Вы находитесь на странице: 1из 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan


lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan
fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan
memperbaiki kerusakan yang terjadi (Boedi, 2006).

Penyakit utama yang menyerang lansia ialah Pemberian obat atau terapi untuk
kaum lansia, memang banyak masalahnya, karena beberapa obat sering beinteraksi.
Kondisi patologi pada golongan usia lanjut, cenderung membuat lansia
mengkonsumsi lebih banyak obat dibandingkan dengan pasien yang lebih muda
sehingga memiliki risiko lebih besar untuk mengalami efek samping dan interaksi
obat yang merugikan (Anonim, 2004).

Hipertensi, gagal jantung dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes
mellitus, gangguan fungsi ginjal dan hati. Selain itu, juga terjadi keadaan yang sering
mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan badan,
penglihatan dan pendengaran. Semua keadaan ini menyebabkan lansia memperoleh
pengobatan yang banyak jenisnya (Darmansjah, 1994).

Maka dari itu dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai
penggunaan obat pada orangtua (geriatri). Bagaimana batasan penggunaannya,
penggolongannya, dan pemilihan obat yang akan digunakan.

1
1.2 Rumusan Masalah

a. Apa itu pelayanan lansia (lanjut usia)?


b. Apa sajakah Ciri-ciri lansia?
c. Masalahmasalah apa sajakah yang timbul pada lansia?
d. Bagaimana perubahan famakokinetik pada lansia?
e. Bagaimana perubahan famakodinamik pada lansia?
f. Apa saja permasalahan terkait obat pada lansia?
g. Apa saja tujuan terapi obatnya?
h. Apa saja obat yang sering diresepkan pada lansia?

1.3 Tujuan

a. Memenuhi tugas mata kuliah Farmakoterapi


b. Untuk mendapatkan gambaran mengenai defenisi geriatri (lansia), perubahan
farmakokinetik dan farmakodinamika obat pada geriatri, obat yang sering
diresepkan, efek samping obat dan pedoman penggunaan obat pada geriatri.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lanjut Usia (Geriatri)


A. Definisi Lanjut Usia (Geriatri)

Dalam buku Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya Geriatri adalah ilmu
tentang merawat orang yang berusia lanjut terhadap penyakitnya. Geriatri dapat juga
diartikan sebagai cabang ilmu kedokteran yang mempelajari penyakit lanjut usia
(Maryam dkk, 2008). Menurut Bernice Neugarten (1968) James C. Chalhoun (1995)
masa tua adalah suatu masa dimana orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya.
Badan kesehatan dunia (WHO) menetapkan 65 tahun sebagai usia yang menunjukkan
proses penuaan yang berlangsung secara nyata dan seseorang telah disebut lanjut usia.
Lansia banyak menghadapi berbagai masalah kesehatan yang perlu penanganan
segera dan terintegrasi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut
usia menjadi 4 yaitu : usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, Lanjut usia
(elderly) 60 -74 tahun, lanjut usia tua (old) 75 90 tahun dan usia sangat tua (very
old) diatas 90 tahun. Sedangkan menurut Prayitno dalam Aryo (2002) mengatakan
bahwa setiap orang yang berhubungan dengan lanjut usia adalah orang yang berusia
56 tahun ke atas, tidak mempunyai penghasilan dan tidak berdaya mencari nafkah
untuk keperluan pokok bagi kehidupannya sehari-hari. Saparinah (1983) berpendapat
bahwa pada usia 55 sampai 65 tahun merupakan kelompok umur yang mencapai
tahap penisium, pada tahap ini akan mengalami berbagai penurunan daya tahan tubuh
atau kesehatan dan berbagai tekanan psikologis. Dengan demikian akan timbul
perubahan-perubahan dalam hidupnya. Dari berbagai penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa lanjut usia merupakan periode di mana seorang individu telah
mencapai kemasakan dalam proses kehidupan, serta telah menunjukan kemunduran
fungsi organ tubuh sejalan dengan waktu, tahapan ini dapat mulai dari usia 55 tahun
sampai meninggal. Tetapi bagi orang lain, periode ini adalah permulaan kemunduran.
Usia tua dipandang sebagai masa kemunduran, masa kelemahan manusiawi dan sosial
sangat tersebar luas dewasa ini. Pandangan ini tidak memperhitungkan bahwa
kelompok lanjut usia bukanlah kelompok orang yang homogen . Usia tua dialami
dengan cara yang berbeda-beda.

3
B. Ciri-ciri Lanjut Usia
Menurut Hurlock terdapat beberapa ciri-ciri orang lanjut usia, yaitu :
1. Usia lanjut merupakan periode kemunduran
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor psikologis.
Kemunduran dapat berdampak pada psikologis lansia. Motivasi memiliki peran
yang penting dalam kemunduran pada lansia. Kemunduran pada lansia semakin
cepat apabila memiliki motivasi yang rendah, sebaliknya jika memiliki motivasi
yang kuat maka kemunduran itu akan lama terjadi.
2. Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas
Lansia memiliki status kelompok minoritas karena sebagai akibat dari sikap sosial
yang tidak menyenangkan terhadap orang lanjut usia dan diperkuat oleh pendapat-
pendapat klise yang jelek terhadap lansia. Pendapat-pendapat klise itu seperti :
lansia lebih senang mempertahankan pendapatnya daripada mendengarkan
pendapat orang lain.
3. Menua membutuhkan perubahan peran
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami kemunduran
dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar
keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari lingkungan.
4. Penyesuaian yang buruk pada lansia
Perlakuan yang buruk terhadap orang lanjut usia membuat lansia cenderung
mengembangkan konsep diri yang buruk. Lansia lebih memperlihatkan bentuk
perilaku yang buruk. Karena perlakuan yang buruk itu membuat penyesuaian diri
lansia menjadi buruk

2.2 Perubahan Dalam Farmakokinetika Dan Farmakodinamika Obat


Terdapat penurunan fungsi yang progresif pada berbagai system organ dengan
bertambahnya umur.

4
Tabel 2.1 Perubahan fisiologis dengan bertambahnya umur berdasarkan ISO
Farmakoterapi 2

Sistem Organ Manifestasi


Cairan tubuh

Komposisi Tubuh Lean body mass

Peningkatan lemak tubuh


atau Albumin Serum

atau al-glikoprotein (oleh beberapa


kondisi penyakit)

Sensitivititas miokardial terhadap stimulasi


beta adrenergic
Kardiovaskular
Aktivitas beroreseptor
Cardiac output
P
P
Resistensi perifer total

Sistem syaraf pusat Bobot dan volume otak


Perubahan
P
dari beberapa aspek kognitif

Atrofi kelenjar tiroid dengan bertambahnya


Endokrin umur.
Peningkatan insiden DM, penyakit tiroid
menopause

pH saluran cerna
Gastrointestinal
Penurunan aliran darah GI
Pengosongan lambung yang tertunda
Transit intestinal yang diperlambat
Atropi vagina karena penurunan estrogen
Hipertropi prostat karena perubahan hormone
Genitourinari Androgen
Perubahan karena umur dapat memberi
kecenderungan incontinence
Sistem imun Imunitas yang diperantarai sel
Hati Ukuran hati
Aliran darah hati
Perubahan pertumbuhan gigi
Mulut kemampuan untuk merasakan manis,
pahit dan asam

5
kekuatan otot respirasi
pemenuhan dinding dada
Pulmonari permukaan alveoli total
kapasitas vital
pernapasan maksimal

laju filtrasi glomerulus


aliran darah renal
Renal Peningkatan fraksi filtrasi

fungsi sekresi tubular


massa ginjal
akomodasi dari lensa mata, menyebabkan
rabun dekat
Indera Presbycusis (kehilangan ketajaman
pendengaran)
kecepatan konduksi
Rangka Kehilangan massa tulang (osteopenia)
Kekeringan kulit, keriput, perubahan
Kulit / rambut pigmentasi, penipisan epithelial, kehilangan
ketebalan dermal.
jumlah folikel rambut
melanosit di kuncup rambut

Beberapa perubahan fisiologis yang berkaitan dengan usia dan dapat


mempengaruhi farmakokinetik dan farmakodinamika. Sayangnya, data yang tersedia
tentang faramkokinetika dan farmakodinamika terbatas. Kekurangan informasi ini dapat
diperbaiki dengan penggunaan pedoman FDA dari penelitian farmakokinetika yang
dilakukan perusahaan terhadapa senyawa obat baru yang mungkin memiliki fungsi
signifikan pada lansia (Elin dkk.,2011).

1. Perubahan Penatalaksanaan Obat


Perubahan fisiologi yang terkait lanjut usia akan memberikan efek serius
pada banyak proses yang terlibat dalam penatalaksanaan obat. Efek pada saluran
pencernaan, hati dan ginjal (Walker & Edwards, hal. 120).

6
Tabel 2.2 Perubahan fisiologi yang terkait usia pada saluran pencernaan,hati dan
ginjal

Reduksi sekresi asam lambung


Penurunan motlitas gastrointestinal
Reduksi luas permukaan total absorpsi

Reduksi aliran darah jaringan (splanchnic)

Reduksi ukuran hati


Reduksi aliran darah hati
Reduksi filtrasi glomerulus
Reduksi filtrasi tubuler ginjal

Kapasitas fungsional organ vital yang berubah, menyertai usia lanjut dan penyakit
kelemahan dapat sangat memengaruhi respon tubuh terhadap obat. Pasien demikian,
cenderung tidak tahan (menoleransi) obat-obat dengan toksis kuat; yang biasanya adalah
perlu bagi mereka menggunakan dosis yang lebih kecil pada jarak waktu yang lebih lama.
Efek obat pada lanjut usia dan berpenyakit berat, sering tidak dapat diramalkan.
Kebutuhan yang sering untuk menyesuaikan dosis atau perubahan dalam seleksi obat
memerlukan pengamatan berkelanjutan terhadap pasien ini, jika efek merugikan akan
dicegah atau diminimalkan.

2.3 Farmakokinetik

Obat harus berada pada tempat kerjanya dengan konsentrasi yang tepat untuk
mencapai efek terapeutik yang diharapkan. Perubahan-perubahan farmakokinetik pada
pasien lanjut usia memiliki peranan penting dalam bioavailabilitas obat. Ada 4 faktor
penting dari farmakokinetik menurut buku ISO Farmakoterapi 2 yaitu absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi.

1. Absorpsi

Kebanyakan obat diberikan secara oral dan karena itu perubahan akibat usia
pada fisiologi gastrointestinal dapat mempengaruhi absorbsi dari obat. Untungnya,
sebagian besar obat diabsorbsi lewat difusi pasif, dan perubahan fisiologi karena umur
tampaknya hanya sedikit mempengaruhi bioavailibilitas obat. Beberapa obat

7
memerlukan transport aktif untuk absorbsinya, dan karena itu bioavailibilitasnya
dapat berkurang(contohnya kalsium pada kondisi hiperkloridria). Namun ada
beberapa bukti penurunana first-pass effect pada metabolism di hati atau saluran
cerna yang menyebabkan peningkatan bioavailbilitas dan konsentrasi plasma obat
seperti propranolol dan morfin. Peningkatan bioavailibilitas juga dapat terlihat dengan
pemakaian bersama jus grapefruit. Konstituen dari produk ini menghambat enzim
3A4 (cytochrome-3A4) dan P450 (CYP450), sehinggan mengurangi first-pass
metabolism dan menghasilkan efek farmakologi yang lebih besar dari seharusnya.

2. Distribusi
Distribusi dari obat dalam tubuh tergantung pada factor seperti aliran darah,
ikatan protein plasma dan komposisi tubuh, yang masing-masing dapat dipengaruhi
oleh umur. Sebagai contoh, volume distribusi dapat memberikan pengaruh langsung
pada jumlah obat yang diberikan sebagai loading dose.
Dua protein plasma utama yang dapat berikatan dengan obat adalah albumin
dan 1-acid-glycoprotein (AAG) dan konsentrasi dari protein-protein ini dapat
berubah dengan penyakit yang ada seiring bertambahnya umur. Untuk obat yang
bersifat asam seperti naproksen, fenitoin, tolbutamide, dan warfarin, penurunan
albumin serum dapat menyebabkan peningkatan dari fraksi obat bebas. Peningkatan
dari AAG yang diinduksi oleh luka bakar, kanker, penyakit inflamasi atau trauma
dapat menyebabkan penurunan fraksi bebas obat yang bersifat basa seperti lidokain,
propranolol, kinidin dan imipramin. Pada kondisi tidak adanya kompromi pada jalur
ekskresi, perubahan-perubahan ini tidak berpeluang untuk menyebabkan efek klinis
penghilangan obat (deletterius effect). Namun dapat menjadi penting untuk
dipertimbangkan saat menginterpretasikan konsentrasi serum dari obat-obat ini karena
biasanya hanya konsentrasi total obat (jumlah dari obat bebas dan terikat protein)
yang dilaporkan.

3. Metabolisme

Hati merupakan organ utama yang bertanggung jawab untuk metabolism obat,
termasuk reaksi fase 1 (oksidatif) dan fase 2 (konjugatif). Karakteristik yang paling
mudah dilihat dari fungsi hati pada orang tua adalah peningkatan dari variabilitas
intrindividual jika dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Sebuah hal yang
dapat merancukan perubahan yang terkait dengan usia. Data terbaru menunjukkan

8
bahwa penurunan metabolisme fase 1 lebih mungkin disebabkan oleh penurunan
volume hati dibandingkan karena penurunan aktivitas enzimaik hati. Penurunan
metabolisme fase 1 (contohnya hidroksilasi dan dealkilasi) menyebabkan penurunan
klirens obat dan peningkatan waktu paruh eliminasi akhir. Hal ini telah dilaporkan
terjadi pada beberapa obat yang digunakan untuk lansia seperti diazepam, piroksikam,
teofilin dan kinidin. Metabolisme fase 2 (contohnya glukuronidasi, asetilasi) untuk
obat-obat seperti lorazepam, oksazepam nampaknya relative tidak terpengaruh dengan
bertambahnya umur. Induksi enzim hepatik (contohnya oleh rifampin, feitoin) atau
inhibisi (contohnya fluokuinolon dan antimikroba makrolida dan simetidin) tidak
terlihat terpengaruh oleh proses penuaan.

Penurunan aliran darah hati karena umur dapat juga menurunkan secara
signifikan metabolisme dari obat dengan rasio ekstraksi hepatik yang tinggi seperti
imipramine, lidokain, morfin dan propranolol. Efek dari penuaan pada metabolisme
obat polomorfis belum dipelajari dengan baik. Pertambahan usia telah dilaporkan
tidak memiliki efek signifikan, tapi juga menurunkan secara signifikan aktivitas
CYP450 3A4. Data lain yang tersedia menujukkan bahwa pertambahan usia tidak
memiliki efek signifikan pada asetilasi obat atau metabolisme yang diperantarai oleh
enzim CYP450 2D. Akhirnya, sejumlah factor lain seperti ras, jenis kelamin,
kelemahan, merokok, diet dan interaksi obat dapat mempengaruhi metabolisme secara
signifikan pada lansia.

4. Eliminasi

Ekskresi renal merupakan rute primer eliminasi dari banyak obat. Walaupun
pengurangan dari laju filtrasi glomerulus karena usia telah diketahui, sebanyak
sepertiga dari subjek lansia normal dapat tidak memiliki pengurangan, jika dihitung
dari kliren kreatinin, walaupun tidak sepenuhnya akurat dapat menjadi perkiraan
skirining yang berguna. Salah satu dari persamaan yang paling umum digunakan
untuk orang dewasa dengan fungsi renal yang stabil dan bobot badan dalam rentang
30% dari bobot ideal mereka telah diciptakan oleh Gockroft dan Gault :

Klirens Kratinin (pria) = (140 umur dalam tahun)(bobot badan dalam


kg)
72 (kreatinin serum dalam mg/dL)

9
Untuk wanita, hasil dikalikan dengan 0,85

Pengobatan dengan ekskresi utama melalui ginjal dan terbukti mengalami


penurunan berkaitan dengan umur di ginjal dan klirens total tubuh termasuk
amantadine, aminoglikosida, atenolol, kaptopril, simetidin, digoksin, litium, dan
vankomisin. Beberapa obat yang mengalami metabolisme di hati dapat menghasilkan
metabolit yang aktif dan diekskresikan terutama melalui renal seperti N-
asetilprokainamida, normeperidin, dan morfin-6-glukuronida dan dapat terakumulasi
dengan bertambahnya umur karena penurunan fungsi ginjal.

5. Kontroversi Klinis

Saat memperkirakan klirens kratinin pada lansia menggunakan persamaan


Cockroft dan Gault, beberapa ahli klinis memilih untuk membulatkan nilai menjadi 1
jika konsentrasi kreatinin serum dapat menyebabkan underestimationdari klirens
kreatinin dan berakibat pada pengaturan dosis yang kurang sesuai dari obat yang
dieleminasi lewat ginjal. Sangat penting untuk menyadari bahwa persamaan itu
hanyalah perkiraan dan sebaiknya dilakukan usaha untuk menentukan klirens
kreatinin secara akurat dengan obat tertentu (contohnya metformin).

Tabel 2.3 Perubahan farmakokinetika obat karena usia

Fase Farmakokinetika Parameter Farmakokinetika

Absorpsi Gastrointestinal Terjadi perubahan difusi pasif dan


bioavailibilitas untuk kebanyakan obat

Transpor aktif bioavailibilitas untuk


beberapa obat

First pass exraction

bioavailibilitas untuk beberapa obat

10
Distribusi Volume distribusi dan konsentrasi plasma
untuk obat larut air

Volume distribusi dan waktu paruh


eliminasi untuk obat larut lemak

Atau fraksi bebas dari obat yang terikat


kuat dengan protein plasma

Metabolisme Hepatik Klirens dan t untuk beberapa obat


yang dimetabolisme oksidatif

Klirens dan t untuk obat dengan rasio


ekstraksi hepatik tinggi

Ekskresi Renal Klirens dan t dari obat yang


dieleminasi dengan ginjal dan metabolit
aktifnya.

2.4 Famakodinamika
Farmakodinamik merupakan bagian ilmu farmakologi yang mempelajari efek
fisiologik dan biokimiawi obat terhadap berbagai jaringan tubuh yang sakit maupun sehat
serta mekanisme kerjanya.
Ada beberapa bukti pada lansia bahwa terjadi perubahan respon obat atau
sensitivitas. Empat mekanisme yang mungkin telah dinyatakan :
1. Perubahan pada jumlah reseptor
2. Perubahan pada afinitas reseptor
3. Parubahan pasca reseptor
4. Kerusakan yang berkaitan dengan usia pada mekanisme homeostatic
Sebagai contoh, reseptor muskarinik, hormone paratiroid, -adrenergik, 1-
adrenergik dan -opioid menunjukkan penurunan densitas dengan bertambahnya usia.
Bukti dari penelitian epidemiologis dan eksperimental menunjukkan bahwa, tanpa
perubahan farmakokinetika, lansia lebih sensitive terhadap benzodiazepine di system
saraf pusat. Lansia juga menunjukkan sifat rensponif analgesik terhadap obat opioid yang
lebih tinggi jika parameter farmakokinetika antara dua kelompok itu mirip. Sebagai
tambahan, lansia menunjukkan sifar responif yang lebih terhadap antikoagulan seperti
warfarin dan heparin, juga terhadap terapi thrombolitik. Sebaliknya, lansia menunjukkan
sifat responif yang lebih rendah terhadap beberapa obat (contohnya -agonis atau
antagonis). Selain itu, refleks takikardia yang sering dijumpai pada terapi vasodilator,

11
seringkali menjadi rendah pada lansia, mungkin akibat penurunan fungsi baroresptor.
Untuk beberapa obat (contohnya bloker saluran kalsium), peningkatan sifat responif
(yang ditunjukkan dengan penurunan tekanan darah yang lebih tinggi) dan penurunan
sifat responif (ditunjukkan dengan penurunan blokade nodus atriventrikular) dapat terjadi
secara bersamaan pada lansia.

2.5 Geriatri Klinik


Penjagaan kemandirian dan pencegahan kelumpuhan merupakan tujuan utama
dalam perawatan klinis bagi orang dengan usia 65 tahun keatas. Untuk mencapai tujuan
ini, diperlukan pengertian dari semua pekerja kesehatan tentang konsep status fungsional.
Status fungsional adalah tolak ukukur dari kemampuan pasien untuk hidup mandiri dan
dapat ditentukan per bagian dengan cara mempelajari kemampuan lansia melakukan
aktivitas tertentu. Seperti disebutkan sebelumnya, ada dua tipe dari pengukuran
fungsional : ADLs (Activies of Daily Living) yang lebih kompleks. Namun, untuk menilai
status fungsional secara keseluruhan, status fisiologis pasien, sumber finansial, fungsi
fisik dan lingkungan social juga perlu diperhatikan.
Salah satu tantangan dari menjaga dan meningkat status fungsional dari lansiaa
adalah mengenali dan mengatur kondisi yang sering dijumpai pada lansia lain. Masalah
yang seringkali ditemui pada lansia, seringkali disebut sebagai Is of Geriatrics.
Masalah-masalah ini serigkali desebabkan oleh proses penyakit penyebab (Underlyin
causes) yang mungkin terdiagnosa atau tidak. Contoh dari penyakit dan sindrom yang
dapat muncul sebagai masalah umum pada lansia antara lain penyakit Parkinson, jatuh,
retak pinggul, hipertrofi prostat jinak, demensia, galukoma, neuralgia pasca-herpes dan
tuberculosis.
Faktor lain yang berperan dalam tantangan geriatri klinis adalah 50% dari pasien
lansia memiliki gejala atau keluhan yang tidak seragam, menjadikannya semakin sulit
untuk menggunakan model klasik untuk diagnosis. Contohnya, iskemia jantung dapat
muncul sebagai sinkop atau kelemahan pada lansia, bukan sebagai gejala umum seperti
rasa sakit di dada. Pusing dapat menjadi gejala dari proses abdominal akut. Bukan berupa
rasa sakit yang parah, kekakuan otot abdominal dan leukositosis.Efek samping yang
parah dapat terjadi jika diagnosis terlambat dilakukan, atau salah karena gejala yang tidak
umum. Gejala tidak umum seperti itu dapat terjadi karena perubahan fisiologis karena
umur, adanya lebih dari satu penyakit, fungsi yang terkomromisasi dan adanya penyebab
stress fisiologis. Menunjukkan contoh tambahan dari penyakit medis yang seringkali
12
muncul dengan gejala tidak umum di lansia. Untuk lansia yang sangat rapuh, delirium,
jatuh dan penurunan fungsi nonspesifik seringkali merupakan masalah yang muncul.
Lebih dari satu penyakit yang muncul secara bersamaan merupakan ancaman lain
terhadap kemandirian yang membedakan lansia dari pasien dengan umur lebih muda.
Tidaklah aneh jika seorang lansia memiliki beberapa penyakit sekaligus seperti
osteoarthritis, penyakit jantung dan diabetes. Walaupun penyakit yang banyak dapat
memberikan efek mendasar bagi status fungsional pasien, namun jika hanya dari
keberadaan beberapa penyakit sekaligus, tidak menentukan gangguan fungsional.

Tabel 2.5 Gejala penyakit tidak umum pada lansia


Penyakit Gejala
Infark miokardial akut Hanya 50% yang mengalami nyeri dada.
Secara umum lansia mengalami kelemahan,
pusing, sinkope, dan sakit diabdominal.
Namun, hasil elektrokardiografis mirip dengan
pasien yang lebih muda
Gagal jantung kongestif Lansia mengalami gejala hipoksia, letargi, rasa
cemas dan pusing, tapi tida dyspnea
Pendarahan gastrointestinal Walaupun tingkat kematian sekitar 10%,
gejala yang muncul tidak spesifik, berkisar
dari perubahan status mental hingga sinkope
dengan kolaps hemodinamik. Rasa sakit
abdominal seringkali tidak terjadi
Infeksi saluran pernafasan atas Pasien lansia sering mengalami letargi, pusing,
anoreksia dan dekompensasi dari kondisi
media yang sudah ada sebelumnya, demam,
menggigil dan batuk produktif seringkali tidak
ada
Infeksi saluran urinary Disuria, demam danrasa sakit dipaha sering
tidak ada. Lebih sering lansia incontinence,
pusing, rasa sakit diperut, mual/muntah dan
azotemia.

2.6 Permasalahan Terkait Obat (Drug Related Problems) Pada Lansia


A. Faktor Resiko
Beberapa faktor dipercaya meningkatkan resiko masalah terkait obat pada
lansia, termasuk pemberian resep yang kurang optimal (pemakaian berlebih pada obat
atau polifarmasi, pemakaian tidak sesuai, dan pemakaian yang kurang), kesalahan
pengobatan (baik masalah pemberian resep dan administrasi), dan ketidakpatuhan
pasien dalam menggunakan obat (baik disengaja maupun tidak disengaja).

13
B. Penggunaan Berlebih
Polifarmasi dapat didefenisikan sebagai penggunaan bersamaan dari banyak
obat atau pemakaian lebih banyak obat dari yang diindikasikan secara klinis.
Polifarmasi umum dan semakin meningkat kejadiannya pada lansia. Survey berbasis
masyarakat mengungkapkan bahwa lansia menggunakan rata-rata 2,7 hingga 4,2
resep dan non-resep setiap harinya. Polifarmasi juga merupakan masalah untuk pasien
lansia karena hal tersebut dapat meningkatkan sindrom geriatric (contohnya jatuh,
gangguan kognitif), hilangnya status fungsional dan peningkatan biaya kesehatan.
C. Penulisan Resep yang Tidak Sesuai
Penulisan Resep yang Tidak Sesuai dapat didefenisikan sebagai penulisan
resep pengobatan diluar batas-batas standar medis yang dapat diterima. Fenomena ini
muncul memberikan resiko penting terhadap kesehatan. Sebuah data retrospektif
terbatas menduga bahwa penulisan resep yang tidak sesuai berkaitan dengan
perawatan di rumah sakit yang berkaitandengan obat (drug-related hospital
admission), serta perawatan kembali di rumah sakit (readmission).
Diperkirakan bahwa setidaknya 25% obat yang diresepkan untuk pasien lanjut
usia tidak efektif atau tidak diperlukan. Sering kali dijumpai obat sekunder yang
kemungkinan diresepkan untuk mengatasi efek samping obat yang lain. Contohnya,
peresepan LDopa untuk mengatasi tremor pada pemberian obat-obatan yang
menginduksi tremor, atau fenotiazin untuk mengatasi pusing yang disebabkan
hipotensi postural akibat penggunaan obat lain. Praktek ini sangat bertolak belakang
dengan raktek kefarmasian yang baik dan farmasis dalam pemantauan peresepan.
Beberapa masalah yang sering kali dijumpai pada evaluasi pengobatan pasien usia
lanjut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.6 masalah yang sering kali dijumpai pada evaluasi pengobatan pasien usia
lanjut
Ketidaksesuaian dalam jumlah yang diresepkan

Item yang sebenarnya tidak diperlukan


Petunjuk yang tidak memuaskan
Frekuensi, interval atau kekuatan dosis yang tidak tepat

Duplikasi dalam terapi


Interaksi obat-obat

14
Polifarmasi merupakan masalah utama dalam kelompok pasien ini. Semakin
banyak jumlah obat yang diterima pasien maka semakin besar pula resiko efek
samping obat, interaksi obat-obat dan interaksi obat-penyakit. Resiko rendahnya
tingkat kepatuhan pasien juga meningkat. Sejumlah besar obat menimbulkan masalah-
masalah tertentu pada pasien lanjut usia dan peresepan obat-obat tersebut dapat
menambah masalah yang telah didiskusikan diatas. Tabel berikut adalah daftar obat
yang dapat menimbulkan masalah pada pasien lanjut usia.

Tabel 2.7 daftar obat yang dapat menimbulkan masalah pada pasien lanjut usia
Kelompok Obat Alasan Meningkatnya Resiko bermasalah
Antidepresan trisiklik Menyebabkan gangguan kognitif
Peningkatan distribusi ke jaringan adipose
Reduksi metabolisme
Antipsikotik Menyebabkan gangguan kognitif
Reduksi metabolisme
Opioid Menyebabkan gangguan kognitif
Digoksin Reduksi ekskresi
Penghambat ACE Reduksi ekskresi
Warfarin Peningkatan sensitivitas
Levodopa Reduksi sensitifitas
Benzodiazepin aksi panjang Reduksi metabolism

AINS Peningkatan toksisitas pada lambung


Sulfonilurea aksi panjang Reduksi eliminasi

Beta bloker Reduksi khasiat


Reduksi ekskresi ginjal
Kortikosteroid Gangguan kognitif
Peningkatan toksisitas pada lambung
Anti muskarinik Peningkatan sensitivitas
Beberapa sefalosporin Reduksi ekskresi ginjal
Diuretika tiazid Tidak efektif pada gangguan ginjal

D. Kontroversi Klinis
Kriteria Beers baru saja diperbaharui. Saat ini, tidak jelas cara apakah yang
paling benar untuk mengukur penulisan resep yang tidak sesuai. Tindakan global
untuk mendeteksi polifarmasi atau penggunaan obat yang tidak perlu, serta
penggunaan pengobatan penting yang kurang sangatlah diperlukan. Selain itu,
diperlukan juga penelitian tambahan mengenai interaksi antara penyakit dan obat, dan
juga dampak kesehatan lain.

15
E. Pemakaian Yang Tidak Mencukupi (Underuse)
Masalah yang penting dan semakin dikenal pada lansia adalah pemakaian obat
yang tidak mencukupi. Hal itu didefenisikan sebagai penghilangan dari sebuah terapi
obat yang diindikasikan untuk perawatan atau pencegahan suatu penyakit/kondisi.
Satu penelitian menemukan bahwa 50% dari 236 pasien ambulans memiliki satu atau
lebih pengobatan yang dihilangkan karena kurangnya penulisan resep dari
dokter.Tinggal di masyarakat mempelajari apakah gangguan yang tidak berhubungan
lebih tidak mungkin dirawat pada pasien dengan penyakit kronis. Mereka menemukan
bahwa pasien dengan diabetes mellitus lebih sulit menerima terapi penggantian
estrogen, pasien dengan emfisema pulmonari lebih sulit menerima pengobatan
penurunan lipid, dan bahwa pasien dengan sindrom psikotik lebih sulit menerima
pengobatan untuk artritis.
Peneliti lain memfokuskan pada penghilangan perawatan terhadap kondisi
tertentu seperti asma, penyakit kardiovaskular, dislipidemia, osteoporosis, rasa sakit,
hipertensi, kemoterapi kanker, depresi, dan kekurangan penggunaan pengobatan
inhibitor ACE (Angiotensin Converting Enzyme) untuk pasien dengan gagal jantung
kongestif, antikoagulan pada pasien dengan fibrilasi atrial, dan terapi pencegahan
setelah infark miokardial. Pemakaian yang tidak mencukupi dapat mempunyai
hubungan yang penting dengan hasil negatif pada lansia, termasuk cacat fungsional,
kematian, dan penggunaan layanan kesehatan.
Risiko dari penggunaan pengobatan yang tidak mencukupi jika dilihat dari sisi
dana bantuan medis yang terbatas adalah meningkatkan lebih dari dua kali lipat
kemungkinan untuk keharusan dirawat dipanti jompo. Tamblin dan rekan
mempelajari efek dari pengurangan 25% dana asuransi untuk obat yang digunakan
lansia di Kanada. Reformasi ini menghasilkan pengurangan dari jumlah pengobatan
esensial (contohnya furosemid, antikoagulan, dan inhibitor ACE) yang digunakan
oleh lansia, dan meningkatkan biaya karena adanya efek samping dan perlunya
perawatan UGD.

F. Ketidakpatuhan Penggunaan Obat


Ketidaktaatan penggunaan obat merupakan masalah umum pada lansia.
Prevalensinya berkisar Antara 40% hingga 80% pada pasien (ratarata sekitar 50%).
Secara umum, lansia taat terhadap sekitar 75% dari pengobatan mereka. Lansia

16
memiliki ketaatan yang sama dengan pasien yang lebih muda jika jumlah obat yang
digunakan hampir sama.
Sebenarnya, ada beberapa bukti bahwa ketaatan mungkin lebih baik pada
lansia untuk kondisis tertentu. Sesuatu yang sepertinya berbeda adalah ketidaktaatan
yang disengaja lebih umum terjadi pada lansia. Hal ini dapat dikaitkan dengan
kemunculan dari efek samping dan dapat juga ketidaktaatan yang berkaitan dengan
intelegensia. Sebuah penelitian oleh Fincke da rekan menemukan bahwa lansia yang
menganggap bahwa mereka diberikan terlalu banyak pengobatan lebih mungkin
menajdi tidak taat. Data retrospektif yang terbatas menunjukkan bahwa ketidaktaatan
terkait dengan peningkatan penggunaan layanan kesehatan dan efek samping obat.
Suatu meta-analisis dari penelitian yang dipublikasikan oleh Sullivan dan rekan
dengan melibatkan pasien dari semua usia menentukan bahwa tingkat rawat inap di
rumah sakit karena ketidaktaatan penggunaan obat adalah 5,5%. Sebush penelitian
oleh Col dan rekan mengevaluasi 315 pasien lansia yang dirawat inap di rumah sakit
dan menentukan bahwa 11,4% dari perawatan disebabkan oleh ketidaktaatan. Gurwitz
dan rekan menemukan bahwa 21% dari semua efek samping yang sebenarnya dapat
dicegah pada lansia yang menjalani rawat jalan terjadi karena adanya ketidaktaan.

17
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Penyakit serta Obat pada Lanjut Usia (Geriatric)

A. Hipertensi

Definisi hipertensi tidak berubah sesuai dengan umur: tekanan darah sistolik
(TDS) > 140 mmHg dan/ atau tekanan darah diastolik (TDD) > 90 mmHg. The joint
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and treatment of High
Bloodpressure (JNC VI) dan WHO/lnternational Society of Hypertension guidelines
subcommittees setuju bahwa TDS & keduanya digunakan untuk klasifikasi hipertensi.

Hipertensi sistolodiastolik didiagnosis bila TDS 140 mmhg dan TDD 90


mmHg. Hipertensi sistolik terisolasi (HST) adalah bila TDS 140 mmHg dengan TDD
< 90 mmHg.

Epidemiologi

Walaupun peningkatan tekanan darah bukan merupakan bagian normal dari


ketuaan, insiden hipertensi pada lanjut usia adalah tinggi. Setelah umur 69 tahun,
prevalensi hipertensi meningkat sampai 50%. Pada tahun 1988-1991 National Health
and Nutrition Examination Survey menemukan prevalensi hipertensi pada kelompok
umur 65-74 tahun sebagai berikut: prevalensi keseluruhan 49,6% untuk hipertensi
derajat 1 (140-159/90-99 mmHg), 18,2% untuk hipertensi derajat 2 (160-179/100-109
mmHg), dan 6.5% untuk hipertensi derajat 3 (>180/110 mmHg). Prevalensi HST
adalah sekitar berturut-turut 7%, 11%, 18% dan 25% pada kelompok umur 60-69, 70-
79, 80-89, dan diatas 90 tahun. HST lebih sering ditemukan pada perempuan dari
pada laki-laki.4 Pada penelitian di Rotterdam, Belanda ditemukan: dari 7983
penduduk berusia diatas 55 tahun, prevalensi hipertensi ( 160/95 mmHg) meningkat
sesuai dengan umur, lebih tinggi pada perempuan (39%) dari pada laki-laki (31%).5
Di Asia, penelitian di kota Tainan, Taiwan menunjukkan hasil sebagai berikut:
penelitian pada usia diatas 65 tahun dengan kriteria hipertensi berdasarkan JNVC,
ditemukan prevalensi hipertensi sebesar 60,4% (laki-laki 59,1% dan perempuan
61,9%), yang sebelumnya telah terdiagnosis hipertensi adalah 31,1% (laki-laki 29,4%
dan perempuan 33,1%), hipertensi yang baru terdiagnosis adalah 29,3% (laki-laki

18
29,7% dan perempuan 28,8%). Pada kclompok ini, adanya riwayat keluarga dengan
hipertensi dan tingginya indeks masa tubuh merupakan faktor risiko hipertensi.

Ditengarai bahwa hipertensi sebagai faktor risiko pada lanjut usia. Pada studi
individu dengan usia a 50 tahun mempunyai tekanan darah sistolik terisolasi sangat
rentan terhadap kejadian penyakit kardiovaskuler.7

Penatalaksanaan Hipertensi Pada Penderita Lanjut Usia

Banyak penelitian menunjukkan bahwa pentingnya terapi hipertensi pada


lanjut usia; dimana terjadi penurunan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit
kardiovaskuler dan serebrovaskuler.1,2 Sebelum diberikan pengobatan, pemeriksaan
tekanan darah pada lanjut usia hendaknya dengan perhatian khusus, mengingat
beberapa orang lanjut usia menunjukkan pseudohipertensi (pembacaan
spigmomanometer tinggi palsu) akibat kekakuan pembuluh darah yang berat.
Khususnya pada perempuan sering ditemukan hipertensi jas putih dan sangat
bervariasinya TDS.

a. Sasaran tekanan darah


b. Modifikasi pola hidup
c. Terapi farmakologis
Umur dan adanya penyakit merupakan faktor yang akan mempengaruhi
metabolisme dan distribusi obat, karenanya harus dipertimbangkan dalam
memberikan obat antihipertensi. Hendaknya pemberian obat dimulai dengan dosis
kecil dan kemudian ditingkatkan secara perlahan. Menurut JNC VI1 pilihan
pertama untuk pengobatan pada penderita hipertensi lanjut usia adalah diuretic
atau penyekat beta. Pada HST, direkomendasikan penggunaan diuretic dan
antagonis kalsium. Antagonis kalsium nikardipin dan diuretic tiazid sama dalam
menurunkan angka kejadian kardiovaskuler.16 Adanya penyakit penyerta lainnya
akan menjadi pertimbangan dalam pemilihan obat antihipertensi. Pada penderita
dengan penyakit jantung koroner, penyekat beta mungkin sangat bermanfaat;
namun demikian terbatas penggunaannya pada keadaan-keadaan seperti penyakit
arteri tepi, gagal jantung/ kelainan bronkus obstruktif.
Pada penderita hipertensi dengan gangguan fungsi jantung dan gagal jantung
kongestif, diuretik, penghambat ACE (angiotensin convening enzyme) atau
kombinasi keduanya merupakan ptlihan terbaik.4

19
Obat-obatan yang menyebabkan perubahan tekanan darah postural (penyekat
adrenergik perifer, penyekat alfa dan diuretik dosis tinggi) atau obat-obatan yang
dapat menyebabkan disfungsi kognitif (agonis a 2 sentral) harus diberikan dengan
hati-hati.' Karena pada lanjut usia sering ditemukan penyakit lain dan pemberian
lebih dari satu jenis obat, maka perlu diperhatikan adanya interaksi obat antara
antihipertensi dengan obat lainnya. Obat yang potensial memberikan efek
antihipertensi misalnya : obat anti psikotik tcrutama fenotiazin, antidepresan
khususnya trisiklik, L-dopa, benzodiapezin, baklofen dan alkohol. Obat yang
memberikan efek antagonis antihipertensi adalah: kortikosteroid dan obat
antiinflamasi nonsteroid.
Interaksi yang menyebabkan toksisitas adalah: (a) tiazid: teofilin
meningkatkan risiko hipokalemia, lithium risiko toksisitas meningkat,
karbamazepin risiko hiponatremia menurun; (b) Penyekat beta: verapamil
menyebabkan bradikardia, asistole, hipotensi, gagal jantung; digoksin
memperberat bradikardia, obat hipoglikemik oral meningkatkan efek
hipoglikemia, menutupi tanda peringatan hipoglikemia.2 Dosis beberapa obat
diuretic penyekat beta, penghambat ACE, penyekat kanal kalsium, dan penyakat
alfa yang dianjurkan pda penderita hipertensi pada lanjut usia adalah sebagai
berikut.15 Dosis obat-obat diuretic (mg/hari) msialnya: bendrofluazid 1,25-2,5,
klortiazid 500-100, klortalidon 25-50, hidroklortiazid 12,5-25, dan indapamid SR
1,5. Dosis obat-oabat penyekat beta yang direkomendasikan adalah: asebutolol
400 mg sekali atau dua kali sehari, atenolol 50 mg sekali sehari, bisoprolol 10-20
mg sekali sehari, celiprolol 200-400 mg sekali sehari, metoprolol 100-2000 mg
sekali sehari, oksprenolol 180-120 mg dua kali sehari, dan pindolol 15-45 mg
sekali sehari. Dosis obat-obat penghambat ACE yang direkomendasikan adalah:
kaptopril 6,25-50 mg tiga kali sehari, lisinopril 2,5-40 mg sekali sehari,
perindropil 2-8 mg sekali sehari, quinapril 2,5-40 mg sekali sehari, ramipril 1,25-
10 mg sekali sehari. Dosis obat-obat penyakat kanal kalsium yang dianjurkan
adalah: amlodipin 5-10 mg sekali sehari, diltiazem 200 mg sekai sehari, felodipin
5-20 mg sekali sehari, nikardipin 30 mg dua kali sehari, nifedipin 30-60 mg sekali
sehari, verapamil 120-240 mg dua kali sehari. Dosis obat-obat penyakat alfa yang
dianjurkan adalah; doksazosin 1-16 mg sekali sehari, dan prazosin 0,5 mg sehari
sampai 10 mg dua kali sehari.

20
B. Rheumatik (Rematik)

Rematik dapat mengakibatkan perubahan otot, hingga penurunan fungsi otot,


jika otot yang menderita tidak dilatih. Rematik merupakan suatu sindrom, rematik
dapat terungkap sebagai keluhan, dan ada tiga keluhan utama pada sistem
muskulokelet yaitu, nyeri, kekakuan dan kelemahan serta terdapat tiga tanda utama
yaitu, pembengkakan sendi, kelemahan otot, gangguan gerak. Gangguan rematik
dapat terus meningkat dengan bertambahnya umur. (Felson, 2001; Boedhi-darmojo,
2010)

Rematik yang sering terlihat pada lansia adalah osteoartristis, osteoporosis,


tendinitis, bursitis,fibromyalgia, low back pain, artropati Basic Calcium Phosphate
(BCP), gout, srtritis rematoid, polymyalgia rheumatic, dan arthritis karena keganasan.
(Bjelle,2004 dalam Boedhi-darmojo, 2010).

Penyebab gangguan rematik hingga saat ini telah lebih dari 100 macam,
namun belum dapat dijelaskan penyebabnya. Pada lansia rematik dapat
dikelompokkan menjadi 5, yaitu mekanik (osteoratritis), metabolik (osteoporosis),
pengaruh obat (gout), radang (gout, polymyalgia rheumatic), dan berkaitan dengan
penyakit keganasan (neuromiopati).

Penatalaksanaan rematik, meliputi :

1. Medikamentosa
Tidak ada pengobatan medikamentosa yang spesifik, hanya bersifat simpotamatik.
Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) bekerja hanya sebagai analgesik dan
mengurangi peradangan, tidak mampu menghentikan proses patologis.
2. Analgesik
Obat analgesik yang dapat dipakai adalah asetaminofen dosis 2,6-4,9 g/hari atau
profoksifen HCL. Asam salisilat juga cukup efektif namun, perhatikan efek
samping pada saluran cerna dan ginjal.
3. Jika tidak berpengaruh, atau peradangan tidak mereda maka, OAINS seperti
fenofrofin, piroksikam, ibuprofen dapat digunakan. Dosis untuk osteoarthritis
biasanya - dosis penuh untuk arthritis rematoid. Karena pemakaian biasanya
untuk jangka panjang, efek samping utama adalah ganggauan mukosa lambung
dan gangguan faal ginjal.

21
C. Osteoporosis
Adalah penyakit tulang yang mempunyai sifat-sifat khas berupa massa tulang
yang rendah, disertai mikro arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan
tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang.
Epidemiologi, Sementara ini diperkirakan 1 dari 3 wanita dan 1 dari 12 pria di
atas usia 50 tahun di seluruh dunia mengidap osteoporosis.
Tujuan pengobatan adalah meningkatkan kepadatan tulang. Semua wanita,
terutama yang menderita osteoporosis, harus mengkonsumsi Ca (kaslium) dan vitamin
D dalam jumlah yang mencukupi.
Wanita pascamenopause yang menderita osteoporosis juga bisa mendapatkan
estrogen (biasanya bersama dengan progesteron) atau alendronat, yang bisa
memperlambat atau menghentikan penyakitnya. Bifosfonat juga digunakan untuk
mengobati osteoporosis.
Alendronat berfungsi untuk mengurangi kecepatan penyerapan tulang pada
wanita pascamenopause, meningkatakan massa tulang belakang dan tulang panggul,
dan mengurangi angka kejadian patah tulang. Supaya diserap dengan baik, alendronat
harus diminum dengan segelas penuh air pada pagi hari dan dalam waktu 30 menit
sesudahnya tidak boleh makan atau minum yang lain. Alendronat bisa mengiritasi
lapisan saluran pencernaan bagian atas, sehingga setelah meminumnya tidak boleh
berbaring, minimal selama 30 menit sesudahnya. Obat ini tidak boleh diberikan
kepada orang yang memiliki kesulitan menelan atau penyakit
kerongkongan dan lambung tertentu.
Kalsitonin dianjurkan untuk diberikan kepada orang yang menderita patah
tulang belakang yang disertai nyeri. Obat ini bisa diberikan dalam
bentuk suntikan atau semprot hidung. Tambahan fluorida bisa meningkatkan
kepadatan tulang. Tetapi tulang bisa mengalami kelainan dan menjadi rapuh, sehingga
pemakaiannya tidak dianjurkan.
Pria yang menderita osteoporosis biasanya mendapatkan kalsium dan
tambahan vitamin D, terutama jika hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa tubuhnya
tidak menyerap kalsium dalam jumlah yang mencukupi. Jika kadar testoren rendah,
bisa diberikan testosteron.
Terapi sulih estrogen paling efektif dimulai dalam 4-6 tahun setelah
menopause, tetapi jika baru dimulai lebih dari 6 tahun setelah menopause, masih bisa
memperlambat kerapuhan tulang dan mengurangi risiko patah
22
tulang. Raloksifen merupakan obat menyerupai estrogen yang baru, yang mungkin
kurang efektif daripada estrogen dalam mencegah kerapuhan tulang, tetapi tidak
memiliki efek terhadap payudara atau rahim. Untuk mencegah osteroporosis,
bisfosfonat (contohnya alendronat), bisa digunakan sendiri atau bersamaan dengan
terapi sulih hormon.
D. Insomnia

Insomnia adalah masalah umum dalam akhir kehidupan . Masalah tidur pada
lansia sering keliru dianggap sebagai bagian normal dari penuaan. Insomnia,
gangguan tidur paling umum, adalah tidur kurang atau tak-menyegarkan meskipun
waktu untuk tidur cukup. Terlepas dari kenyataan bahwa lebih dari 50% dari usia
lanjut dengan insomnia, biasanya tak-dikelola, dan intervensi non-farmakologis
kurang dimanfaatkan oleh praktisi kesehatan.

Fisiologis. Dua faktor utama mengendalikan kebutuhan fisiologis untuk tidur


yaitu, kuantitas total tidur (rata-rata 8 jam tidur setiap 24 jam), dan irama harian
kantuk dan kewaspadaan.

Insomnia dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu: sementara (tidak lebih dari


beberapa malam), akut (kurang dari 3-4 minggu), dan kronis (lebih dari 3-4 minggu).
Insomnia sementara atau akut biasanya terjadi pada orang yang tidak memiliki
riwayat gangguan tidur dan sering berhubungan dengan penyebab yang dapat
diidentifikasi. Insomnia akut: (penyakit medis akut, rumah sakitan, perubahan pada
lingkungan tidur, obat-obatan, jet lag, dan stresor psikososial akut atau berulang).
Insomnia kronis atau jangka panjang dapat dikaitkan dengan berbagai dasar kondisi
medis, perilaku, dan lingkungan dan berbagai obat-obatan.

Pengobatan

Tujuan terapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan meningkatkan kualitas


hidup bagi pasien dan keluarga. Perawatan yang tepat insomnia memiliki potensi
membalik morbiditas terkait insomnia, termasuk risiko depresi, cacat, dan gangguan
kualitas hidup. Selanjutnya, pengelolaan yang optimal dari insomnia dapat
meningkatkan produktivitas pasien dan kognitif, dan penurunan penggunaan
perawatan kesehatan dan risiko kecelakaan. Pengobatan yang dapat dilakukan anatara
lain:

23
a. Benzodiazepines
Benzodiazepin (BZD) memperbaiki insomnia dengan mengurangi tidur
REM, menurunkan latensi tidur, dan menurunkan terbangun malam hari.
Penyerapan BZD tidak terpengaruh oleh penuaan, namun penurunan massa otot,
penurunan protein plasma, dan peningkatan lemak tubuh yang terlihat pada usia
lanjut mengakibatkan peningkatan konsentrasi obat tak-terikat dan peningkatan
waktu paruh eliminasi obat. BZD kerja-panjang dengan demikian sebaiknya
dihindari.
Insomnia pantulan dapat terjadi dalam 1 atau 2 minggu penggunaan, dan
ditandai dengan perburukan tidur relatif terhadap garisdasar. BZD sering
menimbulkan efek mabuk. Bahkan BZD kerja-pendek dapat mengganggu kinerja
psikomotor dan memori hari berikutnya. Toleransi terhadap efek hipnotik BZD
merupakan isu penting. BZD pada awalnya sangat efektif dalam mendorong dan
memperpanjang tidur, namun toleransi berkembang pesat pada pemakaian
ulangan. BZD juga berkaitan dengan kecanduan, sedasi di siang hari, jatuh pusing,
patah tulang pinggul, dan kecelakaan mobil. Kecelakaan lebih sering terjadi
dengan bahan-bahan paruh-waktu lama atau pada pasien dengan gangguan tidur
karena penggunaan jangka panjang. Temazepam, BZD yang biasa digunakan,
digunakan dalam insomnia pemeliharaan tidur, memiliki waktu paruh 8 sampai 25
jam, dan dapat diberikan dalam dosis 15 sampai 30 mg pada malam hari.
b. Antidepresan

Trazodon. Trazodone adalah antidepresan non trisiklik dengan sifat


menenangkan yang sering digunakan dalam dosis rendah sebagai hipnosis.
Kebenaran kemanjuran terapi obat ini pada penderita insomnia tak depresi masih
belum diketahui. Trazodon adalah salah satu obat antidepresi paling menenangkan
dan telah dilaporkan meningkatan TGL. Obat ini sering digunakan untuk
mengobati pasien depresi dengan insomnia yang signifikan. Data yang disajikan
oleh Walsh dan Schweitzer menunjukkan bahwa trazodon digunakan untuk
insomnia lebih sering daripada obat resep lainnya. Bukti awal menunjukkan
bahwa dosis rendah trazodon dapat menguntungkan pada pasien dengan insomnia
terinduksi psikotropika, insomnia terinduksi penghambat monoamin oksidase,
atau kontraindikasi untuk BZD.

24
E. Gagal Jantung

Tujuan utama penatalaksanaan gagal jantung pada orang tua ialah untuk
mengembalikan kualitas hidup, mengurangi frekuensi eksaserbasi gagal jantung dan
memperpanjang hidup. Tujuan sekunder ialah memaksimalkan kemandirian serta
kapasitas kerja dan mengurangi biaya perawatan. Untuk mencapai tujuan ini terapi
harus mencakup penanggulangan etiologi dan faktor pencetus, terapi nonfarmakologi
(nonmedikamentosa) dan farmakologi (medikamentosa).

Terapi nonfarmakologi (nonmedikamentosa) antara lain dapat berupa15:

a. Edukasi gejala, tanda, dan pengobatan gagal jantung


b. Manajemen diet, yaitu mengurangi jumlah garam, menurunkan berat badan bila
dibutuhkan, rendah kolesterol, rendah lemak, asupan kalori adekuat.
c. Latihan fi sik. Penelitian menunjukkan bahwa pembatasan aktivitas fi sik yang
berlebihan akan menurunkan fungsi kardiovaskular dan muskuloskeletal. Latihan
fi sik yang sesuai akan memperbaiki kapasitas fungsional dan kualitas hidup
pasien gagal jantung
d. Dukungan keluarga untuk selalu memperhatikan dan merawat pasien gagal
jantung di usia tua sangat penting dan berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien.

Prinsip dasar terapi farmakologi medikamentosa gagal jantung adalah


mencegah remodelling progresif miokardium serta mengurangi gejala. Gejala
dikurangi dengan cara menurunkan preload (aliran darah balik ke jantung), afterload
(tahanan yang dilawan oleh kontraksi jantung), dan memperbaiki kontraktilitas
miokardium. Prinsip terapi di atas dicapai dengan pemberian golongan obat diuretik,
ACE-inhibitor, penyekat beta, digitalis, vasodilator, agen inotropik positif,
penghambat kanal kalsium, antikoagulan, dan obat antiaritmia.

1. ACE inhibitor

Obat ini menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Efek


terhadap gagal jantung mungkin multifaktorial, tetapi mekanisme penting ialah
inhibisi parsial jalur renin-angiotensin-aldosterondanmengurangi aktivitas simpatetik
menghasilkan vasodilatasi, natriuresis dan penurunan tekanan darah. ACE inhibitor
berguna mengurangi sesak nafas dan mengurangi frekuensi eksaserbasi akut gagal
jantung. Obat ini sebaiknya dimulai dengan dosis kecil pada orang tua dan dinaikkan

25
bertahap sesuai dengan fungsi ginjal. Pada umumnya pemberian dosis pada orang tua
ialah setengah dosis pasien muda.

Efek samping obat ini ialah batuk kering yang dimediasi bradikinin; terkait
dosis dan dapat responsif dengan penurunan dosis. Dapat juga terjadi hipotensi berat
pada pasien yang mengalami penurunan volume cairan akibat diuretik terutama pada
geriatri yang kontrol baroreseptornya sudah mengalami kerusakan. Kadar natrium
darah harus dipantau teratur saat memulai atau menaikkan dosis ACE inhibitor dan
juga jika memakai kombinasi dengan diuretik hemat kalium seperti spironolakton
karena dapat terjadi hiperkalemia.

Obat golongan ini menjadi lini pertama pengobatan gagal jantung dan
menentukan prognosis Hanya sedikit data penggunaan ACE inhibitor pada pasien di
atas 75 tahun akan tetapi berbagai studi telah membuktikan ACE inhibitor
mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung.12-14

2. Diuretik

Diuretik merupakan obat utama mengatasi gagal jantung akut yang selalu
disertai kelebihan cairan yang bermanifestasi sebagai edema perifer. Diuretik dengan
cepat menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan melakukan aktivitas
fi sik. Diuretik mengurangi retensi air dan garam sehingga mengurangi volume cairan
ekstraseluler, arus balik vena dan preload. Untuk tujuan ini biasanya diberikan
diuretik kuat yaitu furosemid dengan dosis awal 40 mg, ditingkatkan sampai diperoleh
diuresis yang cukup. Elektrolit serum dan fungsi ginjal harus sering dipantau. Setelah
euvolemia tercapai dosis harus segera diturunkan sampai dosis minimal yang
diperlukan untuk mempertahankan euvolemia.

Pada pasien geriatri, deplesi volume dan hipotensi harus diperhatikan karena
fungsi baroreseptor yang tidak baik lagi; oleh karena itu diuretik tidak boleh diberikan
pada gagal jantung asimptomatik maupun tidak ada overload cairan.11,13 Diuretik kuat
tidak mengurangi mortalitas gagal jantung, penggunaan diuretik harus dikombinasi
dengan ACE inhibitor.11

26
3. Digoksin

Digoksin memiliki efek inotropik positif dengan menahan Ca2+ intrasel


sehingga kontraktilitas sel otot jantung meningkat. Obat ini juga memiliki efek
mengurangi aktivasi saraf simpatis sehingga dapat mengurangi denyut jantung pada
pasien fi brilasi atrium.

Efek toksik digoksin jarang, tetapi dapat terjadi pada pasien geriatri dengan
penurunan fungsi ginjal dan status gizi kurang. Digoksin tidak menurunkan mortalitas
sehingga tidak lagi dipakai sebagai obat lini pertama, tetapi dapat memperbaiki gejala
dan mengurangi rawat inap akibat memburuknya gagal jantung.14 Pada pasien geriatri,
dosis digoksin harus diturunkan dan harus dipantau kadarnya dalam darah.14

4. Penyekat beta

Pemberian penyekat beta pada gagal jantung sistolik akan mengurangi


kejadian iskemi miokard, mengurangi stimulasi sel-sel jantung dan efek antiaritmi
lain, sehingga mengurangi risiko aritmia jantung dan dengan demikian mengurangi
risiko kematian mendadak. Obat ini juga menghambat pelepasan renin sehingga
menghambat aktivasi sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron) akibatnya terjadi
penurunan hipertrofi miokard, apoptosis dan fi brosis miokard dan remodeling
miokard, sehingga progresi gagal jantung akan terhambat dan dengan demikian
menghambat perburukan kondisi klinis.

Metoprolol, bisoprolol dan carvedilol bermanfaat menurunkan progresi klinis,


hospitalisasi dan mortalitas pasien gagal jantung ringan dan sedang (NYHA kelas II-
III) stabil dengan fraksi ejeksi <35%-45%. Obat ini juga diindikasikan untuk gagal
jantung dengan etiologi iskemik maupun noniskemik. Pemberiannya dapat
dikombinasi dengan ACE inhibitor dan diuretik.

Mekanisme interaksi obat

1. Spironolakton dengan digoksin


Interaksi terjadi pada proses absorpsi, dimana spironolakton menginduksi
transporter membran p-glikoprotein (p-gp). Absorpsi aktif dari dalam lumen saluran
pencernaan ke dalam darah terjadi melalui transporter membran p- glikoprotein (p-
gp). Peningkatan kemampuan dari spironolakton untuk berikatan pada

27
glikoprotein p ini menyebabkan glokoprotein yang dapat berikatan dengan digoksin
menurun, sehingga digoksin yang absorpsi berkurang.
2. Spironolakton dengan aspirin
Interaksi terjadi pada proses ekskresi, dimana aspirin menurunkan sekresi
natrium, sehingga natrium dalam darah meningkat, akibatnya efek spironolakton
menurun, tetapi aspirin dalam dosis kecil tidak mempengaruhi. Aspirin juga
menghambat sekresi aktif canrenone (metabolit aktif spironolakton), sehingga efek
metabolit spironolakton meningkat untuk pemberian dosis berikutnya.
3. Digoksin dengan rifampicin
Interaksi terjadi pada proses metabolisme, rifampisin merupakan
penginduksi enzim cyp 1a dan 3a, menyebabkan digoksin banyak yang di
metabolisme menghasilkan metabolit yang tidak aktif, sehingga efek dari digoksin
menurun.
4. Digoksin dengan sukralfat
Mekanisme kerja sukralfat adalah membentuk kompleks ulser adheren dengan
eksudat protein seperti albumin dan fibrinogen pada sisi ulser dan melindunginya
dari serangan asam, membentuk barier viskos pada permukaan mukosa di
lambung dan duodenum, serta menghambat aktivitas pepsin dan membentuk ikatan
garam dengan empedu. Pemberian bersama sukralfat dengan digoksin
menyebabkan penurunan absorpsi dari digoksin. Interaksi obat sukralfat dengan
digoksin terjadi pada proses absorpsi.
5. Digoksin dengan amlodipin
Interaksi terjadi pada proses ekskresi, dimana sekresi aktif dari dalam darah ke
lumen tubulus proksimal terjadi melalui transporter membran p-glikoprotein (p-gp).
Amlodipin menghambat transporter membran p-glikoprotein (p-gp), sehingga
penghambatan ini menyebabkan digoksin yang di ekskresi berkurang. Penurunan
ekskresi digoksin menyebabkan kadar digoksin di dalam darah meningkat.
6. Amlodipin dengan antagonis h2
Interaksi terjadi pada proses metabolisme dimana cimetidin menghambat
metabolisme oksidatif amlodipin oleh hati, sehingga kadar amlodipin meningkat.
Interaksi terjadi juga pada proses absorpsi dimana penurunan keasaman
lambung akan meningkatkan bioavailabilitas amlodipin.

28
7. Digoksin dengan ppi
Interaksi terjadi pada proses ekskresi, dimana amlodipin menghambat
transporter membran p- glikoprotein, penghambatan ini menyebabkan digoksin yang
di ekskresi berkurang, dan terjadi peningkatan kadar digoksin dalam darah.
8. Amlodipin dengan ains
Interaksi terjadi secara farmakodinamika, dimana anti inflamasi non
steroid (ains) bekerja menghambat pembentukan prostaglandin sehingga menghambat
vasodilatasi (terjadi vasokontriksi) dan menghambat sekresi natrium di ginjal
sehingga terjadi retensi urine, kedua efek ini menyebabkan tekanan darah
meningkat. Efek dari amlodipin menurunkan tekanan darah tinggi berkurang dengan
ains. Penggunaan bersama amlodipin dengan ains juga berpotensi terjadinya
perdarahan karena calcium kanal bloker (amlodipin) mengganggu gerakan ion
kalsium melalui membrane sehingga menghambat agregasi platelet, dan ains melalui
penghambatannya terhadap enzim cyclooksigenase menyebabkan pembentukan
tromboxan yang berfungsi untuk proses pembekuan darah terhambat.
9. Bisoprolol dengan ains
Interaksi obat terjadi secara farmakodinamika, dimana anti inflamasi non
steroid (ains) bekerja menghambat enzim cyclooksigenase sehingga pembentukan
prostaglandin. Efek dari penghambatan prostaglandin yaitu menghambat vasodilatasi
(terjadi vasokontriksi) dan menghambat sekresi natrium di ginjal sehingga terjadi
retensi urine, kedua efek ini menyebabkan tekanan darah meningkat. Efek dari
bisoprolol untuk menurunkan tekanan darah tinggi berkurang dengan ains.
10. Bisoprolol dengan amlodipin
Interaksi terjadi secara farmakodinamika dengan efek sinergis, dimana
bisoprolol bekerja dengan cara memblok reseptor beta adrenergik dengan efek
menurunkan kerja jantung. Amlodipin bekerja dengan cara menduduki kanal kalsium
yang menyebabkan penurunan kontaktilitas miokardium. Penggunaan bersama kedua
obat ini menyebabkan efek yang tidak diinginkan yaitu hipotensi dan bradikardi.
Peningkatan efek spironolakton dapat dievaluasi dari hasil pemeriksaan tekanan
darah, yang menurun dengan cepat. Sedangkan peningkatan kadar digoksin dapat
dievaluasi dari keluhan pasien yang merasa sesak, pusing, jantung berdebar atau mual
karena peningkatan efek digoksin dengan efek inotropik positif. Penurunan kadar
digoksin dievaluasi dengan keluhan pasien yang merasa lemas. Adanya interaksi dari
amlodipin dengan obat lain dan bisoprolol dengan obat lain, dimana terjadi
29
peningkatan dan penurunan kadar amlodipin atau bisoprolol dievaluasi berdasarkan
hasil pengukuran tekanan darah pasien yang tidak menentu dan turun naik
F. Nyeri kanker

Nyeri kanker seringkali undertreated. Sindrom klinis nyeri kanker dapat


berupa nyeri neuropatik, nyeri nosiseptik (somatik dan viseral), dan nyeri psikogenik.
Sekitar 80% penderita mengalami lebih dari satu jenis nyeri. Gambaran klinis nyeri
kanker, dapat berupa tanda-tanda positif dan negatif seperti rasa baal, nyeri spontan,
allodinia, hiperalgesia, hiperestesia difus,parestesia, rasa terbakar, nyeri menikam
nyeri hentakan hilang timbul, nyeri menyengat, dapat disertai nyeri rujukan atau nyeri
radikular. Penyebab timbulnya nyeri pada penderita kanker bersifat multifaktorial,
dapat disebabkan oleh tumor itu sendiri (invasi tumor ke tulang, saraf, dan organ
lainnya), nyeri akibat pengobatan kanker (pembedahan, radiasi, kemoterapi), nyeri
paraneoplastik, dan nyeri yang tidak ada hubungannya dengan kanker atau terapi
kanker (infeksi, osteoartritis, osteoporosis, penyakit diskus lumbalis, neuropati
diabetik, nyeri yang dipengaruhi oleh ketakutan, kecemasan, ketegangan, depresi, dan
kelelahan).

Terapi farmakologi

Pendekatan terapi yang paling tepat adalah dengan stepwise process untuk
mengidentifikasi obat atau kombinasi obat mana yang memberikan efek
menghilangkan nyeri paling maksimal dengan efek samping yang paling minimal.
Obat- obatan yang banyak dipakai untuk terapi nyeri neuropatik antara lain adalah
sebagai berikut :

Analgesik non-opioid:nsaid, asetaminofen, tramadol.


Analgesik opioid : kodein, morfin, pentanyl patch.
Analgesik ajuvan antikonvulsan (pregabalin, gabapentin,
karbamasepin, okskarbasepin, asam valproat), antidepresan
(amitriptilin, ssri).
Steroid : deksametason, metil prednisolon.
Obat topikal seperti : krim lidokain dan patches (5 % ), kapsaisin
(8%).
Transdermal :buprenorphine.

30
G. Nyeri pasca-stroke
Nyeri pasca-stroke disebut juga nyeri talamik oleh karena lesi yang
menimbulkan nyeri terutama di talamus. Seperti pada nyeri sentral pada umumnya,
nyeri bisa timbul segera, atau, lebih sering, beberapa bulan hingga tahun setelah stroke.
Nyeri talamik merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan campuran beberapa
bentuk rasa nyeri, yang paling menonjol adalah rasa seperti terbakar yang konstan.
Rasa terbakar ini bisa meningkat pada rabaan, dan pada perubahan suhu. Gejala lain
adalah hemianestesia superficial dan deep yang parah, ataksia sensori, nyeri
intractable, hemiplegia ringan, dan choreoathetosis. Kadang-kadang timbul cetusan
rasa nyeri yang hebat yang berlangsung singkat. Lesi supratalamik di korteks dan
subkorteks sangat jarang menimbulkan nyeri. Pada lesi batang otak yang paling sering
menimbulkan nyeri adalah lesi vaskular di pons dan medulla oblongata, sedangkan
pada lesi mesensefalon belum pernah dilaporkan timbulnya nyeri sentral.
Terapi farmakologik
antidepresan : amitriptilin, paling banyak diteliti dengan hasil cukup baik. Obat lain
yang pernah diteliti pada skala kecil adalah nortriptilin, imipramin, desipramin, dan
doksepin.
Golongan ssri: fluoksetin, sertralin, fenlavaksin.
Golongan snri: duloksetin.
antikonvulsan: pregabalin, gabapentin, fenitoin, karbamasepin, klonasepam, valproat,
dan lamotrigin.

3.2 Batasan penggunaan Obat pada Lanjut Usia (Geriatric)

A. Pertimbangan Pemilihan Analgetik pada Lansia

Penanganan nyeri pada lansia, sebagaimana penanganan nyeri pada umumnya,


sebaiknya berdasarkan tipe, sifat, dan keparahan nyeri. Terapi farmakologis tetap
memainkan peranan penting untuk mengatasi nyeri pada lansia. Penting untuk diingat
bahwa pada lansia terdapat peningkatan sensitivitas terhadap kerja obat. Oleh karena
itu, setiap pilihan analgetik perlu dimulai dari dosis kecil dan dinaikkan bertahap
sesuai dengan toleransi pasien dan sasaran terapi. Hindari kombinasi analgetik yang
berasal dari golongan yang sama.

31
Beers Criteria untuk Analgetik

Dengan mempertimbangkan perubahan fisiologis yang terjadi pada lansia,


efektivitas obat sesuai bukti ilmiah, dan potensi pe-nyalahgunaannya, maka American
Geriatrics Society menerbitkan Beers criteria. Beers criteria berisi obat-obatan yang
berpotensi terjadi penyalahgunaan atau penggunaan tidak sesuai pada lansia,
khususnya lansia di komunitas. Beers Criteria khusus untuk analgetik dapat dilihat
pada tabel 2.

32
Tambahan Beers Criteria 2012:

Penggunaan tramadol harus secara hati-hati, karena dapat menurunkan


ambang batas kejang. Dapat diberikan jika kejang sudah terkontrol baik. Dapat
juga digunakan sebagai alternatif pada pasien lansia dengan osteoartritis yang
memiliki kontraindikasi ter-hadap obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS).
Alternatif untuk nyeri ringan dan sedang adalah kodein, asetaminofen, OAINS
jangka pendek, obat topikal (kapsaisin atau OAINS), khususnya pada
osteoartritis.
Alternatif untuk nyeri sedang atau berat adalah hidrokodon atau oksikodon.
Alternatif untuk nyeri neuropatik adalah duloksetin, venlafaksin, pregabalin,
gabapentin, lidokain topikal, kapsaisin, desipramin, nortriptilin.
Penggunaan OAINS selektif COX-2 sebaiknya dihindari pada pasien gagal
jantung, karena dapat memperberat edema sehingga memperburuk keadaan.
OAINS berhubungan dengan perburukan derajat gagal ginjal, oleh karena itu
tidak dianjurkan pada pasien lansia dengan gagal ginjal.

Modifikasi WHO Step Ladder pada Lansia

Penggunaan WHO analgesics step ladder pada awalnya dikhususkan untuk


pendekatan tatalaksana nyeri kanker. Tetapi dewasa ini, pendekatan ini juga dapat

33
diterapkan untuk penatalaksanaan nyeri kronis non-kanker dengan perhatian khusus.
Modifi kasi WHO analgesics step ladder pada lansia menunjuk-kan bahwa OAINS
non-spesifi k, termasuk aspirin dan propoksifen sebaiknya dihindari.

Asetaminofen (parasetamol) merupakan obat pilihan pertama untuk


tatalaksana nyeri kronik pada lansia, tetapi penting diingat bahwa penggunaannya
sebaiknya diminimalisir karena efek samping kerusakan hati. Penggunaan
asetaminofen sampai 4000 mg per hari dalam jangka panjang berhubungan dengan
kerusakan fungsi hati pada orang dewasa. Sesuai rekomendasi Food and Drugs
Administration USA (FDA-USA), penggunaan asetaminofen untuk kasus nyeri kronis
pada lansia sebaiknya dibatasi sampai 2000 mg/hari. Jika ingin memberikan OAINS,
maka pilihan utama adalah OAINS yang selektif bekerja menghambat COX 2 karena
efek gastrointestinal yang minimal (Argoff, 2005).

Yang dimaksud dengan analgetik adjuvan pada gambar 1 adalah obat-obat


golongan antikonvulsan dan antidepresan yang dapat dipergunakan pada nyeri
persisten. Secara umum, pilihan terapi adjuvan untuk nyeri per-sisten pada lansia
dapat dilihat pada tabel 3.

Opioid pada Lansia

Penggunaan opioid untuk kasus nyeri persisten pada lansia, tidak hanya pada
kasus nyeri kanker, dewasa ini semakin dapat diterima. Opioid terutama digunakan
pada kasus nyeri sedang atau berat. Meskipun demikian, sediaan opioid juga dapat
dipertimbangkan jika didapatkan kontraindikasi terhadap penggunaan obat lain,
terutama OAINS. Adiksi pada lansia jarang terjadi. Meskipun potensi itu ada, tidak
boleh dijadikan alasan kurang teratasinya nyeri pada lansia.1

Kodein dapat digunakan pada nyeri ringan. Untuk nyeri sedang dan berat
dapat digunakan morfin, hidromorfon, oksikodon, bahkan fentanil. Morfin terutama
dikeluarkan melalui ginjal, sehingga perlu hati-hati pada pasien lansia dengan
gangguan fungsi ginjal. Hidromorfon, oksikodon, dan fentanil lebih aman pada
kondisi ini. Meskipun demikian, potensi sedasi, dizziness, gangguan gait, risiko jatuh,
dan gangguan motilitas usus perlu dipertimbangkan setiap kali memberikan opioid
pada lansia. Efek samping tersebut akan hilang bersamaan dengan timbulnya toleransi

34
terhadap opioid, kecuali gangguan motilitas usus. Pemberian laksansia harus selalu
dipertimbangkan bersamaan dengan opioid.

Obat golongan opioid yang sebaiknya dihindari pada lansia adalah:

Propoksifen, karena efek gangguan susunan saraf pusat


Metadon, karena efek long acting se-hingga respons pada lansia sulit
diperkirakan
Meperidine, karena efek gangguan susunan saraf pusat, bahkan banyak
referensi menganggapnya tidak efektif sebagai analgetik
Penggunaan fentanil patch diutamakan pada nyeri stabil, tanpa eksaserbasi
atau breakthrough (pada nyeri kanker). Penggunaan pada lansia perlu
pemantauan khusus, karena absorbsinya terlalu bervariasi, dan saat dilepaskan
dari kulit efek terapeutiknya tidak langsung berhenti. Selain itu, obat ini
membutuhkan lebih kurang 48 jam untuk mencapai efek terapeutik maksimal
setelah ditempelkan di kulit. Fentanil patch tidak dianjurkan pada pasien yang
opioid nave.
Tramadol dapat memicu kejang pada pasien epilepsi, karena menurunkan
ambang batas kejang. Efek ini akan minimal jika kejang sudah terkontrol baik.

35
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan
fungsi normalnya.
2. Pasien Geriatri adalah penderita dengan usia 60 tahun keatas, memiliki karakteristik
khusus antara lain menderita beberapa penyakit akibat ganguan fungsi jasmani dan
rohani, dan sering disertai masalah psikososial.
3. Pada lansia sudah mengalami perubahan fisiologis baik secara fisik dan Sistem
muskulokeletal. Perubahan-perubahan pada usia lanjut yang berkaitan dengan
pemakaian obat itu sendiri meliputi perubahan secara Farmakokinetika,
farmakodinamika, perubahan komposisi tubuh, perubahan faal hati terkait
metabolisme obat, perubahan faal ginjal terkait ekskresi obat serta kondisi
multipatologi. Selain itu, perubahan status mental dan faal kognitif juga turut berperan
dalam pencapaian hasil pengobatan.
4. Hipertensi, gagal jantung dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus,
gangguan fungsi ginjal dan hati. Selain itu, juga terjadi keadaan yang sering
mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan badan,
penglihatan dan pendengaran. Semua keadaan ini menyebabkan lansia memperoleh
pengobatan yang banyak jenisnya (Darmansjah, 1994).
5. Obat-obat yang sering diresepkan pada lansia yaitu obat susunan saraf pusat,
kardiovaskular, antibiotik, antiinflamasi dan laksansia.
6. Penyakit serta Obat pada Lanjut Usia (Geriatric)
Hipertensi
Pilihan pertama untuk pengobatan pada penderita hipertensi lanjut usia adalah
diuretic atau penyekat beta.
Rheumatik (Rematik)
Obat analgesik yang dapat dipakai adalah asetaminofen dosis 2,6-4,9 g/hari
atau profoksifen HCL. Asam salisilat juga cukup efektif namun, perhatikan
efek samping pada saluran cerna dan ginjal.

36
Osteoporosis
Alendronat dan Kalsitonin
Insomnia
Benzodiazepines
Trazodone adalah antidepresan non trisiklik dengan sifat menenangkan yang
sering digunakan dalam dosis rendah sebagai hipnosis.
Gagal Jantung
ACE inhibitor, Diuretik, Digoksin, Penyekat beta
Nyeri kanker
- Analgesik non-opioid:nsaid, asetaminofen, tramadol.
- Analgesik opioid : kodein, morfin, pentanyl patch.
- Analgesik ajuvan antikonvulsan (pregabalin, gabapentin, karbamasepin,
okskarbasepin, asam valproat), antidepresan (amitriptilin, ssri).
- Steroid : deksametason, metil prednisolon.
Nyeri pasca-stroke

antidepresan : amitriptilin, paling banyak diteliti dengan hasil cukup baik. Obat
lain yang pernah diteliti pada skala kecil adalah nortriptilin, imipramin,
desipramin, dan doksepin.

7. Pemberian obat atau terapi untuk kaum lansia, memang banyak masalahnya, karena
beberapa obat sering beinteraksi sehingga dapat menimbulkan efek samping. Jadi
untuk meminimalisasi efek samping yang terjadi kita harus pintar-pintar dan benar-
benar mengerti tentang batasan obat yang digunakan untuk mengobati penyakit kaum
lansia (geriatric).
4.2 Saran
Dengan adanya tugas ini penulis dapat lebih memahami tentang penggunaan obat
pada lansia (geriatri). Dengan adanya tugas ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bacaan
untuk menambah wawasan dari ilmu yang telah di dapatkan dan lebih baik dari
sebelumnya.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Kuswardhani, RA Tuty dan Geriatri, Divisi. Penatalaksanaan Hipertensi Pada Lanjut


Usia. Bagian Penyakit Dalam FK. Unud, RSUP Sanglah Denpasar.
2. Barus, Jimmy. Penatalaksanaan Farmakologis Nyeri Pada Lanjut Usia. CDK-226/
vol. 42 no. 3, th. 2015. Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Atma
Jaya, Jakarta, Indonesia.
3. Imaligy, Ervinaria Uly. Gagal Jantung pada Geriatri. CDK-212/ vol. 41 no. 1, th.
2014.Dokter Umum Rumah Sakit Gigi dan Mulut Maranatha, Bandung, Indonesia.
4. Perdana DC |A 46 Years Old Woman with Gouty Arthritis, High Purin Intake and
Work As A Servant. J Medula Unila | Volume 3 Nomor 1 | September 2014 | 15.
5. Rahmawati, Yuni. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 28, No. 2, Agustus 2014.
Permasalahan Pemberian Obat pada Pasien Geriatri di Ruang Perawatan RSUD Saiful
Anwar Malang
6. https://qamraa.files.wordpress.com/2014/12/portofolio-lansia.pdf
7. https://www.google.com/search?sclient=psy-ab&client=firefox-
a&rls=org.mozilla%3AenUS%3Aofficial&btnG=Search&q=makalah+penggunaan+o
bat+pada+lanjut+usia+fdf#q=makalah+penggunaan+obat+pada+geriatri
8. https://yosefw.wordpress.com/2009/03/19/farmakokinetik-pada-geriatri/
9. https://yosefw.wordpress.com/2009/03/20/pertimbangan-terapi-pada-geriatri-lanjut-
usia/
10. Anonim, 2006, Terapi pada Usia Lanjut (Geriatri),
http://pojokapoteker.blogspot.com/2008/12/terapi-pada-usia-lanjut-geriatri.html
,diakses 14 Maret 2009
11. Anonim, 2004, Bagi Kaum Lansia Obat tidak Selalu Menjadi Sahabat
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/01/index.htm.. Diakses tanggal 14 Maret
2009
12. www.google.com
13. Sukandar., E.Yulinah., dkk. 2011.ISO Farmakoterapi 2. Jakarta Barat . Ikatan
Apoteker Indonesia..hal : 359-374.
14. Maryam, R.Siti., dkk. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta.
Salemba Medika.
15. Diakses pada tanggal : 15 oktober 2016

38
16. https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=jxpDEZ27dnwC&oi=fnd&pg=PR5&
dq=obat+pada+geriatri&ots=CyS-
l5lc_2&sig=tpv4CKOAy2Fsyx2OA10BKQ6NTzA&redir_esc=y#v=onepage&q=obat
%20pada%20geriatri&f=false
17. Lusiana, winda. Farmakoterapi Pada Usia Lanjut. Bagian Farmakologi Klinik
Fakultas Kedokteran. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
18. Diakses pada tanggal 18 Oktober 2016 :
19. https://www.scribd.com/doc/183117159/Farmakoterapi-Pada-Lansia
20. Pranarka, Kris. 2016. Penerapan geriatrik kedokteran menuju usia lanjut yang sehat.
Divisi Geriatrik. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro.
21. Diakses pada tanggal : 25 oktober 2016
22. http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2011/02/kRISPRANAKA.pdf
23. Supraptini., dkk. 2005. Pola pencarian pengobatan pada usia lanjut. Media penelitian
dan pengembangan kesehatan. Vol.XV.

39

Вам также может понравиться