Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Setelah hampir satu abad (sejak 1919), perusahaan jamu terbesar di Indonesia
Nyonya Meneer, akhirnya lelah berdiri. Dianggap tak mampu membayar kewajibannya
kepada 35 kreditor dengan nilai kurang lebih Rp 85 miliar, membuat Nyonya Meneer
dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga Semarang. Walaupun mengklaim bahwa
hutangnya hanya berkisar Rp 17,7 miliar, namun kasus yang melanda perusahaan
jamu terbesar di Indonesia ini adalah tamparan keras bagi Industri jamu Tanah Air.
Kemunduran industri jamu memang sangat terasa saat ini, khususnya bagi masyarakat
sebagai konsumen. Mungkin anda sendiri kemunduran tersebut. Ya, mungkin sebagian
juga ada yang langsung bertanya, siapa sih konsumen jamu saat ini? Jika ada, saya
yakin banyak yang sependapat dengan saya bahwa konsumen atau penggemar jamu
tradisional saat ini hanya mereka yang telah berumur 30 sampai 40 tahun ke atas,
artinya, penggemar jamu hanya terbatas pada golongan orang-orang tua saja. Namun
apakah semua orang tua minum jamu? Saya rasa tidak. Oleh karena itu, wajar jika
sekarang, sangat sulit kita jumpai mbok-mbok jamu gendong yang masih eksis men-
jajakan jamu ke komplek-komplek perumahan.
Mungkin masih banyak pihak yang optimis dengan masa depan industri jamu, wajar,
karena memang pada kenyataannya, produk jamu memiliki keunggulan tersendiri.
Namun, hemat saya, jika jamu tak mampu berbenah dan menyesuaikan diri, saya rasa
akan banyak industri jamu selain Nyonya Meneer akan ikut terpuruk.
Saya akan bercerita sedikit soal jamu dari sudut pandang saya sebagai anak muda
atau generasi milenial. Saya sendiri bukan penikmat jamu, namun pernah menikmati
jamu. Jamu olahan yang saya minum, paling hanya beras kencur plus rasa manisnya,
karena menurut saya itulah jamu yang paling manis rasanya. Mungkin jika ibu saya
tidak menyuruh untuk minum jamu, saya rasa, saya tidak akan pernah minum jamu
yang diolahan mbok-mbok jamu yang dulu rajin mampir ke komplek. Saya rasa, itu
kenangan yang cukup lama, sudah bertahun-tahun saya tidak minum jamu. Bukan ber-
arti saya tidak suka jamu beras kencur itu, namun karena mbok-mbok jamu langganan
ibu saya sudah berganti jualan, dari jamu menjadi gado-gado. Saya yakin, si mbok
berhenti jualan jamu, karena jamu tidak begitu digemari masyarakat.
Dari pengalaman ini, dapat disimpulkan bahwa jamu sendiri sudah mulai ditinggalkan,
tidak begitu dinikmati masyarakat khususnya anak muda. Karena bisnisnya yang
kurang menarik, membuat aktifitas perdagangan jamu kian menyusut. Sebagus apapun
khasiat dari sebuah produk, jika tidak dipasarkan dengan pola marketing yang baik,
maka produk tersebut akan tetap kalah bersaing dipasaran. Wajar, jika anak muda lebih
suka nangkring di caf-caf, walaupun produk yang didagangkan belum tentu
berkhasiat.
Menurut hemat saya, inilah momentum industri jamu untuk berbenah. Pertama, produk
jamu harus lebih relevan. Produsen jamu harus pintar-pintar mengolah rasa tanpa
mengubah khasiat. Kedua, produk jamu juga harus dikemas dengan lebih menarik se-
hingga sesuai dengan minat semua kalangan, baik tua dan muda. Ketiga, produk jamu
harus dipasarkan lebih menarik, artinya promosi yang menarik menjadi salah satu
upaya untuk terus mendongkrak penjualan.
Saya rasa, setelah kebangkrutan perusahaan ritel asing Seven Eleven (Sevel),
kemudian disusul oleh kebangkrutan Nyonya Meneer, membuktikan bahwa tidak ada
jaminan baik pemodal asing maupun pemodal lokal, baik yang telah berumur apalagi
yang baru seumur jagung, atau yang bermodal besar maupun kecil, dapat tetap eksis
tanpa terus berinovasi. Oleh karena itu, inovasi adalah kata kunci bagi para pelaku
bisnis untuk tetap survivedalam persaingan pasar yang kian kompetitif. Jangan biarkan
jamu jadi barang jadul, jangan lelah berinovasi. ***
ARTIKEL 2
Jamu Nyonya Meneer Minim Inovasi?
Banyak yang tak menyangka perusahaan jamu terkemuka yang telah berdiri sejak 1919
itu tiba-tiba terbelit masalah hingga dinyatakan pailit.
Menurutnya, Nyonya Meneer merupakan salah satu perusahaan warisan yang telah
lama berdiri di Indonesia dan dijalankan dari generasi ke generasi.
Setelah meninggalnya Nyonya Meneer, sang perintis usaha jamu tersebut pada tahun
1978, terjadi konflik di antara ahli waris dari anak Nyonya Meneer yang menjalankan
usaha tersebut.
Selepas itu, bisnis Nyonya Meneer kembali dilanjutkan pada generasi ketiga dan
berjalan stabil.
Namun sayangnya, perusahaan ini hanya menjalankan roda bisnis yang sudah berjalan
dan hanya mengandalkan kekuatan merek Nyonya Meneer tanpa melakukan inovasi
dari sisi produk maupun lini produksi.
Artkel 3
Artikel 4
TEMPO.CO, Jakarta -Pabrik jamu Nyonya Meneer bangkrut setelah gagal membayar
utang Rp 7,04 miliar kepada kreditornya. Pailit diputuskan oleh Pengadilan Negeri
Semarang pada Kamis pekan lalu.
Bangkrutnya Nyonya Meneer, menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu dan
Obat Tradisional, Dwi Ranny Pertiwi Zarman, banyak industri besar obat tradisional
harus bekerja ekstra untuk bersaing dengan produk lain di tingkat domestik dan luar
negeri. Apalagi, industri jamu seperti PT Nyonya Meneer juga harus bersaing dengan
jamu ilegal. Banyak produk ilegal didistribusikan secara online. Sementara itu, iklan
produk legal dikendalikan demi regulasi, kata Dwi, Minggu, 6 Agustus 2017.
Tantangan lain industri jamu adalah besarnya biaya persyaratan perubahan jenis usaha
dari industri kecil ke industri besar. Belum semua perusahaan jamu menguasai dan
menggunakan teknologi IT sebagai basis penjualannya.
Gugatan pailit terhadap Nyonya Meneer diajukan oleh kreditor Hendrianto Bambang
Santoso, asal Kabupaten Sukoharjo. Pemohon menyatakan PT Nyonya Meneer tidak
memenuhi kewajiban membayar utang. Atas putusan itu, kurator telah ditunjuk untuk
menyelesaikan kewajiban Nyonya Meneer kepada para kreditor.
Sejak awal 2000-an sudah ada masalah internal, kepemilikan, dan lain-lain, kata Gati.
Menurut dia, perusahaan keluarga ini seharusnya berinovasi agar tak kalah bersaing
dengan produk baru.