Вы находитесь на странице: 1из 12

Perencanaan infrastruktur

Perencanaan infratsruktur dalam wilayah perencanaan yaki berupa arahan terkait perbaikan
kondisi infrastruktur yang sudah ada dan arahan ketentuan terhadap pembuatan infrastruktur
baru. Kondisi infrastruktur yang ada saat ini secara keseluruhan telah memenuhi kebutuhan
masyarakat saat ini, namun terdapat beberapa infrastruktur yang belum tersedia sehingga perlu
diarahkan untuk pengadaan infrastruktur tersebut. Adapun penjabaran terkait arahan
pengembangan infrastruktur dalam wilayah perencanaan yakni sebagai berikut.
1. Jalan
Infrastruktur jalan yang ada di wilayah perencanaan masih perlu ditingkatkan, baik dari
segi fisik jalan, perlengkapan jalan, hingga penentuan fungsi jalan itu sendiri. Peningkatan jalan
dari segi fisik nya dapat berupa perkerasan jalan dan pelebaran jalan. Sedangkan peningkatan
jalan dari segi perlengkapan jalan yakni dapat berupa pengadaan marka jalan, rambu-rambu
lalu lintas, fasilitas penerangan jalan, pengadaan halte, dan lahan parkir. Pengadaan
perlengkapan jalan tersebut dapat mengacu pada aturan Sedangkan untuk penningkatan fungsi
jalan yakni berupa peningkatan kriteria jalan berdasarkan aturan yang telah berlaku. Arahan
peningkatan infrastruktur jalan tersebut dapat mengacu pada aturan sebagai berikut.
(1) Undang-undang No.38 tahun 2004 tentang Jalan
(2) PP no.34 tahun 2006 tentang Jalan
(3) Keputusan Menteri Perhubungan No. 60 KM Tahun 1993 tentang Marka Jalan
(4) Keputusan Menteri Perhubungan No. 61 KM Tahun 1993 tentang Rambu Lalu Lintas
Jalan;
(5) Keputusan Menteri Perhubungan No. 62 KM Tahun 1993 tentang Alat Pemberi Isyarat
Lalu Lintas;
(6) Keputusan Menteri Perhubungan No. 3 KM Tahun 1994 tentang Alat Pengendali dan
Pengaman Pemakai Jalan;
(7) Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 14 Tahun 2006 tentang Manajemen dan
Rekayasa Lalu Lintas di Jalan
(8) RSNI Tahun 2004 tentang Geometri Jalan Perkotaan
Adapun strategi pengembangan infrastruktur jalan di wilayah perencanaan yakni sebagai
berikut.
a. Jalan Kolektor Primer
Jalan kolektor primer adalah jalan yang menghubungkan antara pusat kegiatan nasional
dengan pusat kegiatan lokal, antara pusat kegiatan wilayah, atau antara pusat kegiatan wilayah
dengan pusat kegiatan lokal ( Pasal 10 ayat 2 PP No.34 tahun 2006 tentang Jalan). Berdasarkan
kondisi eksisting di wilayah perencanaan, jalan yang termasuk dalam hirarki jalan kolektor
primer yakni Jl. Prof.Dr.Ir.Sutami, Jln. Kapasa Raya, dan Jalan Kawasan Pergudangan dan
Industri Parangloe. Sesuai dengan hasil analisis, jalan kolektor primer tersebut masih perlu
dilakukan peningkatan fisik dan perlengkapan jalan. Arahan peningkatan jalan tersebut berupa
penyesuaian dengan aturan yang ada. Perkerasan jalan dilakukan sesuai dengan aturan lebar
jalan kolektor primer dalam PP No.34 Tahun 2006 tentang Jalan, yakni minimal 10 meter
dengan kecepatan minimal 40 km/jam. Selain itu juga perlu dilakukan penataan jalur hijau di
sepanjang jalan, jalur pejalan kaki, penyediaan penerangan jalan dan rambu lalu lintas, serta
penarapan aturan garis sempadan bangunan.
b. Jalan Kolektor Sekunder
Jalan kolektor sekunder sesuai dengan yang tertera pada pasal 11 ayat 2 dalam PP no.34
tahun 2006 tentang Jalan adalah jalan yang menguhubungkan kawasan sekunder kesatu dengan
perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan,kawasan sekunder ketiga dan
seterusnya sampai ke perumahan. Berdasarkan kondisi eksisting di wilayah perencanaan, ruas
jalan yang termasuk dalam hirarki jalan kolektor sekunder yakni Jl.Tol Lama, Jl. Lantebung,
dan Jl. Daeng Ta Quila. Sesuai dengan hasil analisis, jalan kolektor sekunder tersebut masih
belum sesuai dengan standar yang ada, sehingga masih perlu dilakukan peningkatan jalan.
Arahan terkait peningkatan jalan kolektor sekunder tersebut yakni dengan melakukan
pelebaran dan perkerasan jalan sebesar 9 meter (PP No.34 tahun 2006 tentang Jalan).
Kecepatan kendaraan pada jalan ini minimal 20 (dua puluh) km/jam. Selain itu, pada jalan ini
juga diarahkan untuk melakukan penataan jalur hijau di sepanjang jalan, jalur pejalan kaki,
penyediaan penerangan jalan dan rambu lalu lintas, serta penarapan aturan garis sempadan
bangunan.
c. Jalan Lokal Primer
Jalan lokal primer adalah pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat
kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat
kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan. ( Pasal
10 ayat 3 PP No.34 tahun 2006 tentang Jalan).berdasarkan kondisi eksisting, ruas jalan yang
ada di wilayah perencanaan yakni Jl. Komp. Bontoa. Sesuai dengan hasil analisis, jalan lokal
primer tersebut belum memenuhi kriteria jalan yang ada. Oleh karena itu, arahan terkait
peningkatan jalan lokal pimer di wilayah perencanaan yakni melakukan pelebaran dan
perkerasan jalan sebesar 7,5 meter dengan kecepatan kendaraan paling rendah sebesar 20
km/jam. Sama hal nya denga arahan peningkatan jalan lainnya, peningkatan jalan lokal primer
ini juga perlu dilengkapi denga fasilitas penerangan jalan, jalur pejalan kaki, penataan jalur
hijau, dan penerapan aturan garis sempadan bangunan.
d. Jalan Lingkungan Kawasan Industri
Jalan lingkungan kawasan industri adalah jalan yang disediakan dalam khusus untuk di
dalam kawasan idnsutri. Jalan lingkungan tersebut. Jalan lingkungan yang direncanakan
memiliki perbedaan dengan jalan pada umumnya. Berdasarkan Permenperin No.35/M-
IND/PER//2010 tentang Pedoman Teknis Kawasan Industri, jaringan jalan lingkungan
kawasan industri berupa jalan dua jalur dengan satu arah, lebar perkerasan jalan minimum 2x7
meter atau sama dengan 14 meter.
No. Segmen Hirarki Jalan Standar Arahan Potongan
Kolektor Primer Kecepatan rencana 1. Pelebaran jalan sesuai dengan
Jalan Prof. Dr. Ir. minimal 40 km/jam standar dan aktivitas
1
Sutami pergerakan yang ada hingga 20
Lebar badan jalan
tahun mendatang
minimal 10 m
2. Penataan jalur hijau dan
Jalan Kapasa Raya penerangan pada median jalan
2 3. Penerapan aturan garis
sempadan bangunan
4. Penataan jalur hijau dan
Jalan Kawasan
fasilitas pejala kaki di sisi jalan
Pergudangan dan
3 5. Parkir di badan jalan
Industri Parangloe
diperkenankan tetapi terpisah
dengan jalur cepat, selain
Perencanaan Jalan mempertimbangkan volume
7 kendaraan, lebar (kapasitas
Baru
jalan), dan jumlah jalur
Kolektor Kecepatan rencana 1. Pelebaran jalan sesuai dengan
Sekunder minimal 20 km/jam standar dan aktivitas
4 Jalan Tol Lama pergerakan yang ada hingga 20
Lebar badan jalan
tahun mendatang
minimal 9 m
2. Penataan jalur hijau dan
penerangan pada median jalan
5 Jalan Lantebung 3. Penerapan aturan garis
sempadan bangunan
4. Penataan jalur hijau dan
fasilitas pejala kaki di sisi jalan
6 Jalan Daeng Ta Qulia
5. Parkir di badan jalan
diperkenankan tetapi terpisah
dengan jalur cepat, selain
Perencanaan Jalan mempertimbangkan volume
7 kendaraan, lebar (kapasitas
Baru
jalan), dan jumlah lajur
No. Segmen Hirarki Jalan Standar Arahan Potongan
Jalan Kompleks Lokal Primer Kecepatan rencana 1. Pelebaran jalan sesuai dengan
Bontoa maksimal 10 km/jam standar dan aktivitas
Lebar badan jalan pergerakan yang ada hingga 20
minimal 7 m tahun mendatang
2. Penataan jalur hijau dan
penerangan pada median jalan
3. Penerapan aturan garis
sempadan bangunan
Perencanaan Jalan 4. Penataan jalur hijau dan
Baru fasilitas pejala kaki di sisi jalan
5. Parkir di badan jalan
diperkenankan tetapi terpisah
dengan jalur cepat, selain
mempertimbangkan volume
kendaraan, lebar (kapasitas
jalan), dan jumlah lajur
lingkungan Lebar Jalan minimal 14 1. Penataan jalur hijau dan
meter penerangan pada median jalan
2. Penerapan aturan garis
sempadan bangunan
Perencanaan jalan 3. Penataan jalur hijau dan
lingkungan kawasan fasilitas pejala kaki di sisi jalan
industri 4. Parkir di badan jalan
diperkenankan tetapi terpisah
dengan jalur cepat, selain
mempertimbangkan volume
kendaraan, lebar (kapasitas
jalan) dan jumlah jalur
2. Prasarana Air Bersih
Berdasarkan hasil analisis, prasarana air bersih di wilayah perencanaan sesuai kondisi
eksisting sudah memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun untuk pemenuhan kebutuhan air
bersih hingga 20 tahun kedepan, supply air bersih tersebut belum memadai. Oleh karena itu,
arahan perencanaan terkait prasarana air bersih di wilayah perencanaan yakni sebagai berikut.
a. Pembuatan IPA di wilayah perencanaan
Berdasarkan hasil analisis, kebutuhan air bersih di wilayah perencanaan hingga 20 tahun
kedepan adalah mencapai 565 liter/detik atau setara dengan 48.830 m3/hari. Untuk memenuhi
kebutuhan air bersih tersebut, maka diarahkan untuk melakukan pembuatan IPA. IPA yang
direncanakan tersebut dapat dilakukan dengan 2 piliha, yakni IPA dengan kapasitas 500
liter/detik atau IPA dengan kapasitas 1000 liter/detik.. Luas lahan yang dibutuhkan untuk
pembangunan IPA 500liter/detik yakni sebesar 0,018 km2 sedangkan untuk IPA
1000liter/detik membutuhkan lahan seluas 0,03 km2.
b. Peningkatan sistem penyaluran air bersih dari IPA
Arahan kedua terkait prasarana air bersih di wilayah perencanaan yakni berupa
peningkatan sistem penyaluran air bersih di wilayah perencanaan. Peningkatan sistem tersebut
berupa peningkatan fungsi dari jaringan air bersih yang sudah ada dan pembuatan jaringan air
bersih yang baru. Pembuatan jaringan air bersih baru dilakukan dengan menggunakan sistem
perpipaan yang meliputi jaringan primer dan jaringan sekunder. Jaringan primer adalah pipa
yang menyalurkan air dari IPA ke blok-blok peruntukkan. Sedangkan jaringan sekunder adalah
pipa yang menyalurkan air dari jaringan primer ke petak-petak di masing-masing blok
peruntukan.
c. Pengembangan hidran kebakaran
Arahan pengembangan hidran kebarakan bertujuan untuk mendukung pelayanan utilitas
pemadam kebakaran. Adapun aturan terkait pengadaan hidran kebakaran yakni sebagai berikut.
1) Penempatan hidran minimal berjarak 100 meter dari bangunan. Penempatannya harus di
tempat yang mudah terlihat dan dicapai oleh unit pemadam kebakaran;
2) Hidran sebaiknya diletakkan berjarak 60-180 cm dari tepi jalan untuk menghindari
gangguan arus lalu lintas;
3) Hidran sebaiknya diletakkan berjarak 1 meter dari bangunan permanen atau gerbang pintu
keluar masuk yang jauh dari traffic light;
4) Hidran akan lebih efektif diletakkan di persimpangan jalan, karena jangkauan daerahnya
akan lebih luas.
3. Jaringan Drainase
Berdasarkan Permenperin No.35 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Kawasan Industri,
saluran drainase adalah saluran pembuangan air hujan yang bermuara kepada saluran
pembuangan sesuai dengan ketentuan teknis Pemerintah Daerah setempat menyangkut daerah
aliran sungai, cekungan drainase dan daerah rawa. Arahan perencanaan terkait jaringan
drainase di wilayah perencanaan yakni berupa arahan perencanaan jaringan drainase baru dan
juga peningkatan jaringan drainase yang telah ada.
Arahan perencanaan untuk jaringan drainase baru di wilayah perencanaan yakni sebagai
berikut.
a. Sistem drainase yang direncanakan berintegrasi dengan jaringan jalan, dengan
pertimbangan memudahkan pengawasan dan pemeliharaan.
b. Penentuan penggunaan sistem jaringan drainase terbuka dan tertutup, disesuaikan dengan
kondisi blok peruntukan dalam kawasan. Penentuan dimenasi saluran disesuaikan dengan
mempertimbangkan besarnya curah hujan dan debit aliran.
c. Pembangunan sumur-sumur resapan di kawasan resapan air, terutama pada kawasan
terbangun yang berada di kawasan resapan air. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan debit
air tanah melalui upaya peresapan air hujan ke dalam tanah.
Adapun arahan perencanaan terkait peningkatan jaringan drainase yang ada dapat dilihat
pada tabel.
No. Gambar Hirarki Drainase Standar Arahan Potongan
Pengerukan drainase
1 Drainase Primer Penyesuaian kapasitas berupa ukuran
lebar dan kedalaman drainase dengan
2 Drainase Sekunder standar yang berlaku
Peningkatan kedisiplinan masyarakat
terkait budaya membuang sampah ke
3 Drainase Tersier
drainase
4. Prasaraana Air Limbah
Berdasarkan hasil analisis, Air limbah yang dihasilkan baik masyarakat maupun kegiatan
industri untuk kondisi eksisting langsung di alirkan ke badan air terdekat, tidak melalui proses
pengelolaan terlebih dahulu. Hal ini disebabkan oleh tidak tersedianya IPAL di wilayah
perencanaan. Oleh karena itu, arahan pengembangan prasarana air limbah di wilayah
perencanaan yakni sebagai berikut.
a. Pembuatan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Air limbah yang diolah dalam IPAL
kawasan mencakup air limbah yang berasal dari proses produksi industri, kegiatan rumah
tangga (domestik) industri, perkantoran, dan perumahan. Unit utama pengolahan pada
IPAL kawasan industri yang direncanakan meliputi unit ekualisasi, unit pemisahan
padatan, unit biologis, dan unit pengolahan lumpur. Berdasarkan volume limbah yang
dihasilkan, maka perencanaan terkait prasarana limbah yakni pembuatan IPAL yang
berkapasitas 64.800 m3/hari.
b. Pengembangan sistem jaringan air buangan (limbah) yang dari pusat kegiatan ke IPAL
c. Pengembangan upaya penggunaan sistem sanitasi setempat (on site sanitation) untuk
sistem pembuangan limbah domestik. Sistem sanitasi setempat yakni berupa sistem
penggunaan jamban dan dikelola secara individual atau komunal yang dilengkapi dengan
tangki septik di tiap-tiap petak dalam blok peruntukan non industri.
d. Pengembangan bangunan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) . IPLT dapat
berfungsi untuk mrngolah lumpur tinja yang disedot dari setiap tanki septik dan masih
mengandung konsentrat pekat dari bahan organik, sebelum dibuang atau dipergunakan
untuk keperluan lain. Pengalokasian IPTL dapat dilakukan pada blok yang sama dengan
pengolah limbah industri.
e. Sistem pembuangan limbah industri, dilakukan dengan menyediakan sarana pengumpul di
masing-masing simpul blok kavling industri, menggunakan pompa vacum (vacum truck).
Selanjutnya, limbah ini dibawa ke waste water treatment plant (WWTP). Pengumpulan
dan pengolahan limbah di WWTP hendaknya dilakukan sesuai standar yang berlaku dan
didahului dengan pembuatan Studi AMDAL. Studi AMDAL tersebut juga bertujuan untuk
mengukut kualitas air limbah yang berlu diukur melalui 4 parameter kunci, yaitu BOD,
COD, pH dan TSS. Sehubungan dengan IPAL terpadu hanya mengolah 4 parameter, maka
pihak pengelola wajib menetapkan standar influent yang boleh dimasukan ke dalam IPAL
terpadu, dan parameter limbah cair lain atau kualitas atas 4 parameter kuinci tersebut jauh
di atas standar influent, maka wajib dikelola terlebih dahulu (pre treatment) oleh masing-
masing pabrik).
5. Prasarana Persampahan
Berdasarkan hasil analisis, arahan perencanaan terkait prasarana persampahan di wilayah
perencanaan yakni berupa pengembangan prasarana pembuangan sampah dan arahan teknis
operasional nya. Arahan terkait pengembangan prasarana yakni berupa penyediaan prasarana
tempat pembuangan sampah yang sesuai dengan kebutuhan wilayah perencanaan hingga 20
tahun ke depan. Dalam analisis timbulan sampah di wilayah perencanaan, jumlah timbulan
sampah secara keseluruhan berjumah 416,3 m3/hari sehingga dibutuhkan 57 unit armada
pengankut sampah dan 57 unit TPS.
Sedangkan arahan terkait teknis operasional persampahan di wilayah perencanaan yakni
sebagai berikut.
a. Penerapan teknik pemilahan dan pengumpulan sampah berdasarkan jenis sampahnya
(sampah organik dan anorganik). Dalam pelaksanaan pengolahan sampah dapat dilakukan
oleh pengelola kawasan industri atau pemerintah daerah setempat. Hal tersebut sudah
sesuai dengan pedoman teknis kawasan industri.
b. Penerapan pola individual langsung (door to door) pada kawasan permukiman.
c. Penerapan pola pengumpulan individual tidak langsung pada kawasan pertokoan
d. Penerapan pola pengumpulan komunal langsung pada kawasan industri, yakni dimana
sampah dari kegiatan industri dikumpulkan ke TPS setempat kemudian dibawa langsung
ke TPA.

6. Telekomunikasi
Arahan pengembangan prasarana telekomunikasi di wilayah perencanaan yakni dengan
penyediaan sambungan telepon dan penyediaan tower BTS (Base Transceiver Station).
Berdasarkan hasil analisis, kebutuhan sambungan telepon di wilayah perencanaan yakni
sebesar 12.961 SST dengan rincian kegiatan industri sebanyak 12.592 SST dan untuk fasilitas
umum sebanyak 369,8 SST. Jaringan telekomunikasi yang dipersiapkan adalah untuk melayani
kapling-kapling industri dengan system kabel atas dan kabel bawah tanah. Sistem jaringan
telepon di wilayah perencanaan juga diarahkan pada perencanaan jaringan primer dan
sekunder.
Arahan lainnya yakni penyediaan tower BTS. penyediaan tower BTS (Base Transceiver
Station) sangat penting untuk mendukung kebutuhan telekomunikasi masyarakat, sehingga
BTS dapat menjangkau ke seluruh wilayah. Dalam pemanfaatannya BTS direncanakan
menjadi BTS terpadu, hal ini dilakukan untuk menghindari terciptanya hutan tower. Selain itu,
suatu kawasan yang akan berkembang menjadi industri besar sebaiknya memiliki tower BTS
khusus. Secara teori, jarak aman terdekat dengan BTS adalah sama dengan tinggi tower
tersebut. Katakan untuk tinggi tower 52 meter, maka jarak ideal bangunan terdekat dengan
tower pun harus 52 meter. Ini adalah perlindungan maksimal bangunan dari kemungkinan
terjadinya tower yang ambruk. Ilustrasi terkait jarak aman BTS adalah pada gambar sebagai
berikut.

Gambar 5.12 Ilustrasi Jarak Aman BTS terhadap Wilayah Sekitarnya

Namun melihat perkembangan saat ini hingga masa mendatang, pengembangan jaringan
kabel akan semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya penggunaan
menara BTS dibandingkan dengan jaringan kabel. Oleh karena itu perlu regulasi khusus untuk
penyediaan infrastruktur tersebut, agar perkembangan menara dapat dibatasi sehingga tidak
memberikan dampak teknis maupun visual terhadap wilayah.

7. Energi
Jaringan energi listrik merupakan salah satu prasarana viatl dalam menunjang kegiatan
yang ada di wilayah perencanaan. Berdasarkan hasil analisis, penggunaan energi listrik dalam
wilayah perencanaan terbagi menjadi dua, yakni kebutuhan domestik dan non domestik.
Penggunaan untuk keperluan domestik mencakup kebutuhan listrik rumah tangga sehari-hari,
sedangkan keperluan non domestik mencakup fasilitas pelayanan umum, sosial, perdagangan
dan industri. Adapun arahan perencanaan terkait energi listrik di wilayah perencanaan yakni
sebagai berikut.
a. Penyediaan jaringan listrik yang dapat mendukung seluruh kebutuhan kegiatan di wilayah
perencanaan, yakni sebesar 91 MW yang terdiri dari kebutuhan listrik untuk industri,
perumahan, fasilitas umum dan fasilitas sosial serta penerangan jalan.
b. Perencanaan pengembangan jaringan listrik bawah tanah melalui penyediaan ruang bagi
instalasi listrik bawah tanah terutama pada jaringan jalan baru dan pada pengembangan
kawasan baru (industri, perumahan, dsb).
c. Pemanfaatan energi matahari dan angin sebagai sumber energi listrik terbarukan di wilayah
perencanaan. Pemanfaatan kedua sumber energi terbarukan tersebut dapat direalisasikan
dengan bantuan teknologi photovoltaic (solar cell), yakni teknologi yang mampu mengubah
sinar matahari secara langsung menjadi energi listrik dan teknologi turbin angin untuk
menangkap energi kinetik angin yang kemudian dihubungkan dengan generator listrik untuk
menghasilkan energi listrik (Winarto, 2013). Kedua sumber energi ini dapat menjadi sumber
energi terbarukan yang dapat menjadi sumber pembangkit listrik alternativ di wilayah
perencanaan.

Вам также может понравиться