Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ruang Intensive merupakan salah satu fungsi Rumah Sakit dalam rangka
melaksanakan perawatan Intensive yang memiliki tempat atau unit tersendiri di dalam rumah
sakit, dimana ditempat itu memiliki staf khusus, peralatan khusus yang ditujukan untuk
menanggulangi pasien gawat karena penyakit, trauma atau komplikasi yang mengancam
jiwa (Dep.Kes. RI, 2010 :1). Yang dimaksud staf khusus adalah dokter, perawat terlatih atau
berpengalaman dalam Intensive Care (perawat / terapi intensif), dokter ahli (intensifis)
sebagai kepala ICU, tenaga ahli laboratorium diagnostic, teknisi alat-alat pemantauan yang
mampu memberikan pelayanan selama 24 jam (Dep.Kes.RI, 2003:7).
Pada prinsipnya untuk mewujudkan suatu pelayan intensif terpadu yang bermutu
maka salah satu persyaratan dalam penyelenggaraan pelayanan intensif yang berkualitas
perlu diadakan suatu pelatihan ICU. Pelatihan ICU ini bertujuan untuk meningkatkan mutu
pelayanan, keterampilan dan pengetahuan perawat yang bekerja di ruang intensif maka
diperlukan pelatihan pelatihan yang mendukung profesionalisme agar senantiasa dapat
memberikan pelayanan yang bermutu seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan
kedokteran dan keperawatan.
Kualitas pelayanan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu pelayanan di bidang teknis
medis dan pelayanan di bidang asuhan keperawatan intensif. Klien tidak akan puas apabila
mendapat pelayanan dari segi medis saja, tanpa diimbangi dengan proses asuhan
keperawatan yang professional.
Terbangunnya hubungan baik antara sesama petugas rumah sakit, seperti dokter
dengan perawat, perawat dengan perawat, petugas kesehatan dengan pasien dan keluarga
pasien, maka diperlukan suatu proses manajemen pengelolaan asuhan keperawatan
khususnya di bidang kritis.
Upaya untuk menciptakan hal tersebut adalah dengan meningkatkan kemampuan
perawat dengan cara mengadakan pelatihan ICU.
B.1. Tujuan
C. RUANG LINGKUP
a. Diagnosis dan penatalaksanaan spesifik penyakit-penyakit akut yang mengancam
nyawa dan menimbulkan kematian.
b. Memberi bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh sekaligus melakukan
tindakan yang segera diperlukan berdaya guna dan berhasil guna untuk kelangsungan
hidup.
c. Pemantauan fungsi vital tubuh dan penatalaksanaan tehadap komplikasi yang
ditimbulkan penyakit.
d. Memberikan bantuan psikologis pada pasien dan keluarga yang kehidupanya sangat
tergantung pada obat, alat dan mesin.
D. SASARAN
a. Tenaga medis
b. Tenaga Perawat
c. Instalasi Rawat Intensif
E. INDIKATOR KEBERHASILAN
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta diklat diharapkan :
a. Memahami konsep dasar ICU
b. Mengetahui indikasi masuk dan keluar ICU
c. Mengetahui sistem scoring yang ada di ruang ICU RSUD Wangaya
d. Mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien kritis di ruang ICU
e. Memahami tentang terapi dan tindakan medis di ruang ICU
f. Mengenal dan mampu mengoperasikan alat-alat medis di ruang ICU
g. Mengetahui standar pelayanan di ruang ICU
F. PETUNJUK BELAJAR
Modul ini merupakan pokok-pokok penting dalam proses pembelajaran orang
dewasa dalam rangka meningkatkan meningkatan mutu pelayanan di Ruang Intensive .
Buatlah rangkuman sesuai dengan pemahaman anda untuk setiap bab yang dapat
mencerminkan isi materi keseluruhan dari modul diklat ini.
Perbanyak membaca literatur yang terkait denganpelayanan ICU, baik dari buku,
video maupun situs internet yang banyak menyediakan informasi yang relevan
dengan upaya menjaga mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit dalam rangka
mewujudkan kualitas pelayanan kesehatan rumah sakit yang prima.
BAB II
FALSAFAH PELAYANAN ICU
A. ETIKA KEDOKTERAN
Landasan dasar dari etika kedokteran adalah falsafah dasar kedokteran yaitu saya
akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, tidak merugikan pasien dan
berorientasi untuk dapat secara optimal memperbaiki kondisi kesehatan pasien. Oleh
karena itu hal yang perlu diperhatikan dalam hal etika pelayanan pasien ICU adalah :
1. Autonomy : hak pasien untuk menentukan hal yang terbaik bagi dirinya.
2. Benefiscence : kewajiban dokter untuk memberikan apa yang terbaik dan
bermanfaat bagi kesembuhn pasien.
3. Non maleficence : tidak melakukan hal-hal yang membahayakan pasien.
4. Justice : kewajiban memberikan pelayanan yang sama bagi setiap pasien.
D. KERJASAMA MULTIDISIPLIN
Dasar pengelolaan pasien ICU adalah pendekatan multidisiplin dari beberapa displin ilmu
terkait yang dapat memberikan kontribusi sesuai bidang keahlianya dan bekerjasama di
dalam tim yang dipimpin oleh seorang dokter intensivist / dokter spesialis anestesi untuk
Rumah Sakit Kelas C sebagai kepala ICU dan sebagai ketua TIM.
TIM multidisiplin memiliki 5 (lima) karakteristik :
1. Staf medik dan keperawatan purna waktu sebagai kepala dengan otoritas dan
tanggung jawab penuh terhadap manajemen ICU.
2. Staf medik, keperawatan, farmasi klinik, farmakologi klinik, gizi klinik dan mikrobiologi
klinik yang berkolaborasi dengan pendekatan multidisiplin.
3. Mempergunakan standar, protokol atau guideline untuk memastikan pelayanan yang
konsisten baik oleh dokter, perawat maupun staf yang laen.
4. Memiliki dedikasi untuk melakukan koordinasi dan komunikasi bagi seluruh
manajemen ICU
5. Menekankan pada pelayanan yang sudah tersertifikasi, pendidikan, penelitian,
masalah etik dan pengutamaan pasien.
E. ASAS PRIORITAS
Setiap dokter primer dapat mengusulkan agar pasienya dapat dirawat di icu asalkan sesuai
dengan indikasi masuk yg benar mengingat keterbatasan ketersediaan fasilitas di ICU.
Maka diberlakukan asas prioritas dan keputusan akhir adalah kewenangan kepala ICU.
G. KONTINUITAS PELAYANAN
Perlu dikembangkan unit pelayanan tingkat tinggi (High Care Unit = HCU) sebagai unit
perawatan antara dari bangsal rawat dan ICU. HCU tidak memerlukan peralatan canggih
seperti ICU namun perlu kewaspadaan pemantauan yang tinggi.
BAB III
KONSEP DASAR ICU
A. PENGERTIAN ICU
Menurut Achsanuddin, H (2007) Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari
rumah sakit yang terpisah dengan staf yang khusus yang ditujukan untuk observasi,
perawatan dan terapi klien yang menderita penyakit, cidera, atau penyakit-penyakit
yang mengancam jiwa atau potensial mengancam jiwa dengan prognosis dubia. Icu
menyediakan kemampuan dan sarana, prasarana serta peralatan khusus untuk
menunjang fungsi-fungsi vital dengan menggunakan ketrampilan staf medik, perawat
dan staf lain yang berpengalaman dalam pengolahan keadaan tersebut (Depkes RI,
2003: 1)
Tenaga yang terlibat dalam ICU terdiri dari tenaga dokter intensivist, dokter spesialis
dan dokter yang telah mengikuti pelatihan ICU dan perawat terlatih ICU. Tenaga
tersebut menyelenggarakan palayanan ICU sesuai dengan kompetensi dan
kewenangan yang diatur oleh masing masing RS.
Tabel 2. Ketenagaan
D. INDIKASI MASUK DAN KELUAR ICU
Sarana dan prasarana ICU disuatu rumah sakit terbatas sedangkan kebutuhan pelayanan
ICU lebih banyak, maka diperlukan suatu mekanisme untuk membuat prioritas sesuai
indikasi sebagai berikut :
Untuk terpai intensive, prioritas 1 didahulukan yaitu pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan
terapi intensif dan titrasi seperti batuan ventilasi, alat penunjang fungsi organ.
Prioritas 2adalah pasien yang memerlukan pemantauan canggih dan beresiko terjadi perburukan.
Prioritas 3 adalah pasien sakit kritis yang tidak stabil, yang oleh penyakit yang mendasari secara
sendiri ataupun kombinasi dan komplikasi yang terjadi, sangat kecil kemungkinan untuk sembuh
walaupun dengan perawatan ICU.
Kriteria pasien keluar dari ICU:
Prioritas pertama, adalah jika terapi mngalami kegagalan, prognosa jangka pendek buruk,
bila sedikit kemungkinan perawatan intensive di teruskan. Prioritas kedua apabila perawatan
intensive tidak di butuhkan dan pemantauan intensive tidak di perlukan. Prioritas ketiga terapi
intensive kontinyu untuk pulih kembali sangat kecil, keuntungan dari terapi intensive sangat kecil
atau tidak berespon terhadap terapi ICU.
Pasien disediakan ruangan khusus agar keluarga isa lebih dekat, tidak diberikan lagi
bantuan luar biasa, hanya kebutuhan dasar kehidupan dan terapi utk paliatif.
E. INFORMED CONSENT
Sebelum pasien masuk ke ICU, pasien dan keluarganya harus mendapatkan penjelasan
secara lengkap dasar pertimbangan kenapa pasien harus mendapatkan perawatan ICU,
serta berbagai macam tindakan kedokteran yang mungkin dilakukan selama pasien dirawat
di ICU.
F. ALUR PELAYANAN
Pasien yang memerlukan perawatan ICU bisa berasal dari UGD, HCU, Kamar operasi,
bangsal rawat inap atau unit khusus seperti endoskopi dan hemodialisa.
G. SARANA, PRASARANA DAN PERALATAN
1. Lokasi
Dianjurkan satu kkomplek dengan kamar bedah dan kamar pulih, berdekatan atau
mempunyai akses yang mudah ke UGD, Laboratorium dan radiologi.
2. Desain
Pelayanan ICU yang memadai ditentukan berdasarkan desain yang baik dan
pengaturan ruang yang adekuat seperti tabel. Ruang ICU dibagi menjadi beberapa area
ang terdiri dari :
3. Peralatan
Peralatan yang memadai baik kulitas maupun kuantitas sangat membantu kelancaran
pelayanan. Uraian peralatan dapat dilihat dalam tabel berikut :
H. SISTEM RUJUKAN
Rujukan adalah penyelenggaraan kesehatan yang mengatur pelimpahan
tugas/wewenang dan tanggung jawab secara timbal balik baik secara horisontal
maupun vertikal terhadap kasus penyakit atau masalah kesehatan karena adanya
keterbatasan dalam memberikan pelayanan yang dibutuhkan pasien.
a. Rujukan eksternal (antar fasilitas pelayanan kesehatan)
1. Rujukan vertikal
Rujukan yang terjadi dari suatu fasilitas pelayanan kesehatan
kepada fasilitas pelayanan kesehatan dalam tingkat pelayanan
kesehatan yang bebeda.
2. Rujukan horisontal
Rujukan yang terjadi dari suatu fasilitas pelayanan kesehatan
kepada fasilitas pelayanan kesehatan lainya yang memiliki
kemampuan yang lebih tinggi dalam suatu tingkatan yang sama.
b. Rujukan Internal (intra fasilitas pelayanan kesehatan)
BAB IV
PENGORGANISASIAN
A. STRUKTUR ORGNISASI
Untuk mencapa tujuan dan sasaran yang optimal perlu ditata pengorganisasian
pelayanan dengan tugas dan wewenang yang jelas dan terinci baik secara
administratif.
B. URAIAN TUGAS
Uraian tugas masing masing personil adalah sebagai berikut :
a. Kepala ICU
Tugas pokok
1. Menyelenggarakan upaya pelayanan ICU yang sesuai dengan kemampuan
ketenagaan yang ada.
2. Menyelenggarakan dan melaksanakan kerjasama lintas program dan lintas
sektoral yang terkait.
Uraian tugas
1. Merencanakan/membuat rencana kerja kebutuhan tim setiap tahunya.
2. Menyelenggarakan pelayanan icu berdasarkan rencana kebutuhan
ketenagaan sesuai kebijakan yang telah ditetapkan oleh direktur RS
3. Menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, penelitian serta pengembangan
ilmu.
4. Menyelenggarakan rujukan, bakdi dalam maupun ke dan dari luar rumah
sakit.
5. Menyelenggarakan kerjasama dengan tim / SMF lain di RS serta hubungan
lintas program dan lintas sektoral melalui direktur RS.
6. Bertanggung jawab atas laporan berkala pelayanan ICU.
7. Bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan ICU di RS.
8. Mengadakan supervisi dan pembinaan pelayanan ICU di RS
b. Koordinator Pelayanan
Tugas Pokok
1. Menyediakan kelengkapan fasilitas, sarana dan prasarana sesuai dengan
kegiatan yang ada, pengaturan sumber daya manusia yang dibutuhkan
sehingga kegiatan pelayanan ICU berjalan lancar.
2. Menyelenggarakan upaya pelayanan ICU serta melaksanakan rujukan ke dan
dari SMF lain bila perlu
Uraian Tugas
1. Merencanakan membuat rencana kerja serta rencana kebutuhan ICU setiap
tahunya
2. Menyediakan kelengkapan pelayanan ICU berdasarkan kebijaksanaan yang
telah ditetapkan oleh ketua tim pelayanan ICU
3. Menyediakan kelengkapan tugas pendidikan, latihan dan penelitian serta
pengembangan sesuai kebijakan tim.
4. Menyelenggarakan kerjasama dengan SMF di umah sakit
5. Bertanggung jawab kepada kepala ICU atas peyelenggaraan pelayanan ICU
di RS
c. Dokter Intensivist / Dokter Spesialis / Dokter
Tugas pokok :
Melaksanakan pelayanan ICU dan membantu pelaksanaan pendidikan serta
penelitian.
Uraian Tugas :
1. Bertindak sebagai anggota TIM di pelayanan ICU
2. Melaksanakan re-evaluasi pasien dan menentukan program selanjutnya bagi
pasien.
3. Mengirim kembali dan menyampaikan jawaban konsultatif kepada dokter
pengirim.
4. Bertanggung jawab atas pelaksanaan program pelayanan ICU kepada
koordinator pelayanan ICU
5. Membantu pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga medis dan tenaga
perawat dilingkungan pelayanan ICU
6. Bekerjasama dengan semua pihak dalam membantu penelitian dan
pengmbangan ilmu kedokteran intensif.
d. Perawat
Tugas pokok :
Mengelola pelayanan dan asuhan keperawatan secara komprehensif meliputi
pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, tindakan keperawatan serta
evaluasi pada pasien ICU.
Uraian Tugas :
1. Bertindak sebagai anggota TIM ICU di semua jenis pelayanan
2. Melaksanakan semua program perawatan, sesuai rencana keperawatan yang
disepakati oleh tim
3. Melaksanakan re-evaluasi pasien dengan mengusulkan program
keperawatanselanjutnya bagi pasien.
4. Bertanggung jawab atas pelaksanaan program perawtaan ICU kepada
koordinator pelayanan ICU.
5. Melkasanakan pelatihan bagi tenaga perawat dilingkungan pelayanan ICU
e. Koordinator administrasi dan keuangan
Tugas pokok :
Melaksanakan tata persuratan dan kerasipan, rumah tangga dan kebendaharaan
yang baik serta sistem dokumentasi dan pelaporan pelayanan ICU
Uraan tugas
1. Menjawab surat menyurat masuk
2. Mambantu kepala ICU dalam membuat laporan hasil kegiatan dan keuangan
secara berkala
3. Mengatur kebutuhan dan kegiatan kerumahtanggan sehari-hari
4. Pemeliharaan sarana dan kebutuhan untuk kelancaran pelayanan
5. Membuat laporan berkala mengenai barang rusak, mutasi barang dan lain
lain.
BAB V
STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN INTENSIF
A. Pendahuluan
Mengingat banyaknya standar asuhan keperawatan Intensif maka pada tahap awal ini
hanya akan diuraikan asuhan keperawatan Intensif dengan penggunaan ventilasi
mekanik dan gangguan hemodinamik
B. Pengertian
Asuhan keperawatan intensif adalah kegiatan yang memberikan acuan yang minimal
dan diberikan oleh perawat di unit instalasi perawatan intensif. Asuhan
keperawatandilakukan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yang
merupakan metode ilmiah dan panduan dalam asuhan keperawatan yang berkualitas guna
mengatasi masalah pasien.
Pengkajian
Evaluasi
Evaluasi adalah langkah kelima dalam proses keperawatan dan merupakan dasar
pertimbangan yang sistematis untuk menilai keberhasilan tindakan keperawatan dan
sekaligus dan merupakan alat untuk melakuakan penilain ulang dalam upaya dalam
melakukan modifikasi/ revisi diagnosa dan tindakan evluasi yang dilakuakan sebagai asuhan
yang disebut sebagai evaluasi proses dan evaluasi hasil.
Dokumentasi keperawatan
Adalah catatan yang berisi data pelaksanaan tindakan keperawatan atau respon
klien terhadap tindakan keperwatan sebagai pertanggungjawaban dan pertanggungugatan
terhadap asuhan keperawatan yang dilakukan perawat kepada pasien dari kebijakan.
Dalam bab ini akan dibahas Asuhan Keperawatan Pasien Kritis Dengan Bantuan Ventilasi
Mekanik
1. Pengertian
Ventilasi mekanik diklasifikasikan berdasarkan cara alat tersebut mendukung ventilasi, dua
kategori umum adalah ventilator tekanan negatif dan tekanan positif.
2. Indikasi Klinik
2..1 Kegagalan Ventilasi
a. Neuromuscular Disease
d. Musculosceletal disease
Pada klien dewasa, frekuensi ventilator diatur antara 12-15 x / menit. Tidal volume istirahat 7
ml / kg BB, dengan ventilasi mekanik tidal volume yang digunakan adalah 10-15 ml / kg BB.
Untuk mengkompensasi dead space dan untuk meminimalkan atelektase (Way, 1994 dikutip
dariLeMone and Burke, 1996).Jumlah oksigen ditentukan berdasarkan perubahan
persentasi oksigen dalam gas. Karena resiko keracunan oksigen dan fibrosis pulmonal
maka FiO2 diatur dengan level rendah. PO2 dan saturasi oksigenbarteri digunakan untuk
menentukan konsentrasi oksigen. PEEP digunakan untuk mencegah kolaps alveoli dan
untuk meningkatkan difusi alveolikapiler.
b. Assist/Control
Ventilator jenis ini dapat mengontrol ventilasi, volume tidal dan kecepatan.
Bila klien gagal untuk ventilasi, maka ventilator secara otomatis. Ventilator ini
Model ini digunakan pada pernafasan asinkron dalam penggunaan model kontrol,
klien dengan hiperventilasi. Klien yang bernafas spontan dilengkapi dengan mesin
dan sewaktu-waktu diambil alih oleh ventilator.
SIMV dapat digunakan untuk ventilasi dengan tekanan udara rendah, otot tidak
begitu lelah dan efek barotrauma minimal. Pemberian gas melalui nafas spontan
biasanya tergantung pada aktivasi klien. Indikasi pada pernafasan spontan tapi tidal
volume dan/atau frekuensi nafas kurang adekuat.
Modus yang digunakan dengan menahan tekanan akhir ekspirasi positif dengan
tujuan untuk mencegah Atelektasis. Dengan terbukanya jalan nafas oleh karena
tekanan yang tinggi, atelektasis akan dapat dihindari. Indikasi pada klien yang
menederita ARDS dan gagal jantung kongestif yang massif dan pneumonia difus.
Efek samping dapat menyebabkan venous return
3.Diagnosa Keperawatan
c. Gangguan kardiovaskuler
d. Barotrauma dan pneumothoraks
e. Infeksi paru
f. Ketidakmampuan mempertahankan ventilasi spontan
g. Disfungsi respon penyapihan ventilator
Tujuan utama bagi pasien yaitu : pertukaran gas optimal; penurunan akumulasi
lendir; tidak terdapat trauma atau infeksi ; pencapaian mobilisasi yang optimal ;
penyesuaian terhadap metode komunikasi non verbal ; mendapatkan tindakan
koping yang berhasil ; dan tidak terjadi komplikasi. Asuhan keperawatan pada
pasien dengan ventilasi mekanik membutuhkan teknik dan keterampilan
interpersonal yang unik, antara lain :
ahli terapi pernafasan , secara kontinu mengkaji pasien terhadap pertukaran gas
yang adekuat , tanda dan gejala hipoksia, dan respon terhadap tindakan . Pertukaran
gas yang tidak adekuat dapat berhubungan dengan faktor-faktor yang sangat
beragam; tingkat kesadaran, atelektasis, kelebihan cairan, nyeri insisi, atau penyakit
primer seperti pneumonia. Pengisapan jalan nafas bawah disertai fisioterapi dada
( perkusi,fibrasi ) adalah strategi lain untuk membersihkan jalan
nafas dari kelebihan sekresi karena cukup bukti tentang kerusakan intima pohon
trakeobronkial. Intervensi keperawatan yang penting pada klien yang mendapat
ventilasi mekanik yaitu auskultasi paru dan interpretasi gas darah arteri. Perawat
mental. Latihan rentang gerak pasif/aktif dilakukan tiap 8 jam untuk mencegah
3.2 Evaluasi
Hasil yang diharapkan dari asuhan keperawatan yang diberikan antara lain
1. Menunjukkan pertukaran gas, kadar gas darah arteri, tekanan arteri pulmonal
3. Bebas dari cedera atau infeksi yang dibuktikan dengan suhu tubuh dan jumlah
5. Berkomunikasi secara efektif melalui pesan tertulis, gerak tubuh atau alat
komunikasi lainnya.
1. Tes penyapihan
2. Pengaturan ventilator
a) PaCO2 normal
4. Selang Endotrakeal
5. Nutrisi
6. Jalan nafas
7. Obat-obatan
8. Emosi
9. Fisik
BAB VI
PENYAKIT, TERAPI DAN TINDAKAN MEDIS KEPERAWATAN DI ICU
BANTUAN HIDUP DASAR
Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support) merupakan aspek dasar dari tindakan
penyelamatan sehubungan dengan kejadian henti jantung. Aspek yang penting dari BLS
termasuk strategi pencegahan, pengenalan yang cepat dari kejadian henti jantung
(cardiac arrest) mendadak, aktivasi dari sistem respon emergency, tindakan dini
Cardiopulmonary rescucitation (CPR)/ resusitasi jantung paru (RJP) dengan perhatian
pada kompresi dada, tindakan secara dini defibrilasi.
Tindakan bantuan hidup lanjut (advance life Support) yang efektif dan
penatalaksanaan post cardiac arrest secara terpadu. Serangkaian tindakan di atas disebut
sebagai rantai keselamatan chain of survival.
1. 2. 3. 4. 5.
Tujuan bantuan hidup dasar adalah untuk memberikan bantuan sirkulasi sistemik,
ventilasi dan oksigenasi tubuh secara efektif dan optimal sampai didapatkan kembali
sirkulasi sistemik secara spontan atau telah tiba bantuan dengan peralatan yang lebih
lengkap untuk melaksanakan tindakan bantuan hidup lanjut atau sampai pasien
dinyatakan meninggal. Kompresi dada merupakan komponen yang sangat penting pada
RJP dikarenakan perfusi selama RJP sangat tergantung dari tindakan ini. Pelaksanaan
bantuan hidup dasar dengan segera dan efektif, dapat meningkatkan keberhasilan
resusitasi serta mengurangi gangguan neurologis yang terjadi
A. LANGKAH-LANGKAH BANTUAN HIDUP DASAR DEWASA
Langkah-langkah Bantuan hidup dasar terdiri dari urut-urutan pemeriksaan diikuti dengan
tindakan, seperti yang diilustrasikan di algoritme bantuan hidup dasar (gambar 2). Meskipun
seakan-akan tindakan dilakukan secara berurutan. Tetapi idealnya apabila memungkinkan
terutama untuk tenaga medis professional dan resusitasi di rumah sakit, resusitasi dilakukan
secara tim yang bekerja secara simultan (sebagai contoh, satu penolong mengaktifkan sistem
emergency sementara penolong lain melakukan kompresi dada, penolong lain dapat melakukan
bantuan pernapasan dengan bag mask, dan mengaktifkan defibrillator)
Bantuan hidup dasar pasien dewasa terdiri langkah-langkah seperti di bawah ini:
1. MENGENALI KEJADIAN HENTI JANTUNG DENGAN SEGERA (CEK RESPON DAN CEK
PERNAPASAN)
Pada saat menemui korban dewasa yang tidak sadar, atau mendadak kolaps, setelah
memastikan lingkungan aman, tindakan pertama adalah memastikan respon dari korban.
Penolong harus menepuk atau mengguncang korban dengan hati-hati pada bahunya dan
bertanya dengan keras : Halo! Halo! Apakah anda baik-baik saja ? (gambar 3). Pada saat
bersamaan penolong melihat apakah pasien tidak bernapas atau bernapas tidak normal
(contoh: gasping). Jika pasien tidak menunjukkan respon dan tidak bernapas atau bernapas
tidak normal (gasping) maka penolong harus mengasumsikan bahwa pasien mengalami
henti jantung. Pada beberapa menit awal setelah terjadi henti jantung, korban mungkin
bernapas tidak adekuat, lambat dan gasping. Jangan bingung dengan kondisi napas normal.
Jika ragu-ragu apakah pasien bernapas tidak normal, lakukan tindakan sebagaimana pasien
tidak bernapas normal.
Sesuai dengan revisi panduan yang dikeluarkan American Heart Association 2015
mengenai bantuan hidup dasar, penolong tidak perlu melakukan observasi napas spontan
dengan look, listen and feel karena langkah pelaksanaan yang tidak konsisten dan
menghabiskan terlalu banyak waktu
Gambar 3: Memastikan respon korban dan secara bersamaan memastikan korban bernapas
atau tidak, atau bernapas tidak normal (gasping)
Jika pernapasan tidak normal atau tidak bernapas tetapi dijumpai denyut nadi pada
korban, maka diberikan bantuan napas setiap 5-6 detik. Lakukan pemeriksaan ulang nadi
korban setiap 2 menit. Hindari pemberian bantuan napas yang berlebihan, selama RJP
direkomendasikan dengan volume tidal 500-600 ml (6-7 ml/kg), atau hingga terlihat dada
korban mengembang.
Bila korban bernapas normal, atau bergerak terhadap respon yang diberikan, maka
usahakan tetap mempertahankan posisi pasien seperti saat ditemukan atau usahakan pasien
diposisikan ke dalam posisi recovery; panggil bantuan, sambil melakukan pemantauan
terhadap tanda-tanda vital korban secara terus menerus sampai bantuan datang. Segera
setelah anda menentukan ketidaksadaran dan mengaktifkan 118, pastikan bahwa korban
terbaring terlentang (pada punggungnya) diatas permukaan yang keras dan datar agar RJP
efektif.
Khusus untuk petugas medis pada henti jantung yang disebabkan karena asfiksia
seperti korban tenggelam dan sumbatan benda asing jalan napas yang tidak sadar, petugas
medis harus memberikan RJP 5 menit (2 menit) sebelum mengaktifkan respon emergency.
Mayoritas kejadian henti jantung pada penderita dewasa dengan angka keberhasilan hidup
tertinggi adalah pasien henti jantung disaksikan (witnessed arrest) dengan irama awal ventricular
fibrillation (VF) atau pulseless ventricular tachycardia (VT). Pada pasien ini, elemen awal yang paling
penting adalah kompresi dada dan segera dilakukannya defibrilasi. Rekomendasi sebelumnya dari
AHA 2005 dengan sekuensial A-B-C (Airway-Breathing-Circulation), pemberian kompresi dada sering
terlambat saat penolong berusaha membuka jalan napas, memberikan bantuan napas dari mulut ke
mulut, atau mencari peralatan bantuan pernapasan. Rekomendasi yang terbaru sejak th 2010 AHA
mengubah sekuen A-B-C menjadi C-A-B, sehingga diharapkan kompresi dada dan defibrilasi dapat
segera diberikan.
Gambar 7: Posisi saat melakukan kompresi dada, posisi penolong harus vertikal
Setelah masing-masing kompresi dada, lepaskan tekanan pada dinding dada secara penuh,
tanpa melepas kontak tangan penolong dengan sternum (full chest recoil) , ulangi
dengan kecepatan sekurang-kurangnya 100 kali/menit (tetapi jangan melebihi 120
kali/menit). Durasi waktu antara kompresi dan release kompresi harus sama.
Komponen yang perlu diperhatikan saat melakukan kompresi dada (High Quality CPR) :
1) Tekan cepat (push fast): Berikan kompresi dada dengan frekuensi yang mencukupi (minimal
100 kali/menit tetapi tidak lebih dari 120x/menit)
2) Tekan kuat (push hard): Untuk dewasa berikan kompresi dada dengan kedalaman minimal 2
inchi (5 cm) tetapi tidak lebih dari 2,4 inchi (6 cm)
3) Berikan kesempatan untuk dada mengembangkan kembali secara sempurna setelah setiap
kompresi (full chest recoil).
4) seminimal mungkin melakukan interupsi baik frekuensi maupun durasi terhadap kompresi
dada yang dilakukan
5) Perbandingan kompresi dada dan ventilasi 30: 2 direkomendasikan. (AHA 2015)
Buka jalan napas dengan head tilt dan chin lift, tekan bagian lunak dari hidung agar menutup
dengan indek dan ibu jari penolong. Buka mulut pasien sambil mempertahankan chin lift. Ambil
napas secara normal, dan letakkan mulut penolong pada mulut korban, dan pastikan kerapatan
antara mulut korban dengan mulut penolong.
Berikan bantuan napas pada mulut pasien sambil melihat pengembangan dada, pertahankan
posisi head tilt dan chin lift, jauhkan mulut penolong dari korban dan lihat dada korban mengempis
saat udara keluar dari korban. Ambil napas kembali secara normal, dan berikan pernapasan bantuan
sekali lagi sehingga tercapai pemberian napas bantuan sebanyak 2 kali.
Untuk mengurangi resiko regurgitasi dan aspirasi, penekanan pada kartilago cricoid
(Cricoid pressure) dapat dipertimbangan untuk tenaga medis terlatih dengan jumlah petugas
yang mencukupi, hindari tindakan cricoid pressure yang berlebih yang dapat menyebabkan
obstruksi trakhea.
Gambar 10.: pemberian bantuan napas dari mulut ke mulut (Sumber : ERC 2010)
Kedua bantuan pernapasan diharuskan tidak boleh lebih dari 5 detik. Langkah
selanjutnya kembali tangan penolong ke dada korban dan lakukan kompresi dada lanjutan
sebanyak 30 kali. Lanjutkan kompresi dada dan pernapasan bantuan dengan rasio 30:2.
Gambar 12: Teknik pemberian bantuan ventilasi dengan bag valve mask). Jika
memungkinkan dan tersedia berikan suplementasi oksigen 100%. (Sumber : ERC 2010)
Jika petugas medis/penolong terlatif tersedia, maka teknik pemberian ventilasi
dengan bag mask dengan 2 personel lebih efektif dibandingkan 1 personel. Teknik ventilasi
dengan 2 personel diperlukan untuk dapat memberikan ventilasi yang efektif terutama pada
korban dengan obstruksi jalan napas atau compliance paru yang buruk, atau adanya
kesulitan dalam menjaga kerapatan mask dengan muka korban. Dikarenakan teknik dengan
2 personel lebih efektif, harus menjadi perhatian untuk menghindari pemberian volume tidal
yang terlalu besar yang menyebabkan terjadinya ventilasi yang berlebihan.
Selama RJP jika memungkinakan dan tersedia berikan suplemen oksigen saat
memberikan bantuan ventilasi. Studi pada binatang dan data teori menduga adanya efek
yang tidak diinginkan dari pemberian 100% oksgigen. Tetapi perbandingan variasi
konsentrasi O2 selama resusitasi baru dilakukan pada periode bayi baru lahir. Sampai adanya
informasi baru yang tersedia, sangat beralasan untuk petugas medis memberikan oksigen
100 % selama resusitasi. Saat sirkulasi kembali normal, lakukan monitoring saturasi oksigen
sistemik. Sangat beralasan untuk menyediakan peralatan yang sesuai untuk melakukan
titrasi oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen > 94% dengan mengatur FiO2
seminimal mungkin.
Penolong harus konsentrasi untuk mengikuti perintah suara segera setelah alat
diterima, terutama untuk melakukan RJP segera mungkin setelah diinstruksikan. AED
standar dapat digunakan untuk anak-anak dengan usia lebih dari 8 tahun. Untuk anak-anak
1-8 tahun penggunaan pads pediatric harus digunakan, dengan penggunaan mode pediatric
jika tersedia. AED tidak direkomendasikan untuk anak < 1 tahun.
Pentingnya tindakan defibrilasi segera setelah AED tersedia, selalu ditekankan pada
panduan resusitasi sebagai hal yang mempunyai pengaruh penting terhadap keberhasilan
resusitasi dari kondisi ventrikel fibrilasi atau ventrikel takikardi tanpa pulse. High quality CPR
harus terus dilanjutkan saat defibrillator disiapkan dan pads AED dipasang pada korban.
Saat penolong menyaksikan kejadian henti jantung di luar area rumah sakit dan
tersedia AED, atau petugas medis di rumah sakit dimana tersedia AED dan defibrillator maka
penolong harus segera melakukan RJP dengan kompresi dada dan menggunakan AED
sesegera mungkin. Rekomendasi ini didesain untuk mensuport RJP dan defibrilasi dengan
segera terutama jika AED atau defibrillator dapat tersedia dengan cepat pada saat onset
kejadian henti jantung mendadak.
Pada situasi henti jantung di luar rumah sakit yang kejadiannya tidak disaksikan oleh
penolong, maka dipertimbangkan untuk dilakukan RJP 1 sampai 3 menit sebelum
dilakukan defibrilasi.
Gambar13: AED dengan elektroda PAD, aktivitas listrik yang ditimbulkan 2 arah (bifasik)
memungkinkan jantung untuk berkontraksi secara optimal.
1. Pastikan penolong dan korban dalam situasi yang aman dan ikuti langkah-langkah
bantuan hidup dasar dewasa. Lakukan RJP sesuai langkah-langkah pada bantuan
hidup dasar, kompresi dada dan pemberian bantuan pernapasan dengan
perbandingan 30:2
2. Segera setelah alat AED datang. Nyalakan AED dan tempelkan elektroda pads pada
dada korban. Jika penolong lebih dari 1 orang, RJP harus dilanjutkan saat memasang
elektroda pads pada dada korban. Tempatkan elektroda yang pertama di line
midaxillaris sedikit di bawah ketiak, dan tempatkan elektroda pads yang kedua di
sedikit di bawah clavicula kanan (gambar 14).
Gambar 14: Penempelan elecroda pads. Gambar 15: Pastikan tidak ada kontak korban
3. Ikuti perintah suara/visual dari alat AED dengan segera. Pastikan bahwa tidak ada
orang yang menyentuh korban saat AED melakukan analisis irama jantung (gambar
15).
4. Jika shock diindikasikan. Pastikan tidak ada seorangpun yang menyentuh korban.
Tekan tombol shock (AED yang otomatis penuh akan memberikan shock secara
otomatis) (gambar 12).
5. Segera lakukan kembali RJP 30:2 seperti yang diperintahkan oleh perintah
suara/visual alat AED (gambar 16).
6. Jika shock tidak diindikasikan, lakukan segera RJP 30:2, sesuai dengan perintah
suara/visual, hingga penolong profesional datang dan mengambil alih RJP, korban
mulai sadar: bergerak, membuka mata dan bernapas normal, penolong kelelahan.
Gambar 16 (kiri) : Saat tombol shock ditekan, pastikan tidak ada seorangpun yang
bersentuhan dengan korban.
Gambar 17 (kanan) : Setelah tombol shock ditekan, pastikan segera dilakukan RJP
dengan perbandingan 30 kompresi dada dan 2 bantuan pernapasan, sesuai perintah
suara/visual alat AED. (Sumber : ERC 2010)
B. POSISI PULIH (Recovery)
Posisi pulih (recovery) digunakan pada korban dewasa yang tidak respon dengan
pernapasan dan sirkulasi yang adekuat. Posisi ini di desain untuk mempertahankan patensi
jalan napas dan mengurangi resiko obstruksi jalan napas dan aspirasi. Jika korban tidak
sadar/tidak respon tetapi tidak diketemukan gangguan pernapasan dan denyut jantung;
atau korban sudah memiliki pernapasan dan denyut nadi yang adekuat setelah bantuan
pernapasan atau RJP (serta tidak memerlukan imobilisasi untuk kemungkinan cedera
spinal), maka posisikan korban pada posisi pulih (recovery) sambil menunggu bantuan
datang. Posisi recovery memungkinkan pengeluaran cairan dari mulut dan mencegah lidah
jatuh ke belakang dan menyebabkan obstruksi jalan napas.
Jika tidak ada bukti trauma letakkan korban dengan posisi miring pada posisi recovery.
Diharapkan dengan posisi ini jalan napas dapat terbuka.
1. Berjongkok di samping korban dan luruskan lutut pasien, letakkan tangan yang dekat
dengan penolong pada posisi salam (90 derajat dari axis panjang tubuh) (gambar 14)
tempatkan tangan yang lain di di dada (gambar 18) . Dekatkan tubuh penolong di
atas tubuh korban, tarik ke atas lutut dan tangan yang lain memegang bahu pasien
(gambar 19).
2. Gulingkan korban ke arah penolong dalam satu kesatuan bahu dan lutut pasien
secara perlahan
3. Atur posisi kaki seperti terlihat di gambar, letakkan punggung tangan pada pipi pasien
untuk mengatur posisi kepala (gambar 20).
4. Tindakan selanjutnya adalah melakukan evaluasi secara kontinyu nadi dan
pernapasan korban, sambil menunggu bantuan datang. Jika terjadi henti jantung
posisikan pasien kembali supine dan lakukan RJP kembali.
Tabel 1: Perbedaan antara sumbatan benda asing pada jalan napas ringan dan berat
Tanda lain Tidak dapat berbicara, batuk Tidak dapat berbicara, napas
dan bernapas wheezing, tidak dapat
membatukkan, penurunan
kesadaran
Referensi:
American Heart Association (2010), Adult Basic Life Support: Guidellines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovasculare care , Circulation,
122; 685- 705
American Heart Association (2015), Guidellines for Cardiopulmonary Resuscitation
and Emergency Cardiovasculare care
European Resuscitation Council (ERC), (2010), Guidelines for Resuscitation,
Resuscitation, 81, 12191276
European Resuscitation Council (ERC), (2005), Guidelines for Resuscitation
Colquhoun, M.C., Handley, A.J., Evans, T.R. (2004), ABC of Rescucitation, fifth edition,
BMJ Publishing Group, London.
CIDERA KEPALA
Cedera otak traumatik di klasifikasikan menjadi cedera primer dan sekunder. Cedera otak
primer adalah ireversibel, yang terjadi pada saat terjadinya benturan, aselerasi-deselerasi dan
menimbulkan kerusakan pada tulang tengkorak, jaringan otak dan jaringan saraf akibat axon yang
putus (DAI). Setelah kejadian cedera otak primer, cedera sekunder muncul karena hipoksia,
hiperkapnia, hipotensi, gangguan biokimia dan hipertensi intrakranial, dimana semuanya
menyebabkan iskemik serebral. Cedera otak sekunder dapat di atasi maupun di cegah dengan
intervensi medis yang baik. Indikasi dilakukan pembedahan jika terjadi kompresi pada sisterna basalis
akibat karena resiko terjadinya herniasi. 1,2
1. Patofisiologi
Respon kardiovaskular seringkali terlihat pada stadium awal cedera otak, seperti hipertensi,
takikardi dan peningkatan curah jantung (cardiac output). Pada cedera otak yang berat, cedera
sistemik multipel dan kehilangan darah yang banyak, respon yang muncul adalah hipotensi dan
penurunan curah jantung. Hipotensi (TDS < 90 mmHg) saat tiba di rumah sakit meningkatkan
mortalitas dan morbiditas secara signifikan. Respon respirasi pada cedera otak termasuk apnea, pola
nafas abnormal, hiperventilasi, aspirasi karena muntahan dan central neurogenic pulmonary odema.
Regulasi suhu tubuh juga terganggu, hipertermi dapat terjadi dan memperberat cedera yang ada. 2
Pada daerah cedera fokal, CBF dan CMRO2 menurun pada pusat cedera dan penumbra,
dengan area hipoperfusi di sekitarnya. Jika TIK meningkat maka akan semakin hipoperfusi dan
hipometabolisme.2
Pembengkakan otak akut di sebabkan oleh penurunan tonus vasomotor serta peningkatan
volume pada jaringan pembuluh darah serebral. Pada keadaan ini peningkatan tekanan darah dapat
dengan mudah menyebabkan pembengkakan otak dan peningkatan TIK. Odema Serebral seringkali
vasogenik atau sitotoksik karena kerusakan sawar darah otak (blood brain barrier) dan iskemia.
Kedua keadaan diatas dapat terjadi bersama dengan trauma kepala,jika keadaan tersebut tjd karena
adanya hematom intra serebral, maka TIK yang terjadi akan menyebabkan penurunan CBF dan
iskemia. Jika tidak dilakukan penanganan segera akan menyebabkan herniasi batang otak melalui
foramen magnum. 2
Cedera kepala menyebabkan pelepasan glutamat dari neuron dan sel glia, meningkatkan
konsentrasi glutamat pada CSF, sehingga meningkatkan kalsium intraseluler. Keadaan ini
mengaktivasi phospolipase, protrein kinase, protease, NO sintetase dan enzim lainya yang memacu
terbentuknya lipid peroksidase, proteolisis, radikal bebas dan kereusakan DNA sehingga
menyebabkan kematian sel. Sitokin meningkat pada keadaan iskemia serebral. Pasien dengan GCS <
8 memiliki kadar IL-6 yang lebih tinggi. Pelepasan sitokin setelah TBI menstimulasi produksi radikal
bebas, asam arachidonat dan molekul adhesi yang mengganggu mikrosirkulasi. 2
Skema. 1. Patifisiologi pada Cedera Otak Traumatik 2
Sumber : Sakabe T and Bendo A. Anesthetic Management of Head Trauma. In. Newfield P, Cottrell
JE. Eds. Handbook of Neuroanesthesia. 4th edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
2007 ; 91-110.
Subdural hematom merupakan lesi fokal intrakranial yang paling sering dijumpai, sekitar 24%
dari pasien yang mengalami cedera kepala berat tertutup. Subdural hematom disebabkan karena
robeknya bridging vein kortikal diantara duramater dan piamater. Pada CT scan tampak seperti
gambaran bulan sabit, dan paling sering terjadi pada daerah lobus frontal inferior dan lobus temporal
anterior. SDH diklasifikasikan menjadi (1) Akut, (2) Subakut, dan (3) Kronik. Outcome yang buruk
terjadi jika terjadi SDH bilateral atau terakumulasi secara cepat, atau penanganan operasi ditunda
lebih dari 4 jam. SDH akut berhubungan dengan mortalitas yang tinggi. Laju mortalitas (mortality
rate) SDH sangat tinggi mencapai 50%. Beberapa faktor mempengaruhi outcome pasien pada SDH
termasuk umur, waktu darti kejadian cedera sampai penanganan, adanya pupil yang abnormal, GCS
motor skor saat masuk, koma, lucid interval, gambaran CT scan (ketebalan hematom, midline shift),
TIK postoperatif dan tipe pembedahan. Adanya kontusio serebral memperburuk prognosis SDH. 1,2,3
SDH menyebabkan kerusakan otak dengan meningkatkan TIK dan pergeseran struktur otak
(shifting). Terapi utama SDH adalah evakuasi hematom dengan pembedahan, semakin lama
pembedahan tertunda (delay time) semakin buruk kerusakan iskemik yang terjadi. Beberapa studi
menyatakan penurunan morbiditasdan mortalitas pada pasien yang dilakukan evakuasi hematom
segera. 1,2,3
Manajemen perioperatif pada pasien cedera kepala fokus pada stabilisasi dan mencegah
cedera sekunder karena sebab sistemik dan intrakranial. Assessmen preanestesi mencakup (1)
Airway dan cervical spine, (2) Breathing : oksigenasi dan ventilasi, (3) Circulatory Status, (4)
Associated Injury, (5) Status Neurologis (GCS), (6) Penyakit kronis penyerta, (7) Circumstances of
injury : waktu kejadian cedera, lamanya tidak sadar, riwayat mengkonsumsi alkohol dan obat lain. 1,3,4
Langkah pertama adalah menjaga jalan nafas dan ventilasi yang adekuat. Intubasi dan
ventilasi mekanik dilakukan jika diperlukan, namun harus dijaga agar tidak terjadi kenaikan tekanan
intracranial. Setelah jalan nafas terkontrol, fokus penanganan terhadap resusitasi kardiovaskuler.
Hipotensi sering terjadi pada cedera kepala biasanya karena perdarahan. Keadaan ini harus segera
ditangani secara agresif dengan cairan, koloid, darah, inotropik maupun vaspresor bila perlu. Hal
yang harus diperhatikan dalam resusitasi kardiovaskuler adalah terjadinya odema serebri.
Osmolalitas serum total merupakan kunci terjadinya odema serebri. Ketika osmolalitas serum
menurun maka akan terjadi odema serebri karena rusaknya sawar darah otak, sehingga cairan yang
hipoosmoler akan menyebabkan peningkatan kadar air otak. Hipovolemia seringkali tidak tampak
pada tekanan darah yang relatif stabil karena hiperaktivitas simpatis atau respon terhadap
peningkatan TIK. Karenanya resusitasi cairan seharusnya tidak berdasarkan pada tekanan darah
semata, namun juga pada produksi urine dan tekanan vena sentral. Larutan kristaloid isotonis dan
hipertonis maupun koloid dapat diberikan untuk mempertahankan volume intravaskuler. Darah dan
produk darah dapat diberikan jika kadar hematokrit rendah (< 30%). Larutan yang mengandung
glukosa sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan hiperglikemi dan perburukan outcome
neurologis. Jika tekanan darah dan curah jantung tidak dapat dikembalikan dengan resusitasi cairan,
maka inotropik dan vasopresor intravena dapat segera diberikan.1,3,4
D. Manajemen peningkatan TIK
Penurunan TIK dan pemeliharaan tekanan darah adalah hal yang krusial pada penanganan
hipertensi intrakranial. Hipertensi intrakranial dapat mempresipitasi reflek hipertensi arterial dan
bradikardi (Trias Cushing).
(1) Hiperventilasi; jika ditemukan tanda herniasi transtentorial pada pasien dengan cedera
kepala berat, hiperventilasi sampai PaCO2 30 mmHg harus segera dilakukan karena hiperventilasi
dapat secara cepat dan efektif menurunkan TIK. (2) Terapi diuretik; manitol 0,25 1 g/KgBB infus
selama 15 menit, dapat diulangi setiap 3-6 jam. (3) Posisi; elevasi kepala 10-30 0 memfasilitasi
drainase CSF dan vena serebral, serta dapat menurunkan TIK. (4) Barbiturat; barbiturat dikenal
memiliki efek proteksi serebral dan menurunkan TIK. Barbiturat dosis tinggi dapat diberikan pada
pasien dengan cedera kepala berat yang tidak mampu di kontrol dengan terapi medikal dan
pembedahan. 1,3,4
E. Manajemen Anestesi
Tujuan utama manajemen anestesi adalah meningkatkan perfusi serebral dan oksigenasi,
mencegah kerusakan sekunder dan memberikan kondisi yang optimal untuk pembedahan. Anestesi
umum menjadi pilihan untuk mengontrol fungsi respirasi dan kardiosirkulasi. Induksi anestesi dapat
menggunakan obat anestesi intravena. Pada umumnya pemilihan obat anestesi berdasarkan efeknya
pada sistem kardiovaskuler, namun pada kasus cedera kepala, harus dipikirkan efeknya terhadap
aliran darah otak, volume darah otak, tekanan intra kranial cairan serebrospinal, auto regulasi serta
respon terhadap CO2. Obat anestesi intravena yang dapat menurunkan TIK dan aliran darah otak
adalah tiopental, etomidate, propofol dan midazolam. Untuk pemeliharaan anestesi dapat
menggunakan anestesi intravena maupun inhalasi. Obat yang ideal adalah obat yang mampu
menurunkan TIK, memelihara suplai oksigen ke jaringan otak, dan menjaga otak dari iskemik akibat
metabolik. Barbiturat (pentotal), etomidat, propofol, midazolam dan narkotik dapat menjadi pilihan
karena efeknya yang baik dalam hal menurunkan CBF, TIK, dan CMRO2. Untuk anestesi inhalasi,
isofluran, sevofluran, dan desfluran dapat menjadi pilihan. Vekuronium merupakan pelumpuh otot
pilihan karena efeknya minimal terhadap TIK, tekanan darah dan denyut nadi. 1,3,4,7
F. Proteksi Serebral
Menurunkan CMRO2 tampaknya adalah cara kerja utama pharmakologi proteksi otak dan
barbiturat memiliki efek tersebut. Barbiturat dosis tinggi direkomendasikan untuk mengontrol
peningkatan TIK, dimana terapi medis dan pembedahan tidak mampu mengatasi peningkatan TIK ini.
Penurunan suhu tubuh (hipotermia) 35-33 o C dipercaya memiliki efek proteksi serebral. Mekanisme
proteksi termasuk menurunkan kebutuhan metabolik, eksitotoksisitas, menghambat pembentukan
radikal bebas dan odema.1,3,4,7
Sumber : Bendo AA. Perioperative Management of Adult Patient with Severe Head Injury. In. Cottrell JE, Young
WL. Eds. Neuroanesthesia. 5th edition. USA : Mosby. 2010; 317 25.
Hipertensi Intrakranial
Hipertensi intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan tekanan di dalam rongga tengkorak
(intrakranial) di atas nilai normal. Dikatakan nilai normal TIK berkisar antara 7 15 mmHg. Jika
karena berbagai sebab tekanan di dalam rongga tengkorak meningkat (> 20 mmHg) maka
penanganan untuk menurunkan TIK harus segera dilakukan. 4
Hipertensi intrakranial menyebabkan penurunan tekanan perfusi, menghambat aliran darah dan
menyebabkan kematian saraf. Kematian dapat terjadi karena herniasi struktur intrakranial. Evaluasi
klinis yang saat ini belum dapat digunakan sebagai deteksi awal hipertensi intrakranial, biasanya
dengan kriteria yang ada pasien sudah dalam kondisi lanjut, dimana herniasi dan kematian tidak
dapat dicegah.
Tengkorak dapat di bayangkan adalah sebuah ruangan yang dibatasi oleh tulang yang rigid,
yang di dalamnya terdadap struktur yang lunak yang tidak boleh mendapat tekanan, walaupun pada
anak-anak sutura dari tulang tengkorak belum menutup. Pada keadaan normal, ruang intrakranial
terisi oleh jaringan otak (80%), darah (12%) dan cairan serebrospinal / CSF (8%). Pada keadaan
patologis seperti space occupying lesion (SOL) oleh tumor, hematom, edema, abses dll, maka
hubungan kesetimbangan (Hukum Monroe-Kelly) ini akan terganggu. Sehingga peningkatan volume
dari satu kompartemen akan dikompensasi oleh penurunan volume kompartemen yang lain dengan
besaran yang kurang lebih sama, kecuali ruang intrakranial dapat melebar dan menampung volume
yang lebih besar. Pada infant dan neonatus, memiliki perkecualian ini karena fontanela yang masih
terbuka dan sutura yang belum menutup. Sutura dan fontanela akan menutup saat umur 2-3 tahun. 6
Peningkatan tekanan intrakranial secara gradual, seperti misalnya tumor yang tumbuh
perlahan atau pada hidrocephalus, peningkatan tekanan intrakranial yan terjadi dapat dikompensasi
secara natural oleh compliance fontanela dan sutura ini. Dengan adanya fontanela yang masih
terbuka dan sutura yang masih belum menutup, proses patologis sebagian dapat dikompensasi
dengan meningkatkan diameter kepala (head circumferential). Hal penting yang perlu diingat adalah,
kejadian herniasi dapat terjadi pada infant dan neonatus walaupun fontanela dan sutura masih
terbuka, jika peningkatan tekanan intrakranial yang besar terjadi secara akut. Selanjutnya pada
kondisi subakut, otak dapat mengkompensasi peningkatan volume intrakranial yang patologis yang
terjadi dengan dehidrasi intraseluler dan mengurangi cairan interstisial. 6
Monitoring Tekanan Intrakranial (TIK)
Tekhnik pengukuran tekanan intrakranial pada dewasa juga dapat digunakan pada anak-
anak. Kateter ventrikular merupakan metode yang akurat dan dapat digunakan untuk CSF drainase
untuk diagnostik dan terapetik. Komplikasi utama dari teknik ini adalah infeksi dan perdarahan
walaupun jarang terjadi. Teknik pemasanganya juga sulit, khususnya pada kondisi oedem serebri
yang berat. Teknik lain adalah pemasangan subarachnoid bolt. Teknik ini minimal invasif, dapat
memberikan informasi tekanan intrakranial yang cukup memadai walaupun kadang underestimate
untuk daerah yang jauh dari tempat insersi. Teknik lain adalah dengan epidural kateter, memiliki nilai
yang mendekati nilai intra ventrikel, namun kelemahanya sulit di kalibrasi ulang setelah insersi. Nilai
normal TIK umumnya kurang dari 15 mmHg. Namun ada yang mengatakan kurang dari 20mmHg dan
nilai serebral perfusion presure (CPP) dipertahankan diantara 50 - 70 mmHg, untuk mencegah
iskemia dan di bawah 110 mmHg untuk mencegah hiperperfusi. Sayangnya tidak ada konsensus
tentang berapa nilai CPP yang harus dipertahankan untuk memperbaiki outcome pada anak-anak
dengan cidera kepala. Guidelines untuk manajemen cidera kepala berat akut pada infant, children
dan adolescent, menganjurkan CPPdipertahankan diatas 40 mmHg. Guidelines ini berdasarkan
penelitian dari Downard dkk, yang mengatakan bahwa penderita yang selamat dari cidera kepala
berat memiliki CPP> 40mmHg. Ada juga penelitian lain mengatakan CPP > 50 mmHg memiliki
outcome yang baik. Penelitian oleh Catala-Temprano dkk mangatakan CPP antara 40 70 mmHg
adalah target CPP pada anak-anak. Grinkeviciute dkk dalam penelitianya mendapatkan nilai batas
ambang untuk TIK adalah 22,5 mmHg dan minimal CPP 46,5mmHg.
Pada neonatus yang cukup umur nilai normal TIK 2-6 mmHg dan mungkin lebih rendah pada infant
yang kurang bulan. Pada keadaan fontanela yang masih terbuka nilai TIK biasanya normal walaupun
terdapat proses patologik yang signifikan. Peningkatan diameter kepala (head circumferentia)
mungkin merupakan tanda klinis yang pertama muncul. Fontanela yang menggembung mungkin
tidak terjadi, terutama jika proses berjalan lambat. 6
Penanganan TIK
Berbagai macam cara diperkenalkan untuk penanganan peningkatan TIK, diantaranya (1)
menurunkan CBV, (2) mengurangi jaringan otak dan CSF, (3) mengurangi volume intrakranial.
Sebelum melakukan tindakan untuk menurunkan TIK, asessment terhadap airway, breathing dan
sirkulasi harus dikerjakan terlebih dahulu.
Nilai absolut TIK tidak menujukkan seberapa besar kompensasi yang mungkin terjadi. Jika TIK
meningkat secara signifikan, kompensasi dapat gagal. Namun status patologis dapat muncul
walaupun TIK dalam batas normal. Intracranial compliance (perubahan tekanan relatif terhadap
perubahan volume) adalah suatu konsep penting dalam dinamika intrakranial. Sebuah kurva
hubungan antara waktu dan tekanan intrakranial dan volume intrakranial dapa dilihat pada gambar.
1,2
Bentuk kurva tergantung pada waktu terhadap peningkatan volume yang direfleksikan
sebagai peningkatan TIK. Pada keadaan patologis (titik 1), TIK rendah, copliance tinggi, menunjukkan
peningkatan yang kecil dari volume intrakranial. Saat volume meningkat dengan cepat melewati
batas kompensasi, maka peningkatan volume ini akan direfleksikan sebagai peningkatan intrakranial.
Hal ini terjadi jika TIK masih dalam batas normal namun compliance rendah (titik 2). Jika TIK sudah
dalam keadaan tinggi, maka sedikit peningkatan volume akan menyebabkan peningkatan TIK yang
cepat (titik 3). Pada praktek klinis, compliance dapat dievaluasi dengan kateter ventrikulostomi atau
dengan melihat respon TIK dengan stimulasi eksternal seperti suction trakea, batuk dan agitasi. 1,2
Beberapa ventilator tekanan positif saat ini sudah dilengkapi sistim komputer dengan panel
kontrol yang mudah dioperasikan (user-friendly). Untuk mengaktifkan beberapa mode,
setting dan alarm, cukup dengan menekan tombol. Selain itu dilengkapi dengan layar monitor
yang menampilkan apa yang kita setting dan parameter alarm.
Ventilator adalah peralatan elektrik dan memerlukan sumber listrik. Beberapa ventilator,
menyediakan back up batere, namun batere tidak di disain untuk pemakaian jangka lama.
Ventilator adalah suatu metode penunjang/bantuan hidup (life - support); sebab jika ventilator
berhenti bekerja maka pasien akan meninggal. Oleh sebab itu harus tersedia manual resusitasi
seperti ambu bag di samping tempat tidur pasien yang memakai ventilator, karena jika
ventilator stop dapat langsung dilakukan manual ventilasi.
Ketika ventilator dihidupkan, ventilator akan melakukan self-test untuk memastikan apakah
ventilator bekerja dengan baik. Tubing ventilator harus diganti setiap 24 jam dan biarkan
ventilator melakukan self-test lagi. Filter bakteri dan water trap harus di periksa terhadap
sumbatan, dan harus tetap kering. Namun perlu diingat bahwa penanbahan filter dapat
meningkatkan dead space.
SETTING VENTILATOR
Setting ventilator biasanya berbeda-beda tergantung pasien. Semua ventilator di disain untuk
memonitor komponen2 dari keadaan sistim respirasi (paru-paru) pasien. Beberapa alarm dan
parameter dapat disetting untuk mengingatkan perawat/dokter bahwa pasien tidak cocok
dengan setting atau menunjukkan keadaan berbahaya.
Frekuensi nafas (RR) adalah jumlah nafas yang diberikan ke pasien setiap menitnya. Setting
RR tergantung dari TV, jenis kelainan paru pasien, dan target PaCO2 pasien. Parameter alarm
RR di set diatas dan di bawah nilai RR yang diset. Misalnya jika set RR 10 kali/menit, maka
set alarm sebaiknya diatas 12x/menit dan di bawah 8 x/menit. Sehingga cepat mendeteksi
terjadinya hiperventilasi atau hipoventilasi.
Pada pasien2 dgn asma (obstruktif), RR sebaiknya diset antara 6-8 x/menit, agar tidak terjadi
auto-PEEP dan dynamic-hyperinflation. Selain itu pasien2 PPOK memang sudah terbiasa
dengan PaCO2 tinggi, sehingga PaCO2 jangan terlalu rendah/normal.
Pada pasien2 dengan PPOK (resktriktif) biasanya tolerate dengan RR 12-20 x/menit.
Sedangkan untuk pasien normal RR biasanya 8-12 x/menit.
Tidal Volume adalah volume gas yang dihantarkan oleh ventilator ke pasien setiap sekali
nafas. Umumnya setting antara 5-15 cc/kgBB, tergantung dari compliance, resistance, dan
jenis kelainan paru. Pasien dgn paru normal tolerate dgn tidal volume 10-15 cc/kgBB,
sedangkan untuk pasien PPOK cukup dengan 5-8 cc/kgBB. Untuk pasien ARDS memakai
konsep permissive hipercapnea (membiarkan PaCO2 tinggi > 45 mmHg, asal PaO2 normal,
dgn cara menurunkan tidal volume yaitu 4-6 cc/kgBB) Tidal volume rendah ini dimaksudkan
agar terhindar dari barotrauma. Parameter alarm tidal volume diset diatas dan dia bawah nilai
yg kita set. Monitoring tidal volume sangat perlu jika kita memakai TIME Cycled.
I:E rasio biasanya diset 1:2 atau 1:1.5 yang merupakan nilai normal fisiologis inspirasi dan
ekspirasi. Terkadang diperlukan fase inspirasi yg sama atau lebih lama dibanding ekspirasi
untuk menaikkan PaO2, seperti pada ARDS, berkisar 1:1 sampai 4:1.
Adalah kecepatan gas untuk menghantarkan tidal volume yg diset/menit. Biasanya setting
antara 40-100 L/menit.
Inspiratory flow rate merupakan fungsi dari RR, TV dan I:E rasio
Flow = Liter/menit = TV/TInspirasi x 60
Jika RR 20x/menit maka: Ttotal = 60/20 = 3 detik. Jika rasio 1:2 ,
Tinspirasi = 1 detik. Untuk menghantarkan tidal volume (TV) 500 cc diperlukan Inspiratory
flow rate = 0.5/1 x 60 = 30 Liter/menit.
Sensitifity/Trigger
PEEP meningkatkan kapasitas residu fungsional paru dan sangat penting untuk meningkatkan
PaO2 yg refrakter. Nilai PEEP selalu dimulai dari 5 cmH2O. Setiap perubahan pada PEEP
harus berdasarkan analisa gas darah, toleransi dari PEEP, kebutuhan FiO2 dan respon
kardiovaskular. Jika PaO2 masih rendah sedangkan FiO2 sudah 60% maka PEEP merupakan
pilihan utama sampai nilai 15 cmH2O.
Fungsi PEEP:
Redistribusi cairan ekstravaskular paru
Meningkatkan volume alveolus
Mengembangkan alveoli yg kolaps
MODE VENTILASI
Terminologi untuk mode ventilasi saat ini banyak yang membingungkan. Misalnya seperti
penggunaan kata-kata yang tidak tepat; control, cycled atau assist. Namun saat ini
banyak penulis yang mengikuti terminologi yang dibuat oleh Kapadia. [Postgrad Med J 1998
74 330-5]. Ia membagi terminologi mode menjadi 3 dasar:
The Trigger - the signal that opens the inspiratory valve, allowing air to flow into the patient;
The Limit - the factor which limits the rate at which gas flow into the lungs;
Cycling - the signal which stops inspiration AND eventually opens the expiratory valve.
Start/initiation/trigger:
Ada 2 cara:
Berdasarkan waktu (time-trigger) yg telah diset
control mode
Berdasarkan penurunan airway pressure (pasien-trigger)
assisted mode
Target/limit:
Ada 2 macam:
Berdasarkan volume yg diset volume target
Berdasarkan pressure yg diset pressure target
volume target
= TV/flow konstan, tapi pressure berubah2 sesuai compl paru pasien
FLOW
KONSTAN
PRESSURE
pressure target
= pressure konstan tapi TV/flow berubah2 sesuai compl paru pasien
PRESSURE
KONSTAN
FLOW
Cycled:
Ada 4 cara:
Berdasarkan volume yg diset volume cycled
Berdasarkan pressure yg diset time cycled
Berdasarkan penururnan flow flow cycled
Ventilator adalah peralatan elektrik dan memerlukan sumber listrik. Beberapa ventilator,
menyediakan back up batere, namun batere tidak di disain untuk pemakaian jangka lama.
Ventilator adalah suatu metode penunjang/bantuan hidup (life - support); sebab jika ventilator
berhenti bekerja maka pasien akan meninggal. Oleh sebab itu harus tersedia manual resusitasi
seperti ambu bag di samping tempat tidur pasien yang memakai ventilator, karena jika
ventilator stop dapat langsung dilakukan manual ventilasi.
Ketika ventilator dihidupkan, ventilator akan melakukan self-test untuk memastikan apakah
ventilator bekerja dengan baik. Tubing ventilator harus diganti setiap 24 jam dan biarkan
ventilator melakukan self-test lagi. Filter bakteri dan water trap harus di periksa terhadap
sumbatan, dan harus tetap kering. Namun perlu diingat bahwa penanbahan filter dapat
meningkatkan dead space.
SETTING VENTILATOR
Setting ventilator biasanya berbeda-beda tergantung pasien. Semua ventilator di disain untuk
memonitor komponen2 dari keadaan sistim respirasi (paru-paru) pasien. Beberapa alarm dan
parameter dapat disetting untuk mengingatkan perawat/dokter bahwa pasien tidak cocok
dengan setting atau menunjukkan keadaan berbahaya.
Frekuensi nafas (RR) adalah jumlah nafas yang diberikan ke pasien setiap menitnya. Setting
RR tergantung dari TV, jenis kelainan paru pasien, dan target PaCO2 pasien. Parameter alarm
RR di set diatas dan di bawah nilai RR yang diset. Misalnya jika set RR 10 kali/menit, maka
set alarm sebaiknya diatas 12x/menit dan di bawah 8 x/menit. Sehingga cepat mendeteksi
terjadinya hiperventilasi atau hipoventilasi.
Pada pasien2 dgn asma (obstruktif), RR sebaiknya diset antara 6-8 x/menit, agar tidak terjadi
auto-PEEP dan dynamic-hyperinflation. Selain itu pasien2 PPOK memang sudah terbiasa
dengan PaCO2 tinggi, sehingga PaCO2 jangan terlalu rendah/normal.
Pada pasien2 dengan PPOK (resktriktif) biasanya tolerate dengan RR 12-20 x/menit.
Sedangkan untuk pasien normal RR biasanya 8-12 x/menit.
Tidal Volume adalah volume gas yang dihantarkan oleh ventilator ke pasien setiap sekali
nafas. Umumnya setting antara 5-15 cc/kgBB, tergantung dari compliance, resistance, dan
jenis kelainan paru. Pasien dgn paru normal tolerate dgn tidal volume 10-15 cc/kgBB,
sedangkan untuk pasien PPOK cukup dengan 5-8 cc/kgBB. Untuk pasien ARDS memakai
konsep permissive hipercapnea (membiarkan PaCO2 tinggi > 45 mmHg, asal PaO2 normal,
dgn cara menurunkan tidal volume yaitu 4-6 cc/kgBB) Tidal volume rendah ini dimaksudkan
agar terhindar dari barotrauma. Parameter alarm tidal volume diset diatas dan dia bawah nilai
yg kita set. Monitoring tidal volume sangat perlu jika kita memakai TIME Cycled.
I:E rasio biasanya diset 1:2 atau 1:1.5 yang merupakan nilai normal fisiologis inspirasi dan
ekspirasi. Terkadang diperlukan fase inspirasi yg sama atau lebih lama dibanding ekspirasi
untuk menaikkan PaO2, seperti pada ARDS, berkisar 1:1 sampai 4:1.
Adalah kecepatan gas untuk menghantarkan tidal volume yg diset/menit. Biasanya setting
antara 40-100 L/menit.
Inspiratory flow rate merupakan fungsi dari RR, TV dan I:E rasio
Flow = Liter/menit = TV/TInspirasi x 60
Jika RR 20x/menit maka: Ttotal = 60/20 = 3 detik. Jika rasio 1:2 ,
Tinspirasi = 1 detik. Untuk menghantarkan tidal volume (TV) 500 cc diperlukan Inspiratory
flow rate = 0.5/1 x 60 = 30 Liter/menit.
Sensitifity/Trigger
PEEP meningkatkan kapasitas residu fungsional paru dan sangat penting untuk meningkatkan
PaO2 yg refrakter. Nilai PEEP selalu dimulai dari 5 cmH2O. Setiap perubahan pada PEEP
harus berdasarkan analisa gas darah, toleransi dari PEEP, kebutuhan FiO2 dan respon
kardiovaskular. Jika PaO2 masih rendah sedangkan FiO2 sudah 60% maka PEEP merupakan
pilihan utama sampai nilai 15 cmH2O.
Fungsi PEEP:
Redistribusi cairan ekstravaskular paru
Meningkatkan volume alveolus
Mengembangkan alveoli yg kolaps
MODE VENTILASI
Terminologi untuk mode ventilasi saat ini banyak yang membingungkan. Misalnya seperti
penggunaan kata-kata yang tidak tepat; control, cycled atau assist. Namun saat ini
banyak penulis yang mengikuti terminologi yang dibuat oleh Kapadia. [Postgrad Med J 1998
74 330-5]. Ia membagi terminologi mode menjadi 3 dasar:
The Trigger - the signal that opens the inspiratory valve, allowing air to flow into the patient;
The Limit - the factor which limits the rate at which gas flow into the lungs;
Cycling - the signal which stops inspiration AND eventually opens the expiratory valve.
Start/initiation/trigger:
Ada 2 cara:
Berdasarkan waktu (time-trigger) yg telah diset
control mode
Berdasarkan penurunan airway pressure (pasien-trigger)
assisted mode
Target/limit:
Ada 2 macam:
Berdasarkan volume yg diset volume target
Berdasarkan pressure yg diset pressure target
volume target
= TV/flow konstan, tapi pressure berubah2 sesuai compl paru pasien
FLOW
KONSTAN
PRESSURE
pressure target
= pressure konstan tapi TV/flow berubah2 sesuai compl paru pasien
PRESSURE
KONSTAN
FLOW
Cycled:
Ada 4 cara:
Berdasarkan volume yg diset volume cycled
Berdasarkan pressure yg diset time cycled
Berdasarkan penururnan flow flow cycled
MODE OF VENTILASI
CONTROL MODE
Karakteristik:
Start/trigger berdasarkan waktu
Target/limit bisa volume atau pressure
Cycled bisa volume atau bisa time/pressure (jika vol/pressure sudah tercapai seperti yg
diset, inspirasi stop menjadi ekspirasi)
Disebut juga time-trigger ventilasi
Baik volume/pressure level maupun RR dikontrol oleh ventilator
Jika ada usaha nafas tambahan dari pasien tidak akan dibantu oleh ventilator
Control Volume Cycled
( CMV Bennet 7200, IPPV Drager, S-CMV Galileo, VC Servo 900C)
Setting:
Tidal volume atau level Pressure
RR
PEEP
FiO2
Peak flow
I:E rasio
Sensitivity
Indikasi:
Sering digunakan untuk pasien yg fighting terhadap ventilator terutama saat pertama kali
memakai ventilator
Pasien tetanus atau kejang yang dapat menghentikan hantaran gas ventilator
Pasien yang sama sekali tidak ada trigger nafas (cedera kepala berat)
Trauma dada dgn gerakan nafas paradoks
Jangan digunakan tanpa sedasi atau pelumpuh otot
Komplikasi:
Pasien total dependen/sangat tergantung pada ventilator
Potensial apneu (malas bernafas)
ASSISTED MODE
Karakteristik:
Start/trigger oleh usaha nafas pasien yaitu penurunan tekanan jalan nafas
Target/limit oleh volume/time atau pressure
Cycled oleh volume atau pressure
Disebut juga pasien-trigger ventilation
RR lebih dari yg diset, karena setiap usaha nafas dibantu oleh ventilator
Tidal volume sesuai yg diset.
Jika nafas bervariasi; kadang pasien-trigger, kadang time-trigger maka disebut ASSISTED
CONTROL MODE
Assisted Volume Cycled
Start/Initiation = pasien - trigger
Time
Pressure
Setting:
Tidal volume atau Pressure level
RR
PEEP
FiO2
Peak flow
I:E Rasio
Sensitivity <5 cmH2O
Indikasi:
Proses weaning
Komplikasi:
Hiperventilasi
respiratory alkalosis
Pada cedera kepala sering menyebabkan hiperventilasi, sebaiknya segera ganti mode.
Kedua mode diatas 9 control mode maupun assisted mode disebut juga Full ventilatory
support, sedangkan SIMV, PS, ASB, Spontan disebut juga partial ventilatory support.
Setting:
Indikasi:
Untuk pasien yang sudah dapat bernafas spontan (sudah ada trigger). Semakin kecil ETT
semakin tinggi resitensi, oleh sebab itu pada pasien dewasa setting level pressure inspirasi
biasanya hanya antara 5-10 cmH2O, sedangkan pada anak kecil lebih besar yaitu 10 cmH20.
Jika pasien sudah tolerate dengan PS rendah 5-10 cmH2O lebih dari 24 jam, sebenarnya
tidal volume pasien sudah cukup, karena PS 5-10 hanya untuk mengkompensasi resistensi
dari tube.
Kontraindikasi:
Pasien yang belum ada trigger (belum bernafas spontan), atau pasien yang menggunakan
obat pelumpuh otot (esmeron, norcuron atau pavulon)
PS/Spontan dapat diback up oleh SIMV, jika weaning pada pasien cedera kepala dimana
trigger masih jarang.
ASV
(ADAPTIVE SUPPORT VENTILATION)
Galileo, Hamilton Medical, sweden
ASV adalah mode baru ventilasi mekanik. ASV didisain untuk memberikan ventilasi dengan
jaminan minimal minute ventilation (ventilasi semenit=RRxTV), baik untuk pasien yang
masih di kontrol maupun pasien yang sudah nafas spontan. Pada setiap nafas yang diberikan
ASV akan secara otomatis menyesuaikan kebutuhan ventilasi pasien berdasarkan setting
minimal minute ventilation dan Berat Badan ideal pasien. BB diset oleh dokter/perawat
sedangkan mekanik respirasi/paru (compliance dan resistensi jalan nafas pasien) ditentukan
oleh ventilator. Dengan ASV, ventilasi yang diberikan dapat menjamin minimum inspiratory
pressure (mencegah barotruma), mencegah auto-PEEP, menghilangkan intrinsik=PEEP.
ASV merupakan kombinasi antara Pressure Control dan Pressure Support ventilation. Jika
pasien diberikan sedasi atau pelumpuh otot sehingga tidak ada trigger nafas, maka ASV
secara otomatis akan menjadi mode Pressure Control murni. Jika kemudian pasien mulai
bangun (trigger +) atau mulai diweaning, maka ASV akan berubah otomatis menjadi Pressure
Support.
ASV mengasumsikan normal minute ventilasi seseorang adalah 100 ml/kgBB untuk dewasa
dan 200 ml/kgBB untuk pediatrik. Sebagai contoh, jika BB seseorang 50 kg, maka menit
volume minimal orang tersebut ( TV x RR) diasumsikan 5 L/menit.
Setelah data BB ideal tersebut dimasukkan, maka untuk memberikan minimal menit ventilasi,
%MinVol diset 100%. Ini berarti ventilator akan memberikan jaminan menit ventilasi sebesar
5L/menit, sedangkan besarnya TV/Pressure Insp dan RR tergantung pada penilaian ventilator
terhadap compliance paru dan resistensi jalan nafas pasien. Misalnya setelah 5 kali positif
pressure diberikan, compliance dan resistensi pasien segera dinilai oleh ventilator/ASV. Dari
5 kali test breaths tersebut ventilator akan mengambil nilai pressure rata-rata, jika rata-rata
pressure didapat 20 cmH2O, dan dgn pressure tersebut tidal volume yang bisa masuk sebesar
300 ml maka ASV akan mencari nilai RR agar 300 cc tersebut jika dikalikan RR mencapai
target yang sudah diset yaitu 5 Liter/menit. Berarti ASV akan memberikan RR 5/0.3 = 16
kali/menit. Jika terjadi penurunan compliance seperti edema paru akut atau pneumonia berat,
dimana dengan pressure 20 cmH2O tidal volume yang masuk hanya 100 ml, maka ASV akan
meningkatkan lagi RR agar minute volume tetap sesuai target 5 liter/mnt. Sebaliknya jika
edema paru atau pneumonia terkoreksi, dimana dengan pressure yg sama yaitu 20 cmH2O
tidal volume meningkat perlahan, maka ASV secara otomatis akan menurunkan kembali RR
agar target minVol konstan. Kalukulasi ini semua dilakukan nafas demi nafas (breath by
breath) oleh ASV, sehingga RR dan tidal volume ekspirasi terlihat berubah-ubah setiap saat
sesuai kondisi paru pasien.
Dengan ASV maka mulai dari pasien dikontrol sampai weaning pasien hanya memakai satu
mode saja. Sebab mulai dari pressure kontrol (paralisis) sampai weaning dengan Pressure
Support atau sebaliknya, mode yg digunakan hanya ASV.
Misalnya sementara memakai ASV tiba-tiba RR menjadi meningkat sampai >30 x/menit,
saturasi turun, setelah di periksa ternyata terjadi edema paru atau penumonia berat, maka
pasien segera dikontrol lagi dengan memakai pelumpuh otot. Setelah diberikan pelumpuh
otot ASV secara otomatis akan segera berubah menjadi Pressure Control tanpa user harus
merubah mode lain.
Weaning dengan ASV, adalah dengan menurunkan %min volume, sampai 40-50%. Sebab jika
dalam proses weaning %minVol dipertahankan 100% berarti pasien tidak diberi kesempatan
bernafas sendiri, karena semua kebutuhan min-vol nya dippenuhi oleh ASV. Jika ASV sudah
mencapai 50% berarti mode ini disebut parsial ventilation mirip dengan PS atau SIMV mode.
Dengan berdasarkan pada menit ventilasi ini maka setting tidal volume, Insp Pressure, I:E
rasio, peak flow dan RR tidak diperlukan lagi, sehingga pengoperasian menjadi lebih mudah.
Berdasarkan etiloginya maka syok digolongkan atas beberapa macam yaitu :Syok
Hipovolemik, Syok Kardiogenik, Syok Distributif, dan Syok Obstruktif
SYOK HIPOVOLEMIK
Pengertian
Syok hipovolemik merupakan tipe syok yang paling umum ditandai dengan penurunan
volume intravascular. Cairan tubuh terkandung dalam kompartemen intraseluler dan
ekstraseluler. Cairan intraseluler menempati hamper 2/3 dari air tubuh total sedangkan cairan
tubuh ekstraseluler ditemukan dalam salah satu kompartemen intavaskular dan interstitial.
Volume cairan interstitial adalah kira-kira 3-4x dari cairan intravascular. Syok hipovolemik
terjadi jika penurunan volume intavaskuler 15% sampai 25%. Hal ini akan menggambarkan
kehilangan 750 ml sampai 1300 ml pada pria dgn berat badan 70 kg.
Etiologi
Kondisi-kondisi yang menempatkan pasien pada resiko syok hipovolemik adalah (1)
kehilangan cairan eksternal seperti : trauma, pembedahan, muntah-muntah, diare, diuresis, (2)
perpindahan cairan internal seperti : hemoragi internal, luka baker, asites dan peritonitis
SYOK KARDIOGENIK
Pengertian
Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang mengakibatkan
curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali.
Etiologi
Penyebab syok kardiogenik mempunyai etiologi koroner dan non koroner. Koroner,
disebabkan oleh infark miokardium, Sedangkan Non-koroner disebabkan oleh kardiomiopati,
kerusakan katup, tamponade jantung, dan disritmia.
SYOK DISTRIBUTIF
Pengertian
Syok distributif atau vasogenik terjadi ketika volume darah secara abnormal berpindah
tempat dalam vaskulatur seperti ketika darah berkumpul dalam pembuluh darah perifer.
Etiologi
Syok distributif dapat disebabkan baik oleh kehilangan tonus simpatis atau oleh pelepasan
mediator kimia ke dari sel-sel. Kondosi-kondisi yang menempatkan pasien pada resiko syok
distributif yaitu (1) syok neurogenik seperti cedera medulla spinalis, anastesi spinal, (2) syok
anafilaktik seperti sensitivitas terhadap penisilin, reaksi transfusi, alergi sengatan lebah (3)
syok septik seperti imunosupresif, usia yang ekstrim yaitu > 1 thn dan > 65 tahun, malnutrisi
Berbagai mekanisme yang mengarah pada vasodiltasi awal dalam syok distributif lebih jauh
membagi klasifikasi syok ini kedalam 3 tipe :
1. Syok Neorugenik
Pada syok neurogenik, vasodilatasi terjadi sebagai akibat kehilangan tonus simpatis. Kondisi
ini dapat disebabkan oleh cedera medula spinalis, anastesi spinal, dan kerusakan sistem saraf.
Syok ini juga dapat terjadi sebagai akibat kerja obat-obat depresan atau kekurangan glukosa
(misalnya : reaksi insulin atau syok). Syok neurogenik spinal ditandai dengan kulit kering,
hangat dan bukan dingin, lembab seperti terjadi pada syok hipovolemik. Tanda lainnya adalah
bradikardi.
2. Syok Anafilaktik
Syok anafilaktik disebabkan oleh reaksi alergi ketika pasien yang sebelumnya sudah
membentuk anti bodi terhadap benda asing (anti gen) mengalami reaksi anti gen- anti bodi
sistemik.
3. Syok Septik
Syok septik adalah bentuk paling umum syok distributuf dan disebabkan oleh infeksi yang
menyebar luas. Insiden syok septik dapat dikurangi dengan melakukan praktik pengendalian
infeksi, melakukan teknijk aseptik yang cermat, melakukan debriden luka ntuk membuang
jarinan nekrotik, pemeliharaan dan pembersihan peralatan secara tepat dan mencuci tangan
secara menyeluruh.
BAB VII
SCORING SISTEM DI ICU
Indikator pelayanan ICU menggunakan sistem scoring prognosis dan keluaran ICU.
Sistem scoring dibuat 24 jam stelah pasien masuk ICU. Beberapa contoh scoring sistem di
ICU diantaranya APACHE II, SAPS, MODS, SOFA dll.
A. APACHE II
APACHE II Score ("Acute Physiology and Chronic Health Evaluation II Score") adalah
sistem klasifikasi keparahan penyakit yang pertama kali diperkenalkan oleh William Knaus
dkk. di Universitas George Washington pada tahun 1981. Scor Apache ini digunakan untuk
mengukur tingkat keparahan penyakit dan memprediksi mortalitas yang biasa digunakan di
beberapa unit perawatan intensif (ICU). Penilaian klinis keparahan penyakit merupakan
komponen penting praktek medis karena dapat menentukan intervensi pengobatan, derajat
kegawatan dan prognosis.
Severity of illness dinilai berdasarkan pengukuran 12 sistem fisiologis rutin selama 24
jam pertama setelah masuk, usia dan status kesehatan sebelumnya atau komorbiditas yang
dimiliki pasien. Data perhitungan skor APACHE II berdasar pada variabel-variabel yang
terdiri dari suhu rektal, mean arterial pressure, frekuensi nadi, frekuensi napas, hantaran
oksigen (PO2), PO2, pH arteri, natrium serum, kalium serum, kreatinin serum, hematokrit dan
hitung jenis lekosit. Jumlah skor bervariasi dari 0 sampai 71. Semakin besar skor semakin
meningkat risiko kematian.
Meskipun sistem penilaian baru, seperti SAPS II, telah menggantikan APACHE II di
banyak tempat, APACHE II terus digunakan secara luas karena begitu banyak dokumentasi
didasarkan pada itu. Pada studi yang dilakukan di berbagai negara seperti Amerika Serikat,
Kanada, Selandia Baru dan Singapura, terbukti sistem skor APACHE II memiliki korelasi
yang baik antara mortalitas yang diprediksi dengan mortalitas aktual yang terjadi. APACHE
II memiliki kelemahan antara lain:
1. Sistem skor ini dibuat berdasarkan data lama dari tahun 1979 1982 dan sistem
skor tidak dirancang untuk memprediksi outcome pasien secara individual dan
penyakit khusus.
2. Perbedaan dalam waktu kedatangan pasien di ICU menyebabkan perbedaan nilai
prediksi dan kategori diagnosis tidak secara akurat menghitung perbedaan kondisi
saat masuk ICU.
Modul pelatihan ICU merupakan gambaran secara umum tentang apa itu ICU bagaimana
peranan ICU dalam konteks pelayanan kesehatan di rumah sakit, regulasi serta ketenagaan,
ketersediaan alat dan system rujukan.
Peserta pelatihan nantinya diharapkan mampu memahami dan menerapkan hal hal yang
menjadi aturan dasar pelaksanaan dan pekayanan di ICU, membangun kerjasama yang
baik antar disiplin ilmu yang betrkaitan dengan ICU.
Modul ini mungkin jauh dari sempurna namun merupakan langkah awal untuk perbaikan
bersama ke depan.