Вы находитесь на странице: 1из 23

A.

Kerajaan - Kerajaan di indonesia

*10 Kerajaan Tertua di Indonesia yang mungkin anda belum mengetahuinya


1.Kerajaan Sunda (669-1579 M)

Kerajaan Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan


yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh
Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang
berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah
yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat
Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan
Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci
agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada
Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan
Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali
Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.

2. Kerajaan Kanjuruhan (Abad ke-6 M)

Kanjuruhan adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur, yang pusatnya
berada di dekat Kota Malang sekarang. Kanjuruhan diduga telah berdiri pada abad ke-6
Masehi (masih sezaman dengan Kerajaan Taruma di sekitar Bekasi dan Bogor sekarang).
Bukti tertulis mengenai kerajaan ini adalah Prasasti Dinoyo. Rajanya yang terkenal adalah
Gajayana. Peninggalan lainnya adalah Candi Badut dan Candi Wurung.

3. Kerajaan Kalingga (Abad ke-6 M)


Kalingga adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Tengah, yang pusatnya
berada di daerah Kabupaten Jepara sekarang. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi
dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah
diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri,
akan dipotong tangannya.
Putri Maharani Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang
bernama Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh.
Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga
dari Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang
bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732
M).
Setelah Maharani Shima meninggal di tahun 732 M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan
menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan
kemudian mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.
Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu
Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban.
Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau
Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.

4. Kerajaan Barus (Abad ke-6 M)


Kesultanan Barus merupakan kelanjutan kerajaan di Barus paska masuknya Islam ke
Barus. Islam masuk ke Barus pada awal-awal munculnya agama Islam di semenanjung
Arab.Dalam sebuah penggalian arkeologi, ditemukan Makam Mahligai sebuah perkuburan
bersejarah Syeh Rukunuddin dan Syeh Usuluddin yang menandakan masuknya agama
Islam pertama ke Indonesia pada Abad ke VII Masehi di Kecamatan Barus.
Kuburan ini panjangnya kira-kira 7 meter dihiasi oleh beberapa batu nisan yang khas dan
unik dengan bertulisan bahasa Arab, Tarikh 48 H dan Makam Mahligai merupakan Objek
Wisata Religius bagi umat Islam se-Dunia yang Letaknya 75 Km dari Sibolga dan 359 Km
dari Kota Medan.
Raja pertama yang menjadi muslim adalah Raja Kadir yang kemudian diteruskan kepada
anak-anaknya yang kemudian bergelar Sultan.
Raja Kadir merupakan penerus kerajaan yang telah turun-temurun memerintah Barus dan
merupakan keturunan Raja Alang Pardosi, pertama sekali mendirikan pusat Kerajaaannya
di Toddang (tundang), Tukka, Pakkat - juga dikenal sebagai negeri Rambe, yang
bermigrasi dari Balige dari marga Pohan.
Pada abad ke-6, telah berdiri sebuah otoritas baru di Barus yang didirikan oleh Sultan
Ibrahimsyah yang datang dari Tarusan, Minang, keturunan Batak dari kumpulan marga
Pasaribu, yang akhirnya membentuk Dulisme kepemimpinan di Barus

5. Kerajaan Tarumanegara (358-669 M)


Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah
berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma
merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah.
Dalam catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa
pada saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.
Bila menilik dari catatan sejarah ataupun prasasti yang ada, tidak ada penjelasan atau
catatan yang pasti mengenai siapakah yang pertama kalinya mendirikan kerajaan
Tarumanegara. Raja yang pernah berkuasa dan sangat terkenal dalam catatan sejarah
adalah Purnawarman. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan
Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian,
sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum
brahmana.
Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan tujuh buah prasasti batu yang
ditemukan. Empat di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-
prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada
tahun 358 M dan beliau memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru
Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara
ialah kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara.

6. Kerajaan Kutai Martadipura (350-400 M)

Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki


bukti sejarah tertua. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di
hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diambil . Nama Kutai diberikan oleh para ahli
mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi
kerajaan tersebut. Tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini dan
memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh.

7. Kerajaan Sekala Brak (Abad ke-3 M)


Sekala Brak (Baca: Sekala Bekhak) adalah sebuah kerajaan yang bercirikan Hindu
dan dikenal dengan Kerajaan Sekala Brak Hindu yang setelah kedatangan Empat Umpu
dari Pagaruyung yang menyebarkan agama Islam kemudian berubah menjadi Kepaksian
Sekala Brak, terletak di kaki Gunung Pesagi (gunung tertinggi di Lampung) Yang menjadi
cikal-bakal suku bangsa etnis Lampung saat ini.

8. Kerajaan Melayu Tua Jambi (Abad ke-2 M)

Dharmasraya merupakan nama ibukota dari sebuah Kerajaan Melayu di


Sumatera, nama ini muncul seiring dengan melemahnya kerajaan Sriwijaya setelah
serangan Rajendra Coladewa raja Chola dari Koromandel pada tahun 1025.
Dalam naskah berjudul Chu-fan-chi karya Chau Ju-kua tahun 1225 disebutkan bahwa
negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi,
Ch'ai-ya atau Chaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan
Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), Ji-lo-
t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-
an (muara sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang), Tsien-mai (Semawe, pantai
timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya),
Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin-
fong (Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi
membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatera sampai Sunda.

9. Kerajaan Salakanagara (130-362 M)


Kerajaan ini adalah kerajaan yang pertama di daerah Jawa Barat yang pernah
tercatat oleh sejarah. Salakanagara, berdasarkan Naskah Wangsakerta Pustaka Rajyarajya i
Bhumi Nusantara (yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta)
diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara).
Nama ahli dan sejarawan yang membuktikan bahwa tatar Banten memiliki nilai-nilai
sejarah yang tinggi, antara lain adalah Husein Djajadiningrat, Tb. H. Achmad, Hasan
Muarif Ambary, Halwany Michrob dan lain-lainnya. Banyak sudah temuan-temuan
mereka disusun dalam tulisan-tulisan, ulasan-ulasan maupun dalam buku. Belum lagi
nama-nama seperti John Miksic, Takashi, Atja, Saleh Danasasmita, Yoseph Iskandar,
Claude Guillot, Ayatrohaedi, Wishnu Handoko dan lain-lain yang menambah wawasan
mengenai Banten menjadi tambah luas dan terbuka dengan karya-karyanya dibuat baik
dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.
Pendiri Salakanagara, Dewawarman adalah duta keliling, pedagang sekaligus perantau
dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan puteri
penghulu setempat.

10.Kerajaan Kandis (sebelum Masehi)


Kerajaan ini diperkirakan berdiri sebelum Masehi, mendahului berdirinya kerajaan
Moloyou atau Dharmasraya.
Dua tokoh yang sering disebut sebagai raja kerajaan ini adalah Patih dan Tumenggung.
Nenek moyang Lubuk Jambi diyakini berasal dari keturunan waliyullah Raja Iskandar
Zulkarnain. Tiga orang putra Iskandar Zulkarnain yang bernama Maharaja Alif, Maharaja
Depang dan Maharaja Diraja berpencar mencari daerah baru. Maharaja Alif ke Banda
Ruhum, Maharaja Depang ke Bandar Cina dan Maharaja Diraja ke Pulau Emas (Sumatra).
Ketika berlabuh di Pulau Emas, Maharaja Diraja dan rombongannya mendirikan sebuah
kerajaan yang dinamakan dengan Kerajaan Kandis yang berlokasi di Bukit Bakar/Bukit
Bakau. Daerah ini merupakan daerah yang hijau dan subur yang dikelilingi oleh sungai
yang jernih.

*KARATON-KARATON LAMA-JAWA
a.Kalingga

Sekitar tahun 618-906 di Jawa Tengah ada kerajaan bernama Kalingga/Holing.


Rakyat tenteram dan hidup makmur. Sejak tahun 674 diperintah oleh seorang raja
perempuan bernama Simo, yang memerintah berdasarkan kejujuran mutlak, sangat keras
dan masing-masing orang mempunyai hak dan kewajiban yang tidak berani dilanggar.
Sebagai contoh: putra mahkota pun dipotong kakinya karena menyentuh barang yang
bukan miliknya di tempat umum.

b.Mataram Lama (Jawa Tengah)


Di desa Canggal (barat daya Magelang) ditemukan sebuah prasasti berangka
tahun 732, berhuruf Pallawa dan digubah dalam bahasa Sanskerta. Isi utama menceritakan
tentang peringatan didirikannya sebuah lingga (lambang Siwa) di atas sebuah bukit di
daerah Kunjarakunja oleh raja Sanjaya, di sebuah pulau yang mulia bernama Yawadwipa
yang kaya raya akan hasil bumi khususnya padi dan emas.
Mendirikan lingga secara khusus adalah mendirikan kerajaan. Tempat tepatnya adalah di
gunung Wukir desa Canggal. Disini diketemukan sisa-sisa sebuah candi induk dengan 3
(tiga) candi perwara di depannya. Sayangnya yang masih tersisa sangat sedikit sekali,
dimana lingganya sudah tidak ada dan yang ada hanya landasannya yaitu sebuah yoni
besar sekali, disamping candinya pun juga sudah tidak berwujud lagi.
Yawadwipa mula-mula diperintah oleh raja Sanna, sangat lama, bijaksana dan berbudi
halus. Lalu setelah wafat digantikan oleh Sanjaya, anak Sannaha (saudara perempuan
Sanna), raja yang ahli dalam kitab-kitab suci dan keprajuritan, menciptakan ketenteraman
dan kemakmuran yang dapat dinikmati rakyatnya.
Dari prasasti-prasasti para raja yang berturut-turut menggantikannya, Sanjaya dianggap
sebagai Wamsakarta dari kerajaan Mataram dan diakui betapa besarnya Sanjaya itu bagi
mereka sampai abad X.

c.Kanjuruhan (Jawa Timur)


Di desa Dinoyo (barat laut Malang) diketemukan sebuah prasasti berangka tahun
760, berhuruf Kawi dan berbahasa Sanskerta, yang menceritakan bahwa dalam abad VIII
ada kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan (sekarang desa Kejuron) dengan raja bernama
Dewasimha dan berputra Limwa (saat menjadi pengganti ayahnya bernama Gajayana),
yang mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk dewa Agastya dan diresmikan tahun 760.
Upacara peresmian dilakukan oleh para pendeta ahli Weda (agama Siwa). Bangunan kuno
yang saat ini masih ada di desa Kejuron adalah Candi Badut, berlanggam Jawa Tengah,
sebagian masih tegak dan terdapat lingga (mungkin lambang Agastya).

d.Sanjayawamsa dan Caielendrawasma

Kecuali di desa Canggal, sampai pertengahan abad IX dari keturunan Sanjaya


tidak ada lagi ditemukan prasasti lain, kecuali sesudah itu diketemukan prasasti-prasasti
dari keluarga raja lain, yaitu Sailendrawamsa, antara lain prasasti Kalasan.Dalam prasasti
Kalasan, berhuruf Pra-nagari, berbahasa Sanskerta, berangka tahun 778, disebutkan bahwa
para guru sang raja berhasil membujuk maharaja Tejahpurnapana Panangkarana/Kariyana
Panangkarana untuk mendirikan bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara untuk
para pendeta dalam kerajaan. Selain itu terbukti bahwa antara keluarga Sanjaya dan
keluarga Sailendra ada kerjasama yang erat dalam hal-hal tertentu.
Candi itu bernama Kalasan, di desa Kalasan (sebelah timur Yogyakarta), yang walau di
dalam candi ini saat sekarang kosong, namun melihat singgasana dan biliknya maka arca
Tara dahulu bertahta disini dan besar sekali, yang diperkirakan dari perunggu.
Menurut prasasti raja Balitung berangka tahun 907, Tejahpurna Panangkarana adalah
Rakai Panangkaran, pengganti Sanjaya. Kemudian dilanjutkan oleh Rakai Panunggalan,
Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi, Rakai Watuhumalanga
dan raja Balitung/Rakai Watukura dyah Balitung Dharmodaya Mahasambhu (yang
membuat prasasti).
Pada saat pemerintahan Sanjayawamsa berlangsung terus dengan daerah kekuasaan di
bagian utara Jawa Tengah dan beragama Hindu yang memuja Siwa, terbukti dari sifat
candinya (thn 750-850 M), maka pemerintahan Sailendrawamsa juga berlangsung terus
dengan daerah kekuasaan di bagian selatan Jawa Tengah dan beragama Buda aliran
Mahayana yang juga terbukti dari candinya. Namun kedua wamsa ini bersatu di
pertengahan abad IX, yang ditandai adanya perkawinan antara Rakai Pikatan dengan
Pramodawardhani (raja putri dari keluarga sailendra).
Selain candi Kalasan yang didirikan untuk memuliakan agama Buda, ditemukan juga
prasasti dari Kelurak (Prambanan) yang berhuruf Pra-nagari dan berbahasa Sanskerta,
yang berisi tentang pembuatan arca Manjusri (mengandung Buddha, Dharma dan
Sanggha), rajanya bergelar sri Sanggramadananjaya, dengan bangunan untuk tempat arca
yang diperkirakan (tidak jauh di sebelah utara Prambanan) bernama Candi Siwa.
Samaratungga adalah pengganti Indra, yang menurut prasasti Karangtengah (dekat
Temanggung) dalam tahun 824 ia membuat candi Wenuwana/Ngawen di sebelah barat
Muntilan. Anehnya, seperti halnya Kalasan, pemberi tanah untuk bangunan tersebut
adalah seorang raja keluarga Sanjaya, yaitu Rakarayan Patapan pu Palar atau Rakai
Garung.
Samaratungga digantikan putrinya, Pramodawardhani (yang kemudian bergelar sri
Kahulunnan) yang kawin dengan Rakai Pikatan, pengganti Rakai Garung. Uniknya,
Pramodhawardhani mendirikan bangunan suci Buda (misalnya kelompok candi Plaosan,
pemeliharaan Kamulan/candi Borobudur di Bhumisambhara yang diperkirakan dibangun
oleh Samaratungga), sedangkan Rakai Pikatan mendirikan bangunan suci Hindu (misalnya
kelompok candi Loro Jonggrang).
Sedangkan Balaputra, adik dari Pramodawardhani, setelah pada tahun 856 gagal merebut
kekuasaan dari Rakai Pikatan, ia melarikan diri ke Suwarnadwipa dan berhasil menaiki
takhta Sriwijaya, dengan agamanya Budha.

e.Sanjayawamsa

Setelah berhasil menghilangkan kekuasaan keluarga Sailendra, dalam prasasti


tahun 856 dikatakan bahwa Rakai sebelum turun tahta mampu menggempur Balaputra
yang bertahan di bukit Ratu Boko. Penggantinya adalah Dyah Lokapala atau Rakai
Kayuwangi (tahun 856-886) dengan sebutan sri maharaja dan gelar abhiseka (penobatan
raja) sri Sajjanotsawatungga (menunjukkan bahwa ia penguasa satu-satunya dan juga
berdarah Sailendra).
>Rakai Kayuwangi menghadapi kesulitan rakyatnya, sebab selama 3/4 abad Sailendra
banyak menghasilkan bangunan-bangunan suci yang megah dan mewah demi kebesaran
raja, yang mengakibatkan lemahnya tenaga rakyat Mataram dan menekan hasil pertanian.
Pengganti Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang (tahun 886-898), lalu raja
Balitung/Rakai Watukura yang bergelar sri Iswarakesawotsawatungga (tahun 898-910),
merupakan raja pertama yang memerintah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam hal ini
ada kemungkinan bahwa Kanjuruhan-prasasti Dinoyo ditaklukkan, karena sebutan rakryan
Kanuruhan adalah salah satu jabatan tinggi langsung dibawah raja.
Setelah Balitung adalah Daksa, yang sebelumnya menjabat sebagai Rakryan Mahamantri I
Hino (tahun 910-919), kemudian Tulodong dengan gelar sri
Sajanasanmatanuragatuggadewa (tahun 919-924), selanjutnya Wawa yang bergelar sri
Wijayalokanamottungga (tahun 924-929), dan kemudian seorang raja dari keluarga lain,
yaitu Sindok dari Isanawamca yang mana pusat pemerintahan pindah ke Jawa Timur,
tanpa diketahui jelas sebabnya.
ISTANA (Jawa Timur)
Panggung sejarah pindah dari Jawa tengah ke Jawa Timur tanpa sebab yang jelas, dengan
rajanya Sindok (929-947). Pemerintahan berlangsung aman dan sejahtera. Sebuah kitab
suci Budha (Sang Hyang Kamahayanikan) yang menguraikan ajaran dan ibadah agama
Budha Tantrayana dapat dihimpun selama Sindok berkuasa, walau ia beragama Hindu. Ia
memerintah bersama permaisurinya bernama Sri Parameswari Sri Wardhani pu Kbi.
Anehnya, sebelum kawin dengan anak Wawa (mungkin) ia tidak menggunakan gelar raja
(sri maharaja rake hino sri Icana Wikramadharmottunggadewa), tetapi menyebut dirinya
rakryan sri mahamantri pu Sindok sang Srisanottunggadewawijaya (penguasa tertinggi
setelah raja).
Penggantinya yang diketahui dari prasasti yang dikeluarkan oleh Airlangga (dinamakan
prasasti Calcutta, kini disimpan di Indian Museum di Calcutta), yaitu putrinya sri
Icanatunggawijaya yang bersuamikan raja Lokapola. Lalu dilanjutkan oleh
Makutawangsawardhana yang digambarkan sebagai matahari dalam keluarga Istana.
Selanjutnya ia mempunyai anak perempuan bernama Mahendradatta atau
Gunapriyadharmapatni yang bersuamikan raja Udayana dari keluarga Warmadewa yang
memerintah di Bali.
Sri Dharmawangsa Tguh Anantawikramottunggadewa (tahun 991-1016) adalah pengganti
Makutawangsawardhana. Selain berhasil menundukkan Sriwijaya, iapun sangat besar
pengaruhnya di Bali yang dapat dibuktikan dari prasasti-prasasti Bali yang semula
berbahasa Bali dan sejak tahun 989 terutama sesudah tahun 1022 sebagian besar tertulis
dalam bahasa Jawa Kuno.
Disamping itu pada jamannya, kitab Mahabharata disadur dalam bahasa Jawa Kuno, pun
disusun sebuah kitab hukum Siwasasana pada tahun 991 .Menurut batu Calcutta, seluruh
Jawa bagaikan satu lautan yang dimusnahkan oleh raja Wurawari dan diduga bahwa yang
berdiri di belakangnya sebenarnya Sriwijaya. Tapi ada yang lolos dari kehancuran, yaitu
Airlangga, putra Mahendradatta raja Bali, saat ia berusia 16 tahun yang disertai Narottama
bersembunyi di Wonogiri (ikut para pertapa), yang setelah dewasa kawin dengan
sepupunya, anak dari Dharmawangsa.
Makutawangsawardhana dari Jawa Timur mempunyai putri (Ratu Sang Luhur Sri
Gunapriyadharmapatni ) yang memerintah Bali tahun 989 bersama suaminya Sri
Dharmodayana Warmadewa. Disekitar tahun 1010 Mahendradatta meninggal, sehingga
Udayana memerintah sendiri sampai tahun 1022, anak sulungnya bernama Airlangga yang
menggantikan Dharmawangsa memerintah di Jawa Timur dan anak bungsu bernama Anak
Wungsu yang memerintah di Bali yang bernama resmi sri Dharmawangsawardhana
Marakatapangkajasthanottunggadewa.
Di tahun 1019 Airlangga yang dinobatkan oleh para pendeta Buda, Siwa dan Brahmana,
menggantikan Dharmawangsa, bergelar Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara
Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Ia memerintah dengan daerah
hanya kecil saja karena saat kerajaan Dharmawangsa hancur, menjadi terpecah-pecah
menjadi kerajaan-kerajaan kecil.
Sejak tahun 1028 Airlangga mulai merebut kembali daerah-daerah saat pemerintahan
Dharmawangsa, yang bisa jadi juga ada hubungannya dengan kelemahan Sriwijaya yang
baru saja diserang dari Colamandala (1023 dan 1030). Raja-raja yang ditaklukkan itu
adalah Bhismaprabhawa (1028-1029), Wijaya dari Wengker (1030), Adhamapanuda
(1031), seorang seperti raksasa raja perempuan (1032), Wurawari (1032) dan raja
Wengker (1035) yang sempat muncul lagi.
Kemakmuran dan ketrentaman pemerintahan Airlangga (ia dibantu oleh
Narottama/rakryan Kanuruhan dan Niti/rakryan Kuningan) yang ibukotanya pada tahun
1031 di Wwatan Mas dipindahkan ke Kahuripan di tahun 1031, diikuti dengan suburnya
seni sastra, yang antara lain: kitab Arjunawiwaha karangan mpu Kanwa tahun 1030 yang
berisi cerita perkawinan Arjuna dengan para bidadari hadiah para dewa atas jerih
payahnya mengalahkan para raksasa yang menyerang kayangan (kiasan hasil usaha
Airlangga sendiri yang merupakan persembahan penulis kepada raja). Ini juga pertama
kali keterangan wayang dijumpai, walau sebetulnya sudah ada sebelum Airlangga.
Anak perempuan Airlangga yaitu Sanggramawijaya, ditetapkan sebagai mahamantri i hino
(ialah berkedudukan tertinggi setelah raja), setelah tiba masanya menggantikan Airlangga,
ia menolak dan memilih sebagai pertapa. Maka oleh Airlangga ia dibuatkan sebuah
pertapaan di Pucangan (gunung Penanggungan), dan bergelar Kili Suci.
Kepergian putri mahkotanya, dari pada berebut takhta menyebabkan Airlangga membagi
dua kerajaan kepada kedua anak laki-lakinya, dengan pertolongan seorang brahmana
bernama mpu Bharada yang kondang sakti. Kedua kerajaan itu: Janggala (Singhasari) ber-
ibukota Kahuripan dan Panjalu (Kadiri) ber-ibukota Daha, dimana Gunung Kawi ke utara
dan selatan menjadi batasnya.
Setelah membagi kerajaan, Airlangga mundur diri dan menjadi pertapa dengan nama resi
Gentayu, meninggal tahun 1049, dimakamkan di Tirtha di lereng timur gunung
Penanggungan dan terkenal sebagai candi Belahan. Tetapi kurang lebih setengah abad
sejak Airlangga mundur dari pemerintahan, tidak ada informasi tentang dua kerajaan yang
dibentuknya itu. Lalu setelah itu hanya Kadiri yang mengisi sejarah, sedangkan Janggala
boleh dibilang tanpa kabar.Airlangga semasa hidupnya dianggap titisan Wisnu, dengan
lancana kerajaan Garudamukha. Sehingga sebuah arca indah yang disimpan di musium
Mojokerto mewujudkannya sebagai Wisnu yang menaiki garuda.

f.Kerajaan Kediri

Gugus candi panataran (desa ganter,Malang)

Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu dengan prasasti berangka tahun 1104,


menganggap sebagai titisan Wisnu seperti halnya Airlangga, adalah raja Kadiri yang
muncul pertama di pentas sejarah.
Selanjutnya Kameswara (1115-1130), bergelar sri maharaja rake sirikan sri Kameswara
Sakalabhuwanatustikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa,
lencana kerajaan berbentuk tengkorak bertaring yang disebut candrakapala, dan adanya
mpu Dharmaja yang telah menggubah kitab Smaradahana (berisi pujian yang mengatakan
raja adalah titisan dewa Kama, ibukota kerajaan bernama Dahana yang dikagumi
keindahannya oleh seluruh dunia, permaisuri yang sangat cantik bernama sri Kirana dari
Jenggala). Mereka dalam kesusasteraan Jawa terkenal dalam cerita Panji.
Pengganti Kameswara yaitu Jayabhaya (1130-1160), bergelar sri maharaja sri
Dharmmeswara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha Parakrama Digjayotunggadewa,
lencananya adalah Narasingha, dikekalkan namanya dalam kitab Bharatayuddha (sebuah
kakawin yang digubah Mpu Sedah di tahun 1157 dan diselesaikan oleh Mpu Panuluh yang
juga terkenal dengan kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya).
Pengganti selanjutnya yaitu Sarwweswara (1160-1170), lalu Aryyeswara (1170-1180)
yang memakai Ganesa sebagai lencana kerajaan, kemudian Gandra yang bergelar sri
maharaja sri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita
Digjayottunggadewanama sri Gandra. Dari prasasti dibuktikan bahwa Kadiri mempunyai
armada laut.
Tahun 1190-1200 diperintah Srngga, bergelar sri maharaja sri Sarwweswara
Triwikramawataranindita Crnggalancana Digwijayottunggadewa, dengan lencana kerajaan
cangkha (kerang bersayap) di atas bulan sabit.
Raja terakhir yaitu Krtajaya (1200-1222), berlencana Garudamukha, yang riwayat
kerajaannya berakhir dan menyerahkan kepada Singhasari setelah kalah dalam
pertempuran di Ganter melawan ken Arok.
Perkembangan kesusasteraan di jaman Kediri sangat bagus, yang selain kitab-kitab
tersebut diatas, beberapa hasil lainnya adalah:
kitab Lubdhaka dan Wrtasancaya karangan mpu Tanakung;
kitab Krsnayana karangan mpu Triguna;
kitab Sumanasantaka karangan mpu Monaguna.
Selain itu ada beberapa keterangan yang terdapat dalam berita-berita Tionghoa, seperti di
kitab Ling-wai-tai-ta yang disusun Chou Ku-fei di tahun 1178 dan di kitab Chu-fan-chi
oleh Chau-Ju-Kua di tahun 1225, misalnya:
- Orang-orangnya memakai kain sampai dibawah lutut , rambut diurai;
- Rumah-rumah bersih dan rapih, lantai berubin hijau dan kuning;
- Pertanian, peternakan, serta perdagangan maju dan kerajaan penuh perhatian;
- Tidak ada hukuman badan, yang bersalah di denda emas;
- Pencuri dan perampok yang tertangkap dibunuh;
- Alat pembayaran adalah mata uang dari
- Orang sakit bukan makan obat tapi mohon sembuh para Dewa dan Buddha;
- Raja berpakaian sutera, sepatu kulit, memakai emas-emasan, rambut disanggul.
- Raja keluar naik gajah atau kereta, diiringi 500-700 prajurit dan rakyat jongkok;
- Raja dibantu 4 menteri, gaji dari menerima hasil bumi/lainnya sewaktu-waktu;
- Selain agama Buda ada agama Hindu;
- Rakyat lekas naik darah dan suka berperang, suka mengadu babi dan ayam;
- Dan lain sebagainya.

g.Kerajaan Singasari
Menurut cerita di kitab Pararaton dan Nagarakrtagama, raja pertama bernama sri
Ranggah Rajasa Amurwabhumi yang populer dipanggil Ken Arok, adalah anak seorang
Brahmana bernama Gajah Para dengan Ibu bernama Ken Endok dari desa Pangkur, yang
semula berprofesi sebagai pencuri/penyamun yang sangat sakti dan selalu menjadi
buronan alat-alat negara. Atas bantuan seorang pendeta yang menjadikannya sebagai anak
pungut, ia dapat mengabdi kepada seorang akuwu (setara bupati) yang bernama Tunggul
Ametung. Namun akuwu itu kemudian dibunuhnya dan si janda, Ken Dedes dalam kondisi
hamil dikawininya, yang anak itu nantinya diberi nama Anusapati.
Kemudian ia mengambil kekuasaan Tumapel dan setelah cukup pengikutnya ia
melepaskan diri dari kerajaan Kadiri, yang kebetulan di Kadiri ada perselisihan antara raja
dan para pendeta, lalu para pendeta itu melarikan diri yang diterima baik dan dilindungi
Ken Arok.
Raja Krtajaya berusaha menindak Ken Arok, tapi dalam pertempuran di Genter pada tahun
1222 Ken Arok menang dan menjadi raja Tumapel dan Kadiri, yang ber-Ibukota di
Kutaraja.
Dari Ken Dedes selain mempunyai anak tiri Anusapati, ia juga mempunyai anak yang
diberi nama Mahisa Wonga Teleng. Sedangkan dari isteri lain, Ken Umang, ia mempunyai
anak yang diberi nama Tohjaya.
Dalam tahun 1227 Ken Arok dibunuh anak tirinya, Anusapati, yang menggantikannya
sebagai raja. Lalu untuk mengenang Ken Arok, dibuatkan candi di Kagenengan (sebelah
selatan Singhasari) dalam bangunan suci agama Siwa dan Buda. Sedangkan Ken Dedes
yang tidak diketahui tahun meninggalnya, diperkirakan dibuatkan arca sangat indah yang
diketemukan di Singosari, yaitu arca Prajnaparamita.
Anusapati/Anusanatha) yang memerintah tahun 1227-1248 dengan aman dan tenteram,
dibunuh oleh Tohjaya dengan suatu muslihat, dan untuk itu Anusapati dimuliakan di candi
Kidal (sebelah tenggara Malang). Namun Tohjaya hanya memerintah beberapa bulan,
karena aksi balas dendam dari anak Anusapati yaitu Rangga Wuni. Tohjaya melarikan
diri, namun karena luka-lukanya ia meninggal dunia, dan dicandikan di Katang Lumbang.
Di tahun 1248 Rangga Wuni naik takhta dengan gelar sri Jaya Wisnuwardhana, dan raja
Singhasari pertama yang namanya dikekalkan dalam prasasti, dan ia memerintah bersama
sepupunya, Mahisa Campaka (anak dari Mahisa Wonga Teleng), diberi kekuasaan untuk
ikut memerintah dengan pangkat Ratu Angabhaya bergelar Narasimhamurti. Dikisahkan
bahwa mereka memerintah bagai dewa Wisnu dan dewa Indra.
Anak Rangga Wuni, Krtanagara, di tahun 1254 dinobatkan sebagai raja, namun ia tetap
memerintah terus untuk anaknya, sampai dengan wafatnya dalam tahun 1268 di
Mandaragiri, lalu dicandikan di Waleri dalam perwujudannya sebagai Siwa dan di
Jayaghu (candi Jago) sebagai Buddha Amoghapasa.
Yang menarik, candi Jago berkaki tingkat tiga tersusun semacam limas berundak-undak
dan tubuh candinya terletak di bagian belakang kaki candi menunjukkan timbulnya
kembali unsur-unsur Indonesia, disamping terlihat pula dari relief-reliefnya dengan
pahatan datar, gambar-gambar orang yang mirip wayang kulit Bali saat ini, dan para
kesatriyanya diikuti punakawan (bujang pelawak).
Kertanagara, adalah raja Singhasari yang banyak diketahui riwayatnya dan paling banyak
peristiwanya, dimana sang raja dibantu oleh 3 orang mahamantri (rakryan I hino, I sirikan
dan I halu) dan para menteri pelaksana (rakryan apatih, demung dan kanuruhan), serta
seorang dharmadhyaksa ri kasogatan yang mengurusi keagamaan (kepala agama Buda)
dan seorang pendeta yang mendampingi raja, yaitu seorang mahabrahmana dengan
pangkat sangkhadhara.
Karena ia bercita-cita meluaskan wilayah kekuasaan, maka ia menyingkirkan tokoh-tokoh
yang dianggapnya menentang/menghalangi, yaitu patihnya sendiri bernama
Arema/Raganatha dijadikan adhyaksa di Tumapel yang diganti oleh Kebo
Tengah/Aragani, lalu Banak Wide yang ditugaskan menjadi Bupati Sungeneb (Madura)
bergelar Arya Wiraraja.
Di tahun 1275 Krtanagara mengirim pasukan ke Sumatera Tengah yang terkenal dengan
nama Pamalayu dan berlangsung sampai tahun 1292, dimana saat pasukan tiba kembali,
Krtanagara sudah tidak ada lagi. Namun prasasti pada alas kaki arca Amoghapasa yang
diketemukan di Sungai Langsat (hulu sungai Batanghari dekat Sijunjung), diterangkan
bahwa di tahun 1286 atas perintah Maharajadhiraja Sri Krtanagara Wikrama
Dharmottunggadewa, sebuah arca Amoghapasa beserta 13 arca pengikutnya dipindahkan
dari bhumi Jawa ke Suwarnabhumi. Atas hadiah ini rakyat Malayu sangat senang terutama
sang raja, yaitu srimat Tribuwanaraja Maulawarmmadewa.
Kertanagara dalam tahun 1284 menaklukkan Bali, Pahang, Sunda, Bakulapura
(Kalimantan Barat Daya) dan Gurun (Maluku), sebagaimana diketahui dari
Nagarakrtagama. Selain itu, dengan Campa diadakan persekutuan yang diperkuat dengan
perkawinan, sesuai prasasti Po Sah (di Hindia belakang) yang menuliskan bahwa raja Jaya
Simphawarman III mempunyai dua permaisuri yang salah satunya dari Jawa (mungkin
saudara Kertanagara).
Sejak tahun 1271 di Kadiri ada raja bawahan, yaitu Jayakatwang yang bersekutu dengan
Wiraraja dari Sungeneb yang selalu memata-matai Kertanagara. Belum kembalinya
pasukan Singhasari dari Sumatra dan adanya insiden dengan Kubilai Khan dari Tiongkok,
atas petunjuk dan nasehat Wiraraja dalam tahun 1292 Jayakatwang melancarkan serbuan
ke Singhasari melalui utara untuk membuat gaduh dan dari selatan merupakan pasukan
induk.
Kertanagara mengira serangan hanya dari utara, maka ia mengutus Raden Wijaya (anak
Lembu Ta, cucu Mahisa Campaka) dan Arddharaja (anak Jayakatwang) untuk memimpin
pasukan ke utara., sedangkan yang dari selatan berhasil memasuki kota dan Karaton,
dimana saat itu Krtanagara sedang minum berlebihan bersama dengan mahawrddhamantri
serta dengan para pendeta terkemuka dan pembesar lain, yang katanya sedang melalukan
upacara Tantrayana, terbunuh semuanya, dimana Krtanagara dimuliakan di candi Jawi
sebagai Siwa dan Budda di Sagala sebagai Jina/Wairocana bersama sang permaisuri
Bajradewi dan di candi Singosari sebagai Bhairawa.
Memang, sebagaimana Prasasti tahun 1289 pada lapik arca Joko Dolok yang diketemukan
di Surabaya, Krtanagara adalah seorang pengikut setia agama Buda Tantra dan dinobatkan
sebagai Jina (Dhyani Buddha) yang bergelar Jnanasiwabajra, yaitu sebagai Aksobhya
dimana Joko Dolok itu adalah arca perwujudannya sendiri. Sedangkan dalam Pararaton
dan berbagai Prasasti, setelah wafat dinamakan Siwabuddha, dimana dalam kitab
Nagarakrtagama dikatakan Siwabuddhaloka.

h.Kerajaan Majapahit
Raden Wijaya yang sedang mengejar tentara Kediri ke utara terpaksa melarikan
diri setelah tahu Singhasari jatuh, sedangkan Arddharaja berbalik memihak Kadiri.
Dengan bantuan lurah desa Kudadu Raden Wijaya dapat menyeberang ke Madura, guna
mencari perlindungan dan bantuan dari Wiraraja di Sungeneb.
Atas saran dan jaminan Wiraraja, Raden Wijaya menghambakan diri ke Jayakatwang di
Kadiri, dan ia dianugerahi tanah di desa Tarik, yang atas bantuan orang-orang Madura
dibuka dan menjadi desa subur dengan nama Majapahit.
Sementara itu tentara Tiongkok sebanyak 20.000 orang yang diangkut 1.000 kapal
berbekal untuk satu tahun telah mendarat di Tuban dan di dekat Surabaya, dengan tujuan
membalas penghinaan Krtanegara terhadap Kubilai Khan.
Di sini dimanfaatkan Raden Wijaya yaitu menggabungkan diri dengan tentara Tiongkok
menggempur Kadiri, yang akhirnya Jayakatwang menyerah. Tapi saat tentara Tiongkok
sampai di pelabuhan untuk kembali, Raden Wijaya menyerang tentara Tiongkok sehingga
banyak meninggalkan korban sambil terus kembali ke Tiongkok.
Dengan bantuan pasukan Singhasari yang kembali dari Sumatra, Raden Wijaya menjadi
raja pertama kerajaan Majapahit bergelar Krtarajasa Jayawardhana (1293-1309),
mempunyai 4 (empat) isteri, dimana yang tertua bernama Tribhuwana/Dara Petak dan
yang termuda bernama Gayatri yang disebut juga Rajapatni dan dari padanya lah
berlangsungnya raja-raja Majapahit selanjutnya.
Raden Wijaya memerintah dengan tegas dan bijaksana, negara tenteram dan aman,
susunan pemerintahan mirip Singhasari, ditambah 2 (dua) menteri yaitu rakryan Rangga
dan rakryan Tumenggung. Sedangkan Wiraraja yang banyak membantu diberi kedudukan
sangat tinggi ditambah dengan kekuasaan di daerah Lumajang sampai Blambangan.
Ia wafat di tahun 1309, meninggalkan 2 (dua) anak perempuan dari Gayatri berjuluk Bhre
Kahuripan dan Bhre Daha, serta satu anak laki-laki dari Dara Petak yaitu
Kalagemet/Jayanegara yang dalam tahun 1309 naik tahta. Untuk memuliakannya, Raden
Wijaya dicandikan di candi Siwa di Simping yaitu Candi Sumberjati di sebelah selatan
Blitar dan di candi Buda di Antahpura dalam kota Majapahit. Arca perwujudannya adalah
Harihara, berupa Wisnu dan Siwa dalam satu arca. Sedangkan Tribhuwana dimuliakan di
candi Rimbi di sebelah barat daya Mojokerto, yang diwujudkan sebagai Parwati.
Kalagemet/Jayanegara (1309-1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap sebagai titisan
Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan) dalam memerintah banyak
menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit dari mereka yang masih
setia kepada Krtarajasa. Pemberontakan pertama sebetulnya sudah dimulai sejak
Krtarajasa masih hidup, yaitu oleh Rangga Lawe yang berkedudukan di Tuban, akibat
tidak puas karena bukan dia yang menjadi patih Majapahit tetapi Nambi, anak Wiraraja.
Tetapi usahanya (1309) dapat digagalkan.
Pemberontakan kedua di tahun 1311 oleh Sora, seorang rakryan di Majapahit, tapi gagal.
Lalu yang ketiga dalam tahun 1316, oleh patihnya sendiri yaitu Nambi, dari daerah
Lumajang dan benteng di Pajarakan. Ia pun sekeluarga ditumpas. Pemberontakan
selanjutnya oleh Kuti di tahun 1319, dimana Ibukota Majapahit sempat diduduki, sang raja
melarikan diri dibawah lindungan penjaga-penjaga istana yang disebut Bhayangkari
sebanyak 15 orang dibawah pimpinan Gajah Mada. Namun dengan bantuan pasukan-
pasukan Majapahit yang masih setia, Gajah Mada dengan Bhayangkarinya menggempur
Kuti, dan akhirnya Jayanegara dapat melanjutkan pemerintahannya.
Jayanegara wafat di tahun 1328 tanpa seorang keturunan. Ia dicandikan di Sila Petak dan
Bubat dengan perwujudannya sebagai Wisnu, serta di Sukalila sebagai Amoghasiddhi,
dimana candi-candi itu tidak dapat diketahui kembali.
Pengganti selanjutnya yang semestinya Gayatri, namun karena ia telah meninggalkan
hidup keduniawian yaitu menjadi bhiksuni, maka anaknya lah yang bernama Bhre
Kahuripan yang mewakili ibunnya naik tahta dengan gelar Tribhuwananottunggadewi
Jayawisnuwardhani (1328-1360).
Tahun 1331 muncul pemberontakan di Sadeng dan Keta (daerah Besuki). Maka patih
Majapahit Pu Naga digantikan patih Daha yaitu Gajah Mada, sehingga pemberontakan
dapat ditumpas.
Gajah Mada dalam menunjukkan pengabdiannya, bersumpah yang disebut Sumpah Palapa
(artinya garam dan rempah-rempah) yaitu : bahwa ia tidak akan merasakan palapa,
sebelum daerah seluruh nusantara ada di bawah kekuasaan Majapahit. Atau bagi orang
Jawa, disebut mutih.
Langkah pertama, Gajah Mada memimpin pasukan menaklukkan Bali di tahun 1343
bersama Adityawarman (putera majapahit keturunan Malayu yang di Majapahit menjabat
sebagai Wrddhamantri bergelar arrya dewaraja pu Adutya), yang pernah ditaklukkan
Krtanagara tapi telah bebas kembali. Lalu Adityawarman ditempatkan di Malayu sebagai
wrddhamantri bergelar Arrya Dewaraja Pu Aditya.
Adityawarman di Sumatra menyusun kembali pemerintahan Mauliwarmmadewa yang kita
kenal di tahun 1286. Ia memperluas kekuasaan sampai daerah Pagarruyung
(Minangkabau) dan mengangkat dirinya sebagai maharajadhiraja (1347), meskipun
terhadap Gayatri ia masih tetap mengaku dirinya sang mantri terkemuka dan masih
sedarah dengan raja putri itu.
Tahun 1360 Gayatri wafat, maka Tribhuwanottunggadewi pun turun tahta, dan
menyerahkan kepada anaknya yaitu Hayam Wuruk, yang dilahirkan di tahun 1334 atas
perkawinannya dengan KErtawardddhana.
Hayam Wuruk memerintah dengan gelar Rajasanagara (1360-1369), dengan Gajah Mada
sebagai patihnya. Seluruh kepulauan Indonesia bahkan juga jazirah Malaka mengibarkan
panji-panji Majapahit, hubungan persahabatan dengan negara-negara tetangga berlangsung
baik. Sumpah Palapa terlaksana, Majapahit mengalami jaman keemasan.
Alkisah, hanya tinggal Sunda yang diperintah Sri Baduga Maharaja yang menurut prasasti
Batutulis (Bogor) dari tahun 1333 adalah raja Pakwan Pajajaran (anak dari Rahyang
Dewaniskala dan cucu Rahyang Niskalawastu Kancana) yang belum dapat ditaklukkan
Majapahit, walau sudah 2 (dua) kali diserang. Dengan jalan tipu muslihat akhirnya di
tahun 1357 Sri Baduga beserta para pembesar Sunda dapat didatangkan ke Majapahit dan
dibinasakan secara kejam di lapangan bubat. Karena perang ini sangat menarik, maka
secara khusus diceritakan inti kisah Perang Bubat menurut Kidung Sudayana, seperti
dibawah ini.
i.Perang Bubat (Menurut Kidung Sundayana)
Tersebut negara Majapahit dengan raja Hayam Wuruk, putra perkasa kesayangan
seluruh rakyat, konon ceritanya penjelmaan dewa Kama, berbudi luhur, arif bijaksana,
tetapi juga bagaikan singa dalam peperangan. Inilah raja terbesar di seluruh Jawa bergelar
Rajasanagara. Daerah taklukannya sampai Papua dan menjadi sanjungan empu Prapanca
dalam Negarakertagama. Makmur negaranya, kondang kemana-mana. Namun sang raja
belum kawin rupanya. Mengapa demikian ? Ternyata belum dijumpai seorang permaisuri.
Konon ceritanya, ia menginginkan isteri yang bisa dihormati dan dicintai rakyat dan
kebanggaan raja Majapahit. Dalam pencarian seorang calon permaisuri inilah terdengar
khabar putri Sunda nan cantik jelita yang mengawali dari Kidung Sundayana.
Apakah arti kehormatan dan keharuman sang raja yang bertumpuk dipundaknya, seluruh
Nusantara ada di hadapannya. Tetapi engkau hanya satu jiwanya yang senantiasa
memohon pada yang kuasa akan kehadiran jodohnya. Terdengarlah khabar bahwa ada raja
Sunda (Kerajaan Kahuripan) yang memiliki putri nan cantik rupawan dengan nama Diah
Pitaloka Citrasemi.
Setelah selesai musyawarah sang raja Hayam Wuruk mengutus untuk meminang putri
Sunda tersebut melalui perantara yang bernama tuan Anepaken, utusan sang raja tiba di
kerajaan Sunda. Setelah lamaran diterima, direstuilah putrinya untuk di pinang sang prabu
Hayam Wuruk. Ratusan rakyat menghantar sang putri beserta raja dan punggawa menuju
pantai, tapi tiba-tiba dilihatnya laut berwarna merah bagaikan darah. Ini diartikan tanda-
tanda buruk bahwa diperkirakan putri raja ini tidak akan kembali lagi ke tanah airnya.
Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap berprasangka baik kepada raja tanah Jawa yang
akan menjadi menantunya.
Sepuluh hari telah berlalu sampailah di desa Bubat, yaitu tempat penyambutan dari
kerajaan Majapahit bertemu. Semuanya bergembira kecuali Gajahmada, yang
berkeberatan menyambut putri raja Kahuripan tersebut, dimana ia menganggap putri
tersebut akan "dihadiahkan" kepada sang raja. Sedangkan dari pihak kerajaan Sunda, putri
tersebut akan "di pinang" oleh sang raja. Dalam dialog antara utusan dari kerajaan Sunda
dengan patih Gajahmada, terjadi saling ketersinggungan dan berakibat terjadinya sesuatu
peperangan besar antara keduanya sampai terbunuhnya raja Sunda dan putri Diah Pitaloka
oleh karena bunuh diri. Setelah selesai pertempuran, datanglah sang Hayam Wuruk yang
mendapati calon pinangannya telah meninggal, sehingga sang raja tak dapat menanggung
kepedihan hatinya, yang tak lama kemudian akhirnya mangkat. Demikian inti Kidung
Sindanglaya ini.
Semenrata di Jawa Barat telah ada :
1030 : Berdirinya kerajaan nafas hindu : Sunda dengan rajanya Sri Jayabupati.
1190 : Kerajaan Galuh dengan rajanya Ratu Pusaka
1333 : Kerajaan Pajajaran, dengan ibu kota Pakuan. Rajanya Ratu Purnama
Selain sebagai negarawan, Gajah mada terkenal pula sebagai ahli hukum. Kitab hukum
yang ia susun sebagai dasar hukum di Majapahit adalah Kutaramanawa, berdasarkan kitab
hukum Kutarasastra (lebih tua) dan kitab hukum Hindu Manawasastra, serta disesuaikan
dengan hukum adat yang berlaku. Gajah Mada meninggal tahun 1364, dan digantikan oleh
4 (empat) orang menteri yang berfungsi untuk mengekalkan negara serta lebih ditujukan
kepada kemakmuran rakyat dan keamanan daerah. Beberapa hasil karya semasa Hayam
Wuruk lainnya antara lain:
Pemeliharaan tempat-tempat penyeberangan melintasi bengawan Solo dan Brantas;
Perbaikan bendungan Kali Konto (sebelah timur Kadiri);
Memperindah Candi untuk Tribhuwanottunggadewi di Panggih;
Perbaikan dan perluasan tempat suci Palah (Panataran);
Penyempurnaan Candi Jabung dekat Kraksaan (1354);
Membuat Candi Surawana dan Candi Tigawangi di dekat Kadiri (1365);
Membuat Candi Pari (dekat Porong) bercorak dari Campa di tahun 1371;
Kitab Nagarakrtagama yang merupakan kitab sejarah Singhasari dan Majapahit,
dihimpun oleh mpu Prapanca di tahun 1365;
Cerita-cerita Arjunawijaya dan Sutasoma oleh Tantular;
Habisnya riwayat Sriwijaya di tahun 1377, yang dibinasakan oleh Majapahit.

Hayam Wuruk wafat tahun 1369, yang diperkirakan dimuliakan di Tayung (daerah Brebek
Kediri), yang digantikan oleh keponakannya, Wikramawardhana, suami dari anak
perempuannya, Kusumawarddhani. Sedangkan anak Hayam Wuruk dari isteri bukan
permaisuri, Bhre Wirabhumi, diberi pemerintahan di ujung Jawa Timur.
Wikramawardhana (1369-1428) dan Wirabhumi di tahun 1401-1406 berperang, yang
dikenal dengan nama perang Paregreg, dimana Wirabhumi terbunuh. Disini Tiongkok
mengetahui bahwa perang saudara itu melemahkan Majapahit, sehingga segera berusaha
memikat daerah-daerah luar Jawa untuk mengakui kedaulatannya. Misalnya Kalimantan
Barat yang dalam tahun 1368 telah diganggu oleh bajak laut dari Sulu sebagai alat dari
Kaisar Tiongkok, sejak tahun 1405 tunduk kepada Tiongkok. Juga Palembang dan Malayu
di tahun yang sama, mengarahkan pandangannya ke Tiongkok dengan tidak menghiraukan
Majapahit. Malaka sebagai pelabuhan dan kota dagang penting yang beragama Islam
(1400), juga dianggap majapahit sudah hilang. Demikian daerah-daerah lainnya, dan ada
juga yang masih mengaku Majapahit sebagai atasannya tetapi dalam prakteknya tidak
banyak hubungan dengan pusat. Sehingga saat Wikramawardhana meninggal di tahun
1428, kerajaan Majapahit yang besar dan bersatu sudah tidak ada lagi. Ada cerita menarik
tentang keadaan kota Majapahit dan rakyatnya, dari uraian Ma Huan yang asli dari
Tiongkok dan beragama Islam dalam bukunya Ying-yai Sheng-lan, yang ditulis saat
mengiringi Cheng-Ho (utusan kaisar Tiongkok ke Jawa) dalam perjalananya yang ketiga
ke daerah-daerah lautan selatan, antara lain :
Kota Majapahit dikelilingi tembok tinggi yang dibuat dari bata;
Penduduknya kira-kira 300.000 keluarga;
Rakyat memakai kain dan baju;
Untuk laki-laki mulai usia 3 tahun memakai keris yang hulunya indah sekali dan terbuat
dari emas, cula badak atau gading;
Para pria jika bertengkar dalam waktu singkat siap dengan kerisnya;
Biasa memakan sirih;
Para pria pada setiap perayaan mengadakan perang-perangan dengan tombak bambu;
Senang bermain bersama diwaktu terang bulan dengan diserai nyanyian-nyanyian
berkelompok dan bergiliran antara golongan wanita dan pria;
Senang nonton wayang beber (wayang yang setiap adegan ceritanya di gambar di atas
sehelai kain, lalu dibentangkan antara dua bilah kayu, yang jalan ceritanya diuraikan oleh
Dalang);
Penduduk terdiri dari 3 (tiga) golongan, orang-orang Islam yang datang dari barat dan
memperoleh penghidupan di ibukota, orang-orang Tionghoa yang banyak pula beragama
Islam, dan rakyat selebihnya yang menyembah berhala dan tinggal bersama anjing
mereka.
Setelah wafatnya Wikramawardhana di tahun 1429 sampai sekitar 1522 tidak banyak
diketahui tentang Majapahit, sedangkan keterangan dari Pararaton sangat kacau. Yang
nyata, bintang Majapahit yang tadinya mempersatukan Nusantara semakin suram dan
makin pudar, yang ditandai dengan perang saudara antar keluarga raja, hilangnya
kekuasaan pusat di daerah, dan adanya penyebaran agama Islam yang sejak sekitar tahun
1400 berpusat di Malaka disertai timbulnya kerajaan-kerajaan Islam yang menentang
kedaulatan Majapahit.
Yang memerintah Majapahit setelah Wikramawardhana adalah anak perempuannya yaitu
Suhita (1429-1447), dimana ibunya adalah anak dari Wirabhumi. Masa pemerintahannya
ditandai berkuasanya kembali anasir-anasir Indonesia, antara lain didirikannya berbagai
tempat pemujaan dengan bangunan-bangunan yang disusun sebagai punden berundak-
undak di lereng-lereng gunung ( misalnya Candi Sukuh dan Candi Ceta di lereng gunung
Lawu). Selain itu terdapat pula batu-batu untuk persajian, tugu-tugu batu seperti menhir,
gambar-gambar binatang ajaib yang memiliki arti sebagai lambang tenaga gaib, dan lain-
lain.
Suhita digantikan oleh adik tirinya, Krtawijaya (1447-1451). Kemudian cerita sejarah dan
pergantian raja-rajanya setelah 1451 tidak dapat diketahui dengan pasti. dari kitab
Pararaton kita kenal raja Raja Suwardhan sebagai pengganti Krtawijaya, tetapi ia
berKaraton di Kahuripan dari tahun 1451 sampai 1453. Tiga tahun tanpa raja, lalu
dilanjutkan oleh Bre Wengker (1456-1466) bergelar Hyang Purwawisesa. Di tahun 1466
ia digantikan oleh Bhre Pandansalas yang nama aslinya Suraprabhawa dan bernama resmi
Singhawikramawardhana, berKaraton di Tumapel selama 2 (dua) tahun. Dalam tahun
1468 ia terdesak oleh Krtabhumi (anak bungsu Rajasawardhana), yang kemudian berkuasa
di Majapahit. Sedangkan Singhawikramawardhana memindahkan kekuasaannya ke Daha,
dimana ia wafat di tahun 1474.
Di daha ia digantikan anaknya, Ranawijaya yang bergelar Bhatara Prabu
Girindrawardhana, yang berhasil menundukkan Krtabhumi dan merebut Majapahit di
tahun 1474. Menurut prasastinya di tahun 1486 ia menamakan dirinya raja Wilwatika
Daha Janggala Kadiri, namun kapan berakhirnya memerintah tidak diketahui. Demikian
tentang riwayat Majapahit semakin gelap, kecuali berita-berita dari Portugis bahwa
Majapahit di tahun 1522 masih berdiri dan beberapa tahun kemudian kekuasaannya
berpindah ke kerajaan Islam di Demak.
Akan tetapi, masih ada juga kerajaan-kerajaan yang meneruskan corak kehinduan
Majapahit misalnya, yaitu Pajajaran yang akhirnya lenyap setelah ditundukkan oleh Sultan
Yusuf dari Banten di tahun 1579, juga Balambangan yang di tahun 1639 baru bisa
ditundukkan oleh Sultan Agung dari Mataram, disamping masyarakat di pegunungan
tengger yang sampai saat ini masih mempertahankan corak Hindunya dengan memuja
Brahma, dan Bali yang masih tetap dapat mempertahankan kebudayaan lamanya.
Penerus Majapahit yang tetap di Majapahit (selain Purbawisesa yang beKaraton di
Kahuripan) adalah Kertabumi/Brawijaya, yang memerintah di tahun 1453-1478. Tidak
diketahui mengenai perjalanan kerajaannya. Namun ia mempunyai salah satu putra yang
bernama raden Patah atau Jin Bun, yang diberi kedudukan sebagi Bupati Demak. Hanya
saja yang menarik, ia mengundurkan diri dan pindah ke gunung Lawu, lalu masuk agama
Islam, dimana pengikut setianya yaitu Sabdapalon dan Noyogenggong sangat menentang
kepindahan agamanya. Sehingga, dikenal adanya semacam sumpah dari Sabdopalon dan
Noyogenggong, yang salah satunya mengatakan bahwa sekitar 500 tahun kemudian, akan
tiba waktunya, hadirnya kembali agama budi, yang kalau ditentang, akan menjadikan
tanah Jawa hancur lebur luluh lantak.

j.Kerajaan Demak

pemakaman

Seorang Bupati putra dari Brawijaya yang beragama Islam disekitar tahun 1500
bernama raden Patah/Jin Bun/R. Bintoro dan berkedudukan di Demak, secara terbuka
memutuskan ikatan dari Majapahit yang sudah tidak berdaya lagi, dan atas bantuan daerah-
daerah lain yang telah Islam (seperti Gresik, Tuban dan Jepara), ia mendirikan kerajaan
Islam yang berpusat di Demak. Putra lainnya bernama Bondan Kejawan/Lembupeteng di
Tarub mengawini Rr. Nawangsih (anak dari hasil perkawinan antara Joko Tarub dan Rr.
Nawangwulan) mempunyai cucu dari anaknya bernama Kyai Ageng Getas/R. Depok di
Pandowo, yaitu Kyai Ageng Selo/Bagus Songgom/Risang Sutowijoyo/Syeih Abdurrahman.
Putra lain dari Brawijaya yang bernama Lembupeteng juga berkedudukan di
Gilimangdangin/Sampang, mempunyai cucu buyut bernama raden Praseno yang menjadi
adipati Sampang, berjuluk Cakraningrat I, yang mana putranya yang bernama pangeran
Undakan menggantikannya dan bergelar cakraningrat II, sedang putra yang satunya lagi
mempunyai anak yaitu Trunojoyo.
Sedang putri dari Brawijaya yaitu Ratu Pambayun yang kawin dengan Pn. Dayaningrat
mempunyai 2 (dua) anak bernama Kebokanigoro dan Kebokenongo/Ki Ageng Pengging
yang menjadi teman dekat seorang wali kontraversial yaitu Syeh Siti Jenar.
Ia akhirnya juga mampu meruntuhkan Majapahit dan sebagai raja Islam pertama bergelar
Sultan Demak ia mencapai kejayaan, tapi sebagai lambang dari tetap berlangsungnya
kerajaan kesatuan Majapahit dalam bentuk baru, semua alat upacara dan pusaka dibawa ke
Demak. Ia wafat di tahun 1518 dan digantikan oleh putranya bernama Pati Unus atau
pangeran Sabrang Lor bergelar Sultan Demak yang hanya 3 tahun memerintah karena
meninggal. Lalu ia digantikan saudaranya yaitu pangeran Trenggono bergelar Sultan
Demak yang memerintah sampai tahun 1548. Dalam memerintah Trenggono mampu
memperluas kerajaan sampai di daerah Pase Sumatra Utara yang dikuasai Portugis, dimana
seorang ulama dari Pase bernama Fatahillah menyeberang ke Demak dan dikawinkan
dengan adik raja. Karena Fatahillah, maka Demak berhasil merebut tempat-tempat
perdagangan kerajaan Pajajaran di Jawa Barat yang belum Islam, yaitu Cirebon dan Banten
(akhirnya diserahkan Fatahillah oleh Demak).
Di tahun 1522 orang Portugis datang ke Sunda Kalapa (Jakarta sekarang) bekerja sama
dengan raja Pajajaran menghadapi Islam, dimana Portugis diijinkan mendirikan benteng di
Sunda Kalapa itu. Lalu di tahun 1527 orang Portugis datang kembali dimana Sunda Kalapa
sudah berubah nama menjadi Jayakarta, dibawah kekuasaan Fatahillah yang tinggal di
Banten, sehingga Portugis kalah perang dan meninggalkan daerah tersebut. Sedangkan
Trenggono sendiri walau berhasil menalukkan Mataram dan Singhasari, tapi daerah
Pasuruan serta Panarukan dapat bertahan dan Blambangan tetap menjadi bagian dari Bali
yang tetap Hindu, yang mana di tahun 1548 ia wafat akibat perang dengan Pasuruan.
Kematian Trenggono menimbulkan perebutan kekuasaan antara adiknya dan putranya
bernama pangeran Prawoto yang bergelar Sunan Prawoto (1549). Sang adik berjuluk
pangeran Seda Lepen terbunuh di tepi sungai dan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh
anak dari pangeran Seda Lepen yang bernama Arya Panangsang. Tahta Demak dikuasai
Arya Penangsang yang terkenal kejam dan tidak disukai orang, sehingga timbul kekacauan
dimana-mana. Apalagi ketika adipati Japara yang mempunyai pengaruh besar dibunuh pula,
yang mengakibatkan si adik dari adipati japara berjuluk Ratu Kalinyamat bersama adipati-
adipati lainnya menentang Arya Panangsang, yang salah satu dari adipati itu bernama
Hadiwijoyo berjuluk Jaka Tingkir, yaitu putra dari Kebokenongo sekaligus menantu
Trenggono.
Jaka Tingkir, yang berkuasa di Pajang Boyolali, dalam peperangan berhasil membunuh
Arya Penangsang. Dan oleh karena itu ia memindahkan Karaton Demak ke Pajang dan ia
menjadi raja pertama di Pajang. Dengan demikian, habislah riwayat kerajaan Islam Demak.
Namun menginformasikan kerajaan Demak, kurang komplit kalau belum menceritakan
tentang kedatangan Islam di Jawa dan keberadaan Wali Sanga saat berkuasanya Demak.
Kedatangan Islam ke Jawa
Di Gresik (daerah Leran) ditemukan batu bertahun 1082 Masehi berhuruf Arab yang
menceritakan bahwa telah meninggal seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun
yang beragama Islam. Lalu disekitar tahun 1350 saat memuncaknya kebesaran Majapahit,
di pelabuhan Tuban dan Gresik banyak kedatangan para pedagang Islam dari India dan dari
kerajaan Samudra (Aceh Utara) yang juga awalnya merupakan bagian dari Majapahit,
disamping para pedagang Majapahit yang berdagang ke Samudra. Juga menurut cerita, ada
seorang putri Islam berjuluk Putri Cempa dan Putri Cina yang menjadi isteri salah satu raja
Majapahit.
Sangat toleransinya Majapahit terhadap Islam terlihat dari banyaknya makam Islam di desa
Tralaya, dalam kota kerajaan, dengan angka tertua di batu nisan adalah tahun 1369 (saat
Hayam Wuruk memerintah). Yang menarik, walau kuburan Islam tetapi bentuk batu
nisannya seperti kurawal yang mengingatkan kala-makara, berangka tahun huruf Kawi,
yang berarti bahwa di abad XIV Islam walau agama baru bagi Majapahit tetapi sebagai
unsur kebudayaan telah diterima masyarakat. Diketahui pula bahwa para pendatang dari
barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar beragama Islam, yang terus
berkembang dan mencapai puncaknya di abad XVI saat kerajaan Demak.
Wali Sanga (9)
Mereka yang dianggap sebagai penyiar terpenting yang sangat giat menyebarkan agama
Islam diberi julukan Wali-Ullah dan di Jawa dikenal sebagai Wali Sanga (9), yang
merupakan dewan Dakwah/Mubaligh. Kelebihan mereka dibanding kepercayaan/agama
penduduk lama adalah tentang kekuatan bathin yang lebih, ilmu yang tinggi dan tenaga
gaib. Sehingga mereka selalu dihubungkan dengan tasawwuf serta sangat kurang dalam
pengajaran fiqh ataupun qalam. Mereka tidak hanya berkuasa dalam agama, tapi juga dalam
hal pemerintahan dan politik. Menurut kitab Kanzul Ulum Ibnul Bathuthah, Wali Sanga
berganti susunan orangnya sebanyak 5 (lima) kali yaitu :
Dewan I tahun 1404 M :
Syeh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, ahli mengatur negara, dakwah di Jawa Timur,
wafat di Gresik tahun 1419;
Maulana Ishaq, asal Samarkan Rusia, ahli pengobatan, dakwah di Jawa lalu pindah dan
wafat di Pasai (Singapura) ;
Maulana Ahmad Jumadil Kubra, asal Mesir, dakwah keliling, makam di Troloyo - Triwulan
Mojokerto;
Maulana Muhammad Al Maghrobi, asal Maghrib - Maroko, dakwah keliling, makamnya di
Jatinom Klaten tahun 1465;
Maulana Malik Isroil, asal Turki, ahli mengatur negara, dimakamkan di Gunung Santri
antara Serang Merak di tahun 1435;
Maulana Muhammad Ali Akbar, asal Persia/Iran, ahli pengobatan, dimakamkan di Gunung
Santri tahun 1435;
Maulana Hasanuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di samping
masjid Banten Lama;
Maulana Aliyuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di samping
masjid Banten Lama;
Syeh Subakir, asal Persia, ahli menumbali tanah angker yang dihuni jin jahat, beberapa
waktu di Jawa lalu kembali dan wafat di persia tahun 1462.
Dewan II tahun 1436 M :
Raden Rahmad Ali Rahmatullah berasal dari Cempa Muangthai Selatan, datang tahun 1421
dan dikenal sebagai Sunan Ampel (Surabaya) menggantikan Malik Ibrahim yang wafat;
Sayyid Jafar Shodiq, asal Palestina, datang tahun 1436 dan tinggal di Kudus sehingga
dikenal sebagai Sunan Kudus, menggantikan malik Isroil ;
Syarif Hidayatullah, asal Palestina, datang tahun 1436 menggantikan Ali Akbar yang
wafat.
Dewan III tahun 1463 M :
Raden Paku/Syeh Maulana Ainul Yaqin pengganti ayahnya yang pulang ke Pasai,
kelahiran Blambangan, putra dari Syeh Maulana Ishak, berjuluk Sunan Giri dan makamnya
di Gresik;
>Raden Said atau Sunan Kalijaga, putra adipati Tuban bernama Wilatikta, yang
menggantikan Syeh Subakir yang kembali ke Persia;
Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang
menggantikan Hasanuddin yang wafat;
Raden Qosim atau Sunan Drajad kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang
menggantikan Aliyyuddin yang wafat.
>Dewan IV tahun 1466 M :
Raden Patah putra raja Brawijaya Majapahit (tahun 1462 sebagai adipati Bintoro, tahun
1465 membangun masjid Demak dan menjadi raja tahun 1468) murid Sunan Ampel,
menggantikan Ahmad Jumadil Kubro yang wafat;
Fathullah Khan, putra Sunan Gunung jati, menggantikan Al Maghrobi yang wafat.
Dewan V :
Raden Umar Said atau Sunan Muria, putra Sunan Kalijaga, yang menggantikan wali yang
telah wafat;
Syeh Siti Jenar adalah wali serba kontraversial, dari mulai asal muasal yang muncul dengan
berbagai versi, ajarannya yang dianggap menyimpang dari agama Islam tapi sampai saat ini
masih dibahas di berbagai lapisan masyarakat, masih ada pengikutnya, sampai dengan
kematiannya yang masih dipertanyakan caranya termasuk dimana ia wafat dan
dimakamkan.
Sunan Tembayat atau adipati Pandanarang yang menggantikan Syeh Siti jenar yang wafat
(bunuh diri atau dihukum mati).

k.Kerajaan Pajang

pemakaman

JokoTingkir sebagai raja bergelar Sultan Hadiwijaya (1568-1582), kedudukannya


disahkan oleh Sunan Giri, segera mendapat pengakuan dari adipati-adipati di seluruh Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan salah seorang anak Sultan Prawoto yaitu Arya
Pangiri diangkat menjadi adipati Demak. Selain itu, salah seorang yang paling berjasa
dalam membinasakan Arya Penangsang yaitu Kyai Ageng Pemanahan (putra dari Kyai
Ageng Anis yang mana Anis adalah putra Kyai Ageng Selo) diberi imbalan daerah
Mataram (sekitar kota Gede dekat Yogyakarta) untuk ditinggali, yang juga membuat
namanya lebih dikenal dengan panggilan Kyai Gede Mataram.
Kyai/Ki Ageng Pemanahan dalam waktu singkat mampu membuat Mataram beserta
rakyatnya maju. Namun sebelum dapat ikut menikmati hasil, yang usahanya dilanjutkan
oleh sang anak yaitu Sutowijoyo (terkenal sebagai ahli peperangan yang nantinya ia lebih
dikenal bernana Senapati ing Alaga/panglima perang), di tahun 1575 meninggal.
Sedangkan tujuh tahun kemudian (1582) Joko Tingkir meninggal, yang mana pangeran
Benowo seharusnya menggantikannya ternyata disingkirkan Arya Pangiri dan akhirnya
hanya jadi adipati di Jipang.

l.Kerajaan Mataram (Islam)

Arya Pangiri diserang oleh Sutowijoyo yang dibantu pangeran Benowo, yang
menghasilkan Sutowijoyo memindahkan Karaton Pajang ke Mataram dan ia menjadi raja
bergelar Panembahan Senopati (1575-1601). Tapi pengangkatan dirinya sendiri menjadi
raja Mataram memperoleh banyak tantangan, karena politik ekspansinya. Kecuali
Blambangan yang tetap bertahan dan belum Islam sesuai cita-cita Sutowijoyo, seluruh
Jawa termasuk Cirebon dikuasai. Ia yang meninggal di tahun 1601 dan dimakamkan di
Kota Gede, berhasil meletakkan dasar-dasar kerajaan Mataram.
Penggantinya adalah putranya dari perkawinannya dengan ratu Hadi (putri pangeran
Benowo) yang bernama Mas Jolang, berjuluk Panembahan Seda Krapyak dan bergelar
Sultan Hanyokrowati (1601-1613), yang banyak menghadapi pemberontakan.
Kegagalannya menaklukkan Surabaya walau di berbagai daerah berhasil, menyebabkan ia
wafat di tahun 1613 dan dimakamkan di Kota Gede. Kemudian, anaknya yang
menggantikan yaitu adipati Martapura yang sakit-sakitan segera digantikan oleh
saudaranya bernama raden Rangsang yang berjuluk Sultan Agung Hanyokrokusuma
(1613-1646).
Di bawah pemerintahan Sultan Agung, Mataram mengalami kejayaan, terhormat dan
disegani sampai di luar Jawa. Karaton yang semula di Kerta dipindahkan ke Plered.
Musuh bebuyutan Mataram yaitu Surabaya, dapat ditaklukkan. Sukadana-Kalimantan
dapat juga ditundukkan. Madura dibuat tidak berdaya dan Sultan mengangkat adipati
Sampang menjadi adipati Madura yang bergelar pangeran Cakraningrat I. Akhirnya
seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur bernaung di bawah panji-panji Mataram, yang salah
satu cara untuk mengikat para adipati adalah dengan mengawinkan putri-putri Mataram
dengan mereka. Malah Sultan sendiri mengawini putri Cirebon, yang mengakibatkan
Cirebon juga dapat ia kuasai. Namun Cita-citanya mempersatukan Jawa terganjal
Kompeni Belanda yang berada di Batavia, sehingga untuk menaklukkan Banten yang
tidak mau mengakuinya harus melenyapkan Kompeni terlebih dahulu. Maka disusunlah
strategi penyerangan.
Saat Gubernur Jenderal dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen sekaligus wakil
V.O.C.(Verrenigde Oost- Indische Compagni), Kompeni di tahun 1928 diserang Mataram
walau mengalami kegagalan merobohkan benteng Belanda, akibat perbekalan pasukan
yang habis, di samping Banten yang juga musuh Kompeni tapi hanya janji kosong ikut
menyerang.
Tanpa putus asa, Sultan menyerang kembali di tahun 1929, dengan mempersiapkan
perahu-perahu berisi beras di sekitar perairan Batavia serta membuat gudang-gudang beras
di Cirebon dan Krawang. Tapi ia gagal lagi, pasukannya kelaparan dan terjangkit berbagai
penyakit akibat kalahnya perahu-perahunya dengan kapal-kapal Belanda serta gudang-
gudang beras yang dibakar oleh mata-mata musuh, walau Coen yang kagum terhadap
pasukan Mataram wafat saat Batavia dikepung pasukan Mataram.
>Tanpa lelah, Sultan Agung melakukan penyerangan kembali, dengan sebelumnya
mengirim penduduk Jawa Tengah dan Sumedang untuk membabat hutan belukar di
Krawang menjadi daerah pertanian serta membuat jalan-jalan yang berhubungan dengan
Mataram. Selain itu ia juga bersekutu dengan orang-orang Portugis di Malakka dan orang-
orang Inggris di Banten, untuk mempersulit pengiriman beras ke Batavia dan pedagang-
pedagang yang biasa ke Batavia ia alihkan langsung ke Malakka. Tapi Saat sedang
konsentrasi kepada Kompeni, ada pemberontakan dari Sunan Giri yang ingin berkuasa di
Jawa Timur, yang akhirnya berhasil ia redam termasuk Blambangan yang dapat
ditaklukkan walau tidak lama kemudian bergabung kembali dengan Bali. Sementara itu
Belanda semakin kuat dan menguasai laut dengan mengalahkan orang-orang Portugis.
>Saat giat-giatnya Sultan mempersiapkan penyerangan untuk menghapus Belanda, tanpa
disangka ia wafat (1646), sehingga menggagalkan cita-citanya dalam membasmi
Kompeni. Yang menarik juga, ia dikenal bukan saja sebagai raja besar dan panglima
ulung, tapi juga sebagai orang Islam yang taat beribadah dan menjadi contoh dalam
kerajinannya dalam sholat Jumat.
Di tahun 1633 ia mengadakan tarikh baru yaitu dari tarikh Saka yang berdasarkan tahun
matahari (1 tahun = 365 hari) menjadi tarikh Jawa-Islam yang berdasarkan tahun bulan (1
tahun= 354 hari), sesuai tarikh Islam. Tahun 1633 itu adalah tahun Saka 1555 dan tahun
Saka ini menjadi tahun Jawa-Islam 1555 pula. Sedangkan untuk memperkokoh dirinya
sebagai pemimpin Islam, ia mengirim utusan ke Mekkah dan yang di tahun 1641 kembali
dengan membawa para ahli agama untuk menjadi penasehat Karaton dan memperoleh
gelar Sultan Abdul Muhammad Maulana Matarami.
Pengganti Sultan Agung adalah Mangkurat Agung/Mangkurat I (1646-1677) atau juga
dikenal sebagai Sunan Seda Tegalarum yang bertahta di Kartasura, dan selanjutnya
digantikan oleh Mangkurat Amral/Mangkurat II (1677-1703), kemudian Mangkurat
Mas/Mangkurat III (1703-1704), seterusnya pangeran Puger/Sunan Pakoeboewono I
(1708-1719), lalu Mangkurat Jawi/Mangkurat IV (1719-1727), yang dilanjutkan oleh
Sunan Pakoeboewono II (1727-1745) dan memindahkan karaton ke Surakarta (1745-
1749). Namun saat digantikan putranya yaitu Sunan Pakoeboewono III (1749-1788),
Mataram yang daerahnya sudah semakin sempit akibat kelihaian Belanda terpecah
menjadi 2 (dua), yaitu satunya Surakarta tetap diperintah Sunan Pakoeboewono III,
sedangkan Yogyakarta diberikan kepada pamannya sendiri yang bergelar Sultan
Hamengkoeboewono I (1755-1792).
Putra dari pangeran Mangkunagara (salah satu putra Mangkurat IV) yaitu raden mas Said
atau dikenal dengan julukan pangeran Sambernyawa, walau sangat tangguh melawan
Kompeni tapi juga rasa hormat terhadap Pakoeboewono III, akhirnya bersedia bersepakat
yang mana raden mas Said diberi kekuasaan serupa raja, tapi dengan beberapa
pengecualian.
Ia bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunagoro I dan berkedudukan di
pura Mangkunegaran - Surakarta (1757-1795). Ini, merupakan hasil dari perjanjian Gianti.
Sedangkan di Yogyakarta pada tahun 1812 beberapa putra Sultan, selain ada yang
menggantikan dirinya menjadi Sultan Hamengkoeboewono II (1792-1812), maka salah
satu putranya di tahun 1812 yang barangkali untuk sepadan dengan Surakarta diangkat dan
dibentuk pura sejenis Mangkunegaran dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria
(KGPAA) Paku Alam I (1812-1828).
Karya Kesusasteraan mengenai riwayat pecahnya kerajaan Mataram dalam tahun 1755
dan 1757 yang berubah menjadi Kasultanan Yogyakarta serta Kasunanan Surakarta dan
Mangkunegaran, ada pada riwayat /Babad Giyanti karangan Yasadipura, yang betul-betul
sebuah sejarah dan sangat menarik dan menceritakan tentang pecahnya Mataram..
Sejak tahun 1945, kerajaan di Surakarta dan di Yogyakarta, mengakui dan melebur
menjadi satu dengan Republik Indonesia, sehingga Karaton-Karaton tersebut disepakati
hanya sebagai semacam institusi kekerabatan keluarga besar Karaton masing-masing,
disamping ditetapkan oleh pemerintah sebagai cagar budaya. Kemudian di tahun 2000 ini
pimpinan dari Karaton Surakarta adalah Sunan Pakubuwono XII, pura Mangkunegaran
adalah K.G.P.A.A. Mangkunagoro IX, Karaton Yogyakarta adalah Sultan
Hamengkubuwono X dan pura Pakualaman adalah K.G.P.A.A. Paku Alam IX, dengan
segala warisan budayanya yang sangat diharapkan tak akan pernah punah.*

Вам также может понравиться