Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Hasnita
10800112080
Akuntansi - UIN Alauddin Makassar
nita_uinam@yahoo.com
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
menaikkan permukaan laut dan menghasilkan peristiwa cuaca yang lebih sering,
ekstrim, dan merusak, seperti kebakaran hutan, gelombang panas, badai, dan
kekeringan. Perubahan ini akan mengganggu ekosistem dan produksi tanaman,
meningkatkan kematian yang berhubungan dengan panas, membutuhkan adaptasi
mahal, dan menghasilkan banyak konsekuensi moneter dan nonmoneter lainnya
(Morris, 2013). Penyebab utama pemanasan global ini rupanya ialah karena
adanya efek rumah kaca. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Nugroho (2011),
bahwa meningkatnya temperatur bumi disebabkan oleh semakin banyaknya energi
matahari yang dipantulkan kembali oleh bumi terperangkap oleh gas-gas seperti
karbondioksida (CO2) dan metana yang semakin banyak terkandung di dalam
atmosfer, yang dikenal sebagai efek rumah kaca (greenhouse effect). Diperlukan
suatu cara untuk mengatasi efek rumah kaca ini.
Adanya berbagai efek rumah kaca ini salah satunya disebabkan carbon
yang berasal dari hasil pembakaran bahan bakar fosil. Pengurangan terhadap emisi
karbondioksida (CO2) mungkin akan berdampak pada kegiatan ekonomi, karena
sebagian besar aktivitas perekonomian yang meliputi produksi, distribusi, dan
konsumsi berasal dari bahan bakar fosil (Kurniawan, 2009). Suatu kebijakan
khusus yang dapat mengendalikan jumlah emisi karbon ini akan sangat
diperlukan. Salah satu cara untuk mencegah penggunaan bahan bakar fosil
berbasis karbon adalah dengan mengenakan pajak, yang kemudian dikenal dengan
Pajak karbon (Carbon Tax). Winkler dan Andrew (2011) yang meneliti implikasi
ekonomi dari pajak karbon di Afrika Selatan mengatakan bahwa, pajak karbon
harus dipertimbangkan dengan berbagai instrumen yang tersedia untuk
pemerintah, ekonomi dan masyarakat Afrika Selatan. Wenau (2014) yang
melakukan penelitian tentang pajak karbon di Australia, menegaskan bahwa salah
satu cara yang dilakukan oleh pemerintah Australia dalam mengurangi
peningkatan emisi gas yang mereka hasilkan dari beberapa sektor ekonomi
terutama sektor pertambangan adalah dengan memberlakukan pajak karbon bagi
setiap pelaku usaha terutama bagi para pemilik perusahaan pertambangan.
Namun, sebelum kedua negara tersebut menerapkan pajak karbon ini, ternyata
2
telah terdapat beberapa negara yang menerapakan jauh sebelum kedua negara
tersebut.
Pajak karbon telah ada secara internasional selama hampir 20 tahun
(Sumner, et. al., 2009). Sumner, et. al. (2009) melanjutkan, bahwa pada awal
1990-an, pajak karbon muncul di negara-negara Eropa utara, dengan Finlandia
menjadi negara pertama yang mengadopsi pajak karbon pada tahun 1990. Hal ini
sebagaimana yang dikatakan oleh Winkler dan Andrew (2011), bahwa pajak
karbon sebagian besar telah dilaksanakan di negara-negara Skandinavia dan
beberapa negara Eropa lainnya. Winkler dan Andrew (2011) lebih lanjut
mengatakan bahwa, Finlandia dan Belanda (1990), Swedia (1991), Norwegia
(1991) dan Denmark (1992) memimpin jalan dalam menerapkan pajak karbon.
Lebih dari satu dekade setelah pajak karbon pertama, pada tahun 2001, Inggris
mulai menerapkan juga di negaranya. Kemudian mulai diterapkan juga di negara
Cina, Jepan, Kanada dan Amerika Serikat. Namun, sebelum berbicara lebih lanjut
mengenai pajak karbon, perlu diketahui terlebih dahulu apakah yang dimaksud
dengan pajak karbon ?
Pajak karbon (carbon tax) adalah pajak atas berbagai bahan bakar fosil
(batu bara, gas alam dan minyak bumi oleh produk seperti bensin, diesel, propana,
avtur dan minyak pemanas), dengan jumlah yang ditentukan oleh jumlah karbon
yang dipancarkan ketika bahan bakar fosil dibakar (Dion, 2013). Senada dengan
Dion (2013), Kurniawan (2009) juga mengemukakan definisi pajak karbon ini
dalam arti yang cukup sederhana, bahwa pajak karbon adalah pajak yang
dikenakan atas emisi karbon dari hasil pembakaran bahan bakar fosil. Sementara,
menurut Nugroho (2011), pajak karbon adalah pajak atau biaya yang dikenakan
untuk konsumsi barang yang menghasilkan emisi karbon. Sedikit berbeda dengan
beberapa pendapat sebelumnya, dalam Jakarta Post (Anonim, 2014a) pajak karbon
diartikan sebagai pajak yang diterapkan pada perusahaan yang terlalu bergantung
pada kandungan karbon dari bahan bakar fosil. Berdasarkan pemaparan dari
beberapa pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa pajak karbon adalah pajak
yang dikenakan atas setiap pemakaian bahan bakar fosil yang dapat menghasilkan
emisi karbon. Dengan mengetahui definisi tersebut dapat pula diketahui bahwa
3
dengan adanya pajak karbon ini, maka efek buruk dari pemanasan global akan
mampu berkurang.
Pajak karbon (carbon tax) merupakan suatu kebijakan yang tidak hanya
diharapkan mampu mengurangi efek buruk dari pemanasan global, namun dapat
memberi manfaat dari ekonomi bagi negara yang menerapkannya. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Marron dan Eric (2013) serta Dion (2013) bahwa,
menempatkan harga pada karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya akan
menjadi langkah penting dan cara yang paling efektif untuk mengurangi dan
memperlambat emisi masa depan dan beberapa potensi risiko perubahan iklim.
Lebih lanjut Dion (2013) mengatakan, jika emisi karbon diberi harga dalam
perekonomian, konsumen dan bisnis akan memiliki insentif yang kuat untuk
memilih barang dan jasa dengan kandungan karbon yang lebih rendah,
mengurangi konsumsi listrik dan bensin, seperti dengan memasang isolasi lebih,
membeli peralatan atau kendaraan dengan bahan bakar lebih efisien, mengurangi
mengemudi, atau naik kendaraan umum (Dinan, 2013) dan untuk berinvestasi
dalam teknologi inovatif hemat energi yang terbukti mengurangi emisi, sehingga
mengurangi beban pajak mereka (membayar pajak lebih sedikit). Dion (2013)
kembali menerangkan bahwa, pajak karbon akan sangat membantu dalam
mempromosikan penggunaan energi yang lebih efisien di setiap tingkat dan
pengurangan emisi (Jin-nan, 2008), memberikan inovasi insentif bagi produsen
untuk memproduksi barang dengan cara yang mengakibatkan emisi yang lebih
sedikit, dan kekuasaan membuat sumber energi bersih dan terbarukan yang lebih
kompetitif, seperti dengan menghasilkan listrik dari gas alam atau angin daripada
dari batubara (Dinan, 2013 dan Dion, 2013).
Pajak karbon juga dapat menjadi dasar untuk reformasi fiskal yang
komprehensif, menggabungkan tujuan lingkungan, ekonomi, dan sosial, yang
pemerintah menggunakannya untuk secara bersamaan memerangi perubahan
iklim, mempromosikan keadilan sosial, dan meningkatkan daya saing ekonomi
(Dion, 2013 dan Morris, 2013). Manfaat ekonomi lain dari pajak karbon ialah
mampu meningkatkan pendapatan bagi pemerintah. Beberapa penerapan pajak
karbon, seperti di Swedia dan Norwegia, digunakan khusus untuk meningkatkan
4
pendapatan bagi pemerintah (Sumner, et., al., 2009) guna mendanai prioritas
kebijakannya (Dion, 2013). Sehingga, menurut Dinan (2013), menunda upaya
untuk mengurangi emisi akan meningkatkan risiko kerugian dari dampak
perubahan iklim yang dapat memicu efek bencana. Lebih lanjut Dinan (2013)
mengatakan, anggota parlemen mungkin melihat pajak karbon sebagai refleksi
dari keinginan masyarakat untuk membayar demi mengurangi risiko kerusakan
berpotensi yang akan menimbulkan biaya sangat mahal di masa depan. Namun,
dibalik banyaknya manfaat yang diperoleh dengan menerapkan pajak karbon,
ternyata penerapannya tidak semudah yang dibayangkan. Terdapat banyak
penolakan dari berbagai pihak dengan beragam alasan terkait penerapan pajak
karbon ini, sehingga untuk menerapkannya pada suatu negara diperlukan
pertimbangan yang cukup matang.
Penerapan awal pajak karbon ini ternyata akan sangat berdampak pada
masyarakat ekonomi lemah. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Dinan
(2013), bahwa pajak karbon akan memiliki efek negatif pada perekonomian,
karena akan mengurangi pendapatan (upah riil) dan daya beli masyarakat,
sehingga mengurangi pasokan keseluruhan tenaga kerja. Investasi juga akan
menurun, lebih lanjut akan mengurangi total output perekonomian. Winkler dan
Andrew (2011), berpendapat bahwa pajak karbon akan cenderung memiliki dua
dampak pada masyarakat miskin. Pertama, akan berdampak langsung pada biaya
operator energi yang digunakan oleh rumah tangga miskin, listrik, parafin, LPG
dan batubara, dan secara tidak langsung melalui harga bahan bakar yang lebih
tinggi dalam mengangkut bahan bakar padat massal seperti batu bara dan kayu
bakar, yang mana berlaku. Kedua, akan menimbulkan efek ekonomi tidak
langsung, baik melalui biaya masukan yang lebih tinggi untuk layanan yang
digunakan oleh masyarakat miskin (misalnya, angkutan umum), atau melalui
dampak ekonomi yang luas. Harga karbon yang lebih tinggi menimbulkan beban
secara tidak proporsional pada rumah tangga berpendapatan rendah, yang
biasanya menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka pada pemanasan dan
transportasi (Kantor Anggaran Kongres, 2007 dalam Dion, 2013 dan Sumner, et.
al., 2009).
5
Alton, et. al. (2012) pun mengatakan, ada kekhawatiran bahwa pajak ini
akan menyebabkan biaya penyesuaian besar pada perekonomian. Dinan (2013)
pun membenarkan hal tersebut, bahwa pekerja dan investor di industri bahan
bakar fosil (seperti pertambangan batubara dan ekstraksi minyak) dan di industri
energi-intensif (seperti bahan kimia, logam, dan transportasi) akan cenderung
mengalami kerugian relatif besar dalam pendapatan di bawah pajak karbon karena
permintaan produk mereka akan menurun. Konsumen pun akan melihat kenaikan
harga terbesar untuk barang-barang seperti bensin dan listrik-terutama di daerah di
mana listrik yang dihasilkan dari batubara, menghasilkan emisi CO2 paling besar
per unit daya yang dihasilkan (Dinan, 2013). Namun, dibalik sejumlah kerugian
yang ditakutkan atas pengenaan pajak karbon, pendapatan dari pajak karbon ini
dapat digunakan untuk meminimalisir kerugian yang ditimbulkannya.
Sebagaimana yang dikatakan Dinan (2013) bahwa, bagian dari efek ekonomi yang
negatif dari pajak karbon akan diimbangi jika penerimaan pajak digunakan untuk
pengurangan defisit. Kebijakan yang mengurangi defisit umumnya memiliki efek
positif pada perekonomian dalam jangka panjang (meskipun hai itu dapat
memiliki efek negatif dalam jangka pendek ketika ekonomi lemah). Selain untuk
mengurangi defisit anggaran, Dinan (2013) menambahkan bahwa, pendapatan
dari pajak karbon dapat digunakan pemerintah dalam berbagai cara, termasuk
untuk menurunkan tarif pajak marginal yang ada, atau untuk meminimalkan
dampak pajak pada kelompok yang menanggung bagian yang tidak proporsional
dengan mengkompensasi kelompok tidak proporsional terpengaruh tersebut
dari biaya pajak karbon melalui kredit pajak atau program lainnya.
Berdasarkan pemaparan tersebut, penerapan pajak karbon akan sangat
berpengaruh terhadap menurunnya kemampuan ekonomi masyarakat miskin.
Namun, efek negatif ini akan dapat diminimalisir dengan penggunaan pendapatan
pajak yang tepat. Di Indonesia sendiri pun telah ada wacana untuk menerapkan
pajak karbon. Mengingat pada tahun 2008, Indonesia tercatat sebagai penghasil
emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia setelah Amerika serikat dan China
(Nugroho, 2011). Mantan Kepala Delegasi Indonesia dalam Konferensi
Internasional Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar, sebagaimana yang dilansir dari
6
Bisnis Indonesia (Anonim, 2009), juga mengatakan bahwa Indonesia berencana
menerapkan pajak karbon sebelum 2014. Berdasarkan Ministry of Finance Green
Paper economic and fiscal policy strategies for climate change mitigation
in Indonesia yang dirilis Kementerian Keuangan RI (2009), Pemerintah Indonesia
berencana untuk memberlakukan pajak karbon pada tahun 2014. Pajak karbon
sejumlah Rp 80.000 setiap ton emisi CO2 akan diterapkan dan dijadwalkan naik
5% setiap tahun, yang berpotensi menaikkan pendapatan negara sebesar Rp 95
trilliun per tahun mulai tahun 2020. Pajak karbon akan dikenakan kepada
penggunaan listrik dari bahan bakar fosil, minyak solar, minyak tanah dan bensin.
Sebagai akibat pengenaan pajak karbon, harga listrik diperkirakan naik Rp 60 per
kwh, minyak solar dan minyak tanah naik Rp 225 per liter dan harga bensin
diperkirakan naik sekitar Rp 190 per liter. Emisi gas rumah kaca di Indonesia
sendiri disebabkan oleh penggundulan hutan dan konversi lahan (85 %), sektor
energi (9 %) dan sektor pertanian (6 %). Hal inilah yang membuat Pemerintah
Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 26 % pada tahun
2020 atau turun 6 % dari emisi sat ini (Nugroho, 2011). Namun, karena sejumlah
permasalahan, sampai saat ini pajak karbon tersebut masih menjadi sebuah
wacana.
Pajak karbon belum diberlakukan di Indonesia sampai saat ini karena
masih banyaknya hal lain yang lebih diperioritaskan oleh Pemerintah Indonesia.
Hal ini sebagaimana yang dikutip dari Buzzle and The Jakarta Post (Anonim,
2014b) bahwa, di Indonesia terdapat kebijakan ambigu dalam mengatasi
perubahan iklim. Di satu sisi, Indonesia telah mengambil sikap ambisius dengan
mengejar target untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada
tahun 2020. Di sisi lain, negara telah menghabiskan dan terus menghabiskan
sejumlah besar uang untuk subsidi BBM. Dalam ambiguitas ini, Indonesia telah
mempertimbangkan penerapan pajak karbon. Diskusi memang telah dimulai pada
tahun 2009 tetapi belum memasuki ranah publik yang lebih luas sampai saat ini
karena prioritas lain, sebagaimana yang dikatakan dalam Buzzle and The Jakarta
Post (Anonim, 2014b). Selanjutnya, dalam Berita Satu (Desfika, 2015), Menteri
Perdagangan Rahmat Gobel mengatakan, wacana penerapan pajak karbon secara
7
global diajukan sejumlah negara maju. Negara-negara tersebut berencana
membicarakan penerapan pajak karbon dalam konferensi United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNFCC) pada Desember 2015 yang
dilansir oleh Berita Satu (Desfika, 2015). Rahmat Gobel kembali memberi
pernyataan saat memberikan closing statement pada Indonesia Green
Infrastructure Summit 2015 di Jakarta sebagaimana dikutip dari Berita Satu
(Desfika, 2015), bahwa dengan diberlakukannya pajak karbon itu, maka tidak
dibedakan lagi perlakuan perdagangan bagi negara maju maupun berkembang.
Lebih lanjut Rahmat Gobel mengatakan dalam Berita Satu (Desfika, 2015),
apalagi jika pajak karbon disetujui maka dampak yang harus diantispasi adalah
semakin tertekannya daya saing produk-produk dalam negeri, karena dengan
penambahan pajak karbon tersebut, akan ada penambahan biaya produksi barang
sehingga membebani konsumen. Sehingga, salah satu pertimbangan belum
diberlakukannya pajak karbon di Indonesia ialah adanya ketakutan akan
menurunnya daya saing produk-produk dalam negeri dengan berlakunya pajak
karbon ini.
Selain itu, dilansir dari Buzzle and The Jakarta Post (Anonim, 2014b)
bahwa, bukan tidak mungkin bahwa Indonesia akan mendapatkan keuntungan dari
penerapan pajak karbon di masa depan. Namun dalam jangka pendek, pajak
karbon akan memicu harga komoditas yang lebih tinggi dan biaya industri yang
mempengaruhi daya saing. Sejumlah permasalahan akan dampaknya pada
perekonomian secara langsung, menjadikan perlunya pertimbangan yang benar-
benar matang untuk menerapkan pajak karbon di Indonesia. Hal ini sebagaimana
yang dikatakan oleh Rahmat Gobel dalam Berita Satu (Desfika, 2015) bahwa,
aspek lingkungan merupakan elemen penting yang perlu diperhatikan, tidak hanya
spesifik pada lingkungan semata, tetapi juga pengaruhnya terhadap pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Untuk itu, guna menjaga pertumbuhan ekonomi, setiap
pembangunan infrastruktur sudah harus memastikan aspek ramah lingkungannya,
sebagaimana dikatakan oleh Rahmat Gobel dalam Berita Satu (Desfika, 2015).
Rahmat Gobel melanjutkan kembali dalam Berita Satu (Desfika, 2015), bahwa
pemerintah menekankan isu lingkungan ini penting karena ke depan tantangan
8
global atas isu lingkungan ini akan semakin berat dan Indonesia sebagai negara
berkembang pasti terkena dampaknya cepat atau lambat. Para pembuat kebijakan
juga harus mempertimbangkan interaksi kebijakan yang berbeda termasuk
komando dan kontrol pendekatan. Sejak perpajakan secara umum selalu
mengundang debat publik, memperkenalkan pajak karbon harus disertai dengan
konsultasi publik yang kuat, hal ini sebagaimana yang dilansir dari Buzzle and
The Jakarta Post (Anonim, 2014b).
Mengingat segala pro dan kontra terkait penerapan pajak karbon, dampak
positif pajak karbon ini dianggap lebih besar dibanding dampak negatifnya. Hal
ini karena, dampak positif berupa berkurangnya emisi karbon, yang berimbas
pada berkurangnya bencana masa depan akibat pemanasan global akan lebih besar
dibanding dampak negatif berupa permasalahan ekonomi di awal penerapan pajak
karbon ini. Dengan terjaganya kelestarian lingkungan yang diakibatkan
berkurangnya emisi karbon, akan memicu tercapainya kelansungan usaha (going
concern) khususnya pada industri manufaktur. Oleh karena itu, pajak karbon
(carbon tax) yang dirasa mampu mengurangi emisi karbon pemicu pemanasan
global, dapat diusulkan sebagai salah satu strategi peningkatan going concern
pada industri manufaktur. Dimana industri manufaktur bertindak sebagai salah
satu pelaku pencemar utama emisi karbon.
Sejumlah permasalahan terkait penerapan kebijakan pajak karbon pada
suatu negara, khusunya di Indonesia, yang diusulkan sebagai salah satu strategi
peningkatan going concern pada industri manufaktur, akan dibahas dalam
penelitian ini dengan menggunakan pendekatan triple bottom line theory. Prinsip
3P dalam triple bottom line theory, yaitu profit, people dan planet, akan
digunakan untuk menjelaskan fenomena kerusakan lingkungan yang disebabkan
oleh emisi karbon yang terutama dihasilkan oleh industri manufaktur yang
berdampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan serta keterkaitannya pada
going concern. Sebagaimana dikatakan oleh Nurfajriyah (2010), keadaan
masyarakat tergantung pada ekonomi, dan ekonomi tergantung pada masyarakat
dan lingkungan, bahkan ekosistem global.
9
B. Rumusan Masalah
Pajak karbon (carbon tax) merupakan isu yang masih baru dalam dunia
perpajakan di Indonesia. Penelitian terkait masalah pajak karbon ini pun masih
sangat sedikit dijumpai, terutama di Indonesia. Sejumlah pro dan kontra terkait
implementasi pajak karbon dalam suatu negara masih sering terjadi, demikian pun
di Indonesia. Sejumlah keuntungan dari penerapan pajak kabon dapat dipereleh
oleh negara yang menerapkannya. Di antara keuntungan tersebut ialah adanya
inisiatif penghematan energi dan pengembangan sumber energi terbarukan serta
terpeliharanya kelestarian lingkungan, yang dianggap akan berdampak pada
terciptanya going concern suatu perusahaan (industri). Namun, tidak sedikit pula
kerugian yang ditimbulkannya, terutama bagi perekonomian negara tersebut.
Sehingga, penelitian terkait pajak karbon ini menjadi suatu hal yang sangat
menarik dan penting untuk diteliti, mengingat dampaknya yang sangat luas bagi
suatu negara bila kebijakan ini diberlakukan. Berdasarkan penjelasan tersebut,
rumusan masalah yang kemudian muncul dalam penelitian ini adalah:
C. Tujuan Penelitian
10
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
2. Manfaat Praktis
11
Penelitian ini juga akan membandingkan konsep dan penerapan pajak
karbon disejumlah negara. Sehingga, mampu menjadi pertimbangan bagi
pemangku kebijakan untuk memilih apakah akan menerapkan kebijakan pajak
karbon di Indonesia. Selain itu, bagi industri manufaktur selaku penghasil emisi
karbon, diharapkan dengan adanya penelitian ini akan mampu memberi informasi
dan masukan mengenai konsekuensi diterapkannya pajak karbon. Serta pandangan
akan keuntungan yang mampu didapatkan oleh perusahaan berupa terciptanya
kelansungan usaha (going concern) dengan turut berkontribusi dalam pelaksanaan
pajak karbon ini.
3. Manfaat Regulasi
12
II. TINJAUAN TEORITIS
John Eklington (1997) dalam bukunya, Cannibals with Forks: The Triple
Bottom Line of21th Century Business, merupakan yang pertama mempopulerkan
istilah Triple Bottom Line. Menurut Eklington (1997), bahwa perusahaan yang
menunjukkan tanggung jawab sosialnya akan memberikan perhatian pada
kemajuan masyarakat, khususnya komunitas sekitar (people), serta lingkungan
hidup/bumi (planet), dan peningkatan kualitas perusahaan (profit). Sebagaimana
dikatakan Ferrell (2011: 11) bahwa, tanggung jawab sosial perusahaan merupakan
kepedulian perusahaan yang didasari tiga prinsip yang dikenal dengan triple
bottom lines oleh Eklington. Sebagaimana yang dikatakan oleh Wibisono (2007)
bahwa, Triple bottom line theory merupakan teori yang memberi pandangan
bahwa, jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya,
maka perusahaan tersebut harus memperhatikan prinsip 3P. Selain mengejar
keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada
pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam
menjaga kelestarian lingkungan (planet) (Wibisono, 2007). Adapun ketiga prinsip
dalam Triple bottom line theory, dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Profit (Keuntungan)
Profit atau keuntungan menjadi tujuan utama dan terpenting dalam setiap
kegiatan usaha. Tidak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam
perusahaan adalah mengejar profit dan mendongkrak harga saham setinggi-
tingginya. karena inilah bentuk tanggung jawab ekonomi yang paling esensial
terhadap pemegang saham. Aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak
profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efiisensi
biaya, sehingga perusahaan mempunyai keunggulan kompetitif yang dapat
memberikan nilai tambah semaksimal mungkin (Wibisono, 2007 dan Ferrell, 2011
). Peningkatan produktivitas bisa diperoleh dengan memperbaiki manajemen kerja
mulai penyederhanaan proses, mengurangi aktivitas yang tidak efisien,
13
menghemat waktu proses dan pelayanan. Sedangkan efisiensi biaya dapat tercapai
jika perusahaan menggunakan material sehemat mungkin dan memangkas biaya
serendah mungkin (Wibisono, 2007).
2. People (Masyarakat)
3. Planet (Lingkungan)
Planet atau Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang
dalam kehidupan manusia (Wibisono, 2007). Hubungan perusahaan dengan
lingkungan adalah hubungan sebab akibat, dimana jika perusahaan merawat
lingkungan maka lingkungan akan memberikan manfaat kepada perusahaan
(Ferrell, 2011). Lebih lanjut Ferrell (2011) mengatakan, sudah kewajiban
perusahaan untuk peduli terhadap lingkungan hidup dan berkelanjutan keragaman
hayati. Sebagaimana yang dikatakan Wibisono (2007), bahwa karena semua
kegiatan yang dilakukan oleh manusia sebagai makhluk hidup selalu berkaitan
dengan lingkungan misalnya air yang diminum, udara yang dihirup dan seluruh
peralatan yang digunakan, semuanya berasal dari lingkungan. Namun sebagaian
besar dari manusia masih kurang peduli terhadap lingkungan sekitar. Hal ini
disebabkan karena tidak ada keuntungan langsung yang bisa diambil di dalamnya
(Wibisono, 2007).
Keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis dan itu merupakan hal yang
wajar. Namun, manusia sebagai pelaku industri hanya mementingkan bagaimana
menghasilkan uang sebanyak-banyaknya tanpa melakukan upaya apapun untuk
melestarikan lingkungan. Padahal dengan melestarikan lingkungan, manusia
14
justru akan memperoleh keuntungan yang lebih, terutama dari sisi kesehatan,
kenyamanan, di samping ketersediaan sumber daya yang lebih terjamin
kelangsungannya (Wibisono, 2007).
Ketiga prinsip dalam Triple bottom line theory tersebut, dapat pula
digunakan untuk menjelaskan fenomena pencemaran lingkungan yang dihasilkan
dari emisi karbon yang dihasilkan sejumlah industri atau perusahaan di Indonesia,
yang mengacu pada lahirnya pajak karbon. Dengan menerapkan pajak karbon,
sejumlah perusahaan penghasil emisi karbon mungkin akan sangat keberatan jika
harus membayar pajak lagi atas emisi karbon yang dihasilkannya. Namun, dengan
membayar pajak karbon, perusahaan akan turut menjaga kesehatan masyarakat
(People) dan kelestarian lingkungan (Planet). Sehingga, akan menghasilkan
keberlanjutan uasaha dan keuntungan (Profit) yang dapat dinikmati oleh
perusahaan dalam jangka panjang karena telah menjaga lingkungan dan
masyarakat yang hidup di dalamnya. Sehingga, penggunaan triple bottom line
theory dirasa lebih tepat untuk membahas masalah pajak karbon dalam penelitian
ini. Teori ini sepintas terlihat sederhana, namun memiliki arti yang kuat. Teori ini
akan digunakan untuk mengetahui sejauh mana formula 3P (people, planet dan
profit) mampu diterjemahkan oleh kelompok industri dan masyarakat penghasil
emisi karbon untuk menerima pemberlakuan kebijakan pajak karbon di
negaranya.
15
Individu yang mempunyai nilai altruistic dimotivasi oleh norma personal
untuk merespon isu lingkungan (Schultz dan Zelezny, 1999). Norma personal
dikarakteristikan sebagai aturan yang mengendalikan atau mengontrol perilaku
individu, sehingga menimbulkan perasaan untuk melakukan kewajiban untuk
bertindak dalam situasi tertentu (Schultz, 2005). Peran norma personal dalam teori
ini dapat digunakan untuk menjelaskan sikap terhadap lingkungan. Norm
activation theory telah digunakan oleh beberapa peneliti untuk menjelaskan sikap
individu terhadap lingkungan.
Verdugo dan Martha (2006) menemukan keyakinan norma personal
mengenai pemeliharaan air secara langsung mempengaruhi perilaku pro
lingkungan. Nardlund dan Garvill (2002) juga melaporkan bahwa norma personal
secara langsung mempengaruhi perilaku pro lingkungan dan menjadi perantara
dampak nilai terhadap perilaku. Hopper dan Joyce (1991) menyimpulkan bahwa
norma personal berpengaruh besar terhadap perilaku daur ulang jika kesadaran
akan konsekuensi lingkungan tinggi. Norma personal juga menjadi prediktor yang
kuat dalam memprediksi perilaku pro lingkungan dalam survei yang dilakukan
oleh Stern et. al. (1999) dalam Aryani (2010). Norm activation theory Schwartz
menjelaskan bahwa sikap altruistic telah digunakan untuk menjelaskan mengenai
isu yang berkaitan dengan lingkungan (Dietz, et al. 2005; Heberlein, 1977; Van
Liere dan Dunlop, 1978 dalam Milfont, 2007).
Norm activation theory dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan
sikap kelompok industri dan masyarakat penghasil emisi karbon terhadap
lingkungannya. Norma personal (personal norm) kelompok industri dan
masyarakat penghasil emisi karbon yang dibentuk oleh kesadaran akan
konsekuensi dari tindakannnya (awareness consequences) dan tanggung jawab
seseorang terhadap akibat dari tindakannya tersebut, akan berpengaruh pada
penerimaannya terhadap pemberlakuan kebijakan pajak karbon sebagai bentuk
perilaku pro lingkungan. Perilaku pro lingkungan kelompok industri dan
masyarakat penghasil emisi karbon akan memudahkan penerapan kebijakan pajak
karbon pada suatu negara, khususnya di Indonesia.
16
C. Teori-Teori Etika Lingkungan
1. Antroposentrisme
17
karbon yang tidak mau bertanggungjawab atas pencemaran lingkungan yang
dihasilkannya. Sikap peduli terhadap alam semata-mata akan dilakukan hanya
karena mempunyai dampak yang menguntungkan bagi kepentingannya. Sehingga
penerapan kebijakan pajak karbon sebagai wujud kepedulian terhadap alam akan
ditolaknya karena dianggap akan merugikannya dari segi pendapatan.
2. Biosentrisme
18
Keyakinan-keyakinan tersebut melahirkan pemahaman baru bahwa
manusia merupakan keseluruhan atau pusat dari seluruh alam semesta. Dengan
keyakinan tersebut manusia akan mempertimbangkan dan memperhatikan
kepentingan makhluk hidup lainya secara serius, khususnya ketika ada benturan
kepentngan manusia dengan makhluk hidup lain (Aryani, 2010). Sehingga,
penerapan kebijakan pajak karbon pun akan turut dipertimbangkan guna menjaga
alam dan kepentingan makhluk hidup yang hidup di dalamnya.
3. Ekosentrisme
19
sosial altruistic, dan biocentric. Sikap egoistic digunakan untuk menjelaskan
antroposentrisme, sosial altruistic untuk menjelaskan biosentrisme dan biosentric
untuk menjelaskan biosentrisme.
Teori Ekosentrisme dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan
kewajiban dan tanggung jawab moral kelompok industri dan masyarakat
penghasil emisi karbon yang tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup tetapi
kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua
realitas ekologis. Manusia harus hidup selaras dengan alam, sehingga perlu untuk
menjaga kelestarian alam ini. Kesaling tergantungan satu sama lain dengan
seluruh isi alam semesta sebagai suatu gaya hidup yang semakin selaras dengan
alam akan melahirkan persetujuan untuk menerapan kebijakan pajak karbon.
Carbon Tax (pajak karbon) adalah pajak atas berbagai bahan bakar fosil
(batu bara, gas alam dan minyak bumi oleh produk seperti bensin, diesel, propana,
avtur dan minyak pemanas), dengan jumlah yang ditentukan oleh jumlah karbon
yang dipancarkan ketika bahan bakar fosil dibakar (Dion, 2013). Senada dengan
Dion (2013), Kurniawan (2009) juga mengemukakan definisi pajak karbon ini
dalam arti yang cukup sederhana, bahwa pajak karbon adalah pajak yang
dikenakan atas emisi karbon dari hasil pembakaran bahan bakar fosil. Sementara,
menurut Nugroho (2011), pajak karbon adalah pajak atau biaya yang dikenakan
untuk konsumsi barang yang menghasilkan emisi karbon. Sedikit berbeda dengan
beberapa pendapat sebelumnya, dalam Jakarta Post (Anonim, 2014a) pajak karbon
diartikan sebagai pajak yang diterapkan pada perusahaan yang terlalu bergantung
pada kandungan karbon dari bahan bakar fosil. Berdasarkan pemaparan dari
beberapa pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa pajak karbon adalah pajak
yang dikenakan atas setiap pemakaian bahan bakar fosil yang dapat menghasilkan
emisi karbon.
Berpijak dari teori Triple Bottom Line (TBL) yang kemudian oleh
Elkington (1997) diumpamakan menjadi triple P (3P) yakni profit, people dan
planet. Triple P (Profit, People, Planet) merupakan tiga aspek yang tidak dapat
20
dipisahkan satu dengan yang lainnya, karena merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Ketiga komponen itu saling terkait satu sama lainnya. Apabila salah
satu komponen ditinggalkan, maka akan menimbulkan berbagai dampak sosial,
ekonomi dan lingkungan. Sebagaimana dikatakan Widjaja (2008: 34), apabila
perusahaan dalam mengimplementasikannya, hanya menekankan hanya pada
salah satu aspek saja, maka perusahaan akan dihadapkan pada berbagai macam
resistensi baik yang bersifat internal maupun eksternal, sehingga perusahaan akan
sulit bahkan tidak akan mampu beraktivitas secara. Dapat diketahui bahwa
perusahaan dalam melaksanakan usahanya tidak hanya berorientasi kepada
keuntungan semata-mata, tetapi juga peduli terhadap masyarakat, dan alam
lingkungan yang ada disekitar perusahaan. Elkington (1997) memberi pandangan
bahwa jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya,
maka perusahaan tersebut harus memperhatikan 3P. Selain mengejar
keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada
pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam
menjaga kelestarian lingkungan (planet) (Widjaja, 2008: 33). Oleh karena itu,
setiap perusahaan harus mengubah paradigmanya menjadi corporate image.
Mendongkrak laba dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi memang
penting, namun tak kalah pentingnya juga memperhatikan konsep lingkungan. Di
sinilah perlunya penerapan konsep triple bottom line atau TBL, yakni profit,
people dan planet. Dengan kata lain, jantung hati bisnis bukan hanya profit
(laba) saja, tetapi juga people (manusia) dan planet (lingkungan) (Wibisono, 2007:
37). Aspek ekonomi diungkapkan dengan Profit, aspek sosial diungkapkan dengan
people, dan aspek lingkungan diungkapkan dengan Planet. Kondisi keuangan saja
tak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable).
Sehingga akan berdampak pada jaminan kelangsungan dan keberlanjutan aktivitas
usaha (going concern) suatu perusahaan.
Teori Triple Bottom Line (3BL) yang dipopulerkan dengan istilah 3 P,
nampaknya sangat relevan sekali apabila dikaitkan dengan konsep pajak karbon
(carbon tax). Unsur P yang pertama yaitu profit (laba) berkaitan erat dengan unsur
kelompok industri atau perusahaan sebagai penghasil utama emisi karbon dan
21
unsur P yang kedua yaitu people (masyarakat) berkaitan erat dengan masyarakat
sebagai penghasil emisi karbon dalam skala kecil sekaligus sebagai pihak yang
akan menerima langsung dampak buruk dari emisis karbon serta dampak dari
penerapan pajak karbon. Unsur P yang ketiga dan terakhir adalah planet
(lingkungan), yang sangat berkaitan erat dengan penurunan kualitas lingkungan
akibat emisi karbon, yang kemudian akan terperbaiki kualitasnya dengan
penerapan pajak karbon.
Carbon Tax (pajak karbon) merupakan salah satu pajak yang termasuk
dalam pajak lingkungan dan sebagai salah satu upaya mengurangi tingkat
pemanasan global. Sebagaimana yang dikatakan Meiviana et. al. (2004: 57)
bahwa, upaya lain yang perlu dilakukan adalah pemberlakuan pajak lingkungan
dalam pemanfaatan energi. Semakin tidak bersih suatu jenis energi, semakin
tinggi pajak lingkungannya. Dengan demikian energi kotor akan tersisihkan dan
energi bersih akan semakin berkembang (Meiviana et. al., 2004: 57). Pajak karbon
dan pajak lingkungan telah banyak diterapkan di beberapa negara di dunia,
terutama negara-negara Eropa.
Pajak karbon sebagian besar telah dilaksanakan di negara-negara
Skandinavia, dan beberapa negara Eropa lainnya (Winkler dan Andrew, 2011).
Dalam negosiasi Protokol Kyoto, Uni Eropa adalah pendukung kuat dari pajak
karbon, harmonis di seluruh dunia. Dalam hal dasar pajak, ada pendekatan yang
berbeda dan bervariasi. Finlandia awalnya mendasarkan pajak pada kandungan
karbon, tetapi kemudian dikombinasikan dengan kandungan energi dalam rasio 60
: 40. Dalam kasus Finlandia, beberapa bahan bakar transportasi (laut navigasi dan
emisi penerbangan komersial) dibebaskan. Swedia mengatur pajak sesuai dengan
kandungan karbon rata-rata bahan bakar. Biofuel dan gambut dibebaskan, tetapi
juga bahan bakar untuk pembangkit listrik. Menilai efektivitas pajak, Swedia
melaporkan mitigasi di urutan antara, 5-1.500.000 ton CO2 per tahun. Selain di
negara-negara Eropa, carbon tax juga telah diterapkan di Australia.
22
Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Kyoto Protocol bahwa
semua negara yang menyumbang emisi gas di udara yang menyebabkan
meningkatnya suhu global harus mengurang tingkat emisi CO2 yang mereka
hasilkan baik dari industri maupun dari sektor lainya termasuk dari kegiatan
rumah tangga warga Australia. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah
Australia dalam mengurangi peningkatan emisi gas yang mereka hasilkan dari
beberapa sektor ekonomi terutama sektor pertambangan adalah dengan
memberlakukan pajak karbon bagi setiap pelaku usaha terutama bagi para
pemiliki perusahaan pertambangan (Wenau, 2014). Dari sekitar 500 perusahaan
pertambangan yang berada di Australia, 83% diantaranya merupakan perusahan
milik asing. Perusahan pertambangan tersebut melakukan aktifitas pertambangan
antara lain batu bara, emas, biji besi, aluminium, nikel, uranium, dan tembaga
(Wenau, 2014). Pajak emisi yang diterapkan Australia ini jauh lebih tinggi dari
pajak serupa di sejumlah negara, misalnya Uni Eropa yaitu antara US$ 8,7 sampai
US$ 12 per ton emisi karbon.
Carbon tax (pajak karbon) yang merupakan bagian dari pajak lingkungan
mengalami perkembangan yang cukup baik di Belanda, Amerika dan Cina. Hal ini
sebagaimana yang ditemukan Naimah (2014) dalam penelitiannya bahwa, pajak
lingkungan di Belanda semakin berkembang dan mendapatkan predikat sebagai
negara dengan sistem pajak lingkungan terbaik di dunia yang diterapkan dengan
sistem insentif pajak yang bersifat sentralisasi. Pajak lingkungan yang sampai saat
ini diterapkan antara lain, pajak energi, pajak bahan bakar, pajak air tanah, pajak
air keran, pajak kendaraan, pajak penumpang, pajak limbah, dan pajak
pendaftaran kendaraan penumpang. Perkembangan pajak lingkungan di Amerika
sendiri bersifat desentralisasi yang didominasi oleh sistem kredit pajak dengan
menggunakan batas masa berlaku dalam penerapan pajak lingkungannya.
Beberapa jenis pajak lingkungan yang diterapkan yaitu pemberian insentif dan
kredit pajak untuk mendorong konversi bahan bahan alternatif. Perkembangan
pajak lingkungan di Cina masih bersifat desentralisasi dengan pilot approach yang
telah diterapkan di beberapa provinsi percontohan salah satunya di Kota Huangshi
Provinsi Hubei yang secara resmi diperkenalkan oleh Menteri Perlindungan
23
Lingkungan Hidup Cina pada 2012 lalu. Selain itu, Cina merencanakan pada
tahun 2015 untuk menerapkan pajak karbon. Penerapan pajak lingkungan pada
saat ini baru berskala provinsi (Naimah, 2014).
Naimah (2014) menyimpulkan bahwa, secara keseluruhan, pajak
lingkungan di Belanda, Amerika, dan Cina terus berkembang dan sampai saat ini.
Selama proses perkembangan pajak lingkungan di negara-negara tersebut,
memiliki hambatan yang tidak jauh berbeda di antaranya intervensi politik dan
pihak yang berkepentingan, desain kerangka pajak lingkungan yang kurang sesuai
seperti dasar pengenaan pajak, subjek pengenaan pajak, tarif yang dikenakan dan
alokasi yang tidak jelas. Selain itu, permasalahan dalam pendanaan, penuruan
daya saing, kondisi perekonomian yang menurun, komitmen industri dan
pemerintahan yang rendah, dan pemahaman yang masih terbatas juga menjadi
hambatan untuk diterapkannya pajak lingkungan.
Berbagai solusi telah diberikan untuk berbagai permasalahan terkait
penerapan carbon tax ini. Seperti halnya solusi yang diberikan oleh Naimah
(2014) dan Dinan (2013) dalam penelitiannya. Solusi yang dapat dilakukan
menurut Naimah (2014) dan Dinan (2013) seperti dengan memberikan
kompensasi dengan membebaskan rumah tangga berpenghasilan rendah dari
pajak, melakukan reformasi pajak lingkungan/netralistas pajak,
mengkombinasikan pajak lingkungan dengan instrumen lainnya dan melakukan
penyesuaian tarif pajak sesuai kondisi ekonomi negara tersebut selain itu, dengan
membuat batasan pelaksanaan pajak dan perencanaan pajak dalam jangka
panjang, alokasi pajak lingkungan yang lebih ditujukan untuk tujuan lingkungan,
mendesain sistem pajak yang tepat, komitmen pemerintah, dan koordinasi antar
pemeintah dan wajib pajak lingkungan yang intens (Naimah, 2014). Lebih lanjut
Naimah (2014) mengatakan, saat ini, status negara Belanda dan Amerika telah
mencapai tahap penerapan pajak lingkungan, sedangkan Cina, sudah menerapkan
pajak lingkungan dalam skala provinsi, tetapi masih dalam tahap menuju proses
penerapan pajak lingkungan berskala nasional.
24
F. Carbon Tax sebagai Strategi Meningkatkan Going Concern Industri
Manufaktur
Tujuan utama dari kegiatan yang dilakukan suatu perusahaan adalah untuk
memperoleh laba, karena laba sangat berperan dalam menjaga kelangsungan
hidup perusahaan sesuai dengan prinsip going concern (Almar et. al., 2012).
Untuk mencapai hal tersebut, perusahaan dapat meningkatkan kinerjanya dengan
mengelola aktivitas bisnisnya secara efektif, efisien, dan ekonomis. Salah satu
prinsip perusahaan adalah going concern, yang berarti bahwa perusahaan yang
didirikan bukan hanya untuk waktu yang sesaat melainkan untuk waktu yang terus
menerus (Almar et. al., 2012). Kelangsungan hidup (going concern) suatu entitas
usaha merupakan kemampuan perusahaan mempertahankan kelangsungan
usahanya dalam jangka panjang dan tidak akan dilikuidasi dalam jangka pendek
(Belkaoui, 2006: 271 dan Hani et. al. (2003) dalam Santosa dan Linda, 2007).
Sementara Fijriantoro (2010) menyatakan bahwa suatu entitas masuk dalam
kategori going concern apabila perusahaan dapat melanjutkan operasinya dan
memenuhi kewajibannya, dimana dananya tidak berasal dari penjualan aset dalam
jumlah besar, maupun restrukturisasi hutang, atau kegiatan serupa lainnya. Untuk
menyimpulkan kedua pernyataan sebelumnya, Belkaoui (1997) menyatakan
bahwa going concern adalah suatu dalil yang menyatakan bahwa kesatuan usaha
akan menjalankan terus operasinya dalam jangka waktu yang cukup lama untuk
mewujudkan proyeknya, tanggung jawab serta aktivitas-aktivitasnya yang tidak
berhenti.
Salah satu prinsip going concern ini sejalan dengan ketiga unsur dalam
teori Triple Bottom Line. Sebagaimana dikemukakan Eklington (1997), bahwa
perusahaan yang menunjukkan tanggung jawab sosialnya akan memberikan
perhatian pada kemajuan masyarakat, khususnya komunitas sekitar (people), serta
lingkungan hidup/bumi (planet), dan peningkatan kualitas perusahaan (profit).
Dengan demikian, bentuk perhatian terhadap masyarakat dan lingkungan
merupakan manfaat atau sumberdaya potensial bagi perusahaan untuk bertahan
hidup (going concern). Perusahaan tidak dapat melepaskan diri dengan
lingkungan sosial (social setting) sekitarnya.
25
Industri manufaktur berupa industri batu bara, industri semen dan
sebagainya, merupakan penghasil emisi karbon terbesar. Industri manufaktur
tersebut harus memberikan perhatian yang cukup besar pada masyarakat dan
lingkungan tempatnya beroperasi. Sehingga untuk mencapai keberlanjutan usaha
(going concern), perlu tindakan nyata dari industri manufaktur penghasil emisi
karbon untuk menurunkan atau mengurangi tingkat pencemaran udara yang
dihasilkannya. Sebagaimana yang dikatakan Adam (2002) dalam Hadi (2011: 95),
perusahaan perlu menjaga hubungannya dengan masyarakat sekitar serta
mendudukkananya dalam kerangka kebijakan dan pengambilan keputusan,
sehingga dapat mendukung dalam pencapaian tujuan perusahaan, yaitu usaha dan
jaminan going concern. Sehingga, untuk mencapai going concern ini, maka suatu
perusahaan harus mampu meningkatkan penerimaannya di masyarakat dengan
melakukan upaya perbaikan atau pelestarian lingkungan tempat beroperasinya.
Menurut Hariati dan Yeney (2014), untuk dapat diterima masyarakat
(society), organisasi harus dapat menyelaraskan antara tujuan ekonomi dengan
tujuan lingkungan dan sosialnya. Investor lebih berminat pada perusahaan yang
memiliki citra atau image baik di masyarakat, karena berdampak pada tingginya
loyalitas konsumen terhadap produk perusahaan. Dengan demikian, dalam jangka
panjang penjualan perusahaan akan membaik sehingga profitabilitasnya juga akan
meningkat (Hariati dan Yeney, 2014). Jika perusahaan berjalan lancar, maka nilai
perusahaan juga akan meningkat (Retno, 2012) dan akan mampu menjaga
kelangsungan usahanya (going concern). Salah satu langka yang dapat dilakukan
perusahaan dalam upaya perbaikan atau pelestarian lingkungan sekitar guna
meningkatkan penerimaannya di masyarakat dan berujung pada tercapainya going
concern ialah dengan turut membayar pajak karbon.
Pajak karbon (carbon tax) akan dapat mengurangi emisi dan menurunkan
risiko kerugian dari dampak perubahan iklim yang dapat memicu efek bencana.
Pajak karbon akan mendorong inovasi insentif bagi produsen yang dalam hal ini
industri manufaktur, untuk memproduksi barang dengan emisi yang lebih sedikit
dan membuat sumber energi bersih dan terbarukan yang lebih kompetitif (Dion,
2013). Lebih lanjut Dion (2013) menerangkan bahwa, pendapatan yang dihasilkan
26
dari carbon tax ini dapat kelolah pemerintah untuk menciptakan sumber energi
terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan menciptakan program-program
pelestarian lingkungan. Sedangkan untuk masyarakat, carbon tax dapat
menguntungkan rumah tangga proporsional dan dapat digunakan untuk
mengurangi dampak dari harga karbon di daerah-daerah dari negara dengan
tingkat emisi yang lebih tinggi (Dion, 2013).
Carbon tax dapat dijadikan salah satu tolak ukur bahwa perusahaan telah
berkontribusi dalam memperbaiki dan menjaga lingkungannya. Dengan kata lain,
dengan telah membayar pajak karbon, perusahaan dianggap telah berupaya
mengurangi emisi karbon yang dihasilkannya dan berupaya menghasilkan produk-
produk yang ramah lingkungan, serta telah turut andil dalam membantu
pemerintah dalam melaksanakan program-program pelestarian lingkungan.
Dengan carbon tax ini, perusahaan akan mampu meningkatkan citranya di mata
masyarakat. Carbon tax inilah yang kemudian dianggap sebagai salah satu strategi
perusahaan/industri manufaktur dalam meningkatkan kelangsungan usahanya
(going concern). Carbon tax dapat digunakan perusahaan untuk mengurangi
tingkat pencemaran udaranya dan sekaligus menjamin kelangsungan usahanya
(going concern). Sehingga, dengan turut membayar pajak karbon,
perusahaan/industri manufaktur mampu tetap bertahan (going concern) untuk
menjalankan usahanya, bahkan mampu meningkatkan keberlanjutan usahanya
(going concern) dimasa mendatang dengan terus memperbesar cakupan usahanya,
khususnya dengan menghasilkan produk-produk yang lebih ramah lingkungan.
G. Penelitian Terdahulu
27
pribadi atau badan yang memiliki kendaraan bermotor baik kendaraan beroda dua
maupun lebih yang dapat mengeluarkan emisi kendaraan bermotor. Objeknya atas
kendaraan bermotor baik beroda dua maupun lebih yang mengeluarkan emisi
kendaraan bermotor di atas ambang batas atau standar yang telah ditetapkan oleh
pemerintah yang dapat menimbulkan pencemaran udara. Besaran tarif Pajak
Pencemaran Udara didasarkan atas besaran atau kandungan emisi karbon yang
diemisikan oleh setiap objek pajak yang bersangkutan. Mekanisme pemungutan
pajaknya adalah dengan official assesment system, mengingat Samsat sebagai
instansi pemerintah yang berwenang untuk memungut Pajak Pencemaran Udara.
Naimah (2014) melakukan penelitian dengan judul Studi Penerapan Pajak
Lingkungan: Indonesia, Belanda, Amerika, dan Cina. Hasil penelitian ini
memberikan suatu keyakinan bahwa, Indonesia dapat menerapkan pajak
lingkungan bila dapat mendesain kerangka dan sistem pajak lingkungan yang
tepat. Penelitian ini juga menemukan bahwa, kebijakan pajak lingkungan ini
terbukti dapat menjadi salah satu solusi atas permasalahan lingkungan karena
dapat menurunkan emisi dan kerusakan lingkungan yang ditunjukkan dalam
kurun waktu 19 tahun (1990-2009), emisi gas rumah kaca di Belanda menurun
sebesar 31% dan terus mengalami penurunan sampai tahun 2012, dalam lima
tahun terakhir ini Amerika dapat mengurangi emisi karbon sebanyak 730 juta
MT/tahun, dan lainnya. Desain kerangka pajak lingkungan yang terstruktur,
tranparan, tidak bias, dan sederhana dalam penentuan subjek pajak, wajib pajak,
tarif pajak, dasar pengenaan pajak, dan hal lainnya merupakan kunci utama untuk
dapat menerapkan pajak lingkungan di Indonesia. Hasil penelitian ini juga
memberi beberapa rekomendasi, terkait desain kerangka dan sistem pajak
lingkungan yang memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia dengan
merekomendasikan pada tahap awal dengan menerapkan dua jenis pajak yaitu
pajak lingkungan untuk kendaraan dan bahan bakar yang dilengkapi dengan
skema rencana dan pelaksanaannya.
Winkler dan Andrew (2011) melakukan penelitiannya di Afrika Selatan,
dengan judul Analysis of The Economic Implications of A Carbon Tax. Hasil
dari penelitian tentang pajak karbon di Afrika Selatan yang dilakukan pada tahun
28
2008 menemukan bahwa, efisiensi pajak karbon dalam mencapai tujuan
mengurangi emisi gas rumah kaca tergantung pada respon dan substitusi. Hal ini
ditunjukkan lebih lengkap pada sisi penawaran, sementara penelitian lebih lanjut
akan diperlukan untuk memahami respon terhadap pajak karbon pada sisi
permintaan. Ekuitas menuntut bahwa rumah tangga miskin, khususnya, terlindung
dari beban apapun. Pengaturan insentif, seperti subsidi pangan atau pengurangan
PPN atas barang dasar, harus dalam ukuran keuangan yang akan memastikan
bahwa paket dan insentif pajak merupakan keuntungan bersih untuk masyarakat
miskin dan pajak bukan sebagai pendapatan penggalangan instrumen. Dengan
desain yang tepat, pajak karbon dapat menjadi alat yang kuat dari mitigasi di
Afrika Selatan, dan pada saat yang sama, memberikan kontribusi untuk tujuan
sosial-ekonomi.
Berbeda dengan Winkler dan Andrew (2011), Marron dan Eric Toder
(2013) melakukan penelitian di Amerika dengan instrumen yang berbeda.
Penelitian Marron dan Eric Toder (2013) dengan judul Carbon Taxes and
Corporate Tax Reform membahas pro dan kontra dari menggunakan pajak
karbon untuk membantu pembiayaan reformasi pajak perusahaan. Hasil penelitian
ini menemukan bahwa sistem pajak Amerika sedang rusak. Pajak dan reformasi
fiskal layak mendapat peningkatan perhatian dari pembuat kebijakan. Namun,
diskusi saat sering terjebak dalam perdebatan dan dengan kemajuan lambat.
Sehingga, dengan menambahkan pajak karbon untuk diskusi bisa membantu
memfasilitasi reformasi yang diperlukan dan pendapatan yang dihasilkan bisa
memainkan peran penting dalam memfasilitasi reformasi pajak dan pengurangan
defisit. Sebuah pajak karbon untuk perusahaan akan sangat regresif, meningkatkan
beban pajak pada keluarga berpenghasilan rendah. Pembuatan kebijakan tersebut
mungkin akan dipasangkan dengan kebijakan lain yang memperbaiki beberapa
konsekuensi distribusi. Pajak karbon, reformasi sistem pajak perusahaan dan
mengatasi defisit jangka panjang semua harus menjadi prioritas bagi para pembuat
kebijakan Amerika. Menggabungkan pajak karbon dengan keringanan pajak
perusahaan dapat membuka kemungkinan koalisi yang bisa mengatasi perlawanan
dalam isolasi dan akan menimbulkan pertimbangan kebijakan yang baik.
29
Morris (2013) juga melakukan penelitiannya di Amerika. Penelitian ini
berbentuk proposal dengan judul The Many Benefits of a Carbon Tax.
Penelitian ini menawarkan tiga cara ampuh untuk meningkatkan kesejahteraan
generasi mendatang. Pertama, memungkinkan Amerika Serikat untuk mengadopsi
pajak dan kebijakan regulasi lebih efisien. Pendapatan dari dana pajak karbon
dapat sebagai pengurangan permanen tarif pajak penghasilan perusahaan di
Amerika Serikat, yang tertinggi saat ini di negara maju. Bukti menunjukkan
pertukaran pajak ini akan memperluas investasi dan meningkatkan kesejahteraan
di Amerika Serikat. Sebuah harga pada karbon juga dapat menggantikan langkah-
langkah lebih-mahal dan kurang efektif untuk mengurangi emisi, mempromosikan
energi bersih dan efisiensi, serta mendorong inovasi, menghemat anggaran dan
biaya regulasi. Kedua, pajak karbon dapat menjadi upaya serius hemat biaya oleh
Amerika Serikat untuk mengatasi ancaman global gangguan iklim. Ketiga, usulan
ini menciptakan sumber pendapatan baru yang akan mengurangi defisit anggaran
federal hampir $ 200 milyar pada dekade berikutnya dan sekitar $ 815 milyar
selama dua dekade berikutnya, bahkan sekaligus melindungi kesejahteraan rumah
tangga termiskin.
H. Rerangka Pikir
30
dalam hal ini adalah industri manufaktur. Terakhir, tinjauan ketiga komponen
dalam Triple Bottom Line Theory yang menjadikan carbon tax sebagai strategi
going concern, akan digunakan sebagai konsep untuk melahirkan going concern
berbasis carbon tax pada industri manufaktur. Sehingga, secara tidak langsung,
upaya perusahaan dengan menerapkan carbon tax sebagai basis upaya perbaikan
dan pelestarian lingkungan akan berpengaruh pada meningkatnya going concern
perusahaan/industri manufaktur tersebut.
Secara sederhana, rerangka pikir ini dapat dijelaskan melalui gambar
berikut :
Gambar 1
Rerangka Pikir
Carbon Tax
Going Concern
Teori-Teori Etika
Norm Activation Lingkungan
Triple Bottom Line Theory
Theory
31
III. METODOLOGI PENELITIAN
32
menjalankan kegiatannya, perusahaan sangat berpotensi merusak lingkungan yang
pada akhirnya akan berdampak buruk pada masyarakat sekitar.
B. Pendekatan Penelitian
33
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data subjek yang
diperoleh dari wawancara dengan informan dan data dokumenter. Sedangkan
sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data
primer merupakan data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian, terkait
hasil wawancara yang dilakukan peneliti. Data primer dapat berupa kata-kata,
tindakan, ekspresi serta pemahaman dari subjek yang diteliti sebagai dasar utama
untuk melakukan interpretasi data. Sedangkan untuk data sekunder merupakan
data yang diperoleh secara tidak langsung melalui media tertulis yang relevan
sehingga memungkinkan untuk medukung keberhasilan penelitian ini. Adapun
data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai sumber tertulis yang
memungkinkan dapat dimanfaatkan dalam penelitian ini akan digunakan
semaksimal mungkin demi mendorong keberhasilan penelitian ini. Data-data
sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa literatur, artikel, jurnal
ilmiah, berita di media terkait aktivitas perusahaan dan situs internet yang
berkenaan dengan penelitian yang dilakukan, serta data-data lainnya yang relevan.
Istilah yang digunakan untuk subjek penelitian dalam penelitian ini adalah
informan. penelitian ini memandang representasi informan terwakili oleh kualitas
informasi yang diberikan oleh informan bukan jumlah informan yang dilibatkan
dalam penelitian ini. Informan penelitian tersebut di atas dipandang cukup cakap
dan layak untuk memberikan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini.
Oleh karena itu, Informan tersebut di atas dipilih secara sengaja dengan
mempertimbangkan kriteria yang dijelaskan oleh Bungin (2003: 54) dalam
Riduwan (2013) bahwa informan merupakan individu yang telah cukup lama dan
intensif menyatu dengan kegiatan atau medan aktivitas yang menjadi sasaran
penelitian. Mereka tidak hanya sekedar tahu dan dapat memberikan informasi,
tetapi juga telah menghayati secara sungguh-sungguh sebagai akibat dari
keterlibatannya yang cukup lama dengan lingkungan atau kegiatan yang
bersangkutan.
Adapun informan dalam penelitian ini adalah masyarakat selaku penerima
langsung dampak pencemaran udara dan dampak dari penerapan pajak karbon dan
manajer, selaku perwakilan perusahaan yang melakukan pencemaran udara
34
sekaligus sebagai pembayar/pelaksana kebijakan pajak karbon. Manager ini
meliputi manajer produksi, manajer keuangan dan komersil serta manajer
pengembangan dan energi. Dipilihnya manajer-manajer tersebut sebagai informan
dalam penelitian ini karena dipandang mampu memberikan informasi yang sangat
relevan dengan penelitian yang dilakukan.
1. Wawancara Mendalam
2. Studi Pustaka
3. Studi Dokumentasi
35
yang mendukung lainnya. Sebelum penelitian lapangan, peneliti telah melakukan
telaah terhadap buku literatur, majalah, jurnal, hasil seminar, artikel baik yang
tersedia dalam media on-line (internet) maupun yang ada dalam perpustakaan.
4. Internet seaching
E. Instrument penelitian
36
diciptakan oleh perusahaan melalui penerapan carbon tax yang akan dimaknai
oleh stekaholder, baik itu investor, pemerintah, masyarakat dan pihak-pihak yang
berkepentingan lainnya.
Analisis data dilakukan secara induktif atau kualitatif, yaitu dimulai dari
lapangan atau fakta empiris dengan cara terjun ke lapangan kemudian
mempelajari fenomena yang ada dilapangan. Ada beberapa tahap dalam aktivitas
analisis data, yaitu: (1). Tahap reduksi data (2). Tahap penyajian data (3). Tahap
penarikan kesimpulan dan verifikasi data.
37
Dalam penelitian kualitatif, pengujian keabsahan data untuk mendapatkan
validitas dan reabilitas disebut dengan uji kredibilitas (credibility). Penelitian
kualitatif memiliki dua kelemahan utama yaitu: (a) Peneliti tidak 100 %
independen dan netral dari research setting; (b) Penelitian kualitatif sangat tidak
terstuktur (messy) dan sangat interpretive, sehingga dibutuhkan uji kredibilitas.
Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif
dapat dilakukan antara lain dengan cara perpanjangan pengamatan, peningkatan
ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis
kasus negatif, dan membercheck. Karena penelitian ini menggunakan berbagai
sumber data dan teori secara konsisten dalam menghasilkan data dan informasi
yang akurat, maka cara yang tepat digunakan adalah dengan menggunakan
prosedur triangulasi.
Triangulasi artinya menggunakan dan membandingkan berbagai
pendekatan yang berbeda dalam melakukan penelitian. Karena itu, penelitian ini
dapat menggunakan lebih dari satu teori dan lebih dari satu metoda dalam
memecahkan masalah yang diteliti. Triangulasi sendiri menurut Norman K.
Denkin dalam Rahardjo (2010) merupakan gabungan atau kombinasi berbagai
metode yang dipakai untuk mengkaji fenomena yang saling terkait dari sudut
pandang dan perspektif yang berbeda. Lebih lanjut, menurut Denkin dalam
Rahardjo (2010), bahwa triangulasi meliputi empat hal, yaitu: triangulasi metode,
triangulasi antar peneliti, triangulasi sumber data, dan triangulasi teori. Namun,
dalam penelitian ini hanya dua jenis triangulasi yang akan digunakan karena
dianggap sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu:
38
mengenai fenomena yang diteliti. Berbagai pandangan itu akan melahirkan
keluasan pengetahuan untuk memperoleh kebenaran handal.
2. Triangulasi teori, yaitu hasil akhir penelitian kualitatif berupa sebuah
rumusan informasi atau thesis statement. Informasi tersebut selanjutnya
dibandingkan dengan perspektif teori yang relevan untuk menghindari bias
individual peneliti atas temuan atau kesimpulan yang dihasilkan. Selain
itu, triangulasi teori dapat meningkatkan kedalaman pemahaman asalkan
peneliti mampu menggali pengetahuan teoretik secara mendalam atas
hasil analisis data yang telah diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA
39
Akuntansi dalam Bisnis yang Profesional. ISSN- 2252-3936. Hal. 514
526
Alton et. al. 2012. The Economic Implications of Introducing Carbon Taxes in
South Africa. Working Paper No. 2012/46. United Nations University.
Anonim. 2009. Pajak karbon tak efektif kurangi emisi CO2. Bisnis Indonesia.
http://www.rumahpajak.com/content/view/14319/. Diakses tanggal 28
Oktober 2015.
. 2014b. Mari Mengenal Apakah itu Pajak Karbon ? Buzzle and The
Jakarta Post. http://www.fiskal.co.id/berita/fiskal
15/2931/marimengenal-apakah-itu pajak karbon#.VjFNevlTK1s.
Diakses tanggal 29 Oktober 2015.
Aryani, Alvita Tyas Dwi. 2010. Pengaruh Nilai Personal Terhadap Sikap
Akuntabilitas Sosial dan Lingkungan (Studi pada Mahasiswa Magister
Akuntansi dan Magister Manajemen UNDIP). Tesis. Program Studi
Magister Sains Akuntansi. Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro Semarang.
Dinan, Terry. 2013. Effects of a Carbon Tax on the Economy and the
Environment. Congress of The United States - Congressional Budget Office
(CBO). Pub. No. 4532.
Dion, Stphane. 2013. Carbon Taxes: Can a Good Policy Become Good
Politics?. Hal. 171-189.
40
Elkington, John. 1997. Partnerships From Cannibals With Forks: The Triple
Bottom Line Of 21st-Century Business. CCC 1088-1913/98/0801037-15.
Gea, Antonius Atosokhi dan Antonina Panca Yuni Wulandari. 2005. Relasi dengan
Dunia. PT Elex Media Komputindo: Jakarta.
Hadi, Nor. 2011. Corporate Social Responsibility. Ed. 1th. Graha Ilmu:
Yogyakarta.
Hariati dan Yeney Widya P. 2014. Pengaruh Tata Kelola Perusahaan dan
Kinerja Lingkungan terhadap Nilai Perusahaan. Jurusan
Akuntansi, FEB, Universitas Brawijaya.
Jin-nan, et. al. 2008. The Design on China's Carbon Tax to Mitigate Climate
Change. Chinese Academy for Environmental Planning, Beijing 100012,
China.
Kementerian Keuangan RI. 2009. Ministry of Finance green paper economic and
fiscal policy strategies for climate change mitigation in Indonesia.
Kementerian Keuangan RI-Kemitraan Australia Indonesia. Kementerian
Keuangan RI : Jakarta.
41
Ludigdo, Unti. 2013. Asumsi Dasar Pradigma Intrpretif. Disampaikan pada
Accounting Research Training Series ke-4. Pascasarjana Akuntansi FEB
Universitas Brawijaya.
Marron, Donald dan Eric Toder. 2013. Carbon Taxes and Corporate Tax Reform.
The Urban Institute and Urban-Brookings Tax Policy Center. Hal. 1-18.
Meiviana, Armely et. al. 2004. Bumi Semakin Panas: Ancaman Perubahan Iklim
di Indonesia. Kerjasama Pelangi dan Kementerian Lingkungan Hidup RI.
Morris, Adele C. 2013. Proposal 11: The Many Benefits of a Carbon Tax. New
Sources of Revenue and Efficiency. The Hamilton P Project. Brookings 1.
42
Santosa, A. F. dan Linda Kusumaning Wedari. 2007. Analisis Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Kecenderungan Penerimaan Opini Audit Going Concern.
JAAI, Vol. 11, No. 2, Hal 141-158.
Schwartz, S. H. 1994. Are There Universal Aspects in the Structure and Contents
of Human Values ?. Journal of Social Issues. No. 50, Hal. 19-46.
Sumner, et. al. 2009. Carbon Taxes: A Review of Experience and Policy Design
Considerations. Technical Report. National Renewable Energy
Laboratory-NREL/TP-6A2-47312.
Verdugo, Corral dan Martha Frias Armenta. 2006. Personal Normative Beliefs,
Antisocial Behavior, and Residential Water Conservation. Environment
and Behavior. Vol. 38, No. 3, Hal. 40-42.
Widjaja, Gunawan. 2008. Resiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik
PT. Penerbit Forum Sahabat.
43
LAMPIRAN MANUSKRIP
Carbon tax (pajak karbon) merupakan salah satu istilah pajak yang masih
asing di telinga orang banyak utamanya orang Indonesia. Hal ini utamanya
disebabkan karena pajak karbon itu sendiri belum diterapkan di Indonesia.
1. Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang pajak karbon ?
Pajak karbon (carbon tax) ini memilki sejumlah manfaat berupa mampu
mengurangi efek buruk dari perubahan iklim akibat pemanasan global serta
manfaat dari sisi ekonomi bagi negara yang menerapkannya. Pajak karbon akan
mendorong konsumen dan bisnis akan memiliki insentif yang kuat untuk memilih
barang dan jasa dengan kandungan karbon yang lebih rendah, mengurangi
konsumsi listrik dan bensin, membeli peralatan atau kendaraan dengan bahan
bakar lebih efisien, mengurangi mengemudi, atau naik kendaraan umum..
2. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu terhadap pernyataa tersebut ?
3. Setujukah Bapak/Ibu jika pajak karbon diterapkan di Indonesia ?
Pajak karbon itu sendiri adalah pajak yang dikenakan atas setiap
pemakaian bahan bakar fosil yang dapat menghasilkan emisi karbon. pajak ini
tidak hanya dapat diterapkan pada industri-industri penghasil emisi karbon saja,
namun juga pada bahan bakar yang digunakan masyarakat pada umumnya.
Sejumlah dampak negatif akan begitu terasa utamanya bagi masyarakat, karena
akan mengurangi pendapatan dan daya beli masyarakat, terutama pada bensin
dan listrik.
4. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai pernyataan tersebut ?
5. Apakah Bapak/Ibu setuju jika pajak karbon juga diterapkan pada
masyarakat biasa, termasuk masyarakat ekonomi lemah ?
6. Setujukah Bapak/Ibu jika pajak karbon hanya diterapkan bagi
perusahaan/industri penghasil emisi karbon dan masyarakat ekonomi
menengah ke atas ?
44
Efek negatif yang ditimbulkan di awal penerapan pajak karbon ini akan
dapat diminimalisir dengan penggunaan pendapatan pajak yang tepat.
Pendapatan yang dihasilkan dari carbon tax ini dapat kelolah pemerintah untuk
menciptakan sumber energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan
menciptakan program-program pelestarian lingkungan serta digunakan untuk
memberikan kompensasi kepada kelompok yang paling terpengaruh atas
penerapan pajak ini.
7. Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu atas pernyataan tersebut ?
8. Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu atas pemberian kompensasi kepada
masyarakat ekonomi lemah atas penerapan pajak karbon ini ?
9. Sebandingkah dampak negatif yang ditimbulkan dari pajak karbon di awal
penerapannya dibanding keuntungan yang akan diperoleh dimasa depan ?
Carbon tax (pajak karbon) dapat dijadikan salah satu tolak ukur bahwa
perusahaan telah berkontribusi dalam memperbaiki dan menjaga lingkungannya.
Dengan kata lain, dengan telah membayar pajak karbon, perusahaan dianggap
telah berupaya mengurangi emisi karbon yang dihasilkannya dan berupaya
menghasilkan produk-produk yang ramah lingkungan, serta telah turut andil
dalam membantu pemerintah dalam melaksanakan program-program pelestarian
lingkungan.
10. Setujukah Bapak/Ibu dengan pernyataan tersebut ?
11. Apakah menurut Bapak/Ibu dengan membayar pajak karbon sudah cukup
untuk melepaskan perusahaan dari tanggungjawabnya terhadap lingkungan
?
45
Instrumen Wawancara kepada Subjek Kelompok 2 (Manajer Perusahaan)
Terdapat sejumlah pro dan kontra terkait penerapan pajak karbon pada
suatu negara. Telah terdapat wacana untuk menerapkan pajak karbon ini di
Indonesia. Sejumlah dukungan mengalir untuk menerapkan pajak karbon ini,
mengingat sejumlah keuntungan yang akan diperoleh dengan penerapannya.
Namun, tak sedikit pula penolakan mengingat besarnya efek negatif yang
ditimbulkan di awal penerapannya.
14. Bagaimana tanggapan Anda atas pernyataan tersebut ?
15. Setujukan Anda jika pajak karbon diterapkan di Indonesia ?
Pada awal penerapannya, pajak karbon akan memiliki efek negatif pada
perekonomian, karena akan mengurangi pendapatan dan daya beli masyarakat,
selain itu pekerja dan investor di industri bahan bakar fosil (seperti pertambangan
batubara dan ekstraksi minyak) dan di industri energi-intensif (seperti bahan
kimia, logam, dan transportasi) akan cenderung mengalami kerugian relatif besar
dalam pendapatan di bawah pajak karbon karena permintaan produk mereka akan
menurun.
16. Setujukah Anda dengan pernyataan tersebut ?
17. Apakah Anda telah melakukan sejumlah persiapan menghadapi efek
negatif tersebut ?
18. Bagaimana cara Anda dalam menghadapi efek negatif di awal penerapan
pajak karbon ini ?
46
Untuk mencapai going concern, maka suatu perusahaan harus mampu
meningkatkan penerimaannya di masyarakat dengan melakukan upaya perbaikan
atau pelestarian lingkungan tempat beroperasinya.
21. Apa yang telah perusahaan Anda lakukan dalam upaya perbaikan atau
pelestarian lingkungan ?
22. Sejauh ini, upaya perbaikan atau pelestarian lingkungan apa yang telah
perusahaan Anda lakukan untuk meningkatkan penerimaan masyarakat ?
23. Bagaimana tingkat keberhasilan upaya perbaikan atau pelestarian
lingkungan yang perusahaan Anda lakukan dalam mencapai atau
meningkatkan going concern perusahaan Anda?
47