Вы находитесь на странице: 1из 1

Tuan-tuan pun tak usah berkecil hati, dengan tanggungannya demokrasi itu negara-negara yang

terpisah dari agama di dalam undang-undang dasarnya tidak menutup pintu kepada badan perwakilan buat
mengambil wet-wet (undang-undang) yang setuju dengan syariat Islam, asal ada demokrasi itu. Tuan
misalnya ingin wet yang melarang orang memelihara babi? Atau wet melarang peminuman alkohol? Ah,
apa sukarnya mengadakan wet yang demikian itu, asal sebagian terbesar dari wakil-wakil rakyat di dalam
badan-perwakilan itu antibabi dan dan antialkohol!

Kalau jumlah utusan-utusan yang antibabi dan antialkohol masih kurang? Itu suatu tanda bahwa
Tuan punya rakyat belum rakyat Islam! Gerakkanlah Tuan punya propaganda di kalangan rakyat Tuan
itu dengan cara yang sehebat-hebatnya, supaya rakyat Tuan itu mengirimkan sebanyak mungkin wakil-
wakil Islam ke dalam badan-perwakilan itu. Gerakkanlah semangat Islam di kalangan rakyat Tuan,
sehingga tiap-tiap hidung menjadi hidung Islam, tiap-tiap otak menjadi otak Islam, dari si Abdul yang
menyapu sampai seorang kaya yang putar kota di dalam mobilnya dan badan-perwakilan itu akan
dibanjiri dengan utusan-utusan yang politiknya Islam, hatinya Islam, darahnya Islam, segala bulu-bulunya
Islam! Maka dengan banjir itu semua kehendak syariat Islam akan menjelmalah dengan sendirinya di
dalam segala putusan-putusan badan-perwakilan itu, segala kehendak Tuan akan terlaksanalah di dalam
badan perwakilan itu. Maka Negara itu dengan sendirinya menjadilah bersifat negara Islam, zonder
(tanpa) harus dikatakan bahwa ia adalah negara agama.

Maka nyatalah pula bahwa rakyat yang demikian itu betul-betul rakyat yang berjiwa Islam, dan
bukan suatu rakyat yang nama saja negaranya Islam , tetapi batinnya adalah batin yang adem (dingin)
terhadap kepada Islam, atau ingkar kepada Islam.

Islam tidak minta satu formele verklaring (pernytaan resmi) bahwa negaranya adalah negara
Islam, ia adalah minta satu negara betul-betul menyala satu api ke-Islam-an di dalam dadanya umat. Ini
api Islam yang menyala betul-betul di seluruh tubuhnya umat, inilah yang menjadikan negara menjadi
negara Islam, dan bukan satu keterangan bahwa di atas secarik kertas bahwa negara adalah berpedoman
kepada Agama.

Buat apa kita takut akan satu constitutionele wijsheid (kebijaksanaan hukum negara) bahwa
negara dipisah dari agama? Negara yang dipisah dari agama, asal ada demokrasi, dengan sepenuh-
penuhnya bisa menjadi negara Islam yang sejati! Buat apa takut akan constitutionele wijsheid itu?
Tidakkah lebih laki-laki kalau kita terima dan pakai constitutionele wijsheid itu secara ujian, secara
tantangan dari modern demokrasi kepada ia punya ke-Islam-an sendiri? Tidakkah lebih baik, tidakkah
lebih laki-laki, kalau kita berkata: Baik kita terima negara dipisah dari agama, tetapi kita akan kobarkan
seluruh rakyat dengan apinya Islam sehingga semua utusan di dalam badan-perwakilan itu adalah utusan
Islam, dan semua putusan-putusan badan-perwakilan itu bersemangat dan berjiwa Islam.

[Sukarno, dalam Panji Islam, 1940 | Tulisan di atas adalah beberapa (tidak semua) paragraf yang saya
ketik kembali dari buku Dibawah Bendera Revolusi, jilid I, edisi 2015, lebih lengkapnya bisa dibaca
sendiri di bab Saya Kurang Dinamis h. 499-508 | Ini adalah satu pelajaran berharga kenapa generasi
pemuda Islam harus melek politik | Seruan ini, seperti halnya seruan Hasan Al-Banna di dalam Risalah
Pergerakan-nya.]

Вам также может понравиться