Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Hal ini
mengakibatkan anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitif, aktivitas dan
minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993).
1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada 2 gejala dari gejala di
bawah:
a. tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai: kontak mata sangat kurang, ekspresi muka
kurang hidup, gerak-gerik yang kurang terarah,
b. tak bisa bermain dengan teman sebaya,
c. tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain,
d. kurangnya hubungan emosional dan sosial yang timbal balik.
2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti ditunjukkan oleh minimal satu dari gejala-gejala
berikut:
a. bicara terlambat atau bahkan sama sekali tak berkembang (tak ada usaha untuk mengimbangi
komunikasi dengan cara lain tanpa bicara),
b. Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi,
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang,
d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang bisa meniru.
3. Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan. Sedikitnya
harus ada satu dari gejala berikut ini:
a. Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara yang khas dan berlebih-lebihan.
b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya.
c. Ada gerakan-garakan yang aneh, khas, dan diulang-ulang.
d. Seringkali terpukau pada bagian-bagian benda tertentu.
B. Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang:
1. interaksi sosial
2. bicara dan berbahasa
3. cara bermain yang kurang variatif.
C. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Kanak. Karakteristik Perilaku
Bermain pada Penyandang Autisme :
Sudah menjadi kewajiban setiap orangtua untuk mengetahui proses tumbuh kembang anak. Untuk itu
ada baiknya, bila Anda mengenali ciri-ciri anak autis yang pada umumnya terjadi. Sehingga apabila
anak Anda memiliki gejala autis, Anda tetap bisa memaksimalkan pertumbuhannya. Berikut tujuh ciri-
ciri autisme yang bisa Anda deteksi pada anak.
2. Kesulitan Berempati
Sangat sulit bagi anak penderita autisme untuk memahami perasaan orang lain, sehingga mereka jarang
berempati terhadap orang lain. Mereka juga sulit mengenali dan memahami bahasa tubuh atau intonasi
bicara. Saat berbicara dengan orang lain, komunikasi cenderung bersifat satu arah karena mereka lebih
banyak membicarakan dirinya sendiri. Untungnya, kemampuan berempati ini dapat dilatih dan
meningkat jika mereka rutin diingatkan untuk belajar mempertimbangkan perasaan orang lain.
5. Gangguan Bicara
Ciri-ciri autisme bisa juga Anda deteksi dengan mengetahui kemampuan bicara pada anak. Diketahui
bahwa 40% dari anak-anak dengan autismetidak dapat berbicara atau hanya dapat mengucapkan
beberapa kata saja. Sekitar 25-30% dapat mengucapkan beberapa kata pada usia 12-18 bulan, namun
sesudahnya kehilangan kemampuan berbicara. Sedangkan sisanya baru dapat berbicara setelah agak
besar. Intonasi penderita autisme saat berbicara biasanya cenderung datar dan bersifat formal. Mereka
juga suka mengulang kata atau frase tertentu, atau dikenal sebagai echolalia.
1. Autisme Persepsi
Autisme persepsi dianggap autisme asli karena kelainan sudah timbul sebelum lahir. Autisme ini terjadi
karena berbagai faktor baik itu berupa pengaruh dari keluarga, maupun pengaruh lingkungan (makanan,
rangsangan) maupun faktor lainnya. Ketidakmampuan anak berbahasa termasuk pada penyimpangan
reaksi terhadap rangsangan dari luar, begitu juga ketidakmampuan anak bekerja sama dengan orang
lain, sehingga anak akan bersikap masa bodoh. Gejala yang dapat diamati antara lain :
Rangsangan dari luar baik yang kecil maupun yang kuat, akan menimbulkan kecemasan. Tubuh akan
mengadakan mekanisme dan reaksi pertahanan hingga terlihat timbul pengembangan masalah.
Banyaknya pengaruh rangsangan dari orang tua, tidak bisa ditentukan. Orang tua tidak ingin peduli
terhadap keinginan dan kesengsaraan anaknya. Kebingungan anaknya perlahan berubah menjadi
kekecewaan. Lama-kelamaan rangsangan ditolak atau anak bersikap masa bodoh.
Pada kondisi begini baru orang tua mulai peduli atas kelainan anaknya, sambil terus menciptakan
rangsangan-rangsangan yang memperberat kebingungan anaknya, mulai berusaha mencari
pertolongan.
Pada saat begini, si bapak malah sering menyalahkan si ibu kurang memiliki kepekaan naluri keibuan.
Si bapak tidak menyadari hal tersebut malah memperberat kebingungan si anak dan memperbesar
kekhilafan yang telah diperbuat.
2. Autisme Reaksi
Timbulnya autisme reaktif karena beberapa permasalahan yang menimbulkan kecemasan seperti
orang tua meninggal, sakit berat, pindah rumah/ sekolah dan sebagainya. Autisme jenis reaktif akan
memunculkan gerakan-gerakan tertentu berulang-ulang dan kadang-kadang disertai kejang-
kejang. Gejala autisme reaktif mulai terlihat pada usia lebih besar (6-7) tahun sebelum anak
memasuki tahapan berpikir logis, mempunyai sifat rapuh mudah terkena pengaruh luar yang timbul
setelah lahir, baik karena trauma fisik atau psikis. Gejalanya antara lain :
Mempunyai sifat rapuh, mudah terkenapengaruh luar yang timbul setelah lahir, baik karena trauma
fisik atau psikis, tetapi bukan disebabkan karena kehilangan ibu.
Setiap kondisi, bisa saja merupakan trauma pada anak yang berjiwa rapuh ini, sehingga mempengaruhi
perkembangan normal dikemudian harinya.
Ada beberapa keterangan yang perlu diketahui yang mungkin merupakan faktor resiko pada
kejadian autisme reaktif :
a. Anak yang terkena autis reaktif menghadapi kecemasan yang berat pada masa kanak-kanak,
memberikan reaksi terhadap pengalamannya yang menimbulkan trauma psikis tersebut.
b. Trauma kecemasan ini terjadi sebelum anak berada pada penyimpangan memory di awal
kehidupannya tetapi proses sosialisasi dengan sekitarnya akan terganggu.
c. Trauma kecemasan yang terjadi setelah masa penyimpanan memory akan berpengaruh pada anak
usia 2-3 tahun. Karena itu, meskipun anak masih memperlihatkan emosi yang normal tetapi kemampuan
berbicara dan berbahasanya sudah mulai terganggu. Ini yang membuat orang tua si anak menjadi
khawatir.
Trauma yang menyebabkan kecemasan anak. Setelah beberapa waktu yang lama akan menyisakan
kelainan, antara lain, tidak bisa membaca (dyslexia), tidak bisa bicara (aphasia), serta berbagai
masalah yang menghancurkan si anak yang menjelma dalam bentuk autisme. Kadang-kadang trauma
yang mencemaskan si anak menimbulkan ketakutan, atau gejala sensoris lain yang terlihat
sebagai autisme persepsi.