Вы находитесь на странице: 1из 14

Muhamad Choirul Azis

12213060
Petroleum Engineering ITB
Double-Kill Analisis Unconventional Energy sebagai Tonggak
Ketahanan Energi Nasional

Ketahanan energi merupakan pilar penting ketahanan ekonomi, bersama dengan ketahanan
budaya, ketahanan sosial, ketahanan politik, maka ketahanan ekonomi merupakan unsur
utama ketahanan nasional. Selama ini ketahanan energi sebagai wujud keberhasilan tata
kelola energi yang sering didengungkan oleh berbagai kalangan dalam mengkritisi kondisi
keenergian nasional hanyalah sebuah dongeng belaka.

Tidak ada cara lain selain kebijakan tepat dalam pengelolaan energi yang harus dilakukan
karena yang menjadi tujuan kebijakan pengelolaan energi adalah menjamin dan mewujudkan
kedaulatan energi berupa jaminan pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri dengan
mengutamakan sumber-sumber energi dalam negeri. [1]

Kondisi Energi Indonesia


Sejalan dengan meningkatnya laju
pembangunan dan meningkatnya pola
hidup masyarakat, konsumsi energi di
Indonesia terus meningkat dari tahun
ke tahun.
Peningkatan ini terjadi hampir pada
semua sektor yang mencakup sektor
industri, transportasi, komersial,
rumah tangga, pembangkit listrik dan
sektor lainnya. Laju konsumsi energi
yang terus meningkat dari tahun ke tahun membuat laju penyediaan energi juga harus
meningkat. [2]
Jika dianalisa energi yang
menyokong penyediaan energi per
jenis energinya maka akan
didapatkan data yang dapat diduga
bahwa Bahan Bakar Minyak
(BBM) menjadi penyokong
terbesar dengan lebih dari 70 %
pada 2013. Hal ini seolah menjadi
duri dalam upaya mewujudkan
ketahanan nasional karena besarnya
laju konsumsi tidak sebanding
dengan laju produksi dalam negeri sehingga membuat negara harus mengimpor BBM untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri ,tidak tanggung-tanggung hampir 40 % total konsumsi

1
nasional di penuhi melalui BBM impor pada tahun 2013 dengan ratio ketergantungan impor=
0.37. [2]

Dua hal utama yang menjadi alasan untuk menjadikan kondisi ini sebagai ancaman dari
ketahanan nasional adalah

1. Cadangan minyak Indonesia sedikit dan terus menipis

Cadangan potensial minyak pada tahun 2013 sebesar 3,85 miliar barel sedangkan cadangan
terbukti sebesar 3,69 miliar barel yang dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan laju produksi
saat ini maka kurang dari 13 tahun cadangan Indonesia akan habis jika tidak ditemukan
cadangan baru. Di lain sisi, laju konsumsi BBM sebagai produk hasil olahan terus mengalami
peningkatan sedangkan laju produksi dalam 18 tahun terakhir terus mengalami penurunan.
Hal ini mengindikasikan Indonesia rentan terhadap perubahan kondisi global yang dapat
2
berpengaruh pada ketahanan energi nasional sebagai akibat dari tingginya ketergantungan
pasokan dari luar. [2]

2. Defisit neraca perdagangan

Dari grafik di atas terlihat bahwa semakin lama volume impor minyak dan BBM semakin
meningkat. Tahun 2008, volume impor mencapai 24,6 juta kiloliter (KL), meningkat 56,9%
menjadi 38,6 juta KL pada tahun 2012. Dari sisi nilai nominal pun otomatis defisit neraca
perdagangan meningkat. Pada tahun 2003, terjadi defisit neraca perdagangan sekitar
US$414,8 juta, kemudian pada tahun 2011 periode Januari - November menjadi US$19,0
miliar.[11]

3
Arah Kebijakan Energi

Menghadapi kondisi defisit energi, pemerintah Indonesia menyusun kebijakan energy mix
yang merupakan platform pengembangan energi. Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat
bahwa pemerintah secara bertahap mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi dan
membebankannya ke energi lain baik, batu bara, gas bumi, EBT ,ataupun lainnya. Dan saat ini
komposisi bauran energi tersebut sedang dalam proses penyempurnaan yaitu, mengubah
pemakaian bahan bakar minyak (BBM) dari sebelumnya 50 persen tahun 2006 menjadi 20
persen pada tahun 2025, pemakaian gas bumi dari sekitar 26 persen menjadi 27 persen,
batubara dari sebelumnya 15 persen ditingkatkan menjadi 30 persen dan penggunaan energi
baru terbarukan akan terus ditingkatkan pemanfaatanya menjadi 17 persen pada tahun 2025.
[4]

4
Jika kebijakan ini dianalisa maka akan ditemukan beberapa kecacatan dalam perealisasiannya,
yaitu

1. Indonesia akan mulai impor gas pada 2020

Berdasarkan kebijakan energy mix kebutuhan gas bumi dalam negeri akan meningkat. Namun
hal ini tidak sesuai dengan kapasitas produksi gas untuk dalam negeri .

Berdasarkan neraca gas


bumi tahun 2014-2030
masih tetap mengekspor gas
bumi yang diproyeksikan
terus mengalami penurunan.
Adanya keterbatasan
kemampuan produksi gas
bumi dan semakin
meningkatnya konsumsi
dalam negeri
memungkinkan akan adanya
impor gas bumi di masa
mendatang. Berdasarkan
proyeksi yang dilakukan,
maka tahun 2000 Indonesia
akan mulai mengimpor gas
bumi dalam bentuk LNG
[7].

Indonesia mencanangkan peningkatan penggunaan gas bumi namun produksi dalam negeri
tidak dapat memenuhinya walaupun harga gas bumi dipasaran Internasional lebih murah
namun ini hanya akan menimbulkan ketergantungan baru dan pada akhirnya menjadi penyakit
baru. Miris !

5
2. Ketergantungan terhadap minyak masih besar

Berdasarkan revisi yang dilakukan oleh Dewan Energi Nasional bahwa minyak bumi akan
menyokong 20% dari jumlah kebutuhan energi total pada tahun 2025 [4]. Dan berdasarkan
gambar diatas 55.32 juta TOE (20% dari total) harus disediakan oleh energi minyak untuk
menyokong kehidupan pada 2025 sedangkan jika kita bandingkan dengan kebutuhan energi
minyak pada 2013 yaitu sebesar 68.22 TOE (50% dari total) saja tidak bisa terpenuhi.
Bagaimana mungkin solusi ini bisa memperkuat ketahanan energi nasional ?. Miris !

6
Unconventional Hydrocarbon sebagai Potensi Solusi
Unconventional hidrokarbon merupakan salah satu sumber energi baru yang berhasil
ditemukan dan dikembangkan dalam satu decade terakhir. Seperti halnya hidrokarbon
konvensional, hidrokarbon non konvensional di alam juga didapati dalam bentuk minyak dan
gas.Termasuk dalam kelompok unconventional oil adalah Heavy oil, Shale Oil, dan Oil
Sands. Sedangkan kelompok unconventional gas antara lain Coal Bed Methane (CBM), Tight
Gas Sands, Oil Shale, dan Gas Hydrates.

Dari kesemua jenis unconventional energi terdapat dua jenis yang sudah mulai dikembangkan
di Indonesia, yaitu CBM dan Shale gas.

1. Coal Bed Methane (CBM)

CBM adalah gas alam dengan dominan gas metana dan disertai sedikit hidrokarbon lainnya
dan gas non-hidrokarbon dalam batu bara hasil dari beberapa proses kimia dan fisika. CBM
sama seperti gas alam conventional yang kita kenal saat ini, namun perbedaannya adalah
CBM berasosiasi dengan batubara sebagai source rock dan reservoir-nya. [5]

Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi CBM kedua terbesar di dunia, dengan
perkiraan cadangan sebesar 453 trillion cubic feet (TCF).

7
Sebenarnya CBM merupakan salah satu langkah yang dilakukan oleh pemerintah terkait
defisit energi dalam negeri. Dan pemerintah telah memiliki kebijakan pengembangan CBM
melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas. Di dalam kebijakan ini disebutkan bahwa CBM ditargetkan akan
menjadi penyumbang 3,3% dari konsumsi energi primer Indonesia pada 2025. Gambar
dibawah ini merupakan skema dari rencana pengembangan CBM. [6]

8
Dari sini sebenarnya telah terlihat kesungguhan pemerintah untuk mengembangkan sumber
alternatif ini. Namun pada perealisasiannya sejak mulainya project ini pada tahun 2008
sampai tahun 2013 saja hanya 54 Wilayah Kerja (WK) yang terbentuk dan baru menghasilkan
0.33 MMSCFD, padahal sesuai road map ditargetkan 100 MMSCFD pada tahun 2013 [8].
Miris !

2. Shale Gas

Shale gas adalah gas alam yang terkandung dalam batuan shale yang merupakan batuan induk
tempat terbentuknya hidrokarbon. Potensi shale gas cukup besar di Indonesia yaitu sekitar
574 TCF. Shale gas juga merupakan salah satu langkah pemerintah dalam memenuhi
kebutuhan energi dalam negeri terutama jenis gas karena pada dasarnya bentuk energi ini
sama seperti gas konvensional. Sehingga pada akhirnya produksi dari shale gas akan mampu
menutupi defisit gas Indonesia yang diprediksi akan terjadi mulai tahun 2020. [2]

9
Pengembangan shale gas lebih sulit dibandingkan metode gas konvensional dan ini menjadi
tantangan yang harus dihadapi dalam pengembangannya, menggunakan teknologi tinggi dan
tergolong baru dalam industry perminyakan yaitu hydraulic fracturing (gambar dibawah).

Dan juga yang menjadikan teknologi ini semakin menantang adalah ancaman tentang dampak
yang dapat ditimbulkan kepada lingkungan ,baik berupa pencemaran air tanah oleh
kontaminasi metana ataupun kekeringan di daerah sekitar karena ekstraksi shale gas
membutuhkan air dalam jumlah yang sangat banyak.
Sehingga diperlukan solusi untuk menghadapi tantangan-tantangan ini demi ketahanan energi
bangsa.

10
Double-Kill Analisis Unconventional Energy sebagai Tonggak Ketahanan
Energi Nasional

Double-kill analisis merupakan 2 analisa mematikan yang merupakan solusi untuk


mengembangkan unconventional energy yang diharapkan mampu berperan sebagai tonggak
ketahanan energy nasional ditengah-tengah kondisi defisit energy dalam negeri.

1. Regulasi Fiskal Khusus untuk Industri Unconventional Energy

Pemerintah sejauh ini memang telah membuat peraturan untuk mendorong pemanfaatan
unconventional energy terutama untuk jenis yang sedang berkembang,yaitu CBM dan shale
gas . Untuk industry CBM sendiri regulasinya sudah dibuat sejak tahun 2006 dan sesuai road
map seharusnya pada tahun 2013 saja sudah produksi sebesar 100 MMSCFD pada 2013
namun dalam perealisasiannya baru menghasilkan 0.33 MMSCFD. [8]
Hal ini disebabkan karena pemerintah belum memiliki regulasi fiscal yang jelas dalam
pengelolaan energi unconventional sehingga membuat investor ragu untuk berinvestasi.
Sistem Production Sharing Contract (PSC) saat ini juga diterapkan pada pengelolaan
unconventional energy [13] dan nyatanya ini tidak dapat diterapkan pada industri
unconventional seperti CBM karena karakteristiknya berbeda, seperti pada proses eksplorasi
cadangan yang bisa diekspoitasi dari satu titik tidak sebanyak gas konvensional sehingga
membutuhkan pengeboran pada banyak sumur dalam suatu lapangan. Dalam sistem PSC
sumur yang kosong tidak akan diganti biayanya oleh pemerintah[12] sehingga semakin
banyak sumur yang dibor potensi kerugian investor semakin besar dan tidak ekonomis.
Sehingga dibutuhkan regulasi yang sesuai dengan karakteristik dari unconventional energy
per jenis energinya.

Sedangkan untuk unconventional energy jenis shale gas yang membutuhkan investasi yang
sangat mahal dalam hal teknologi terlebih di Indonesia yang biaya pengembangan shale gas
untuk tiap sumurnya lebih mahal dari negara lain karena kondisi daerahnya lebih sulit, yaitu
kisaran $ 8 juta/well dibanding dengan USA sebesar $2-3 juta/well [17]. Dan system PSC
yang menetapkan seluruh modal eksplorasi ditanggung oleh kontraktor kecuali mampu
berproduksi komersil sangat beresiko kepada investor. Sehingga system PSC adalah system
yang tidak tepat jika juga diterapkan pada unconventional energy jenis shale gas

11
2. Pemberian Berbagai Jenis Insentif Kepada Investor

Industri unconventional merupakan industry yang tergolong baru bahkan untuk CBM yang
sudah mulai dikembangkan sejak tahun1998 di Indonesia. Untuk mendukung percepatan pada
pengembangannya diperlukan insentif-insentif dari berbagai sisi kepada investor agar
berminat untuk berinvestasi.

a) Insentif Pajak
Pada dasarnya aturan-aturan yang mendasari pengelolaan unconventional energy tunduk pada
peraturan perundang-undangan dibidang pertambangan minyak dan gas bumi [13].
Dan sejauh ini telah ada beberapa insentif yang diberikan melalui kebijakan pengelolaaon
minyak dan gas bumi, yaitu
1. Pembebasan bea masuk atas impor barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas
bumi [14]
2. Pembebasan pajak pertambahan nilai atas impor barang untuk kegiatan usaha
eksplorasi minyak dan gas bumi [15]
3. Biaya operasi akan dikembalikan apabila menghasilkan produksi yang komersil.[16]

Namun pada kenyataannya industri ini masih kering investor, pemerintah harus mengevaluasi
diri. investor butuh untuk diberi insentif lebih, jika kita melirik industri hilir maka ada insentif
yang cukup menjanjikan yaitu tax holiday. Pada insentif ini suatu industry diberi kebebasan
membayar pajak selama kurun waktu tertentu, untuk industry hilir migas saat ini mendapat
tax holiday antara 2-20 tahun [9]. Industri unconventional energy merupakan industry yang
membutuhkan modal besar bahkan lebih dari migas konvensional, adanya tax holiday pada
industri hulu ini akan mempercepat Return of Investment sehingga akan menarik para
investor.

b) Insentif Modal

Berkaitan dengan solusi regulasi fiskal, system PSC dianggap tidak cocok karena terlalu
membebankan modal pada investor terlebih adanya ancaman kegagalan eksplorasi yang
menyebabkan kerugian yang sepenuhnya ditanggung oleh investor. Pemerintah memang
harus benar-benar membuat system khusus untuk jenis energi ini dan terdapat sistem
pembagian modal sehingga resiko dapat ditanggung bersama.

12
Kesimpulan

Percepatan pengembangan unconventional energy sangat penting untuk dilakukan demi


ketahanan energi nasional sehingga upaya-upaya untuk menarik investor kedalam industry ini
menjadi sangat-sangat penting dilakukan melalui kejelasan regulasi ataupun pemberian
insentif-insentif, selain untuk percepatan pengembangan kehadiran investor akan menciptakan
lapangan pekerjaan dan menjadi sebuah wahana transfer of knowledge mengingat teknologi
yang dipakai adalah teknologi baru sehingga dapat diharapkan Indonesia mampu mandiri
dalam sisi teknologi untuk pengembangannya di masa depan.

Referensi
[1]` Dewan Energi Nasional (www.den.go.id/index.php/booklet/bukuketahananenergi)

[2] Outlook Energi 2014, hal 36-50, Kementrian Energi Sumber Daya dan Mineral.

[3] Badan Pusat Statistik ,Kementrian Energi Sumber Daya dan Mineral.

[4] http://www.esdm.go.id/berita/37-umum/3516-dewan-energi-nasional-rubah-
komposisi- bauran-energi-nasional.html

[5] http://www.esdm.go.id/berita/batubara/44-batubara/3278-sekilas-tentang-coalbed-
methane-cbm.html

[6] Buku Investasi ESDM Indonesia, hal.37, Prokum ESDM.

[7] INDONESIAS UNCONVENTIONAL RESOURCES: POLICIES, REGULATION


AND OPPORTUNITIES ON UPSTREAM OIL & GAS BUSINESS
DEVELOPMENT I, hal.5, Kementrian Energi Sumber Daya Mineral.

[8] Rencana Strategis KESDM 2015-2019, hal.67, Kementrian Energi Sumber Daya
Mineral.

[9] Peraturan Menteri Keuangan nomor 130/PMK.011/2011

[11] Pertamina, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Pusat Statistik. 2013.

[12] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2010

[13] Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.36 Tahun 2008

[14] Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.011 /2007

[15] Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 178/PMK.011/2007

[16] Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010

[17] http://mobile.migas.esdm.go.id/post/read/Investasi-Shale-Gas-Indonesia-Capai-US$-
8- Juta/Sumur

13
14

Вам также может понравиться