buah nanas, pepaya, jeruk dan lain-
lain. Buah nanas merupakan buah yang mengandung enzim bromelin. Bromelin
termasuk golongan protease yang dihasilkan oleh sari buah nanas dan memiliki
keistimewaan yakni dapat memutuskan ikatan peptida dan protein (Utami dan
Pudjomartatmo, 2011). Sebayang (2006), menambahkan bahwa bromelin
merupakan enzim proteolitik seperti halnya renin, papain dan fisin yang memiliki
sifat menghidrolisa protein dan menggumpalkan susu. Dengan demikian
penambahan sari buah nanas pada daging akan memutuskan ikatan peptida pada
daging dan membuat daging menjadi lebih lunak serta dapat meningkatkan
kandungan kadar protein pada daging.
Enzim lain yang dapat digunakan pada daging yaitu enzim enzim papain
yang berasal dari tanaman pepaya. Enzim papain merupakan enzim proteolitik
golongan protease yang memerlukan substrat protein dengan titik serangnya pada
bagian ikatan-ikatan peptida (Miller 1958 dalam Haryati 2015). Papain cocok
digunakan sebagai pengempuk daging karena aktif pada keadaan pH daging.
Enzim ini memotong protein daging pada sisi karboksil valin, lisin dan arginin
(Haryati, 2015).
Pemeraman atau perendaman daging dalam enzim dapat membantu
mengempukan daging karena selama perendaman terjadi berbagai proses
hidrolisis yang dilakukan oleh enzim. Terjadinya keempukan daging selama
perendaman dalam enzim disebabkan oleh protein daging yang mengalami

10
perubahan oleh enzim proteolitik. Enzim proteolitik dianggap penting dalam
metabolisme protein dan banyak digunakan dalam industri pangan. Enzim
bromelin yang diperoleh dari ekstrak buah nanas mampu menghidrolisis ikatan
peptida pada protein atau polipeptida menjadi molekul yang lebih kecil (Basri,
2014).
Selain dapat melunakkan daging, pemberian enzim pada daging juga dapat
menyebabkan perubahan warna serta perubahan aroma pada daging. Perubahan
warna dan aroma yang terjadi pada daging disebabkan oleh adanya sari nanas
yang diserap oleh daging dalam proses perendaman, dengan semakin tinggi
konsentrasi sari nanas yang ditambahkan pada daging maka akan membuat warna
daging akan berwarna putih terang (Wijayanti, 2014).

2.4 Perbedaan Daging Sapi, Daging Kambing, Daging Babi, dan Daging
Ayam
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk
hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 1998).
Daging ialah otot daging yang melekat pada rangka, kecuali urat daging pada
bagian bibir, hidung, dan telinga, yang berasal dari hewan sehat sewaktu
dipotong. Menurut Lawrie (2003), komposisi daging terdiri atas 75% air, 18%
protein, 3,5% lemak dan 3,5% zat-zat non protein yang dapat larut. Secara umum,
komposisi kimia daging terdiri atas 70% air, 20% protein, 9% lemak dan 1% abu.
Jumlah ini akan berubah bila hewan digemukkan yang akan menurunkan
persentase air dan protein serta meningkatkan persentase lemak. Protein daging
lebih mudah dicerna dibandingkan dengan yang bersumber dari bahan pangan
nabati.
Berdasarkan keadaan fisik daging dapat dikelompokkan menjadi: 1)
daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan, 2) daging yang dilayukan
kemudian didinginkan (daging dingin), 3) daging yang dilayukan, didinginkan,
kemudian dibekukan (daging beku), 4) daging masak, 5) daging asap, dan 6)
daging olahan (Soeparno, 1998). Faktor yang mempengaruhi warna daging adalah

11
pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress, pH dan oksigen
(Sugiyono,1996).
2.4.1 Daging Sapi
Daging sapi adalah jaringan otot yang diperoleh dari sapi yang biasa dan
umum digunakan untuk keperluan konsumsi makanan. Daging sapi merupakan
daging merah yang sering dikonsumsi oleh rakyat Indonesia. Komponen bahan
kering yang terbesar dari daging adalah protein sehingga nilai nutrisi dagingnya
pun tinggi (Muchtadi dan Sugiono, 1992). Menurut Soeparno (1998), daging sapi
mempunyai warna merah. Jumlah mioglobin pada veal sekitar 1-3 mg setiap gram
ototnya, 4-10 mg untuk setiap gram beef dan 16-20 mg untuk setiap
gram beef yang lebih tua. Otot merah mengandung serabut merah. Dari
segi tenderness (keempukan), daging sapi kurang empuk jika dibandingkan
dengan keempukan daging domba atau babi. Hal ini disebabkan karena daging
sapi mempunyai perototan yang lebih besar dan struktur yang lebih
kasar. Veal mempunyai flavor yang lebih ringan daripada beef. Flavor dan aroma
daging sapi yang dimasak hampir sama atau identik dengan daging domba atau
babi.
Daging sapi menunjukkan bau yang khas yaitu sehingga dapat dibedakan
dengan ternak lain.Struktur serat pada pengamaan daging sapi ini terlihat jelas dan
besar dengan lemak intra maskuler yang tersebar tidak merata. Daging sapi yang
mengandung banyak lemak memberikan kehalusan yang baik pada serat daging
menyebabakan mudah dipotong (Sugiyono, 1996).
2.4.2 Daging Babi
Menurut Sugiyono (1996), daging babi mempunyai warna merah muda
(pucat), hal ini dipengaruhi oleh lemak yang tebal dan jenis pakan yang
mempengaruhi warna dan aroma daging, Sugiyono (1996) menegaskan bahwa
daging babi ini punya lemak intramuskular yang banyak dan merata dengan serat
yang halus hal ini disebabkan karena babi merupakan jenis ternak non ruminansia
yang mempengaruhi kandungan lemak yang banyak sehingga membuat strutur
dagingnya halus. Lawrie (1995) menambahkan bahwa rendahnya kadar mioglobin
pada urat daging babi menyebabkan warna pucat pada daging tersebut.

12
Prekursor flavor daging spesies babi adalah substansi nonprotein yang
larut dalam air. Prekursor flavor daging babi terdiri dari dua subfraksi, yaitu fraksi
yang mengandung asam amino, dan fraksi yang mengandung gula pereduksi.
Pemanasan masing-masing subfraksi tidak menghasilkan flavor yang spesifik
daging, tetapi pemanasan kombinasi kedua subfraksi dapat menghasilkan aroma
daging (Soeparno, 1992)
Daging babi mempunyai aroma yang identik dengan daging sapi dan
domba. Fraksi volatil daging dari spesies babi adalah sagat serupa dengan fraksi
volatil pada sapi dan domba. Penyimpangan aroma atau bau spesifik daging babi
jantan yang disebut bau boar, terutama disebabkan oleh senyawa yang terdapat
didalam lemak yang tidak tersabun yang telah diidentifikasi sebagai 5-androst-16
ene-3-one (Soeparno, 1992).
Daging babi mempunyai lemak intra-muskular yang banyak dan merata.
Serat yang halus ini disebabkan karena babi merupakan jenis ternak non
ruminansia yang mempunyai kandungan lemak yang banyak sehingga membuat
struktur dagingnya halus (Sugiyono, 1996).
2.4.3 Daging Kambing
Menurut Soeparno (1992), warna daging kambing hampir sama dengan
daging sapi, tetapi mempunyai tingkat kemerahan yang lebih pekat. Warna ini
ditentukan oleh kandungan otot merah penyusun daging. Prekursor flavor daging
spesies kambing dan babi adalah substansi non protein yang larut dalam air.
Prekursor flavor daging kambing dan babi terdiri dari fraksi yang mengandung
asam amino, dan fraksi yang mengandung gula pereduksi. Pemanasan masing-
masing subfraksi tidak menghasilkan flavor yang spesifik daging. Daging
kambing mempunyai aroma yang identik dengan daging sapi dan babi (Soeparno,
1992).
2.4.4 Daging Ayam
Ayam merupakan salah satu ternak unggas yang sudah tidak asing lagi
dikalangan masyarakat. Daging ayam merupakan bahan makanan bergizi tinggi
yang mudah untuk didapat, rasanya enak, teksturnya empuk, baunya tidak terlalu
amis serta harga yang terjangkau oleh semua kalangan masyarakat sehingga

13
disukai banyak orang dan sering digunakan sebagai bahan utama dalam
pembuatan makanan. Daging ayam merupakan hasil ternak unggas yang mudah
rusak (busuk). Daging ayam yang biasa di konsumsi di Indonesia adalah ayam
pedaging (broiler) dan ayam kampung. Setiap orang punya pilihannya masing-
masing dengan alasan yang berbeda misalnya karena ayam broiler lebih cepat
empuk daripada ayam kampung atau karena ayam kampung memiliki kandungan
lemak yang lebih sedikit daripada ayam broiler (Dewi Windiani dan Diah Ari,
2014).
Setiap jenis ternak memiliki ciri-ciri tersendiri terutama dalam hal warna
dan lemaknya. Hal ini dapat dijadikan pegangan dalam membedakan jenis daging
berdasarkan asal ternaknya. Karaktersitik tersebut adalah:
1. Daging sapi
a. Warna merah khas daging sapi: warna gelap, warna keungu-unguan dan
akan berubahmenjadi merah chery bila daging tersebut kontak dengan
oksigen terbatas.
b. Memiliki serat-serat yang tampak padat dan garis-garis seratnya terlihat
jelas. Serat daging halus dan sedikit berlemak tergantung letak daging dalam
karkas.
c. Lemak lebih kaku dan berbentuk, berwarna kekuning-kuningan, serta agak
kering dan tampak berserat.
d. Memiliki tekstur yang lebih kaku dan padat. Terasa solid dan keras sehingga
cukup sulit untuk diregangkan.
e. Memiliki aroma anyir (Hermanianto, 2010).
2. Daging kambing
a. Daging berwarna lebih pucat dari domba.
b. Lemak daging kambing keras dan kenyal serta berwarna putih kekuningan.
c. Memilki serat yang lembut dan halus
d. Aroma daging kambing lebih keras dibandingkan daging sapi (Santoso,
2011).
3. Daging babi

14
a. Daging berwarna pucat merah muda, daging bagian punggung yang banyak
mengandung lemak, biasanya nampak putih kelabu.
b. Sifat seratnya terlihat samar dan sangat renggang, serta daging babi berserat
halus.
c. Memiliki tekstur lemak yang lebih elastis dan lemak sangat basah dan sulit
dilepas dari dagingnya.
d. Memliki tekstur daging yang lembek dan mudah diregangkan (sangat
kenyal).
e. Memiliki aroma khas tersendiri (Hermanianto, 2010).
4. Daging ayam
a. Warna daging pada umumnya keputih-putihan.
b. Serat daging halus.
c. Konsistensi kurang padat.
d. Diantara serat daging tidak terdapat lemak.
e. Warna lemak putih kekuning-kuningan dengan konsistensi lunak
f. Bau agak amis sampai tidak berbau (Santoso, 2011).

2.5 Pengaruh Thawing pada Daging dan Ikan


Thawing merupakan proses kelanjutan dari proses freezing. Thawing akan
mengembalikan bahan baku ataupun produk dari yang semula berbentuk fase
padat menjadi fase cair. Dalam daging beku akan mengembalikan keempukan dari
daging. Ada 2 macam thawing yaitu slowly thawing dan rapid thawing. Slowly
thawing menggunakan aliran udara hangat (suhu thawing berkisar antara 100 -
1500C) yang akan menyebabkan suhu bahan baku dan produk menjadi meningkat.
Sedangkan cara lambat adalah dengan membungkus bahan baku dengan plastik
kemudian dialiri oleh air (Forrest et al., 1975; Jeremiah, 1996).
Temperatur pembekuan yang digunakan akan mempengaruhi kecepatan
pembekuan cairan daging. Daging yang membeku dengan cepat akan
menghasilkan kristal es yang lembut (halus) yang terletak dalam jaringan daging,
dan akan menghasilkan drip yang lebih sedikit pada saat thawing sehingga
penurunan gizi daging dapat dicegah, berbeda dengan pembekuan lambat akan

15
menghasilkan drip yang lebih banyak sehingga akan menurunkan kualitas daging
beku (Lawrie, 1979; Judge et al.,1989).
Penggunaan bahan pengemas dalam pembekuan daging dapat mencegah
terjadinya gosong beku (Freezer burn) yang dapat menyebabkan perubahan
flavor, warna, tekstur dan penampakan daging beku yang tidak menarik, selain itu
pengemas dapat mengurangi terjadinya desikasi, dehidrasi dan oksidasi lemak,
sehingga kualitas daging beku dapat dipertahankan (Urbain, 1971). Plastik
polietilen (PE), plastik polipropilen (PP) dan aluminium foil dapat digunakan
sebagai bahan pengemas (Harte, 1985).
Lama pelayuan daging sebelum dibekukan akan meningkatkan jumlah
cairan daging segar (weep) dan cairan daging beku (drip) yang keluar pada saat
pencairan kembali (thawing), yang akan menyebabkan terjadinya penurunan
kandungan gizi daging karena sebagian zat-zat dalam daging ikut terlarut dalam
drip (Lawrie, 1979 dan Judge et al.,1989). Lama pelayuan daging berhubungan
dengan selesainya proses rigormortis (proses kekakuan daging), dalam hal ini
apabila proses rigormortis belum selesai dan daging terlanjur dibekukan maka
akan menurunkan kualitas daging atau daging mengalami proses cold shortening
(pengkerutan dingin) ataupun thaw rigor (kekakuan akibat pencairan daging) pada
saat thawing sehingga akan dihasilkan daging yang tidak empuk/alot (Buckle et
al.,1978).
Denaturasi protein yang terjadi selama pembekuan dapat menyebabkan
kehilangan daya ikat air pada ikan atau daging. Pada saat thawing dapat terjadi
kegagalan serabut otot menyerap kembali semua air sehingga mengalami
translokasi atau keluar dari proses pembekuan dan menyebabkan sebagian drip.
Pada prinsipnya jika daya ikat air turun jumlah air yang keluar dari daging akan
meningkat. Kerusakan-kerusakan protein dan sel otot merupakan akibat dari
waktu dan temperatur pembekuan (Rahardjo, 2014).

2.6 Pengaruh Curring pada Daging dan Ikan


Curing merupakan suatu cara pengolahan dan pengawetan untuk menarik air
atau mengurangi kadar air dari ikan dengan cara penggaraman (pengasinan),

16
pengeringan, pengasapan, pemindangan (boiling in salt), pengasaman dan
fermentasi (Ilyas, 1980). Curing adalah suatu cara pengolahan daging dengan
menambahkan beberapa bahan seperti garam natrium klorida (NaCl), natrium-
nitrit, natrium-nitrat, gula, serta bumbu-bumbu (Soeparno, 1994). Proses curing
bertujuan untuk mempersiapkan daging pada penggunaan berikutnya,
menghambat pertumbuhan mikroba, mendapatkan warna yang stabil, aroma,
tekstur, dan kelezatan yang baik, mengurangi pengerutan daging selama proses
serta memperpanjang masa simpan produk (Soeparno, 1994).
Pada proses curing apabila dikondisikan pada pH yang sangat rendah
menyebabkan perubahan kadar air daging karena daya ikat air daging menurun
sehingga daging akan mengalami kehilangan cairan daging. Penurunan daya ikat
air dapat diketahui dengan adanya eksudasi cairan yang disebut weep pada daging
mentah yang belum dibekukan (Soeparno, 1994).
Penurunan kadar air ini akan berpengaruh terhadap nilai susut masak pada
daging. Semakin tinggi daya ikat air, maka semakin rendah kadar air daging dan
diikuti oleh turunnya persentase susut masak daging (Wulandari, 2011). Menurut
Soeparno (2005) bahwa besarnya susut masak dapat dipergunakan untuk
mengistemasi jumlah jus dalam daging masak. Daging dengan susut masak yang
lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan
susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan
lebih sedikit (Wulandari, 2011).
Curing merupakan proses pemeraman daging dengan menggunakan garam
sendawa (garam salpeter) biasanya dalam bentuk NaNO2, NaNO3, KNO2, dan
KNO3; garam dapur, bumbu-bumbu, fosfat (Sodium tripolifosfat/STPP) dan
bahan-bahan lainnya tetapi biasanya curing dilakukan hanya dengan garam
salpeter/sendawa dan garam dapur saja dan kemudian, ditambahkan bahan-bahan
lainnya bila akan dibuat produk olahannya (Suharyanto, 2008). Curing merupakan
cara mengawetkan daging secara kimiawi. Produk dari daging curing ini disebut
dengan cured meat. Biasanya cured meat ini merupakan produk intermediate
daging karena setelah dicuring, daging bisa diolah menjadi olahan lainn.ya Curing
pada daging ini dimaksudkan untuk meningkatkan warna merah daging,

17
menstabilkan flavor, mengawetkan dan lain-lainnya. Jadi bila menghendaki
produk daging (misalnya sosis) dengan warna merah cerah daging, maka perlu
dicuring dengan nitrit (Firman, 2011).
Mekanisme curing menurut Winarno (2002) adalah nitrit bereaksi dengan
gugus sulfhidril dan membentuk senyawa yang tidak dapat dimetabolisasi oleh
mikrobia dalam kondisi anaerob. Pada daging, nitrit membentuk nitroksida yang
dengan pigmen daging akan membentuk nitrosomioglobin yang berwarna merah
cerah. Pembentukan nitrooksida dapat terlalu banyak jika hanya menggunakan
garam nitrit, oleh sebab itu biasanya digunakan campuran garam nitrat dan garam
nitrit.

18
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
1. Kamera
2. Pisau
3. Kompor
4. Stopwatch
5. Termometer
6. pH meter
7. Rheotex
8. Timbangan
9. Freezer
10. Waterbath
11. Label
12. Baskom
3.1.2 Bahan
1. Daging sapi
2. Daging ayam
3. Daging babi
4. Daging kambing
5. Ikan laut
6. Ikan lele
7. Ekstrak nanas
8. Air
9. Aquades
10. Kertas pH universal
11. Plastik polietilen
12. Tissue

19
3.2 Skema Kerja
3.2.1 Skema Kerja Pengamatan Daging dan Ikan Segar dan Kurang Segar
a. Daging Segar dan Kurang Segar

Sampel daging sapi


segar & kurang
segar

Pengambilan gambar

Pengamatan & pembandingan kedua sampel


berdasarkan warna, tekstur (kekenyalan), dan aroma

Gambar 3.1 Diagram alir pengamatan daging segar dan kurang segar

b. Ikan Segar dan Kurang Segar

Sampel ikan
segar & kurang
segar

Pengambilan gambar

Pengamatan & pembandingan bentuk mata, insang,


kulit, sisik, lendir, warna, tekstur (kekenyalan), dan
aroma

Gambar 3.3 Diagram alir pengamatan ikan segar dan kurang segar

20
3.2.2 Skema Kerja Pengamatan Marbling pada Daging

Sampel
daging

Pengamatan marbling

Pengambilan gambar

Pembandingan dengan
standar marbling

Penentuan tingkat marbling

Gambar 3.3 Diagram alir pengamatan marbling pada daging

21
3.2.3 Skema Kerja Pengamatan Warna

Sampel daging

Pengamatan warna awal

Pengambilan gambar

Pengirisan daging

Irisan I Irisan II
(sampel cooking loss) (sampel curing)

Pendiaman beberapa saat Pendiaman beberapa saat

Pengamatan perubahan Pengamatan perubahan


warna warna

Pengambilan gambar Pengambilan gambar

Perebusan dengan air Perebusan dengan air


diatas suhu 80C, t = 10 diatas suhu 80C, t = 10

Pengambilan gambar Pengambilan gambar

Pengamatan perubahan Pengamatan perubahan


warna warna

Gambar 3.4 Diagram alir pengamatan warna

22
3.2.4 Skema Kerja Penentuan pH

Sampel
daging

Penimbangan sebanyak 5 gram

Pencincangan

Pemasukan ke dalam
beaker glass

Pencampuran dengan aquades


perbandingan 1:1

Pengukuran nilai pH
(dengan kertas pH universal
& pH meter)

Gambar 3.5 Diagram alir penentuan pH

23
3.2.5 Skema Kerja Pengukuran Tekstur

Sampel
daging

Pengukuran tekstur
dengan rheotex

Penghidupan tombol power

Pemasangan jarum penekan


diatas tempat test

Penekanan tombol distance


dengan besaran 0,5 mm

Penekanan tombol hold

Peletakan daging dibawah


jarum rheotex

Penempatan ujung jarum


lurus dengan daging

Penekanan tombol start,


sampai bunyi tanda selesai
terdengar

Pembacaan angka yang


ditunjukkan oleh jarum
rheotes dengan satuan

Gambar 3.6 Diagram alir pengukuran tekstur

24
3.2.6 Skema Kerja Pengukuran Cooking Loss

Sampel daging Irisan I


(dari pengamatan warna)

Penimbangan 10 gram

Pemasukan dalam
plastik polietilen

penjepitan

Pemasukan dalam waterbath


suhu 80C, t = 10

Pengeluaran sampel
dari waterbath

Pelewatan sampel pada air mengalir


suhu kamar sampai dingin

Pengeluaran sampel
dari plastik

Pengeringan sampel dengan tisu tanpa


memeras atau menekan bahan

Penimbangan sampel

Penghitungan cooking loss

Gambar 3.7 Diagram alir pengukuran Cooking Loss

25
3.2.7 Skema Kerja Pengukuran Drip Loss

Sampel
daging

Penimbangan 10 gram

Pemasukan dalam plastik


(3 buah)

Penyimpanan dalam
freezer selama 3 hari

Pen-Thawing-an dengan 3 cara


(chilling selama 24 jam, peletakan pada suhu
kamar, dengan air mengalir) hingga es mencair

penirisan

penimbangan

Penghitungan drip loss

Gambar 3.8 Diagram alir pengukuran Drip Loss

26
3.2.8 Skema Kerja Pengamatan Daging Berbagai Spesies Ternak

Daging sapi, daging


ayam, daging
kambing, daging babi

Pengambilan gambar

Pengamatan dan pembandingan


berdasarkan warna, bentuk serat, tekstur
(kekenyalan), aroma, warna lemak, dan
keberadaan lemak

Gambar 3.8 Diagram alir pengamatan daging berbagai spesies ternak

27
BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN

4.1 Hasil Pengamatan


4.1.1 Pengamatan Daging Segar dan Ikan Segar
a. Pengamatan Daging Segar dan Daging Kurang Segar
Jenis Pengamatan Daging Segar Daging Kurang Segar
Warna Merah Segar Merah Pucat
Tekstur
Lebih Keras Lebih Lunak
(Kekenyalan)
Aroma Khas Daging Sapi Agak amis dan menyengat
(sedap) (tidak sedap)
Gambar

b. Perbedaan Ikan Segar dan Ikan Kurang Segar


Jenis
Sampel Gambar Keterangan
Pengamatan
Memanjang

Ikan Segar

Bentuk
Sedikit oval

Ikan Kurang Segar

28
Lebih Segar

Ikan Segar

Mata
Lebih pucat

Ikan Kurang Segar

Merah Segar

Ikan Segar

Insang
Merah tetapi
sedikit pucat
Ikan Kurang Segar

Lebih Berlendir

Lendir Ikan Segar

Kesat/sedikit lendir

Ikan Kurang Segar

29
Lebih keras/Lebih
tebal
Ikan Segar

Kulit
Lebih lunak/lebih
tipis
Ikan Kurang Segar

Lebih keras (lebih


sulit untuk dilepas)
Ikan Segar

Sisik
Lebih lunak (lebih
mudah dilepas)
Ikan Kurang Segar

Lebih Segar

Ikan Segar

Warna
Lebih Pucat

Ikan Kurang Segar

30
Lebih amis

Ikan Segar

Aroma Sedikit busuk

Ikan Kurang Segar

Lebih kenyal

Ikan Segar

Tekstur
Sedikit lebih keras
(kekenyalan)

Ikan Kurang Segar

4.1.2 Pengamatan Marbling pada daging


No. Kode Sampel Gambar No. BMS Grade

Daging Sapi
1 #3 3
Segar

31
Daging Sapi
2 #2 2
Tidak Segar

4.1.3 Pengamatan Warna


Sampel Deskripsi Warna Intensitas Gambar
Segar
Warna daging
berubah menjadi ++
merah pucat

Rebus
Warna daging
berubah menjadi +
putih pucat

Curring

Warna daging
++++
sangat merah

4.1.4 Penentuan pH
Perlakuan Daging
Kode Sampel
Segar Rebus Curring
Dengan ketas pH 5,0 6,0 7,0
Dengan pH meter 6,2 7,0 4,8

32
4.1.5 Pengukuran Tekstur
Perlakuan Daging
Kode Sampel
Segar (gram) Rebus (gram) Curring (gram)
Atas 61 95 43
Bawah 53 119 62
Samping 42 105 31

4.1.6 Pengukuran Cooking Loss


Perlakuan Daging
Kode Sampel
Segar (gram) Rebus (gram) Curring (gram)
Sebelum dimasak 10 10 10
Setelah dimasak 4 9 7

4.1.7 Pengukuran Drip Loss


Berat (gram)
Sampel Perlakuan Perlakuan Thawing Sebelum Setelah
dibekukan dibekukan
Segar Chilling (24 jam) 10 10
Suhu ruhu ruang 10 10
Air mengalir 10 10
Rebus Chilling (24 jam) 7 6
Daging
Suhu ruhu ruang 6 5
sapi
Air mengalir 5 5
Curring Chilling (24 jam) 12 10
Suhu ruhu ruang 12 12
Air mengalir 12 11

4.1.8 Pengamatan Jenis Daging


Jenis Daging Sapi Daging Daging Daging Babi
Pengamatan Kambing Ayam
Warna Putih
Merah hati Merah tua Merah pucat
kekuningan
Bentuk serat Kasar dan
tidak
Lembut,
beratauran Halus Sedikit kasar
samar, lurus
serta
bergelombang
Tekstur Liat, sedikit Kenyal, sedikit
Kenyal, liat Lunak
(kekenyalan) empuk liat
Aroma Berbau
Amis Amis Sedikit anyir
daging segar
Warna Lemak Putih Putih Putih Putih kemerahan

33
kekuningan
Keberadaan Menyebar
lemak dan terlihat Terdapat
Dibawah
Menyebar jelas diseluruh bagian
kulit
dipermukaan daging
daging
Gambar

4.1.9 Pengaruh Ekstrak Nanas Terhadap Daging dan Ikan


Sampel Jenis Tanpa Perendaman Dengan Perendaman
Pengamatan
Sapi Gambar

Tekstur Keras, kenyal Lunak


Aroma Amis segar Beraroma nanas
Warna Merah hati Merah pucat
Ayam Gambar

Tekstur Lunak Lebih lunak


Aroma Putih kekuningan Pucat kemerahan
Warna Amis Tidak Amis

34
Ikan laut Gambar

Tekstur Lunak Sangat lunak


Aroma Segar kemerahan Merah pucat
Warna Amis tetapi tidak terlalau
Amis menyengat
menyengat
Ikan Lele Gambar

Tekstur Lunak Sangat lunak


Aroma Segar kemerahan Pucat kemerahan
Warna Amis tetapi tidak terlalu
Amis sangat menyengat
menyengat

4.2 Hasil Perhitungan


Perhitungan Cooking Loss dan Drip Loss
Perlakuan Perlakuan Daging/Ikan
Sampel
thawing Segar Rebus Curing

Cookingloss - 60% 10% 30%


Chilling - 14% 16,67%
Driploss Suhu ruang - 16,67% -
Air mengalir - - 8,3%

35
BAB 5. PEMBAHASAN

5.1 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan


5.1.1 Pengamatan Daging dan Ikan Segar
Pengamatan terhadap daging segar dan kurang segar dilakukan dengan
menyiapkan sampel daging yang akan diamati. Pengamatan ini bertujuan untuk
mengetahui perbedaan antara daging segar dan kurang segar dari sisi warna,
tekstur (kekenyalan), dan aroma pada masing-masing sampel. Hasil pengamatan
masing-masing sampel berupa deskripsi dan diambil gambar (foto) untuk
mengetahui perbedaannya.
Pengamatan mengenai daging dapat dilakukan dengan mempersiapkan
terlebih dahulu 2 sampel daging (daging segar dan daging tidak segar). Letakkan
sampel pada wadah yang bersih. Hal itu dilakukan agar daging terhindar dari
kotoran yang dapat mempengaruhi keakuratan hasil pengamatan. Setelah itu
lakukan pengamatan mengenai tekstur (kekenyalan), warna dan aroma pada
masing-masing sampel sehingga dapat diketahui perbandingan daging yang segar
dan yang tidak segar menggunakan pengamatan panelis.
Pengamatan mengenai ikan diawali dengan mempersiapkan sampel ikan (ikan
segar dan ikan tidak segar). Letakkan sampel pada wadah yang bersih dengan
tujuan terhindar dari kotoran dan dapat menghasilkan pengamatan yang akurat.
Pengamatan yang dilakukan pada ikan segar maupun tidak segar adalah dari segi
bentuk, mata, insang, kulit, sisik, lendir, tekstur (kekenyalan), warna dan aroma
menggunakan pengamatan panelis.
5.1.2 Pengamatan Marbling pada Daging
Pengamatan mengenai Marbling dilakukan dengan mempersiapkan irisan
daging segar pada wadah yang bersih. Amati dan bandingkan marbling pada irisan
daging segar dengan standart marbling sehingga dapat diketahui tingkat marbling
pada irisan daging segar tersebut.. Irisan daging yang akan diamati marbling,
disiapkan terlebih dahulu. Pengamatan dilakukan berdasarkan letak dan intensitas
lemak intramuscular dalam daging. Tingkat marbling ditentukan dengan cara
membandingkannya dengan standard marbling yang telah ditentukan. Hasil

36
pengamatan masing-masing sampel berupa No. BMS dan grade, lalu diambil
gambar (foto) untuk mengetahui perbedaannya.
5.1.3 Pengamatan Warna
Pada pengamatan warna daging/ikan, langkah pertama yang dilakukan
adalah mengamati warna daging/ikan secara visual kemudian mendeskripsikan
pengamatan tersebut. Mengiris daging/ikan menjadi dua bagian yaitu irisan I dan
irisan II, irisan I digunakan untuk pengamatan cooking loss sebanyak 20 g
sedangkan irisan II digunakan untuk pengamatan daging curing sebanyak 20 g.
Merebus irisan I diatas air dengan suhu 800C selama 10 menit, kemudian
mengamati perubahan warna yang terjadi pada daging. Merendam irisan II pada
larutan curing kemudian mendiamkannya beberapa saat kemudian mengamati
perubahan warna yang terjadi pada daging.
5.1.4 Penentuan pH
Padapengamatan mengenai penentuan pH dapat dilakukan dengan
mempersiapkan daging sebanyak 5 gram. Langkah awal ialah pencincangan
daging/ikan menggunakan pisau tajam/stainless steel agar daging tercincang
halus. Pencincangan dilakukan bertujuan untuk mempermudah dalam percobaan
selanjutnya yaitu mencampur dengan aquades perbandingan 1:1 didalam beaker
glass. Aquades yang digunakan sebanyak 5 ml kemudian mengaduk larutan agar
menjadi homogen. Mengukur nilai pH menggunakan kertas pH universal.
5.1.5 Pengukuran Tekstur
Pada praktilkum yang dilakukan, pengamatan dan pengukuran tekstur
daging/ikan dapat dilakukan dengan metode Rheotex yaitu diawali dengan
menyiapkan daging kemudian menyalakan tombol power dan memasang jarum
penekan diatas tempat test pada alat Rheotex. Setelah itu menekan tombol
distance dengan besaran 0,5 mm dilanjutkan dengan menekan tombol hold.
Letakkan irisan daging/ikan dibawah jarum Rheotex dan diharuskan ujung jarum
tepat menyentuh permukaan irisan daging/ikan agar dapat diukur teksturnya.
Selanjutnya tekan tombol start beberapa detik sampai terdengar bunyi tanda
selesai. Angka pada jarum Rheotex dengan satuan (g) yang tertera di alat Rheotex
merupakan nilai tekstur dari daging/ikan. Untuk mendapatkan hasil yang lebih

37
akurat dapat dilakukan pengukuran sebanyak 4 kali pada bagian atas, bawah,
kanan dan kiri irisan daging/ikan.
5.1.6 Pengukuran Cooking Loss
Untuk melakukan pengukuran cooking loss dari daging, langkah awal yang
dilakukan adalah mengambil sampel daging (Irisan I pada pengamatan warna)
kemudian memasukkan dalam plastik polietilen. Hal ini dilakukan untuk
melindungi daging saat dilakukan pemanasan dalam waterbath. Menjepit dan
memasukkan dalam waterbath pada suhu 800C selama 10 menit, hal ini dilakukan
untuk mengetahui berat susut masak pada daging. Mengeluarkan sampel dari
waterbath kemudian melewatkannya pada air mengalir tanpa mengeluarkan
daging dari plastik agar daging tidak menyerap air saat dialiri air. Mengaliri
daging dengan air bertujuan untuk mendinginkan daging saat setelah proses
pemanasan. Mengeluarkan daging dari plastik kemudian mengeringkan bagian
permukaan daging dengan menggunakan tisu tanpa memeras atau menekan
daging agar air dan nutrisinya pada daging tidak keluar. Menimbang daging
kemudian melakukan perhitungan cooking loss dengan menggunakan rumus.
5.1.7 Pengukuran Drip Loss
Untuk melakukan pengukuran driploss, langkah pertama yang dilakukan
adalah menimbang daging sebanyak 10 gram kemudian memasukkannya ke
dalam kantong plastik polietilen dan memberinya kode. Memasukkan ke dalam
freezer selama 3 hari yang bertujuan untuk mengetahui berat drip setelah
dilakukan pembekuan kemudian thawing dengan mengalirkan daging pada air
mengalir tanpa melepas plastiknya. Thawing bertujuan untuk melunakkan
kembali daging yang telah beku dan mencairkan es yang menempel pada daging.
Menimbang daging kemudian melakukan perhitungan driploss. Setelah itu
daging/ikan beku diberi perlakuan thawing sampai es mencair menggunakan 3
cara yaitu chilling selama 24 jam untuk sampel I, penyimpanan dalam suhu kamar
untuk sampel II dan pencucian daging/ikan pada air mengalir untuk sampel III.
Selanjutnya tiriskan daging dan timbang menggunakan neraca analitik. Nilai drip
loss dapat diketahui dengan perhitungan menggunakan rumus dan angka yang
telah didapatkan.

38
5.1.8 Pengamatan Daging Beberapa Spesies Ternak
Pengamatan terhadap sampel daging beberapa spesies ternak dilakukan
dengan membandingkan berdasarkan parameter yang telah ditentukan yaitu
warna, bentuk serat, tekstur (kekenyalan), aroma, warna lemak, dan keberadaan
lemak secara visual untuk mengetahui perbedaannya. Hasil pengamatan masing-
masing sampel berupa deskripsi dan diambil gambar (foto) dari sampel yang
diamati.

5.2 Analisa Data


5.2.1 Pengamatan Daging dan Ikan Segar
a. Perbedaan Daging Segar dan Daging Kurang Segar
Berdasarkan data hasil pengamatan terhadap daging segar dan kurang segar
diketahui bahwa daging segar memiliki warna merah gelap) dan bersih,
sedangkan daging yang kurang segar berwarna pink pucat, kotor dan terdapat
gumpalan darah. Menurut Departemen Pertanian (2009), warna daging ditentukan
oleh kandungan dan keadaan pigmen daging yang disebut mioglobin dan
dipengaruhi oleh jenis hewan, umur hewan, pakan, aktivitas otot, penanganan
daging, dan reaksi-reaksi kimiawi yang terjadi di dalam daging. Warna daging
sapi segar yang baik adalah warna merah cerah. Warna daging sapi yang baru
dipotong dan belum terkena udara adalah merah keunguan, lalu jika telah terkena
udara selama kurang lebih 15-30 menit akan berubah menjadi warna merah cerah.
Warna merah cerah tersebut akan berubah menjadi merah kecoklatan atau coklat,
jika daging dibiarkan lama terkena udara.
Berdasarkan data hasil pengamatan terhadap tekstur daging segar dan kurang
segar diketahui bahwa, daging segar memiliki tekstur lebih kenyal (empuk) dan
berserat dibandingkan daging kurang segar. Daging kurang segar bertekstur
kenyal. Daging yang tidak baik ditandai dengan tekstur yang lunak dan bila
ditekan mudah hancur (Departemen Pertanian, 2009). Diketahui bahwa aroma
daging segar lebih beraroma khas daging, sedangkan daging kurang segar
beraroma amis dan menyengat atau tidak sedap. Bau daging segar tidak berbau
masam/busuk, tetapi berbau khas daging segar. Bau daging dipengaruhi oleh jenis

39
hewan, pakan, umur daging, jenis kelamin, lemak, lama waktu, dan kondisi
penyimpanan (Departemen Pertanian,2009). Bau daging dari hewan yang tua
relatif lebih kuat dibandingkan hewan muda, demikian pula daging dari hewan
jantan memiliki bau yang lebih kuat daripada hewan betina.
b. Perbedaan Ikan Segar dan Ikan Kurang Segar
Berdasarkan data hasil pengamatan terhadap ciri-ciri ikan segar diperoleh
bahwa bentuknya memanjang, matanya tampak segar, ingsangnya berwarna
merah segar, lebih berlendir, kulitnya keras dan tebal, sisik lebih keras atau susah
dilepas, warnanya tampak segar, aromanya lebih amis, teksturnya lebih
kenyal,berwarna putih segar, dan terlihat bening. Sedangkan ikan yang kurang
segar terlihat berbentuk sedikit ovel, matanya lebih pucat, ingsangnya merah
tetapi sedikit pucat, kesat atau sedikit lendir, kulit lebih lunak dan lebih tipis, sisik
lebih lunak atau mudah dilepas, warnanya lebih pucat, aromanya sedikit busuk,
teksturnya sedikit lebih keras.
Dilihat dari segi bentuknya bahwa ikan segar terlihat memanjang daripada
ikan kurang segar. Mata pada ikan segar telihat lebih segar dengan berbentuk
cembung sedangkan ikan kurang segar tampak tidak segar dengan bentuk yang
tidak cembung. Insang ikan segar berwarna merah cerah, sedangkan ikan yang
kurang segar memiliki insang berwarna merah tetapi sedikit pucat. Menurut
Hakim (2009) mengatakan bahwa, insang ikan segar berwarna merah segar,
terang, dan lamella insang terpisah serta insang tertutup oleh lendir berwarna
jernih dan berbau segar spesifik ikan. Sedangkan, ikan kurang segar memiliki
insang berwarna coklat suram atau abu-abu, lamella insang berdempetan
Berdasarkan data hasil pengamatan diketahui bahwa, ikan segar tidak
berlendir (kesat) dan memiliki kulit yang cerah, sedangkan ikan yang kurang
segar berlendir (licin), kulitnya mudah terlepas, dan berwarna agak gelap atau
pucat. Menurut Nurwanto (1994) menyatakan bahwa ikan segar memiliki lendir
alami menutupi ikan yang baunya khas menurut jenis ikan dan kulitnya
cemerlang, belum pudar dan warna asli kontras sedangkan ikan tidak segar
lendirnya berubah menjadi kekuningan dengan bau yang tidak enak atau lendirnya
sudah menghilang dan kulitnya rada pudar.

40
Sisik ikan segar menempel dan masih utuh, berwarna masih segar, serta
memiliki sirip yang berwarna putih. Sedangkan, sisik ikan yang kurang segar
mudah terlepas atau mengelupas dari kulitnya, berwarna lebih pucat, dan memiliki
sirip berwarna kuning. Hakim (2009) mengatakan bahwa, sisik ikan segar
menempel kuat pada tubuh sehingga sulit terlepas, sedangkan sisik ikan tidak
segar sangat mudah terlepas dari tubuh, bahkan beberapa sudah terlepas dengan
sendirinya. Ikan yang masih segar memilki warna segar, sedangkan ikan tidak
segar berwarna pucat dan kuning. Menurut Hakim (2009), ikan segar memiliki
warna-warna khusus yang terlihat jelas, sedangkan pada ikan tidak segar warna
khusus tersebut sudah pudar.
Ikan segar memiliki aroma khas amis ikan, sedangkan ikan tidak segar
beraroma lebih amis busuk. Hal ini sesuai dengan pendapat Hakim (2009) yang
menyatakan bahwa, aroma daging dan bagian tubuh lainnya pada ikan segar
adalah beraroma segar spesifik ikan, sedangkan ikan tidak segar memiliki aroma
amis karena mulai membusuk. Tekstur (kekenyalan) ikan segar lebih keras,
sedangkan ikan tidak segar memiliki tekstur lebih lunak (empuk). Ikan segar
memiliki tekstur kenyal, menandakan rigormortis masih berlangsung. Bila ditekan
dengan jari, daging ikan segar tidak menunjukkan bekas lekukan, sedangkan ikan
tidak segar teksturnya lunak menandakan rigormortis telah selesai dan apabila
ditekan dengan jari, tampak bekas lekukan (Hakim, 2009).
5.2.2 Pengamatan Marbling pada Daging
Pada data hasil pengamatan terhadap marbling daging sapi diketahui bahwa,
masing-masing sampel memiliki tingkat yang berbeda. Sampel daging sapi segar
menunjukkan tingkat marbling yang sama yaitu No BMS #3 dan Grade 3,
sedangkan sampel daging sapi tidak segar memiliki No BMS #2 dan Grade 2.
Jumlah lemak intramuscular (marbling) turut menentukan nilai kualitas karkas.
Soeparno (1994) mengatakan bahwa, nilai karkas dikelompokkan berdasarkan
jenis kelamin atau tipe ternak yang menghasilkan karkas, umur atau kedewasaan
ternak, dan jumlah lemak intramuskuler atau marbling dalam otot. Lemak
intramuskuler juga berpengaruh terhadap kelezatan daging, kegurihan, bau rasa,
dan penampilan. Dengan adanya marbling penampilan daging menjadi lebih

41
menarik. Pada saat daging dipanaskan, lemak marbling akan mencair dan
berkontribusi dalam meningkatkan cita rasa daging (juiciness), memberikan
aroma daging yang sedap, dan berperan meningkatkan keempukan daging.
Namun, daging dengan sedikit marbling memiliki kandungan kalori dan lemak
jenuh lebih sedikit dan lebih dianjurkan dikonsumsi oleh ahli gizi. Marbling lebih
tinggi pada sapi yang diberi pakan biji-bijian (grain fed beef) daripada sapi yang
diberi pakan rumput (grassfed beef) (Soeparno, 1994).
5.2.3 Pengamatan Warna
Warna merupakan salah satu indicator kualitas daging meskipun warna
tidak mempengaruhi nilai gizi (Nurwantoro, 2003). Berdasarkan data pengamatan
warna pada berbagai sampel daging berbeda yaitu untuk sampel 1 ( daging segar)
berwarna merah pucat dan intensitasnya (++), sampel 2 (daging rebus) berwarna
putih pucat dan intensitasnya (+), sampel 3 (daging curring) berwarna sangat
merah dan intensitasnya (+++++). Menurut Deman (1979), Warna daging
disebabkan oleh adanya dua pigmen mioglobin dan hemoglobin. Kedua pigmen
tersebut mengandung globin sebagai bagian protein dan gugus terdiri atas sistem
cincin porfirin dan atom besi pusat. Dalam mioglobin, bagian protein mempunyai
bobot molekul sekitar 17.000. Dalam hemoglobin, bobot molekul bagian protein
sekitar 67.000, setara dengan empat kali bobot molekul mioglobin. Perbedaan
kadar miglobin menyebabkan perbedaan intensitas warna daging. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kadar mioglobin adalah spesies, jenis kelamin, umur dan
aktifitas fisik hewan. Menurut Nurwantoro (2003), warna daging tergantung dari
tipe molekul mioglobin, kondisi kimia, fisik serta komponen lain dalam daging.
Jadi warna dari setiap sampel daging segar berbeda-beda karena tergantung dari
pigmen mioglobin dan hemoglobin yang ada pada daging segar tersebut.
Pengamatan warna juga dilakukan pada sampel daging yang telah direbus
selama 10 menit pada suhu 800C dan diperoleh data bahwa pada sampel berwarna
putih pucat. Menurut Syamsir (2011), Pemasakan daging pada suhu diatas 80oC
menyebabkan pigmen terdenaturasi dan warna daging berubah menjadi coklat
keabuan yang merupakan warna khas daging segar yang dimasak. Namun, dari
pengamatan warna pada berbagai sampel daging diperoleh warna yang mayoritas

42
berwarna putih pucat. Hal ini mungkin disebabkan oleh pengamatan praktikan
yang kurang jelas dalam mengamati perubahan warna dari yang segar dan setelah
mengalami proses perebusan.
Pengamatan warna juga dilakukan pada berbagai sampel daging yang
diberikan perlakuan curing. Menurut Syamsir (2011), pada pengolahan daging
menggunakan proses curing, reaksi nitrit dengan mioglobin menghasilkan
nitrosomioglobin yang ketika dipanaskan (dimasak) pada suhu di atas 65 oC akan
menghasilkan warna merah muda yang stabil. Dari data pengamatan yang telah
dilakukan diperoleh data-data bahwa daging berubah warna menjadi berwarna
sangat merah. Hal ini disebabkan oleh perlakuan curing yag kurang benar
terhadap daging sehingga warna yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Pada saat dilakukan proses curing sampel daging tidak tenggelam
seluruhnya pada cairan curing, selain itu cairan yang digunakan untuk
perendaman daging adalah vitamin c bukan nitrit sehingga hal tersebut yang
menyebabkan warna pada daging setelah proses curing menjadi tidak merah
muda.
5.2.4 Penentuan pH
Tingkat keasaman (pH) adalah indikator untuk menentukan derajat
keasaman atau kebasaan dari daging segar ataupun produk yang dihasilkan.
Berdasarkan standar SNI nilai pH daging yang normal berkisar antara 5,4-5,8.
Berdasarkan data hasil pengamatan dengan menggunakan kertas pH didapatkan
hasil bahwa daging sapi segar memiliki pH 5, rebus 7 dan curing 7. Sedangkan
pada pengukuran menggunakan pH meter didapatkan hasil bahwa daging sapi
segar memiliki pH 6,2 ,daging sapi rebus memiliki ph 7, dan daging sapi curring
memiliki pH 4,8.
Perbedaan nilai pH ini juga disebabkan oleh perbedaan kandungan
glikogen dari setiap jenis daging sehingga kecepatan glikolisisnya berbeda.
Semakin rendah kadar glikogen daging, maka semakin lambat proses glikolisis
dan pH ultimate semakin tinggi. Menurut Bouton, et al. (1971) menyatakan
bahwa daging dengan nilai pH tinggi lebih empuk daripada daging dengan pH
rendah. Perebusan menyebabkan pH pada daging sapi semakin tinggi. Hal

43
tersebut sesuai dengan hasil pengamatan bahwa pada pengukuran daging sapi
rebus pH nya meningkat. Hal ini sesuai literatur yang menyatakan bahwa jika
pembusukan bakteri berlangsung maka pH daging ikan naik mendekati netral
hingga 7,5-8,0 atau lebih tinggi jika pembusukan telah sangat parah. Tingkat
keparahan pembusukan disebabkan oleh kadar senyawa-senyawa yang bersifat
basa. Pada kondisi ini, pH ikan naik dengan perlahan-lahan dan dengan semakin
banyak senyawa basa purin dan pirimidin yang terbentuk akan semakin
mempercepat kenaikan pH ikan (Eskin dalam Rahman, 2014).
5.2.5 Pengukuran Tekstur
Berdasarkan data hasil pengamatan pada acara pengukuran tekstur daging
sapi diperoleh bahwa pada daging sapi memiliki nilai tekstur daging segar pada
bagian atas yaitu 61 gram, bagian bawah 53 gram, dan bagian samping 42 gram.
Pada perlakuan daging rebus bagian atas 95 gram, bagian bawah 119 gram, bagian
samping 105 gram. Pada perlakuan daging curing diperoleh data bahwa pada
bagian atas 43 gram,bagian bawah 62 gram, dan bagian samping 31 gram. Pada
perebusan nilai tekstur mengalami peningkatan yang drastis, sedangkan pada
proses curing memiliki nilai tekstur yang hampir sama dengan daging segar.
Menurut Soeparno (2005), tekstur daging kemungkinan besar merupakan
penentu yang paling penting pada kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi
tekstur daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik dan
termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, managemen, jenis kelamin
dan stress. Faktor postmortem antara lain meliputi metode pelayuan (chilling),
refrigerasi dan pembekuan termasuk faktor lama dan temperatur penyimpanan
serta metode pengolahan termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan
pengempuk. Jadi tekstur bisa bervariasi diantaranya spesies, bangsa, ternak dalam
spesies yang sama, potongan karkas dan diantara otot serta otot yang sama. Proses
curing bertujuan untuk mempersiapkan daging pada penggunaan berikutnya,
menghambat pertumbuhan mikroba, mendapatkan warna yang stabil, aroma,
tekstur, dan kelezatan yang baik, mengurangi pengerutan daging selama proses
serta memperpanjang masa simpan produk (Soeparno, 1994). Sehingga tekstur

44
pada daging ikan dengan perlakuan curing lebih baik (tidak terlalu lembek atau
keras). Selain itu, tekstur daging ikan dipengaruhi pula oleh kadar air.
Usaha meningkatkan keempukan ikan dan daging dilakukan dengan proses
enzimatis dilakukan perendaman dalam ekstrak nanas (Lesiak et al., 1996). Usaha
lain untuk memperpendek proses pengempukan dan meningkatkan tekstur daging
ayam kampung yang berumur lebih dari lima bulan dapat dilakukan dengan
berbagai cara diantaranya dengan metode pengempukan secara fisik, kimia,
listrik, maupun mekanik. Salah satu metode pengempukan secara enzimatis yang
mudah dilakukan yaitu dengan menambahkan enzim proteolitik (Gerelt et al.,
2000), manfaat lain dari kelebihan penggunaan ekstrak nanas dapat menimbulkan
aroma daging yang harum.
5.2.6 Pengukuran Cooking Loss
Sifat mekanik daging termasuk susut masak (cooking loss) merupakan
merupakan indikasi dari sifat mekanik miofibril dan jaringan ikat dengan
bertambahnya umur ternak, terutama panjang sarkomer (Wulandari, 2011). Pada
praktikum ini, pengukuran cooking loss pada daging segar, daging rabus, dan
daging curing. Berdasarkan data perhitungan dari beberapa sampel daging yang
digunakan, daging tanpa perlakuan atau daging segar mempunyai nilai susut
masak yang lebih besar dibanding dengan daging curing. Pada daging segar nilai
susutnya mencapai 60%, daging rebus 10%, dan daging curing mencapai 30%.
Nilai curing yang tinggi disebabkan pada saat perendaman daging dengan larutan
curing, daging tidak terendam secara keseluruhan sehingga nilai susut masaknya
menjadi lebih tinggi dari pada daging yang tanpa perlakuan curing.
Daging tanpa perlakuan mempunyai nilai susut masak yang lebih besar
dibanding dengan daging curing disebabkan oleh pengaruh perlakuan curing pada
daging yang mengakibatkan kadar air dalam daging curing menjadi lebih rendah.
Susut masak daging sapi dipengaruhi oleh daya ikat air dan kadar air. Semakin
rendah daya ikat air, maka semakin rendah kadar air daging dan diikuti oleh
turunnya persentase susut masak daging (Wulandari, 2011). Menurut Soeparno
(1994), Pada proses curing apabila dikondisikan pada pH yang sangat rendah

45
menyebabkan perubahan kadar air daging karena daya ikat air daging menurun
sehingga daging akan mengalami kehilangan cairan daging.
Menurut Soeparno (2005) bahwa besarnya susut masak dapat
dipergunakan untuk mengistemasi jumlah jus dalam daging masak. Daging
dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik
daripada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi
selama pemasakan akan lebih sedikit (Wulandari, 2011). Faktor-faktor yang
mempengaruhi susut masak adalah panjang serabut otot, waktu memasak, ukuran
sampel, dan penampang lintang daging. Menurut Soeparno (1994), proses
terjadinya susut masak bervariasi antara 15% sampai 54,5% dengan rerata 15%
sampai 35%. Dari hasil pengukuran cooking loss pada praktikum ini, nilai susut
masak masih normal berkisar antara 15% sampai 54% sesuai dengan literatur.
5.2.7 Pengukuran Drip Loss
Pembekuan daging adalah salah suatu cara dari pengawetan daging yaitu
dengan membekukan daging di bawah titik beku cairan yang terdapat di dalam
daging, titik beku daging pada temperatur -20 sampai dengan -30C (Desrosier,
1969). Menurut Soeparno (2005) Cairan yang keluar dan tidak terserap kembali
oleh serabut otot selama penyegaran inilah yang disebut drip. Dari hasil
pehitungan diperoleh bahwa daging rebus dengan perlakuan thawing mencapai
14%, suhu ruang 16,67%, sedangakn curing pada perlakuan thawing chilling yaitu
16,67% dan pada air mengalir yaitu 8,3%. Pada data pengamatan diperoleh vagwa
pada daging segar perlakuan thawing chilling 10 gram (sebelum dibekukan); 10
gram (sesudah dibekukan), perlakuan thawing di suhu rauang 10 gram (sebelum
dibekukan); 10 gram (sesudah dibekukan), perlakuan thawing pada air mengalir
10 gram (sebelum dibekukan); 10 gram (sesudah dibekukan). Dari data tersebut
menunjukkan bahwa berat pada ikan segar dari sebelum dibekukan dan sesudah
dibekukan beratnya masih sama. Pada perlakuan daging rebus perlakuan thawing
chilling 7 gram (sebelum dibekukan); 6 gram (sesudah dibekukan), perlakuan
thawing di suhu rauang 6 gram (sebelum dibekukan); 5 gram (sesudah
dibekukan), perlakuan thawing pada air mengalir 5 gram (sebelum dibekukan);
5gram (sesudah dibekukan). Dari data tersebut menunjukkan bahwa berat sampel

46
setelah dibekukan menurun yaitu pada perlakuan thawing chilling dan suhu ruang.
Pada perlakuan daging curing perlakuan thawing chilling 12 gram (sebelum
dibekukan); 10 gram (sesudah dibekukan), perlakuan thawing di suhu rauang 12
gram (sebelum dibekukan);12 gram (sesudah dibekukan), perlakuan thawing pada
air mengalir 12 gram (sebelum dibekukan); 11 gram (sesudah dibekukan). Dari
data tersebut menunjukkan bahwa berat sampel setelah dibekukan menurun yaitu
pada perlakuan thawing chilling dan air mengalir.
Menurut Romans et al. (1994) bahwa besar penyusutan normal drip loss
berkisar antara 2-3%. Drip loss berhubungan dengan daya ikat air daging. Bila
daya ikat air meningkat maka drip akan menurun (Soeparno, 2005). Denaturasi
protein yang terjadi selama pembekuan dapat menyebabkan kehilangan daya ikat
air pada ikan atau daging saat thawing dapat terjadi kegagalan serabut otot
menyerap kembali semua air sehingga mengalami translokasi atau keluar dari
proses pembekuan dan menyebabkan sebagian drip. Pada prinsipnya jika daya
ikat air turun jumlah air yang keluar dari daging akan meningkat. Kerusakan-
kerusakan protein dan sel otot merupakan akibat dari waktu dan temperatur
pembekuan (Rahardjo, 2014). Dari praktikum pengukuran driploss dari berbagai
sampel daging, semua sampel daging memiliki nilai diatas 3% (tidak normal)
sehingga memungkinkan daging yang telah mengalami pembekuan tersebut
kandungan gizinya telah berkurang akibat drip. Waktu dan lama penyimpanan
dalam pendingin merupakan faktor penting yang mempengaruhi drip loss. Pada
praktikum ini, berbagai sampel daging dibekukan selama empat hari kemudian
dithawing dengan air mengalir, hal ini mempengaruhi banyaknya drip.
5.2.8 Pengamatan Daging Beberapa Spesies Ternak
Berdasarkan data hasil pengamatan terhadap karakteristik beberapa spesies
daging diketahui bahwa daging sapi berwarna merah hati dan daging kambing
berwarna merah tua. Daging sapi dewasa memiliki warna merah terang.
Karakteristik yang dimiliki daging kambing, yaitu berwarna lebih gelap dibanding
warna daging sapi. Warna daging ditentukan oleh kandungan dan keadaan pigmen
daging yang disebut mioglobin dan dipengaruhi oleh jenis hewan, umur hewan,
pakan, aktivitas otot, penanganan daging dan reaksi-reaksi kimiawi yang terjadi di

47
dalam daging (Afiati,2009). Warna daging ayam segar pada umumnya adalah
putih pucat (Afiati,2009). Berdasarkan data hasil pengamatan daging ayam
berwarna putih kekuningan. Pada daging babi berwarna merah muda pucat
(Afiati,2009), sedangkan berdasarkan data pengamatan menunjukkan bahwa
daging babi berwarna merah muda atau merah pucat (pink). Menurut Apple et al.
(2007) menyatakan bahwa derajat merah pada daging dipengaruhi oleh jumlah
myoglobin. Semakin tinggi kandungan myoglobin, maka semakin merah warna
daging tersebut. Kandungan myoglobin otot dipengaruhi oleh faktor genetik yang
berhubungan dengan aktivitas ternak. Semakin tinggi aktivitas ternak, maka
proses glikolisis (perubahan glikogen menjadi energi dari asam laktat) semakin
aktif.
Bentuk serat daging sapi yaitu kasar, tidak beraturan, dan bergelombang.
Pada daging kambing yaitu bentuk seratnya lembut, samar, dan lurus. Pada daging
ayam seratnya halus dan daging babi mempunyai serat sedikit kasar. Menurut
Afiati (2009) menyatakan bahwa, daging sapi terdiri dari serabut-serabut halus
dan daging babi berserabut halus. Menurut Whytes dan Ramsay (1981),
komposisi serat dan keliatan jaringan ikat sangat menentukan keempukan daging.
Tekstur menunjukkan kualitas makanan yang dapat dirasakan dengan jari,
mulut, langit-langit mulut, dan gigi Pada daging, tekstur merupakan karakteristik
mutu yang sangat penting (critical) (Bourne, 1982). Berdasarkan data hasil
pengamatan terhadap karakteristik daging berbagai spesies menunjukkan bahwa
daging sapi memiliki tekstur yang kenyal (empuk) dan liat, daging kambing
memiliki tekstur kenyal dan liat, daging ayam memiliki tekstur lunak, dan daging
babi memiliki kenyal dan sedikit liat. Berdasarkan literatur Afiati (2009)
menyatakan bahwa, daging sapi muda memiliki konsistensi agak lembek,
sedangkan daging sapi dewasa lebih kenyal. Daging kambing pada umumnya
terdiri dari serabut-serabut agak kasar dan daging babi memiliki konsistensi padat.
Aroma daging sapi yaitu bau khas daging sapi dan amis, daging kambing
memiliki aroma yang berbau khas daging kambing yaitu berbau daging kambing
segar. Daging kambing memiliki bau yang mencolok, yaitu bau prengus sehingga
menyebabkan daging kambing terkadang kurang disukai (Khotimah, 2000).

48
Aroma daging ayam memiliki aroma khas daging ayam dan amis, sedangkan
daging babi sedikit anyir. Afiati (2009) menyatakahan bahwa daging ayam
memiliki aroma spesifik sampai tidak berbau, sedangakan daging babi memiliki
aroma khas spesifik.
Daging sapi memiliki lemak berwarna putih kuning dan terletak menyebar
pada daging; daging kambing memiliki lemak berwarna putih kekuningan dan
menyebar dengan terlihat jelas di permukaan daging; daging ayam memiliki
lemak berwarna putih dan lemak berada dibawah kulit, serta daging babi memiliki
lemak berwarna putih kemerahan dan lemak berada seluruh bagian daging.
Daging sapi dewasa memiliki serabut halus dengan sedikit lemak, lemak daging
kambing menyerupai daging domba yaitu putih. Lemak pada daging babi
umumnya berwarna kelabu putih yang terletak di punggung, sedangkan lemak
daging ayam dapat tersebar di bawah kulit atau menyelimuti organ-organ pada
ayam (Afiati, 2009).
5.2.9 Pengamatan Ekstrak Nanas Terhadap Daging dan Ikan
Pengamatan ekstrak nanas dilakukan pada daging dan ikan untuk
mengetahui pengaruh penambahanan nanas pada kualitas daging dan ikan.
Berdasarkan hasil pengamatan pada daging sapi diperoleh bahwa tekstur daging
sapi keras dan kenyal, amis dan segar aromanya, warn merah hati setelah
ditambahkan nanas tekstur menjadi lunak dan beraroma nana, warna merah pucat,
dan tekstur lunak. Sedangkan pada daging ayam teksturnya lunak, putih
kekuningan, dan amis tetapi setelah direndam nanas menjadi lebih lunak, warna
pucat kemerahan, dan tidak amis. Pada ikan laut teksturnya lunak, segar
kemerahan, dan amis menyengat tetapi setelah direndam nanas menjadi sangat
lunak, merah pucat, dan amis tetapi tidak terlalu menyengat. Pada daging ikan lele
teksturnya lunak, segar kemerahan, dan amis sangat menyengat tetapi setelah
direndam nanas menjadi sanagat lunak, warna pucat kemerahan, dan amis tetapi
tidak terlalu menyegat. Hal tersebut menunjukkan bahwa nanas dapat
memperbaiki kualitas dari daging dan ikan. Utami (2010) menjelaskan bahwa,
perendaman daging dalam enzim dapat meningkatkan keempukan daging dan
akan menyebabkan terjadinya perubahan komposisi daging. Buah nanas

49
mengandung bromelain (enzim protease yang dapat menghidrolisa protein),
sehingga dapat digunakan untuk melunakkan daging (Aeni, 2009). Berdasarkan
data hasil pengamatan dapat diketahui bahwa pada daging dan ikan yang
ditambahkan ekstrak nanas memiliki pH yang lebih tinggi daripada yang tidak
direndam dengan ekstrak nanas.

50
BAB 6. PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Daging segar dan kurang segar memiliki perbedaan karakteristik yaitu dari
warna, tekstur (kekenyalan), dan aroma daging. Sedangkan, pada ikan segar
dan kurang segar juga memiliki perbedaan karakteristik terutama pada
bentuk, kenampakan mata, insang, keberadaan lendir, kulit, sisik, warna, dan
aroma pada ikan. Secara visual, daging atau ikan segar memiliki kualitas
lebih baik daripada daging atau ikan kurang segar.
2. Semakin banyak marbling maka semakin tinggi juiciness, flavor, dan
kelunakan daging karena kandungan lemaknya sangat tinggi.
3. Warna daging segar tergantung dari dua pigmen mioglobin dan hemoglobin,
warna daging setelah dilakukan perebusan yaitu coklat keabuan, dan warna
daging setelah dilakukan perlakuan curing adalah merah muda.
4. pH daging segar yaitu berkisar 5 hingga 6,2; pH daging rebus berkisar 6
hingga 7; dan pH daging curing berkisar 6 hingga 7.
5. Tekstur daging/ikan yang segar lebih keras daripada daging/ikan dengan
perlakuan direbus dan curing. Untuk mendapatkan ikan dan daging yang
bertekstur lunak atau empuk maka dapat ditambahkan ekstrak nanas dan
dapat mempertinggi nilai pH bahan.
6. Nilai susut masak daging rebus lebih tinggi dari nilai susut masak daging
curing. Susut masak daging dipengaruhi oleh daya ikat air dan kadar air
daging.
7. Nilai penyusutan normal drip loss berkisar antara 2-3%, drip loss
berhubungan dengan daya ikat air daging. Apabila daya ikat air meningkat
maka drip akan menurun
8. Daging dari beberapa jenis spesies ternak memiliki ciri-ciri yaitu dari warna
daging, bentuk serat, tekstur (kekenyalan), aroma, warna lemak, dan

51
keberadaan lemak yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut juga bergantung
pada umur ternak, pakan, dan kondisi ternak sebelum penyembelihan.

6.2 Saran
Sebaiknya pada saat melakukan praktikum ini, ketersediaan alat yang
dipergunakan lebih diperbanyak lagi agar waktu tidak terbung untuk mengantri
alat yang sedang digunakan oleh praktikan lain. Acara praktikum yang dilakukan
jangan terlalu banyak agar praktikan tidak kebingungan untuk melaksanakan dan
membuat laporan praktikum. Selain itu, saat melakukan pengambilan gambar
lebih diperhatikan lagi karena gambar yang kurang jelas akan berpengaruh pada
saat menganalisa data.

52
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, D. P. 2007. Analisis Tangkapan per Satuan Upaya (TPSU) Ikan Kembung
di Kepulauan Seribu. Skripsi.Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Basri. 2014. Pengempukan Daging Kerbau (Pectoralis profundus) dengan
Pemberian Enzim Bromelin dan Papain Dimasak Pada Suhu 80C dengan
Waktu yang Berbeda. Skripsi. Makassar: Program Studi Teknologi Hasil
Ternak Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin.
Blakely, J dan D. H. Bade, 1991. Ilmu Peternakan. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
BSN. 2008. Standarisasi Nasional Indonesia 3932:2008 Standar Mutu Karkas Dan
Daging Sapi. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
BSN. 2008. Standarisasi Nasional Indonesia 3924:2009 Standar Mutu Daging
Ayam. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
BSN. 2008. Standarisasi Nasional Indonesia 3925:2008 Standar Mutu Daging
Kambing. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Buckle, K.A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wooton, 1978. Food Science.
Australia: Watson Ferguson & Co. Brisbane.
Forrest, J. C., E. D. Aberle, H. B. Hedrick, M.D Judge dan R. A. Merkel, 1975.
Principles Of Meat Science. San Fransisco : W. H. Freeman and Co.
Harte, B. R., 1985. Packaging Of Restructured Meats. In Advances in Meat
Research. Ed. New York : A. M. Pearson and T. R. Dutson. Vol. 3. An
AVI Book, Publishing.
Haryati, dan Isnaeni Apriliani. 2015. Aplikasi Enzim Papain dan Bromelin dalam
Proses Pengempukan Daging. Jurnal Teknologi Pangan. Bogor:
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
Hermanianto, J. 2010. Ilmu dan Teknologi Pangan. Bogor: IPB.
Ilyas, S. 1980. Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Laporan
Loka-karya. Lembaga Penelitian Teknologi Perikanan Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian RI.
Khairuman, dan K. Amri. 2002. Budidaya Ikan Lele Secara Intensif. Jakarta: Agro
Media Pustaka.
Lawrie, R. A., 1979. Meat Science. 3rd ed. Oxford : Pergamon Press.

53
Lawrie, R. A., 1995. Ilmu Daging. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta: UI-
Press.
Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging. Penerjemah Aminudin P. Jakarta: UI-Press.
Litbang Deptan, 2007. Pengganti Formalin, Asam Asetat Dapat Untuk
Mengawetkan Daging Ayam. http://www.litbang.deptan.go.id [23 Mei
2017].
Liviawati, Evi dan Eddi Afrianto. 2014. Penentuan Waktu Rigor Mortis Ikan Nila
Merah (Oreochromis niloticus) Berdasarkan Pola Perubahan Derajat
Keasaman. Jurnal Akuatika. 5(1).
Muchtadi, T. R. dan Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan.
Bogor: Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan.
Muchtadi, T.R. dan Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan.
Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pendidikan dan
Kebudayaan. Direktorat Jenderal Tinggi Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi.
Nur Sari Kasih, Acmad Jaelani, Nordiansyah Firahmi. 2012. Pengaruh lama
penyimpanan daging ayam segar dalam refrigerator terhadap pH, susut
masak dan organoleptik. J Med Sains.4 (2):154-159
Purbawati, E. dkk. 2006. Karakteristik Fisik Otot Longissimus dorsi dan Biceps
femoris Domba Lokal Jantan yang Dipelihara di Pedesaan pada Bobot
Potong yng Berbeda. Jurnal Protein. 33(2).
Rahardjo, Natsha. 2014. Pengaruh Lama Penyimpanan pada Suhu Beku dan
Metode Thawing Tesktur Ikan Bandeng Pra dan Pasca Penebaran. Skripsi.
Semarang: Universitas Katholik Soegijapranata
Rasyaf, M. 2002. Beternak Ayam Pedaging Edisi Revisi. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Ronny. 2011. Tingkat Konsumsi Ikan: Peluang, Hambatan dan Strategi. Jurnal:
Warta Pasar Ikan.14 : 1-2.
Saanin, H. 1968. Taksonomi Dan Kunci Idenifikasi ikan. Bandung: Bina Cipta.
Santoso, U. 2011. Nutrisi Ternak Monogastrik. Bengkulu: Universitas Bengkulu.
Sebayang, Firman. 2006. Pengujian Stabilitas Enzim Bromelin yang Diisolasi dari
Bonggol Nanas serta Imobilisasi Menggunakan Kappa Karagenan. Jurnal
Sains Kimia. 10(1).
Setiaji, A. 2009. Efektifitas Ekstrak Daun Pepaya Carica papaya L. Untuk
Pencegahan dan Pengobatan Ikan lele dumbo Clarias sp. yang

54
Diinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila. Skripsi. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging Cetakan ke-1. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging Cetakan ke-3. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Fakultas Peternakan UGM.
Yogyakarta.
Sudarmono, A. S. dan Y. B. Sugeng. 2008. Sapi Potong: Pemeliharaan,
Perbaikan Produksi, Propek Bisnis, Analisis Penggemukan, Edisi Revisi.
Jakarta : PT. Penebar Swadaya.
Sugiyono. 1996. Ilmu dan Pangan. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan
Kesejahteraan Keluarga FKPTK IKIP.
Suhartini dan Hidayat. 2005. Olahan Ikan Segar. Surabaya: Trubus Agri Sarana.
Susilawati. 2001. Pengetahuan Bahan Hasil Hewani Daging. Bandar Lampung:
Universitas Lampung.
Tiven, N.C., E. Suryanto dan Rusmana. 2007. Komposisi kimia, sifat fisik dan
organoleptik bakso daging kambing dengan bahan pengenyal yang
berbeda. Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Teknologi Hasil Ternak, Fakultas
Ilmu dan Industri Peternakan.
Usmiati S. 2010. Pengawetan Daging Segar dan Olahan. Bogor: Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Kampus
Penelitian Pertanian.
Utami, D. P. dan Pudjomartatmo. 2011. Manfaat Bromelin dan Sari Buah Nanas
dan Waktu Pemasakan untuk Meningkatkan Kualitas Daging Itik Afkir.
Jurnal Sains Peternakan. 9(2).
Wijayanti, Dian. 2014. Uji Kadar Protein dan Organoleptik Daging Sapi Rebus
yang Dilunakkan dengan Sari Buah Nanas (Ananas comosus). Skripsi.
Surakarta: Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Witjaksono.2009. Kinerja Produksi Pendederan Lele Sangkuriang Clarias sp.
Melalui Penerapan Teknologi Ketinggian Media Air 15 Cm, 20 Cm,
25 Cm, dan 30 Cm. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Wulandari, Sri. 2011. Pengaruh Jenis Otot dan Level Asap Cair terhadap Kualitas
Daging Pascarigor Sapi Bali. Skripsi. Makasar: Universitas Hassanudin.

55
Yanti, Hafri. dkk. 2008. Kualitas Daging Sapi dengan Kemasan Plastik PE (Poly
ethylen) dan Plastik PP (Polypropilen) di Pasar Arengka Kota Pekanbaru.
Jurnal Peternakan. 5(1).
Yulisma, A., Yulvizar, C., dan Rudi, E., 2012. Pengaruh Konsentrasi Kitosan dan
Lama Penyimpanan terhadap Total Plate Count (TPC) Bakteri pada Ikan
Kembung (Rastrelliger sp.) Asin. Skripsi. Aceh: Jurusan Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala.

56
LAMPIRAN PERHITUNGAN

A. Cooking loss
(berat sampel sebelum dimasak berat sampel setelah dimasak)
CL = x 100%
berat sampel sebelum dimasak

Segar
Sebelum dimasak 10 gram
Setelah dimasak 4 gram
(104)
Daging sapi = x 100% = 60%
10
Rebus
Sebelum dimasak 10 gram
Setelah dimasak 9 gram
(109)
Daging sapi = x 100% = 10%
10
Curing
Sebelum dimasak 10 gram
Setelah dimasak 7 gram
(107)
Daging sapi = x 100% = 30%
10

B. Drip loss
(berat sampel sebelum difreezing berat sampel setelah difreezing)
DL = x 100%
berat sampel sebelum difreezing

Segar
1. Chilling (24 jam)
(1010)
Daging sapi = x 100% = 0%
10
2. Suhu ruang
(1010)
Daging sapi = x 100% = 0%
10
3. Air mengalir
(1010)
Daging sapi = x 100% = 0%
10

57
Rebus
1. Chilling (24 jam)
(76)
Daging sapi = x 100% =14%
7
2. Rebus
(65)
Daging sapi = x 100% = 16,67%
6
3. Air mengalir
(55)
Daging sapi = x 100% = 0%
5
Curring
1. Chilling (24 jam)
(1210)
Daging sapi = x 100% = 16,67%
12
2. Rebus
(1212)
Daging sapi = x 100% = 0%
12
3. Air mengalir
(1211)
Daging sapi = x 100% = 8,3%
12

58
LAMPIRAN DOKUMENTASI

Gambar Keterangan

Bahan yang digunakan

Daging marbling

Fileting pada ikan

Penimbangan daging

59
Penghalusan nanas

Jus nanas

Perendaman daging pada jus nanas

Daging yang direndam dan dilakukan


pengamatan

60
61

Вам также может понравиться