Вы находитесь на странице: 1из 24

BAB III

GAMBARAN UMUM INDUSTRI ROKOK DAN


PERKEMBANGAN CUKAI TEMBAKAU DI
INDONESIA

A. Pertimbangan Utama Pengembangan Kebijakan Cukai di Indonesia

Cukai dirancang untuk memenuhi berbagai tujuan yang sangat bervariasi.Selain


untuk meningkatkan pendapatan negara, cukai dapat dirancang untuk tujuan
kesehatan, lingkungan, ekonomi, ketenagakerjaan ataupun tujuan sosial lainnya yang
berbeda di antara negara-negara. cukai menjadi sumber penerimaan pajak yang sangat
penting bagi negara. Sebagai contoh, kontribusi cukai terhadap total penerimaan pajak
negara di Laos dan Thailand berada pada angka sekitar 21%, Kamboja hampir
19%, serta di Indonesia, Malaysia, Filipina dan Vietnam sebesar 8-10% (Grafik 1).

Grafik 1: Rasio Penerimaan Cukai Negara ASEAN tahun 2013

Sumber : Haver Analytics (2013), *IMF Government Finance Statistics (2012), **Vietnam Ministry of Finance (2014), ***Cnossen
(2013), dan ****IMF Government finance Statistic
Pemerintah umumnya memiliki dua tujuan utama dalam menetapkan
kebijakan cukai tembakau di negaranya:

1. Menghasilkan pendapatan negara untuk anggaran pemerintah. Hal ini sangat


penting bagi sejumlah negara. cukai pada produk tembakau berkisar hampir 10%
dari penerimaan pajak total pemerintah di Indonesia dan sekitar 2% untuk
Singapura dan Malaysia.
2. Mengurangi konsumsi tembakau dengan alasan kesehatan. Banyak
pemerintahan yang memiliki strategi untuk mengurangi konsumsi tembakau,
salah satu komponennya melalui kebijakan cukai, disertai kebijakan untuk
membatasi konsumsi tembakau, langkah-langkah penegakan hukum dan edukasi
publik.

Grafik: Persentase Penerimaan Cukai Tembakau dari Total Penerimaan Pajak


Tahun 2012-2013

Sumber : Law on Amendment of and Supplement to a Number of Articles of the Law on Excise Tax,
Februari 2014.
Beberapa pemerintahan juga mungkin memiliki tujuan lainnya, seperti:

1. Mendukung sektor pertanian dan sektor ritel, serta rantai pasokan


tembakau, di mana sektor ini merupakan penggerak penting bagi pendapatan
negara dan lapangan kerja masyarakat- isu ini sangat penting di beberapa negara
berkembang;
2. Mendorong investasi dan lapangan kerja sektor manufaktur, serta kegiatan
distribusi; dan
3. Mendukung industri tradisional di negara tertentu, di mana produksi
berbagai produk hasil tembakau merupakan industry padat karya dan
diproduksi secara lokal (misalnya rokok "kretek" buatan tangan di Indonesia)

Meski demikian, apa pun tujuan utama pembuat kebijakan, sangat penting
dipahami bahwa kebijakan cukai tembakau dari berbagai negara yang ditetapkan oleh
pemerintahnya sendiri dalam konteks situasi ekonomi dan sosial, kedaulatan pajak
sepenuhnya harus dihormati. Sejumlah faktor mungkin dapat mempengaruhi tindakan
yang dapat dilakukan untuk mengoptimalisasi cukai tembakau bagi tiap negara,
termasuk tarif cukai dan tingkat harga di negara-negara tetangga, serta risiko terkait
seperti perdagangan ilegal yang dapat mendistrosi pasar dan mengurangi
pendapatan pemerintah. Namun demikian, prinsip kedaulatan pajak suatu negara harus
mendasari setiap diskusi tentang reformasi kebijakan cukai, bahkan dalam konteks
penciptaan pasar tunggal seperti MEA.

Pentingnya kedaulatan pajak dalam penentuan kebijakan cukai tembakau


juga telah dimasukkan dalam agenda Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu
Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC). Pasal 6 (pengaturan
harga dan pajak untuk mengurangi permintaan tembakau) secara eksplisit menyatakan:

"Tanpa mengurangi hak berdaulat para Pihak untuk menentukan dan


menetapkan kebijakan perpajakan mereka, masing-masing Pihak harus
mempertimbangkan tujuan kesehatan nasional tentang pengendalian
tembakau.
Jadi, terdapat beberapa aspek cukai tembakau yang akan mendapat manfaat dari
adanya standardisasi, keragaman kondisi ekonomi dan sosial dari negara
menunjukkan bahwa pendekatan "satu cara untuk semua" (one size fits all) bagi
kebijakan cukai tembakau tidak akan sesuai, dan hak-hak pemerintah yang berdaulat
untuk menentukan kebijakan pajak mereka sendiri tidak boleh dikompromikan Lebih
dari itu, adanya control perbatasan akan mereduksi kebutuhan untuk menyelaraskan
tingkat tarif cukai antar negara. Terdapat empat elemen penting yang dapat
memberikan kontribusi pada desain dan reformasi sistem cukai tembakau, yaitu:

1. Definisi yang jelas dan tepat dari kategori produk tembakau;


2. Pembentukan basis dan struktur cukai yang mendukung pendapatan negara yang
stabil dan dapat diprediksi dari barang impor (sudden major inflows);
3. Menetapkan tarif cukai untuk memenuhi tujuan pemerintah tanpa mendorong
perdagangan ilegal; dan
4. Memastikan administrasi pajak yang efisien dan efektif.

B. PERKEMBANGAN INDUSTRI ROKOK DI INDONESIA

Nicotiana tabacum atau lebih dikenal dengan tembakau adalah sejenis


tumbuhan herbal dengan ketinggian kira-kita 1,8 meter dan besar daunnya yang
melebar dan meruncing dapat mencapai sekurang-kurangnya 30 cm. Tembakau
masuk ke Indonesia ketika dibawa oleh orang Belanda tahun 1596 oleh Cornelis
De Houtman di Banten. Sebelumnya tidak ada kebiasaan merokok atau sejarah
yang berhubungan dengan tembakau, namun 10 tahun sejak kedatangan Cornelis
De Houtman tersebut, tembakau langsung terkenal di kalangan kerajaan Banten.
Kata tembakau sendiri lebih menyerupai bahasa Portugis Tobacco daripada
bahasa Belanda Tabak. Asal mula istilah rokok di Indonesia berasal kebiasaan
merokok di daerah-daerah di kepulauan Maluku, yaitu Ternate, Tidore, dan Makian
sekitar pertengahan abad ke-17.
Perkembangan rokok semakin pesat di Indonesia terlebih di pulau Jawa
dimulai di Kudus pada tahun 1890 kemudian menyebar ke berbagai daerah lain di
Jawa Tengah antara lain Magelang, Surakarta, Pati, Rembang, Jepara, Semarang,
juga ke Daerah Istimewa Yogyakarta. Perkembangan rokok di Kudus ditandai
dengan lahirnya perusahaan rokok pertama bernama Tjap Bal Tiga oleh H.
M.Nitisemito. Bal Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus. Setelah itU
berdiri 12 perusahaan rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan 7 pabrik kecil.
Setelah perusahaan rokok besar seperti Bal Tiga runtuh maka perusahaan besar
lainnya semakin tumbuh pesat.
Perkembangan industri rokok di Indonesia ditandai dengan lahirnya
perusahaan rokok besar yang menguasai pasar dalam industri ini, yaitu PT.
Gudang Garam, Tbk yang berpusat di Kediri, PT. Djarum yang berdiri tanggal
25 Agustus 1950 berpusat di Kudus oleh Oei Wie Gwan, PT. HM Sampoerna,
Tbk yang berdiri tahun 1910 dimulai dengan usaha rumah tangga berpusat di
Surabaya, PT. Bentoel yang berpusat di Malang yang berdiri tahun 1931 dan PT.
Nojorono yang berpusat di Kudus. Rokok Indonesia memiliki cita rasa yang
berbeda dengan rokok luar negeri yang biasa dikenal dengan nama rokok
putih.Rokok Indonesia, yang dikenal dengan rokok kretek (clove cigarette),
mempunyai cita rasa yang berbeda karena adanya pemanfaatan bahan baku
cengkeh sebagai tambahan aroma selain tembakau sebagai bahan pokoknya.
Dalam sejarah perkembangannya, produksi rokok cenderung mengalami
peningkatan. Hal ini disebabkan karena makin dikenalnya rokok kretek sehingga
permintaan untuk rokok kretek meningkat. Sebelum tahun 1975 industri rokok
Indonesia masih didominasi oleh rokok putih yang diimpor. Setelah tahun 1975
industri rokok mampu menjadi primadona di negerinya sendiri.
Baik di Indonesia maupun seluruh dunia, rokok buatan mesin adalah produk
tembakau paling populer. Namun, terdapat banyak jenis produk tembakau yang
dibeli konsumen,tergantung pada preferensi mereka dengan popularitas jenis
tertentu dari produk tembakau yang sangat bervariasi di pasar dan kelompok
konsumen.
Salah satu cara untuk mengkategorikan produk tembakau dapat dilihat dari
para perokok dan mereka yang mengkonsumsi tembakau bukan dalam bentuk
rokok (tanpa asap). Selain rokok, produk tembakau lainnya diantaranya termasuk
bidis, cerutu, lisong, cerutu kecil, rokok tembakau linting sendiri (roll your
own tobacco), tembakau pipa, dan produk-produk lain seperti rokok kretek
(tembakau dicampur dengan cengkeh). Sedangkan, produk tembakau tanpa asap
diantaranya tembakau kunyah, seperti tembakau sirih, dan tembakau shisa.
Pemerintah sering menerapkan tarif cukai yang berbeda untuk produk
tembakau yang berbeda dalam mencapai tujuan kebijakan tertentu. Oleh karena
itu, definisi produk yang jelas diperlukan untuk menentukan tarif cukai yang
sesuai untuk diterapkan pada produk tertentu dan sebagai upaya untuk menutup
celah penghindaran pajak.
Selain itu, definisi tersebut perlu ditinjau secara berkala dan diperbarui untuk
merespon inovasi produk yang dilakukan produsen, termasuk produk yang dibuat
karena dasar perbedaan tarif cukai dengan produk yang dapat dipertimbangkan
sebagai produk subtitusi. Hal ini terjadi, misalnya, di Uni Eropa hingga 2011,
dimana berdasarakan pengakuan para produsen mengenai biaya produksi mereka
yang tinggi, cerutu dan cigarillos dikenakan tarif cukai yang jauh lebih rendah
dibandingkan rokok konvensional. Hal ini menciptakan insentif bagi produsen
untuk mengembangkan produk alternative -yaitu cigarillos Filter- yang memenuhi
definisi kriteria cerutu dan cigarillos sehingga bisa dikenakan tarif cukai yang
lebih rendah dari rokok konvensional, tetapi jenis ini masih diterima
konsumen sebagai pengganti dari rokok konvensional. Untuk menutup celah
peraturan cukai ini (loopholes), revisi yang sangat rinci terkait definisi cerutu dan
cigarillos harus dibuat. Seperti contoh diatas, menjadi suatu hal yang penting
untuk membuat definisi produk tembakau yang jelas dan pembuat kebijakan harus
hati-hati dalam menerapkan tarif cukai yang berbeda pada barang kena pajak yang
berbeda mengingat bahwa perbedaan tarif cukai yang besar akan memberikan
insentif untuk pengembangan produk ilegal.
Standarisasi definisi produk tersebut untuk tujuan pengenaan cukai dapat
menguntungkan tidak hanya dalam mendorong pelaksanaan praktek terbaik
administrasi cukai di seluruh wilayah, tetapi juga dalam memfasilitasi peningkatan
intra perdagangan regional. Perbedaan definisi akan mempersulit perdagangan
lintas batas jika produk yang diproduksi suatu negara dengan spesifikasi yang
sesuai dengan aturan domestik dan pajak di negara tersebut tetapi mungkin tidak
memenuhi spesifikasi yang digunakan oleh mitra dagang potensial, sehingga
merusak manfaat ekonomi yang dapat dihasilkan dari peningkatan perdagangan
dan penciptaan dari pasar dan basis produksi tunggal. Pendekatan seperti ini dapat
dilihat sebagai pengembangan menuju standardisasi dalam perdagangan regional
antar negara ASEAN yang dilakukan melalui ASEAN Harmonized Tariff
Nomenclature (AHTN).
Uni Eropa menghadapi tantangan yang sama dalam standarisasi definisi
produk tembakau, dimana kawasan ini memiliki empat kategori utama untuk
produk tembakau yang diproduksi: rokok, cerutu dan cigarillos, fine cut
tobacco dan tembakau rokok lainnya (Tabel 1). Bentuk tersebut menjadi dasar
bagi pendekatan yang harmonis untuk mendefinisikan produk, dan dapat menjadi
contoh yang berguna bagi negara-negara lain untuk diadaptasi-meskipun sejumlah
definisi perlu memperhitungkan fitur tertentu dari pasar produk tembakau, seperti
pentingnya rokok kretek (cengkeh) di Indonesia, perbedaan antara berbagai
kategori rokok linting sendiri di Thailand atau konsumsi cerutu dan sirih dengan
tembakau di Myanmar.
Contoh lain yang dapat menjadi salah satu referensi adalah yang digunakan di
Amerika Serikat, di mana Undang-undang Federal (Bagian 5702 (c) Judul 26 dari
Kode Amerika Serikat) mendefinisikan produk tembakau antara lain cerutu,
rokok, tembakau tanpa asap, pipa tembakau dan tembakau linting sendiri.
Tembakau tanpa asap berarti setiap tembakau atau tembakau kunyah. Definisi produk
tembakau ditunjukkan pada table berikut:

Tabel
Pendefinisian Produk Industri Rokok di Uni Eropa

Produk Definisi

Rokok (a) Gulungan tembakau yang dapat dihisap dan yang tidak termasuk
cerutu atau cigarillos;

(b) Gulungan tembakau yang diproduksi non-industri sederhana,


yang dimasukkan ke dalam tabung rokok-kertas;

(c) Gulungan tembakau yang, diproduksi non-industri


sederhana, yang dibungkus kertas rokok.
Cerutu dan cigarillos (a) Gulungan tembakau dengan pembungkus luar tembakau alami;

(b) Gulungan tembakau ditumbuk dengan isi campuran dan dibungkus


dengan pembungkus luar dengan warna normal cerutu, tembakau yang
dibentuk kembali, meliputi produk secara penuh, termasuk, bila sesuai,
tetapi tidak termasuk filter, dalam kasus ujung cerutu, ujung, di
mana satuan berat, tidak termasuk filter atau corong, tidak kurang dari
2,3 g dan tidak lebih dari 10 g, dan lingkar setidaknya sepertiga dari
panjangnya tidak kurang dari 34 mm.

Tembakau Rokok (a) Tembakau yang telah dipotong atau dipisah, diputar atau ditekan
menjadi blok dan mampu menghasilkan asap tanpa pengolahan industri
lebih lanjut;

(b) Tembakau bekas disiapkan untuk penjualan eceran yang tidak


termasuk dalam Pasal 3 dan Pasal 4 (1) dan yang dapat dibuat untuk
rokok. Untuk tujuan pasal ini, tembakau bekas dianggap sebagai sisa-
sisa daun tembakau dan produk yang diperoleh dari pengolahan
tembakau atau pembuatan produk tembakau.

Tembakau Iris (Fine(a) Tembakau rokok di mana lebih dari 25% berat dari partikel
cut) tembakau memiliki lebar potong kurang dari 1,5 mm dianggap
tembakau fine cut untuk melinting rokok.

(b) pada negara-negara di asean juga menganggap tembakau rokok


adalah lebih dari 25% berat dari partikel tembakau memiliki lebar
dipotong 1,5 mm atau lebih dan yang dijual atau dimaksudkan untuk
dijual dari sigaret linting menjadi tembakau fine cut untuk gulungan
rokok.
Tembakau rokokSemua tembakau rokok yang berada di luar definisi tembakau
lainnya iris.

Sumber: European Council Directive 2011/64/EU


Tabel:
Definisi Produk Rokok

Produk Definisi

Rokok Rokok adalah

(1) Setiap gulungan tembakau yang dibungkus kertas atau zat apapun
yang tidak mengandung tembakau, dan

(2) Setiap gulungan tembakau yang dibungkus semua bahan yang


mengandung tembakau, yang karena penampilannya, jenis tembakau
yang digunakan dalam filler, atau kemasan dan pelabelan, mungkin akan
ditawarkan kepada, atau dibeli oleh konsumen sebagai sigaret seperti
dimaksud pada ayat (1).

Cerutu "Cerutu berarti setiap gulungan tembakau yang dibungkus daun


tembakau atau zat yang mengandung tembakau (selain setiap gulungan
tembakau untuk sigaret).

Rokok LintingIstilah "Linting sendiri" berarti setiap tembakau yang, karena sifatnya
Sendiri/Roll Yourpenampilan, jenis, kemasan, atau pelabelan, cocok untuk digunakan dan
Own Tobacco mungkin ditawarkan kepada, atau dibeli oleh konsumen tembakau untuk
membuat rokok atau cerutu, atau untuk digunakan sebagai pembungkus.

Tembakau Pipa Istilah " tembakau pipa" berarti setiap tembakau yang, karena sifatnya
penampilan, jenis, kemasan, dan pelabelan, sangat cocok untuk
digunakan dan mungkin ditawarkan kepada, atau dibeli oleh konsumen
tembakau untuk merokok menggunakan pipa.
Tembakau Tanpa (1) Tembakau tanpa asap: Istilah "tembakau tanpa asap" berarti
setiap tembakau atau tembakau kunyah.
Asap
(2) Tembakau Sedot (Snuff): Istilah " tembakau sedot" berarti setiap
potongan halus, atau bubuk tembakau yang tidak dimaksudkan untuk
merokok.

(3) Tembakau Kunyah: Istilah "tembakau kunyah" berarti setiap daun


tembakau yang tidak dimaksudkan untuk merokok.
Sumber: Section 5702(c) of Title 26 of the United States Code

Perkembangan industri rokok ini sampai saat ini dapat dikatakan baik bila
dilihat dari segi industri rokok skala besar, menengah maupun kecil. Departemen
Keuangan seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan No.
134/PMK.04/2007 membedakannya dari banyaknya jumlah batang rokok yang
diproduksi dan penggolongannya menggunakan istilah golongan I untuk industri
besar, golongan II untuk industri menengah dan golongan III untuk industri kecil.
Perbandingannya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel
Perbandingan Klasifikasi Ukuran Industri Rokok
Departemen Keuangan
Ukuran
Jumlah pekerja
Klasifikasi (PMK No. 134/PMK.04/2007)
Industri Besar 100 atau lebih Lebih dari 2 milyar batang
pekerja ( 2 milyar batang)

Industri 20-99 pekerja Lebih dari 500 juta batang tetapi


Menengah tidak lebih dari 2 milyar batang
( 500 juta 2 milyar batang)

Industri Kecil 5-19 pekerja Tidak lebih dari 500 juta batang
( < 500 juta batang )

Perusahaan-perusahaan rokok di Indonesia tidak hanya memasarkan


produknya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Hal ini didukung dengan
banyaknya produksi rokok yang dihasilkan baik oleh industri besar, menegah, dan
kecil sehingga memungkinkan bagi Indonesia untuk menjamah pasar ekspor rokok
di dunia. Salah satu jenis rokok yang sudah merambah pasar internasional adalah
rokok kretek. Hal ini terbukti dengan tujuan ekspor rokok kretek Indonesia yang
besar ke negara Amerika serikat dan belgia.
Tabel
Ekspor Tembakau Menurut Negara Tujuan Utama, 2000-2015

Negara
2010 2011 2012 2013 2014 2015
Tujuan
Berat Bersih: ton
Sri Lanka 341,1 415,5 614,8 842,1 831,2 1.086,0
Amerika
Serikat 4.338,6 3.400,6 2.347,9 3.267,2 2.624,8 2.827,3
Republik
Dominika 424,0 345,2 1.171,9 1.037,6 688,7 753,3
Belanda 1.704,6 672,8 691,5 1.782,9 718,7 871,8
Perancis 116,5 989,6 464,0 184,4 939,3 187,8
Jerman 1.616,7 470,6 411,6 366,0 447,3 284,8
Belgia 4.193,4 4.120,6 2.628,9 3.062,3 1.964,7 992,7
Denmark 28,1 9,6 88,8 99,0 59,4 0,0
Spanyol 197,3 507,1 521,9 307,9 59,5 24,6
Rusia 3.386,6 715,8 705,2 237,2 209,6 117,8
11.647,
Jumlah 16.346,9 4 9.646,5 11.186,6 8.543,2 7.146,1

Nilai FOB: 000 US$


Sri Lanka 5.886,4 9.471,5 13.777,0 18.831,2 17.690,9 24.400,1
Amerika
Serikat 6.192,8 4.562,9 4.748,8 7.791,1 6.178,7 5.051,1
Republik
Dominika 2.757,5 743,3 4.709,1 8.939,9 8.831,2 7.310,1
Belanda 4.393,7 1.763,7 1.791,6 10.745,9 5.833,7 5.235,1
Perancis 17,0 352,2 221,1 95,4 515,0 113,8
Jerman 3.795,7 3.214,8 3.366,1 4.268,9 2.519,6 1.960,3
Belgia 15.951,5 17.084,3 12.025,4 14.183,6 9.541,6 3.653,6
Denmark 111,9 40,8 331,5 348,5 180,8 0,0
Spanyol 858,5 2.752,6 2.708,4 2.630,2 501,5 158,5
Rusia 4.072,8 923,8 598,1 270,3 360,2 164,4
Jumlah 44.037,8 40.909,9 44.277,1 68.105,0 52.153,2 48.047,0
Catatan: Diolah dari dokumen kepabeanan Ditjen Bea dan Cukai (PEB dan PIB) Dikutip dari Publikasi Statistik Indonesia
C. Sejarah Kebijakan Cukai Hasil Tembakau di Indonesia

Kebijakan Cukai Hasil Tembakau dimulai pada tahun 1932 berdasarkan


Stbl 1932 Nomor 517, yaitu dengan menetapkan tarif cukai sebesar 20%
(single tarif) untuk semua jenis hasil tembakau dan dihitung dari harga eceran
dengan menggunakan tarif advalorum. Tahun 1936 mulai dibedakan menurut
jenis hasil olahan tembakau. Tahun 1979 sistem cukai ditetapkan menurut jenis
produk dan skala produksi, semakin besar skala produksinya, semakin besar
cukainya. Pemerintah menetapkan tarif cukai dan Harga Jual Eceran (HJE) per
batang yang berbeda menurut jenis produk dan skala produksi.
Pada tanggal 1 April 1996 diberlakukan Undang-Undang Cukai No. 11
Tahun 1995 tentang Cukai. Dengan diberlakukannya UU Cukai tersebut maka
ordonansi Cukai Tembakau Stbl 1932 No. 517 tidak berlaku lagi. Berdasarkan
Undang-Undang Cukai No. 11 tahun 1995, pengenaan cukai berdasarkan tarif
setinggi-tingginya 250% dari harga jual pabrik atau 55% dari harga jual eceran.
Pelunasan pita cukai dengan melakukan pembayaran atau dengan pelekatan pita
cukai yang harus dilunasi pada saat pengeluaran Barang Kena Cukai dari pabrik
atau tempat penyimpanan. Untuk membantu pelaksaan undang-undang tersebut,
maka pada tanggal 16 Nopember 2009 disahkan Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 179/PMK.O11/2012 tentang Tarif Cukai
Hasil Tembakau yang telah tiga kali mengalami perubahan pertama
205/PMK.011/2014, kedua 198/PMK.010/2015 dan yang ketiga
147/PMK.010/2016. Pada peraturan tersebut, pengusaha pabrik rokok sudah
digolongkan dalam golongan pengusaha berdasarkan masing-masing jenis dan
jumlah produksi hasil tembakau yaitu pengusaha Sigaret Kretek Mesin (SKM),
Sigaret Putih Mesin (SPM) Sigaret Kretek Tangan (SKT), Sigaret Kretek Tangan
Filter (SKTF), Sigaret Putih Tangan (SPT), Sigaret Putih Tangan Filter (SPTF)
Sigaret Kelembak Kemenyan (KLM), Cerutu (CRT) dan rokok klobot (KLB),
Tembakau Iris (TIS), dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) .
TABEL

Setelah memastikan jenis hasil tembakau apa yang akan diproduksi, maka
pengusaha harus menentukan skala produksi industri rokok. Rokok yang
dihasilkannya agar dapat dijual ke pasaran harus dilekati dengan pita cukai. Untuk
kepentingan pengawasan Barang Kena Cukai dan penerimaan negara, Pengusaha
Pabrik Hasil Tembakau yang telah mendapatkan izin dari Departemen Perindustrian
wajib memiliki Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC).
Pengusaha agar mendapatkan NPPBKC sebagai pengusaha pabrik hasil tembakau
harus mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan c.q.Kepala Kantor
Pelayanan Bea dan Cukai dengan menggunakan PMCK-6 yang dilampiri dengan:
1. Berita acara pemeriksaan dan gambar denah lokasi atau bangunan pabrik.
2. Salinan atau fotokopi surat atau izin dari instansi terkait yang telah
ditandasahkan oleh pejabat yang berwenang, yaitu:
a. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemerintah Daerah setempat.
b. Izin berdasarkan Undang-Undang Gangguan dari pemerintah daerah
setempat atau izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
dari pemerintah daerah setempat.
c. Izin Usaha Industri atau Tanda Daftar Industri dari Departemen
Perindustrian.
d. Izin Usaha Perdagangan dari Departemen Perdagangan.
e. Izin atau rekomendasi dari Departemen Tenaga Kerja.
f. Nomor Pokok Wajib Pajak.
g. Surat Keterangan Catatan Kepolisian dari Kepolisian Republik Indonesia,
apabila pemohon merupakan orang pribadi.
h. Kartu Tanda Pengenal Diri, apabila pemohon merupakan orang pribadi.
i. Akte Pendirian Usaha, apabila pemohon merupakan Badan Hukum.
3. Surat pernyataan di atas materai yang cukup akan menyelenggarakan
pembukuan perusahaan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku
dan menyimpan dokumen, buku, dan laporan selama 10 (sepuluh) tahun pada
tempat usahanya.
4. Surat pernyataan di atas materai yang cukup bahwa NPPBKC yang diajukan
akan ditolak atau NPPBKC yang telah diberikan akan dibekukan dalam hal
nama pabrik yang bersangkutan memiliki kesamaan nama, baik tulisan maupun
pengucapannya dengan nama pabrik yang telah mendapatkan NPPBKC terlebih
dahulu atau atas permohonan/gugatan pengusaha pabrik lainnya yang
berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap bahwa nama pabrk yang disengketakan merupakan hak pemohon
Apabila permohonan diterima secara lengkap dan benar, Direktur Jenderal
Bea dan Cukai dalam jangka waktu 30 hari akan mengeluarkan Keputusan
Pemberian NPPBKC sebagai Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau. Pengusaha Pabrik
Hasil Tembakau yang memiliki NPPBKC yang diizinkan untuk memproduksi hasil
tembakau dengan jenis Sigaret Kretek Mesin dilarang untuk memproduksi Sigaret
Kretek Tangan dengan Filter.
Setelah pengusaha pabrik mendapatkan NPPBKC, pengusaha melakukan
permohonan penetapan Harga Jual Eceran atas merek hasil tembakau yang akan
dipasarkannya. Dalam permohonan penetapan HJE, pengusaha harus mengajukan
penetapan Harga Jual Eceran kepada Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan
Cukai atau Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai. Pengajuan
permohonan penetapan HJE ini tidak hanya dilakukan oleh pengusaha yang
memproduksi merek baru namun juga yang mengubah desain atau tampilan
kemasan penjualan eceran atas merek yang sudah ada penetapan HJE-nya. Formulir
permohonan tersebut harus dilampirkan dengan:
1. Dokumen cukai kalkulasi HJE hasil tembakau buatan dalam negeri;
2. Contoh kemasan penjualan eceran hasil tembakau yang akan diproduksi;
3. Daftar HJE untuk merek-merek hasil tembakau yang dimiliki dan/atau pernah
dimiliki;
4. Surat pernyataan di atas materai yang cukup bahwa merek/desain kemasan
yang dimohon Penetapan HJE-nya tidak memiliki kesamaan pada pokoknya
atau pada keseluruhannya dengan merek/desain kemasan yang telah dimiliki
atau dipergunakan oleh Pengusaha Pabrik lainnya

Permohonan yang diterima oleh Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan
Cukai, apabila telah dianggap benar dan lengkap akan diberikan jawaban/keputusan
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari. Dalam pengajuan penetapan HJE,
pengusaha pabrik tidak boleh mengajukan permohonan HJE merek baru yang lebih
rendah dari HJE hasil tembakau yang dimilikinya dan/atau yang pernah dimilikinya.
Ada satu kewenangan lagi yang dimiliki oleh Bea dan Cukai. Hal ini dibenarkan
oleh Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-30/BC/2007 tentang
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor
07/BC/2005 tentang Tata Cara Penetapan Harga Jual Eceran Hasil Tembakau yang
menyatakan Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atau Kepala Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai tanggal 8 Nopember 2007 dapat
membatalkan Keputusan Penetapan HJE suatu merek hasil tembakau dalam hal:

1. Merek/desain kemasan hasil tembakau yang bersangkutan memiliki kesamaan


nama maupun pengucapannya atau kemiripan dengan merek/desain kemasan
milik Pengusaha Pabrik sehingga tidak mudah untuk membedakannya, yang
telah terlebih dahulu dimiliki oleh Pengusaha Pabrik lainnya dan tercatat pada
administrasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; atau
2. Atas permohonan/gugatan Pengusaha Pabrik lainnya, yang berdasarkan
keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, bahwa
merek atau desain kemasan yang disengketakan merupakan hak merek
pemohon

Setelah pengusaha mendapatkan NPPBKC dan mempunyai merek dagangnya


sendiri, untuk mengeluarkan produksinya dari pabrik, pengusaha wajib melekati
produk hasil tembakau dengan pita cukai. Untuk penyediaan dan pemesanan pita
cukai diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-
31/BC/2007 tentang Penyediaan dan Pemesanan Pita Cukai Hasil Tembakau tanggal
8 Nopember 2007 dan dilengkapi dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Bea dan
Cukai Nomor SE-26/BC/2007 tentang Pelayanan dan Penyediaan Pita Cukai Pada
Bulan Januari 2008 tanggal 28 Desember 2007. Pengusaha yang dalam hal ini
adalah pengusaha pabrik atau importir hasil tembakau atau kuasanya wajib
mengajukan Permohonan Penyediaan Pita Cukai (P3C) yang merupakan dokumen
yang digunakan pengusaha untuk mengajukan permohonan penyediaan pita cukai
sebelum pengajuan CK-1. Dokumen Cukai CK-1 adalah dokumen pemesanan pita
cukai hasil tembakau.
Pita cukai hasil tembakau disediakan oleh dua pihak yaitu Kantor Pusat
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Kantor Pelayanan Utama dan Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai yang mengawasi pabrik atau tempat
usaha importir hasil tembakau. Pembagian penyediaan pita cukai hasil tembakau
untuk pengusaha pabrik:
1. Dengan total produksi semua jenis hasil tembakau dalam 1 (satu) tahun takwim
sebelumnya lebih dari 100.000.000 batang dan/atau gram, disediakan oleh
kantor pusat.
2. Dengan total produksi semua jenis hasil tembakau dalam 1 (satu) tahun takwim
sebelumnya sampai dengan 100.000.000 batang dan/atau gram, disediakan di
kantor pelayanan.

Kantor pusat dan kantor pelayanan dalam menyediakan pita cukai berdasarkan
pada P3C yang diajukan oleh pemohon. Untuk memesan atau mendapatkan pita
cukai, pengusaha mengajukan pemesanan pita cukai dengan menggunakan
dokumen pemesanan pita cukai (CK-1) kepada kepala kantor. Pengajuan CK-1 oleh
pengusaha harus dilengkapi dengan syarat-syarat antara lain:
a. Nama pengusaha atau kuasanya yang berhak menandatangani CK-1;
b. Nama dan alamat pengusaha;
c. NPPBKC;
d. Merek, HJE, dan tarif cukai dari jenis hasil tembakau yang dipesankan pita
cukainya;
e. Isi per kemasan hasil tembakau;
f. Jumlah lembar dan seri pita cukai yang dipesan; dan
g. Kebenaran perhitungan dan jumlah cukai, PPN, dan PNBP.

Pelunasan cukai pada hasil tembakau ditandai dengan pelekatan pita cukai
yang harus memenuhi tatacara dan prosedur pemesanan dan pelekatan pita cukai
seperti yang diatur dalam Bab 3 Pasal 7 ayat (3). Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 191/PMK.04/2009 atas perubahan Peraturan Menteri Keuangan dari Nomor
136/PMK.04/2007 tentang Bentuk Fisik Dan/Atau Spesifikasi Desain Pita Cukai
Hasil Tembakau Dan Minuman Mengandung Etil Alkohol tanggal 20 Nopember
2009 menyatakan pada setiap keping pita cukai hasil tembakau memuat 3 unsur
yaitu Harga Jual Eceran, Tarif Cukai, dan Tahun Anggaran. Peraturan Menteri
Keuangan tersebut diperjelas dengan adanya Peraturan Direktur Jenderal Bea dan
Cukai Nomor P - 33/BC/2008 atas perubahan dari Peraturan Direktur Jenderal Bea
dan Cukai Nomor P-32/BC/2007 tentang Desain Pita Cukai Hasil Tembakau dan
Minuman Mengandung Etil Alkohol Asal Impor tanggal 20 Nopember 2008. Pita
Cukai hasil tembakau disediakan berbentuk lembaran dalam tiga seri seperti dalam
tabel. Berikut ini:

TABEL
PERBEDAAN SERI I , SERI II DAN SERI III
Pembeda Seri I Seri II Seri III
Jumlah tiap lembar 120 keping 50 keping 150 keping
pita cukai hasil
tembakau
Ukuran setiap keping 0,8cm x 11,4 1,3 cm x 1,9 cm x 4,5 cm
pita cukai hasil cm 17,5cm
tembakau
Ukuran foil hologram 0,5 cm x 1,2 0,5 cm x 1,7 cm 0,5 cm x 2,3 cm
cm
Memuat lambang Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai,
teks BC, dan teks RI
Sumber: Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P - 33/BC/2008

Desain setiap keping pita cukai seri I, II, dan III paling tidak memuat:
1. Lambang negara Republik Indonesia;
2. Lambang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
3. Tarif cukai advalorum dan/atau tarif spesifik;
4. Angka tahun anggaran;
5. Harga jual eceran;
6. Teks REPUBLIK atau teks INDONESIA; dan
7. Teks CUKAI TEMBAKAU

Untuk memudahkan administrasi, penyimpanan, dan pendistribusian serta


untuk melaksanakan pasal 2 ayat (3) dan pasal 3 ayat (3) PMK
No.191/PMK.04/2009, pita cukai hasil tembakau disediakan dalam beberapa warna.
Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-32/BC/2007
warna pita cukai hasil tembakau dibedakan menjadi:
1. Warna merah dominan dikombinasi warna hijau, digunakan untuk hasil
tembakau dari jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM),
Sigaret Kretek Tangan (SKT), Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF), dan
Tembakau Iris (TIS) yang diproduksi oleh Pengusaha Pabrik Golongan I;
2. Warna biru dominan dikombinasi warna merah, digunakan untuk hasil tembakau
dari jenis SKM, SPM, SKT, SKTF, dan TIS yang diproduksi oleh Pengusaha
Pabrik Golongan II,

3. Warna jingga dominan dikombinasi warna kuning, digunakan untuk hasil


tembakau dari jenis;
a. SKM, SPM, SKTF, dan TIS yang diproduksi oleh Pengusaha Pabrik
Golongan III;
b. Sigaret Kelembak Menyan (KLM), Rokok Daun atau Klobot (KLB), Sigaret
Putih Tangan (SPT), Cerutu (CRT), dan Hasil Pengolahan Tembakau
Lainnya (HPTL)
4. Warna hijau dominan dikombinasi warna kuning, digunakan untuk hasil
tembakau dari jenis SKT yang diproduksi oleh Pengusaha Pabrik Golongan III;
5. Warna ungu dominan dikombinasi warna hijau, digunakan untuk hasil
tembakau impor untuk dipakai

D. TARIF CUKAI TEMBAKAU


Besarnya tarif cukai ditentukan dari dua macam tarif yaitu tarif advalorum dan
tarif spesifik. Indonesia sistem cukai spesifik tetapi dengan tingkatan tarif cukai
yang berbeda. Indonesia memiliki memiliki sistem yang paling kompleks dan juga
termasuk salah satu sistem yang paling kompleks secara global, terdapat beberapa
tingkatan tarif cukai tergantung pada jenis rokok, apakah rokok kretek buatan
tangan, rokok kretek buatan mesin atau rokok konvensional atau dikenal
dengan rokok putih", dan lebih lanjut terdapat sub-kategori lagi tergantung pada
volume produksi dan estimasi harga jual eceran;

TABEL
TABEL
Selain itu, seperti juga pajak pertambahan nilai (PPN) / pajak barang dan jasa
(Goods and Services Tax) atau pajak penjualan (sales tax), beberapa negara
menerapkan pajak khusus lainnya pada rokok, seperti Pajak Provinsi, Pajak
Kesehatan dan Pajak TV di Thailand; Pajak Penerangan Umum di Kamboja;
Pajak Daerah di Indonesia; dan Dana Nasional untuk Pencegahan dan
Pengendalian Tembakau di Vietnam.
Pilihan untuk struktur cukai tembakau (yaitu, apakah itu spesifik, ad valorem
atau sistem mixed campuran) adalah salah satu aspek dari kebijakan yang harus
ditentukan sesuai dengan keadaan negara masing- masing, di bawah prinsip
kedaulatan pajak negara. Namun, terdapat perbedaan penting antara sistem cukai
spesifik dan ad valorem yang harus diperhatikan dalam menetapkan kebijakan cukai
produk tembakau. Sistem cukai spesifik berkaitan dengan jumlah pajak karena
ukuran fisik produk tembakau yang dibeli, misalnya, jumlah nominal per batang
(berdasarkan unit) atau berat tembakau (berdasarkan berat barang). Untuk sistem
cukai spesifik berdasarkan unit, hal ini jelas penting untuk mendefinisikan dengan
benar apa yang dimaksud satuan unit.
Poin penting terkait struktur cukai spesifik untuk produk tembakau yaitu :
1. Sederhana dalam hal definisi, kemudahan kalkulasi dan administrasi dalam
pemungutan, seperti jumlah batang atau berat tembakau yang lebih mudah
untuk diukur dan dimonitor dibandingkan nilai tunai-nya;
2. Nilai pendapatan cukai-nya relatif dapat terprediksi dan stabil karena hanya
tergantung pada volume barang yang dijual di pasar - dalam kasus sistem tarif
tunggal (single tier specific system), perbedaan harga dari berbagai merek tidak
mempengaruhi total pendapatan cukai (meskipun masih akan mempengaruhi
pendapatan dari PPN / GST / pajak penjualan);
3. Pendapatan bersih dari penerimaan cukai cenderung lebih tinggi karena
administrasi yang sederhana dapat mengurangi biaya pemungutan cukai
dibandingkan dengan sistem cukai ad valorem;
4. Jika pembuat kebijakan ingin menggunakan instrument cukai untuk mengurangi
konsumsi, system cukai spesifik lebih sesuai karena secara langsung berkaitan
dengan volume konsumsi. Selain itu, dalam hal ini, sudah sepantasnya semua
rokok harus dikenakan tarif cukai yang sama karena rokok murah sama berbahaya
dibandingkan rokok yang lebih mahal; serta
5. Nilai cukai dapat dengan mudah di indeksasi ke tingkat inflasi harga konsumen
untuk memastikan bahwa nilai riil cukai dapat dipertahankan.

Sebaliknya, dalam sistem ad valorem, tarif cukai dikenakan berdasarkan dengan


nilai jual produk. Di bawah kondisi seperti berikut:

1. Dampak dari cukai itu sendiri terhadap harga produk, dan kemungkinan pergeseran
konsumsi antara produk tembakau, membuat nilai cukai dari sistem ad valorem
sulit untuk diprediksi dibandingkan sistem spesifik;
2. Pendapatan negara sangat tergantung dari preferensi konsumen terhadap merek.
Ketika konsumen beralih ke merek dengan harga lebih murah maka penerimaan
cukai dapat berkurang. Demikian pula, jika konsumen bereaksi terhadap kenaikan
harga yang didorong atas kenaikan cukai, mereka akan beralih ke produk lebih
murah (dengan tarif cukai lebih rendah), penerimaan cukai mungkin akan jauh
lebih rendah dari target penerimaan cukai dari tarif yang lebih tinggi (lihat Kotak 1
untuk contoh masalah di Thailand, di mana kenaikan tarif cukai di bawah sistem ad
valorem yang menyebabkan pelebaran perbedaan harga yang mengakibatkan
pergeseran konsumsi yang lebih besar ke produk dengan harga (tarif cukai) yang
lebih rendah;
3. Menciptakan insentif untuk mengubah perilaku perusahaan rokok. Produsen
tembakau secara efektif menetapkan nilai dasar (acuan) untuk pengenaan tarif
cukai ad valorem, meningkatkan insentif bagi produsen individu dalam
menurunkan biaya dan kualitas untuk mengurangi harga dalam upaya meraih
pangsa pasar. Kondisi ini berpotensi menyebabkan perang harga yang berdampak
pada pendapatan pajak secara keseluruhan yang lebih rendah dan mengurangi
peran instrument cukai untuk pengurangan konsumsi;
4. Biaya pemungutan cukai dengan sistem ad valorem di produk tembakau cenderung
lebih tinggi daripada sistem spesifik. Kompleksitas sistem ad valorem lebih besar,
yang membutuhkan pemantauan birokrasi dan audit untuk harga jual sebelum /
sesudah pajak, serta volume yang dijual. Biaya-biaya tersebut, dan ruang lingkup
untuk memanipulasi harga sebelum pajak seperti yang dijelaskan di bawah ini,
cenderung mengurangi pendapatan bersih dari cukai produk tembakau;
5. Sistem cukai ad valorem tidak selalu menyesuaikan secara otomatis terhadap
inflasi Indeks Harga Konsumen dalam upaya mempertahankan nilai rill cukai.
Harga yang dibebankan kepada konsumen dapat naik atau turun sesuai dengan
perubahan harga produsen, namun kemungkinan terdapat tingkat korelasi yang
rendah antara harga pada tingkat produsen dan di tingkat konsumen; dan
6. Sistem cukai ad valorem rentan terhadap manipulasi yang menyebabkan
penghindaran pajak. Secara khusus, dapat terjadi "under-valuation" yang dilakukan
oleh produsen pada harga jual bersih pabrik (Net Ex Factory Price), daripada harga
jual eceran (Retail Selling Price), yang diterapkan sebagai basis cukai. Hal ini dapat
menyebabkan perusahaan membentuk struktur entitas ganda untuk menghindari
pajak, dengan penjualan unit manufaktur/barang pada harga jual bersih pabrik yang
artifisial (lebih rendah) untuk perusahaan distribusi/pemasaran. Demikian pula,
ketika cukai dikenakan pada harga grosir,banyaknya layer dalam saluran distribusi
dapat menyebabkan permasalahan dan konflik dalam penentuan harga dasar
pengenaan cukai.

Perbedaan sistem cukai ad valorem dan spesifik dengan jelas menunjukkan


bahwa banyak negara lebih cenderung menggunakan sistem cukai spesifik dari waktu
ke waktu karena kemudahan administrasi dan juga stabilitas serta prediksi pendapatan
negara yang lebih baik. Namun, perlu digaris bawahi bahwa langkah tersebut perlu
melihat realitas pasar (misalnya, faktor yang mempengaruhi pasar seperti
banyaknya perusahaan swasta atau BUMN dalam industri ini) dan mungkin hal
tersebut tidak mudah bagi masing-masing negara untuk cepat beralih dari sistem cukai
ad valorem ke sistem cukai spesifik atau dari banyak nya tingkat tarif cukai (multi tier)
ke tarif tunggal spesifik (single tier). Lebih lanjut, langkah pertama dalam
mengurangi insentif atas adanya manipulasi oleh produsen adalah beranjak dari sistem
cukai ad valorem berbasis harga jual bersih pabrik (NEFP) ke basis harga jual eceran
(RSP)

Вам также может понравиться