Вы находитесь на странице: 1из 62

Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia

Pengelolaan Karsinoma Kolorektal


Suatu Panduan Klinis Nasional

Kata Pengantar
Penyusunan Panduan Klinis Nasional Pengelolaan Karsinoma Kolorektal ini
diprakarsai oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia
(IKABDI). Sejak dimulainya penyusunan ini pada pertengahan tahun 2003,
Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) sudah diikutsertakan. Dengan
demikian, maka kelompok yang menyusun Panduan ini selengkapnya terdiri
atas para dokter spesialis dalam berbagai bidang yang melakukan
pengelolaan kanker kolorektal sesuai bidang masing-masing.

Tujuan utama Panduan ini adalah sebagai acuan kerja yang dianjurkan untuk
diikuti oleh semua pihak yang menerima pasien dengan dugaan kanker
kolorektal, tidak terkecuali para dokter umum. Salah satu tujuan lain yang
ingin dicapai adalah agar secepat mungkin para pasien dengan kanker
kolorektal dapat dilakukan tindakan definitif. Dengan demikian maka
keterlambatan yang disebabkan oleh para dokter dapat dipersingkat
waktunya. Tujuan lain adalah agar pengelolaan karsinoma kolorektal pada
semua tahap menjadi lebih profesional sesuai dengan bukti yang dapat
ditemukan dalam kepustakaan tahun 2004.

Panduan ini akan ditinjau ulang secara berkala sejalan dengan kemajuan ilmu
dan teknologi dalam pengelolaan karsinoma kolorektal. Dari para pengguna
Panduan ini juga diharapkan untuk turut memberikan anjuran yang berguna
untuk perbaikan Panduan ini.

Kelompok Penyusun

November 2004
Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia
 Ketua: Prof. Dr. R. Sjamsuhidajat, SpB-KBD
 Wakil: Dr. Warko Karnadihardja, SpB-KBD
 Sekretaris: Dr. Reno Rudiman, MSc, SpB-KBD

Komisi Diagnostik
 Ketua: Dr. Kiki Lukman, MSc SpB-KBD
 Anggota
 Dr. Yayat Ruchiyat, SpB-KBD
 Dr. C. Prabani, SpB-KBD
 Dr. Ali Djumhana, SpPD-KGEH
 Dr. Murdani Abdullah, SpPD-KGEH
 Dr. Tony Sudarmo, SpRad
 Dr. Ening, SpPA
 Dr. Bethy S Hernowo, SpPA, PhD
 Dr. Tan Siauw Koan, SpRad
 Dr. Sutamto Wibowo, SpB-KBD

Komisi Surveilens
 Ketua: Prof Dr. I Riwanto, SpB-KBD
 Anggota
 Dr. C Suharti, SpPD-KHOM, PhD
 Dr. Basrul Hanafi, SpB-KBD
 Dr. F. Sumanto,MSc, SpPD-KGEH
 Dr. Reno Rudiman, MSc SpB-KBD
 Dr. Sutrisno Alibasyah, SpB-KBD

Komisi Terapi Bedah


 Ketua: Dr. Ibrahim Basir, SpB-KBD
 Anggota:
 Dr. Hendro Wartatmo, SpB-KBD
 Dr. Sudjatmiko, SpB-KBD
 Dr. Asril Zahari, SpB-KBD
 Dr. Hermansyur Kartowisastro, SpB-KBD
 Dr. Nurhayat Usman, SpB-KBD

Komisi Terapi Adjuvan


 Ketua: Dr. Aru Sudoyo, SpPD-KHOM
 Anggota:
 Prof Dr. Nusyirwan Acang
 Dr. Djohan Kurnanda
 Dr. C. Suharti, SpPD-KHOM, PhD
 DR. Dr. Suhartati Gondhowiardjo, SpRad
 Dr. Haryono Yarman, SpB-KBD
 Dr. Ami Ashariati, SpPD-KHOM
 Dr. Pandji Irani Fianza, SpPD
Daftar Isi

1. Pendahuluan................................................................................................1
2. Insidensi dan Pencegahan Karsinoma Kolorektal...................................5
3. Deteksi dini dan Diagnosis ......................................................................11
4. Terapi..........................................................................................................23
5. Surveilens KKR Pasca Pembedahan Kuratif..........................................47
6. Informasi Dan Edukasi Penderita KKR dan Keluarganya.....................52
Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia

Pengelolaan Karsinoma Kolorektal


Suatu Panduan Klinis Nasional

1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang

Karsinoma kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak di dunia dan


penyebab kematian kedua terbanyak (terlepas dari gender) di Amerika
Serikat.1 Di Indonesia dari berbagai laporan terdapat kenaikan jumlah kasus
tetapi belum ada angka yang pasti berapa insiden karsinoma kolorektal.
Sjamsuhidajat (1986) dari evaluasi data-data di Departemen Kesehatan
mendapatkan 1,8 per 100.000 penduduk.2

Meskipun perkembangan pengobatan adjuvan akhir-akhir ini berkembang


secara cepat dan sangat maju, akan tetapi hanya sedikit saja meningkatkan
survival pasien karsinoma kolorektal dalam stadium lanjut.

Kunci utama keberhasilan penanganan karsinoma kolorektal adalah


ditemukannya karsinoma dalam stadium dini, sehingga terapi dapat
dilaksanakan secara bedah kuratif. Namun sayang sebagian besar penderita
di Indonesia datang dalam stadium lanjut sehingga angka survival rendah,
terlepas dari terapi yang diberikan. Penderita datang ke rumah sakit sering
dalam stadium lanjut karena tidak jelasnya gejala awal dan tidak menganggap
penting gejala dini yang terjadi.

Terapi bedah paling efektif bila dilakukan pada penyakit yang masih
terlokalisir. Bila sudah terjadi metastasis, prognosis menjadi buruk, karena
pilihan terapi mungkin hanya paliatif saja. Berkembangnya kemoterapi dan
radioterapi pada saat ini memungkinkan kesempatan untuk terapi adjuvan
untuk penderita stadium lanjut atau pada kejadian kekambuhan.

Skrining karsinoma kolorektal memegang peranan yang sangat penting.


Pengalaman di berbagai negara memperlihatkan bahwa skrining yang
adekuat terbukti menurunkan angka kematian akibat dari karsinoma
kolorektal, karena dengan program skrining yang baik akan lebih banyak
ditemukan kasus dini sehingga terapi dapat secara kuratif.

Karsinoma kolorektal memerlukan penanganan multimodalitas dan belum


terdapat keseragaman secara nasional dalam pendekatan terapinya. Selain
terdapat kesenjangan dalam hal fasilitas skrining dan terapi dari berbagai
daerah di Indonesia, juga belum adanya panduan terapi karsinoma kolorektal
yang aplikatif untuk keadaan di Indonesia.

1
1.2. Tujuan
Berdasarkan kenyataan diatas, Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal
Indonesia membuat Panduan Nasional Pengelolaan Adenokarsinoma
Kolorektal dengan tujuan:
- mendukung usaha-usaha menurunkan insidensi karsinoma kolorektal
pada masyarakat umum dan pada kelompok risiko tinggi,
- mendukung usaha diagnosis dini pada masyarakat umum dan pada
kelompok risiko tinggi,
- meningkatkan usaha rujukan, pencatatan dan pelaporan yang
konsisten,
- meningkatkan seluruh aspek pengelolaan karsinoma kolorektal
sehingga dapat meningkatkan angka survival keseluruhan, angka
survival bebas penyakit dan peningkatan kualitas hidup.

1.3. Sasaran pengguna


Pengelolaan kanker kolorektal memerlukan penanganan multidisiplin yang
melibatkan spesialis bedah, spesialis penyakit dalam bidang onkologi,
spesialis patologi anatomi, spesialis radiologi, dan perawat. Secara lebih luas,
tim tersebut dapat melibatkan spesialis penyakit dalam bidang
gastroenterologi, spesialis asuhan keperawatan paliatif, dan dokter umum.
Panduan nasional ini dapat dipakai oleh para tenaga medis profesional
diatas, para penderita, dan para penentu kebijakan yang terkait.

1.4. Pernyataan kebijakan


Panduan nasional ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan standar
pelayanan medis yang sudah ada. Standar pelayanan dibuat dari
pengalaman klinis, sumber daya manusia dan fasilitas yang tersedia.
Penerapan untuk tiap individu selalu disesuaikan dengan keadaan klinis dan
mungkin berubah sesuai perkembangan ilmu dan teknologi, dan standar
pengelolaan yang baik. Parameter yang dipakai dalam panduan nasional ini
hanya merupakan petunjuk umum. Mengikuti semua petunjuk didalam
panduan ini tidak merupakan jaminan kesembuhan pada setiap kasus.

Evaluasi perencanaan pengelolaan yang sesuai hendaknya didapat dari tim


dokter yang menangani penderita, setelah mendiskusikan pilihan pengelolaan
dengan penderita dan keluarganya, yang sesuai untuk keadaan klinis
penderita.

1.5. Peninjauan ulang dan pembaruan


Panduan nasional ini dibuat pada tahun 2004 dan secara berkala akan
ditinjau ulang untuk disesuaikan dengan bukti ilmiah terbaru. Panduan ini
terbuka untuk perubahan. Masukan dapat ditampung melalui email
rudiman@surgery.fk.unpad.ac.id, fax 022-2034574, atau
SMS +62 811 222074.

2
1.6. Tingkatan Bukti dan Gradasi Rekomendasi
Dalam menetapkan rekomendasi untuk pengelolaan, sejauh mungkin dipakai
tingkatan bukti ilmiah tertinggi. Gradasi rekomendasi ini didasarkan kepada
tingkatan bukti yang sesuai, tidak menggambarkan kepentingan klinis.

1.6.1. Tingkatan Bukti

1++ Meta-analisis berkualitas tinggi, review sistematik penelitian


acak terkontrol (randomized controlled trials) atau penelitian
acak terkontrol dengan risiko bias yang sangat kecil
1+ Meta-analisis yang baik, review sistematik penelitian acak
terkontrol atau penelitian acak terkontrol dengan risiko bias
yang kecil
1- Meta-analisis, review sistematik penelitian acak terkontrol atau
penelitian acak terkontrol dengan risiko bias yang besar.
2++ Review sistematik berkualitas tinggi dari suatu penelitian kohort
atau uji kasus kelola, atau penelitian kohort atau uji kasus
kelola dengan risiko bias yang sangat kecil, atau mempunyai
probabilitas yang tinggi bahwa hubungan tersebut kausal.
2+ Uji kasus-kelola atau uji kohort yang dilakukan dengan baik
dengan risiko bias yang kecil dan mempunyai probabilitas yang
sedang bahwa hubungan tersebut kausal.
2- Uji kasus-kelola atau uji kohort dengan risiko bias yang besar
dan terdapat risiko bermakna bahwa hubungan tersebut tidak
kausal.
3 Studi non-analitik seperti laporan kasus, laporan serial.
4 Pendapat ahli

3
1.6.2. Gradasi Rekomendasi

A Paling tidak didukung oleh satu meta-analisis, review sistematik


penelitian acak terkontrol, atau penelitian acak terkontrol
dengan tingkatan 1++, dan dapat diterapkan pada populasi
sasaran, atau;
Sejumlah bukti dari sejumlah penelitian tingkat 1+, dapat
diterapkan pada populasi sasaran, dan memperlihatkan hasil
yang konsisten.
B Sejumlah bukti dari beberapa studi tingkat 1- atau 2++, dapat
diterapkan pada populasi sasaran, dan memperlihatkan hasil
yang konsisten
C Sejumlah bukti dari beberapa studi tingkat 2+, dapat diterapkan
pada populasi sasaran, dan memperlihatkan hasil yang
konsisten
D Bukti ilmiah tingkat 3 atau 4
E Rekomendasi yang didasarkan pengalaman klinik terbaik dari
penyusun panduan

1.7. Teknik penyusunan


Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia beranggotakan panelis
para pakar multidisiplin yang bekerja dalam jangka waktu tertentu,
mengumpulkan data terbaru dari journal dan menerapkan prinsip-prinsip
kedokteran berbasis bukti (Evidence Based Medicine) dalam menulis
Panduan Nasional.

4
2. Insidensi dan Pencegahan Karsinoma Kolorektal
2.1. Insidensi
Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan keganasan ketiga terbanyak didunia
dan penyebab kematian kedua terbanyak (terlepas dari gender) di Amerika
Serikat. Diperkirakan dalam tahun 2002 akan ditemukan kasus baru
sebanyak 148.300 dengan kematian 56.600. Antara tahun 1973 sampai 1995
di Amerika Serikat. kematian akibat KKR menurun 20,8% dan insiden juga
menurun 7,4%. Angka survival 5 tahun adalah 62,1%. Sekitar 6% penduduk
Amerika diperkirakan bisa berkembang KKR dalam hidupnya. Risiko untuk
mendapatkan KKR mulai meningkat setelah umur 40 tahun dan meningkat
tajam pada umur 50 sampai 55 tahun, risiko meningkat dua kali lipat setiap
dekade berikutnya.3

Di Indonesia dari berbagai laporan terdapat kenaikan jumlah kasus tetapi


belum ada angka yang pasti berapa insiden KKR. Sjamsuhidajat (1986) dari
evaluasi data-data di Departemen Kesehatan mendapatkan 1,8 per 100.000
penduduk.2 Tirtosugondo (1986) untuk Kodya Semarang, melaporkan
peningkatan KKR, dimana Age Standardized Rate (ASR) per 100.000
penduduk untuk laki-laki tahun 1970-1974: 2,5; tahun 1980-1981: 3,2;
sementara untuk wanita tahun 1970-1974: 2,2; tahun 1982: 3,4 dan
menduduki urutan kelima diantara keganasan yang lain. Angka ini agaknya
insiden minimal, karena tidak jarang ada kasus yang tidak dilaporkan atau
pasien tidak berobat ke rumah sakit.4

Meskipun perkembangan pengobatan adjuvan akhir-akhir ini berkembang


secara cepat dan sangat maju, akan tetapi hanya sedikit saja meningkatkan
survival pasien KKR dalam stadium lanjut. Atas dasar itu pencegahan primer,
dalam arti mencegah terjadinya KKR dan pencegahan sekunder, dalam arti
menemukan kasus dalam stadium dini harus dikembangkan dalam rangka
menekan morbiditas dan mortalitas pasien KKR.

2.2. Etiologi dan Pencegahan KKR


Secara umum dinyatakan bahwa untuk perkembangan KKR merupakan
interaksi antara faktor lingkungan dan faktor genetik. Faktor lingkungan
multipel beraksi terhadap predisposisi genetik atau defek yang didapat dan
berkembang menjadi KKR.5

Terdapat 3 kelompok KKR berdasarkan perkembangannya yaitu:


1. kelompok yang diturunkan (inherited) yang mencakup kurang dari 10%
dari kasus KKR;
2. kelompok sporadik, yang mencakup sekitar 70%;
3. kelompok familial, mencakup 20%. 6

Kelompok diturunkan adalah mereka yang dilahirkan sudah dengan mutasi


germline (germline mutation) pada salah satu allele dan terjadi mutasi somatik
pada allele yang lain. Contohnya adalah FAP (Familial Adenomatous
Polyposis) dan HNPCC (Hereditary Non-Polyposis Colorectal Cancer.

5
HNPCC terdapat pada sekitar 5% dari KKR. Kelompok sporadik
membutuhkan dua mutasi somatik, satu pada masing masing allele-nya.
Kelompok familial tidak sesuai kedalam salah satu dari dominantly inherited
syndromes diatas (FAP & HNPCC) dan lebih dari 35% terjadi pada umur
muda. Meskipun kelompok familial dari KKR dapat terjadi karena kebetulan
saja, akan tetapi faktor lingkungan, penetrant mutations yang lemah atau
currently germline mutations dapat berperan.6

Terdapat 2 model perjalanan perkembangan KKR (karsinogenesis) yaitu LOH


(Loss of Heterozygocity) dan RER (Replication Error). Model LOH mencakup
mutasi tumor gen supresor meliputi gen APC, DCC dan p-53 serta aktifasi
onkogen yaitu K-ras. Model ini contohnya adalah perkembangan polip
adenoma menjadi karsinoma. Sementara model RER karena adanya mutasi
gen hMSH2, hMLH1, hPMS1, hPMS2. Model terakhir ini contohnya adalah
perkembangan HNPCC. Pada bentuk sporadik, 80% berkembang lewat
model LOH dan 20% berkembang lewat model RER.7

2.2.1. Lemak, protein, kalori, daging.


Masih terdapat kontroversi hasil penelitian epidemiologi, eksperimental pada
binatang dan penelitian klinik hubungan antara diet tinggi lemak, protein,
kalori, dan daging (baik daging putih maupun merah) dengan peningkatan
insiden KKR. Disatu kelompok menunjukkan bahwa faktor tersebut berperan
secara bermakna, sementara kelompok lain tidak menunjukkan peran yang
bermakna. Akan tetapi yang jelas faktor-faktor tersebut diatas tidak ada yang
berefek protektif. Atas dasar itu disimpulkan bahwa:
Penelitian epidemiologik, eksperimental pada binatang dan penelitian klinik
memberikan kesan bahwa diet tinggi lemak, protein, kalori, dan daging merah
dan putih adalah berhubungan dengan kenaikan insiden KKR.3

Rekomendasi tingkat C
Hindari makan tinggi lemak, protein, kalori, daging merah dan putih.
Cukupkan makanan dengan kalsium dan asam folat untuk menekan
kejadian KKR.

2.2.2. Alkohol
Hubungan KKR dengan konsumsi alkohol tidak jelas. Meskipun kebanyakan
hasil penelitian menunjukkan hubungan yang positif antara konsumsi alkohol
dengan kejadian KKR, namun proporsi cukup besar penelitian tidak
menunjukkan hubungan. Meta-analisis terakhir menujukkan heterogenitas
hasil yang bermakna antara penelitian kohort dan kasus-kelola pada kejadian
karsinoma kolon, sementara untuk karsinoma rektum terdapat heterogenitas
yang bermakna antara kualitas metodologi dan jenis kelamin. Atas dasar hal
tersebut rekomendasi menghentikan minum alkohol untuk mencegah kejadian
KKR belum bisa diberikan.8

6
2.2.3. Kalsium
Cukup banyak (meskipun tidak semua) penelitian epidemiologik menunjukkan
hubungan yang negatif antara jumlah asupan kalsium dengan risiko kejadian
KKR. Uji acak terkontrol menunjukkan bahwa pemberian kalsium menekan
kekambuhan adenoma secara bermakna. Dosis yang dipakai dalam
penelitian antara 1250-2000mg.3

µ Rekomendasi Tingkat A
Pasca polipektomi adenoma disarankan pemberian suplementasi kalsium

2.2.4. Vitamin
Penelitian kohort prospektif pada lebih dari 35 wanita, menunjukkan bahwa
terdapat hubungan terbalik antara risiko karsinoma kolon dengan
suplementasi vitamin E. Penelitian kasus-kontrol menunjukkan juga hubungan
terbalik antara suplementasi vitamin D dengan kejadian karsinoma kolon.
Demikian juga suplementasi asam folat 400mg/hari juga berperan dalam
menurunkan kejadian KKR.3

µ Rekomendasi Tingkat C
Disarankan suplementasi vitamin E, vitamin D serta asam folat dalam
upaya menekan kejadian KKR

2.2.5. Konsumsi buah dan sayur


Dua puluh dua penelitian kasus dan kelola, mencakup 6000 kasus secara
konsisten mendukung bahwa terdapat hubungan terbalik antara jumlah
konsumsi sayur dengan jumlah kejadian KKR. Enam kohort mencakup lebih
dari 2600 kasus, terutama publikasi terakhir kurang mendukung hubungan
konsumsi sayuran dengan kejadian KKR. Hubungan konsumsi makanan
yang berserat dengan kejadian KKR tidak jelas pada penelitian kohort,
sementara penelitian kasus-kelola hasilnya tidak konsisten. Uji acak terkontrol
sampel kecil menunjukkan suplemen dengan wheat bran memberikan
dukungan yang kecil dalam efek protektif terhadap kejadian adenoma
kolorektal.8

Rekomendasi Tingkat C
Disarankan lebih banyak mengkonsumsi buah dan sayuran setiap
harinya.

7
2.2.6. Kelebihan berat badan
Lebih dari 20 penelitian, mencakup lebih dari 3000 kasus secara konsisten
mendukung bahwa terdapat hubungan yang positif antara obesitas dan
kejadian KKR. Satu meta-analisis dari penelitian kohort dan kasus-kelola
menunjukkan kenaikan risiko 15% karsinoma kolon pada orang yang
overweight (BMI>25,0kg/m2) dibanding berat badan normal (BMI 18,5-25,0
kg/m2) dan risiko meningkat menjadi 33% pada obesitas (BMI>30 kg/m2)
dibanding berat badan normal.8

Rekomendasi Tingkat B
Disarankan mempertahankan BMI antara 18,5-25,0 kg/m2 sepanjang
hidup

2.2.7. Aktifitas fisik


Sekitar 50 studi kasus-kelola atau kohort, mencakup 13.000 kasus
menunjukkan hasil yang konsisten bahwa aktifitas fisik menekan risiko
(pengurangan risiko sampai 50%) kejadian karsinoma kolon. Hubungan ini
kuat pada laki-laki dan karsinoma kolon, tetapi pengaruhnya hanya sedikit
pada karsinoma rektum baik laki-laki maupun perempuan.8

Rekomendasi Tingkat B
Disarankan melakukan aktifitas fisik (misalnya jalan) paling tidak untuk
30 menit dalam sehari

2.2.8. NSAID
NSAIDs akan menghambat produksi prostaglandin, melalui hambatan pada
COX. COX akan merangsang angiogenesis pada KKR. Beberapa penelitian
kohort dan kasus-kontrol dengan disain baik menunjukkan bahwa golongan
NSAID yaitu piroksikam, sulindak dan aspirin dapat mencegah terbentuknya
adenoma atau menyebabkan regresi polip adenoma pada FAP.3
µ§Rekomendasi Tingkat C
Pada pasien FAP bisa diberikan NSAID yaitu piroksikam, sulindak atau
aspirin untuk mencegah terbentuknya adenoma dan menekan
kekambuhan

2.2.9. Merokok
Meskipun penelitian awal tidak menunjukkan hubungan merokok dengan
kejadian KKR, tetapi penelitian terbaru perokok jangka lama (periode induksi
30-40 tahun) mempunyai risiko relatif berkisar 1,5-3 kali. Diestimasikan
bahwa satu dari lima KKR di Amerika bisa diatributkan kepada merokok
[SIGN 2003]. Penelitian kohort dan kasus-kontrol dengan disain yang baik
menunjukkan bahwa merokok berhubungan dengan kenaikan risiko

8
terbentuknya adenoma dan juga kenaikan risiko perubahan adenoma menjadi
KKR. 3

Rekomendasi Tingkat C
Untuk mencegah kejadian KKR dianjurkan tidak merokok

2.2.10. Pengobatan sulih hormon wanita


Terdapat hubungan terbalik antara estrogen replacement therapy (ERT)
dengan kejadian KKR. Dari 4 meta-analisis yang ada terdapat heterogenitas
yang bermakna dalam besaran efek dari penelitian Satu uji acak terkontrol
menunjukkan ERT menurunkan risiko KKR dan fraktur pelvis, akan tetapi
manfaat ini diikuti efek yang tidak baik yaitu meningkatnya penyakit jantung
koroner, strokes, emboli paru dan kanker payudara invasif.8

Rekomendasi Tingkat B
Penggunaan estrogen replacement therapy khususnya untuk mencegah
KKR tidak direkomendasikan.

2.2.11. Kolonoskopi
Penelitian kohort dan kasus-kontrol dengan disain baik menunjukkan bahwa
kolonoskopi dan pengangkatan polip adenomatosa dapat mengurangi risiko
kejadian KKR.3

µ Rekomendasi Tingkat C
Kolonoskopi dan polipektomi pada pasien yang ditemukan adanya polip

2.2.12. Test darah samar


Skrining dengan test darah samar, bila hasilnya positif diikuti pemeriksaan
kolonoskopi atau kolonografi kontras ganda dan sigmoidoskopi fleksibel
setiap tahun, dalam follow-up 18 tahun, menurunkan insiden KKR sebesar
20% sementara yang setiap 2 tahun menurunkan 17%.3

Rekomendasi Tingkat D
Disarankan untuk skrining dengan test darah samar sejak usia 40 tahun.

9
µ

10
3. Deteksi dini dan Diagnosis
Deteksi dini (skrining) dan diagnosis pada pengelolaan KKR memiliki peranan
penting di dalam memperoleh hasil yang optimal yaitu meningkatnya survival,
dan menurunnya tingkat morbiditas dan mortalitas para penderita KKR. Pada
bagian ini akan diuraikan panduan di dalam melaksanakan deteksi dini dan
diagnosis.

3.1. Deteksi dini


Deteksi dini adalah investigasi pada individu asimtomatik yang bertujuan
untuk mendeteksi adanya penyakit pada stadium dini sehingga dapat
dilakukan terapi kuratif.

3.1.1. Indikasi
Secara umum deteksi dini dilakukan pada dua kelompok yaitu populasi umum
dan kelompok risiko tinggi.

 Deteksi dini pada populasi dilakukan kepada individu yang berusia di


atas 40 tahun.
 Deteksi dini dilakukan pula pada kelompok masyarakat yang memiliki
risiko tinggi menderita KKR yaitu :
o Penderita yang telah menderita kolitis ulserativa atau Crohn > 10
tahun,9,10
o Penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma
kolorektal,11,12,13
o Individu dengan adanya riwayat keluarga penderita KKR.

Individu dengan riwayat keluarga memiliki risiko menderita KKR 5 kali lebih
tinggi dari pada individu pada kelompok usia yang sama tanpa riwayat
penyakit tersebut.14,15 Terdapat dua kelompok pada individu dengan keluarga
penderita KKR, yaitu:
o individu yang memiliki riwayat keluarga dengan Hereditary Non-
Polyposis Colorectal Cancer (HNPCC),
o individu yang didiagnosis secara klinis menderita Familial
Adenomatous Polyposis (FAP)

Pada kelompok HNPCC terdapat tiga tingkat risiko terhadap kemungkinan


seseorang individu menderita KKR dan kriteria untuk masing-masing risiko
dapat dilihat pada tabel dibawah ini

11
Kriteria tingkat risiko pada individu dengan riwayat keluarga penderita KKR.
(Kriteria Amsterdam)16

Tingkat Risiko Kriteria

Tinggi  Paling sedikit tiga anggota keluarga


menderita KKR atau paling sedikit dua
dengan KKR dan satu dengan karsinoma
endometrial pada paling sedikit dua generasi.
Satu dari anggota keluarga telah menderita di
bawah usia 50 tahun dan salah satu anggota
yang didiagnosis adalah silsilah pertama dari
keluarga.
 Ditemukannya pembawa (carrier) gen
HNPCC
 Anggota keluarga yang tidak diuji genetik
Sedang  Seorang anggota keluarga silsilah
pertama menderita KKR pada usia < 45
tahun, atau
 Dua anggota keluarga silsilah
pertama menderita KKR (Seorang pada usia
< 55 tahun), atau
 Dua atau tiga anggota keluarga
(salah seorang pada usia < 55 tahun) dengan
KKR atau karsinoma endometrial yang
merupakan silsilah pertama.
Rendah  Seorang yang tidak memenuhi
kriteria tinggi dan sedang.

Apabila tidak dilakukan terapi, 7 % penderita FAP akan menderita adenoma


pada usia 21 tahun, 50 % pada usia 39 tahun, dan 90% pada usia 45 tahun.17
Individu yang didiagnosis secara klinis menderita Familial Adenomatous
Polyposis (FAP)

12
Rekomendasi Tingkat C
 Deteksi dini pada populasi dilakukan kepada individu yang berusia di
atas 40 tahun.
 Deteksi dini dilakukan pula pada kelompok masyarakat yang memiliki
risiko tinggi menderita KKR yaitu :
o penderita yang telah menderita kolitis ulserativa atau Crohn > 10
tahun,
o penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma
kolorektal,
o individu dengan adanya riwayat keluarga penderita KKR

3.1.2. Metoda
3.1.2.1. Deteksi dini pada populasi
a. test darah tersamar pada feses (Fecal Occult Blood Test = FOBT)
setiap tahun
 FOBT menurunkan tingkat mortalitas KKR sebesar 16%, dan
bila dilakukan penyesuaian pada tingkat kehadiran, mencapai reduksi
tingkat mortalitas sampai dengan 23%.18
 FOBT menurunkan insidensi KKR, disebabkan oleh deteksi
dan polipektomi pada adenoma yang ditemukan.12

b. sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi


 Kebanyakan KKR berasal dari polip adenoma sehingga setiap lesi
harus diangkat. Tindakan polipektomi telah terbukti secara bermakna
menurunkan risiko KKR.13

3.1.2.2. Deteksi dini pada kelompok masyarakat yang memiliki risiko


tinggi
a. Penderita yang telah menderita kolitis ulserativa atau Crohn > 10
tahun
 Apabila telah berjalan selama 20 tahun atau ditemukan adanya
displasia, maka kolonoskopi harus dilakukan setiap tahun.13
 Penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma kolorektal:14
o Penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma
harus selalu ditawarkan untuk menjalani follow-up kolonoskopi.
o Apabila ditemukan polip berukuran < 1 cm pada follow-up maka
selanjutnya dilakukan kolonoskopi setiap 5 tahun.
o Apabila ditemukan lebih dari 3 adenoma, atau paling sedikit satu
berukuran > 1 cm, atau adanya displasia berat, maka dilakukan
kolonoskopi setiap 3 tahun. Apabila pada kolonoskopi
selanjutnya tidak ditemukan polip, maka kolonoskopi dapat
dihentikan.

13
b. Penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma
kolorektal8

 Penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma harus selalu


ditawarkan untuk menjalani follow-up kolonoskopi.
 Apabila ditemukan polip berukuran < 1 cm pada follow-up maka
selanjutnya dilakukan kolonoskopi setiap 5 tahun.
 Apabila ditemukan lebih dari 3 adenoma, atau paling sedikit satu
berukuran > 1 cm, atau adanya displasia berat, maka dilakukan
kolonoskopi setiap 3 tahun. Apabila pada kolonoskopi selanjutnya tidak
ditemukan polip, maka kolonoskopi dapat dihentikan

14
c. Individu dengan adanya riwayat keluarga penderita KKR:

Tingkat Risiko Skrining Usia skrining

Tinggi  Kolonoskopi setiap dua  Usia 30 – 70 tahun


tahun  Untuk Ca Gaster
 Tawarkan skrining tumor antara usia 50 – 70
ginekologi tahun.
 Tawarkan upper GI
endoskopi setiap 2 tahun.
 Pertimbangkan deteksi dini
untuk kanker lainnya yang
mungkin berhubungan
dengan HNPCC
Sedang  Kolonoskopi tunggal Usia 30 – 35 tahun dan
 Kolonoskopi ulang satu kali 55 tahun
jika kolonoskopi sebelumnya
normal
Rendah  Penyuluhan pada penderita Tidak diperlukan
untuk mendorong gaya hidup
sehat.

c. Individu yang memiliki risiko tinggi menderita “Familial


Adenomatosis Polyposis” (FAP) berdasarkan riwayat keluarga
dengan FAP.
 Bila fasilitas tersedia dilakukan pemeriksaan genetik adanya mutasi
gen APC.
 Ditawarkan kolonoskopi setiap dua tahun dan sigmoidoskopi setiap
tahun.
.

Rekomendasi tingkat A
Deteksi dini pada populasi umum dilakukan dengan cara test darah samar

Rekomendasi tingkat E
Deteksi dini pada populasi umum dapat dilakukan dengan sigmoidoskopi
fleksibel atau kolonoskopi bila fasilitas tersedia

Rekomendasi tingkat B
Deteksi dini pada kelompok risiko tinggi selalu dianjurkan untuk menjalani
follow-up kolonoskopi

15
3.2. Diagnosis

3.2.1. Kriteria diagnosis

3.2.1.1. Anatomi
Kolon adalah usus besar proksimal dari rektum. Pada orang dewasa, yang
dimaksud dengan rektum intra-operatif adalah batas fusi dua taenia
mesenterik dengan area amorfus rektum (true rectum); sedangkan pada
pemeriksaan sigmoidoskop kaku, rektum disepakati berjarak 15 cm dari anal
verge (UKCCR) atau 12 cm dari anal verge (USA).

Pilihan penanganan karsinoma rekti memerlukan ketepatan lokalisasi tumor,


karena itu untuk tujuan terapi rektum dibagi dalam 3 bagian, yaitu 1/3 atas,
1/3 tengah dan 1/3 bawah. Bagian 1/3 atas dibungkus oleh peritoneum pada
bagian anterior dan lateral, bagian 1/3 tengah dibungkus peritoneum hanya di
bagian anterior saja, dan bagian 1/3 bawah tidak dibungkus peritoneum.
Lipatan transversal rektum bagian tengah terletak + 11cm dari garis anokutan
dan merupakan tanda patokan adanya peritoneum. Bagian rektum di bawah
katub media disebut ampula rekti, di mana bila bagian ampula ini direseksi
maka frekuensi defekasi secara tajam akan meningkat. Hal ini merupakan
faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam memilih tindakan
pembedahan. Bagian posterior rektum tidak ditutup peritoneum tetapi
dibungkus oleh lapisan tipis fascia pelvis yang disebut fascia propria. Pada
setiap sisi rektum di bawah peritoneum terdapat pengumpulan fascia yang
dikenal sebagai ligamen lateral, yang menghubungkan rektum dengan fascia
pelvis parietal .

Letak ujung bawah tumor pada karsinoma rekti biasanya dihitung dari berapa
cm jarak tumor tersebut dari garis anokutan. Pada hasil-hasil yang dilaporkan
harus disebutkan apakah pembagian tersebut dibuat dengan endoskopi yang
kaku atau fleksibel dan apakah patokannya dari garis anokutan, linea dentata,
atau cincin anorektal.

Bagian utama saluran limfatik rektum melewati sepanjang trunkus a.


hemoroidalis superior menuju a. mesenterika inferior. Hanya beberapa
saluran limfe yang melewati sepanjang v. mesenterika inferior. Kelenjar
getah bening pararektal di atas pertengahan katup rektum mengalir
sepanjang cincin limfatik hemoroidalis superior. Di bawahnya (yaitu 7-8 cm di
atas garis anokutan), beberapa saluran limfe menuju ke lateral. Saluran-
saluran limfe ini berhubungan dengan kelenjar getah bening sepanjang a.
hemoroidalis media, fossa obturator dan a. hipogastrika serta a. iliaka
komunis.

Perjalanan saluran limfatik utama pada karsinoma rekti adalah mengikuti


pembuluh darah rektum bagian atas menuju kelenjar getah bening
mesenterika inferior. Aliran limfatik rektum bagian tengah dan bawah juga
mengikuti pembuluh darah rektum bagian tengah dan berakhir di kelenjar

16
getah bening iliaka interna. Karsinoma rekti bagian bawah yang menjalar ke
anus kadang-kadang dapat bermetastase ke kelenjar inguinal superfisial
karena adanya hubungan dengan saluran limfatik eferen yang menuju ke
anus bagian bawah.

3.2.1.2. Nilai prediksi tinggi KKR


Berikut ini adalah gejala dan tanda yang menunjukkan nilai prediksi tinggi
akan adanya KKR:12,13

a. Keluhan utama dan pemeriksaan klinis:


 Perdarahan per-anum disertai peningkatan frekuensi defekasi
dan/atau diare selama minimal 6 minggu (semua umur)14
 Perdarahan per-anum tanpa gejala anal (di atas 60 tahun)
 Peningkatan frekuensi defekasi atau diare selama minimal 6
minggu (di atas 60 tahun)
 Massa teraba pada fossa iliaka dekstra (semua umur)
 Massa intra-luminal di dalam rektum
 Tanda-tanda obstruksi mekanik usus.
 Setiap penderita dengan anemia defisiensi Fe (Hb < 11g% pada
pria dan Hb < 10g% pada wanita pasca menopause)

b. Pemeriksaan colok dubur:


 Dilakukan pada setiap penderita dengan gejala ano-rektal
 Menetapkan keutuhan sfingter ani
 Menetapkan ukuran dan derajat fiksasi tumor pada rektum 1/3
tengah dan distal.

µ
Rekomendasi Tingkat A
 Setiap penderita yang secara klinik dicurigai menderita KKR, seluruh
kolon dan rektum harus dinilai dan dilakukan investigasi.
 Penilaian rektum melibatkan pemeriksaan colok dubur

Ada 2 gambaran khas dari pemeriksaan colok dubur, yaitu indurasi dan
adanya suatu penonjolan tepi, dapat berupa :

17
a. suatu pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi seperti cakram
yaitu suatu plateau kecil dengan permukaan yang licin dan berbatas
tegas.
b. suatu pertumbuhan tonjolan yang rapuh, biasanya lebih lunak, tetapi
umumnya mempunyai beberapa daerah indurasi dan ulserasi
c. suatu bentuk khas dari ulkus maligna dengan tepi noduler yang menonjol
dengan suatu kubah yang dalam (bentuk ini paling sering)
d. suatu bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai pertumbuhan bentuk
cincin

Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:


a. keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian
terendah terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar
prostat atau ujung os coccygis. Pada penderita perempuan sebaiknya juga
dilakukan palpasi melalui vagina untuk mengetahui apakah mukosa
vagina di atas tumor tersebut licin dan dapat digerakkan atau apakah ada
perlekatan dan ulserasi, juga untuk menilai batas atas dari lesi anular.
Penilaian batas atas ini tidak dapat dilakukan dengan pemeriksaan colok
dubur.
b. mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi
pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan
pada lapisan otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah mengalami
ulserasi lebih dalam umumnya terjadi perlekatan dan fiksasi karena
penetrasi atau perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti kelenjar prostat,
buli-buli, dinding posterior vagina atau dinding anterior uterus.
c. ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan karakteristik
pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari mobilitas atau fiksasi lesi.

3.2.2. Pemeriksaan Penunjang


Berdasarkan basis bukti sampai dengan saat ini, terdapat tiga macam
pemeriksaan penunjang yang terbukti efektif di dalam diagnosis KKR, yaitu
enema barium, endoskopi dan CT-pneumokolon. Tingkat akurasi
pemeriksaan–pemeriksaan tersebut sangat tergantung pada persiapan kolon
yang baik.

3.2.2.1. Enema barium dengan kontras ganda:


Pemeriksaan enema barium yang dipilih adalah dengan kontras ganda
karena memberikan keuntungan sebagai berikut :
 sensitivitasnya untuk mendiagnosis KKR: 65 – 95 %,
 aman,
 tingkat keberhasilan prosedur sangat tinggi,
 tidak memerlukan sedasi,
 telah tersedia di hampir seluruh rumah sakit.

Terdapat kelemahan pemeriksaan enema barium yaitu:


 lesi T1 sering tak terdeteksi,

18
 rendahnya akurasi untuk mendiagnosis lesi di rekto-sigmoid dengan
divertikulosis dan di sekum,
 rendahnya akurasi untuk mendiagnosis lesi tipe datar,
 rendahnya sensitivitas (70–95 %) di dalam mendiagnosis polip < 1 cm,
 mendapat paparan radiasi.

3.2.2.2. Endoskopi
Jenis endoskopi yang dapat digunakan adalah sigmoidoskopi rigid,
sigmoidoskopi fleksibel, dan kolonoskopi. Sigmoidoskopi fleksibel lebih efektif
dibandingkan dengan sigmoidoskopi rigid untuk visualisasi kolon dan rektum.
Tidak terdapat perbedaan akurasi yang bermakna antara pemeriksaan
kolonoskopi dibandingkan dengan kombinasi enema barium kontras ganda
dan sigmoidoskopi fleksibel di dalam mendeteksi KKR atau polip yang
berukuran ≥ 9 mm.19,20

Kolonoskopi adalah pemeriksaan endoskopi yang sangat efektif dan sensitif


di dalam mendiagnosis KKR, namun tingkat kualitas dan kesempurnaan
prosedur bergantung pada persiapan kolon, sedasi dan kompetensi operator.

Kolonoskopi memberikan keuntungan sebagai berikut:


 tingkat sensitivitas di dalam mendiagnosis adenokarsinoma atau polip
kolorektal adalah 95 %,
 kolonoskopi berfungsi sebagai alat diagnostik melalui biopsi dan terapi
pada polipektomi,
 kolonoskopi dapat mengidentifikasi dan melakukan reseksi
synchronous polyp,
 tidak ada paparan radiasi.

Kerugian kolonoskopi adalah :


 pada 5 – 30 % pemeriksaan tidak dapat mencapai sekum,
 sedasi intravena selalu diperlukan,
 lokalisasi tumor dapat tidak akurat,
 tingkat mortalitas adalah 1 : 5000 kolonoskopi.

Rekomendasi Tingkat B
µ
Pada semua kasus yang dicurigai KKR, dilakukan kolonoskopi. Jika tidak
dapat dilakukan kolonoskopi, sigmoidoskopi dilanjutkan dengan
pemeriksaan barium enema kontras ganda.

19
3.2.2.3. Pneumocolon Computed Tomography (PCT)

Apabila terdapat spesialis radiologi yang berkompeten pada pemeriksaan ini,


maka pemeriksaan ini akan memberikan keuntungan sebagai berikut:
 memiliki sensitivitas tinggi di dalam mendiagnosis KKR,
 toleransi penderita baik,
 dapat memberikan informasi keadaan di luar kolon, termasuk untuk
menentukan stadium melalui penilaian invasi lokal, metastasis hepar,
dan kelenjar getah bening.

Sedangkan kerugiannya adalah :


 tidak dapat mendiagnosis polip < 10 mm,
 memerlukan radiasi yang lebih tinggi,
 tidak dapat menetapkan adanya metastasis pada kelenjar getah
bening apabila kelenjar getah bening tidak mengalami pembesaran,
 jumlah spesialis radiologi yang berkompeten masih terbatas,
 tidak dapat dilakukan biopsi atau polipektomi.

3.2.3. Penetapan stadium pre-operatif


Penetapan stadium pre-operatif harus dilakukan, karena strategi terapi
untuk setiap stadium berbeda.
Prosedur yang dilakukan untuk penetapan stadium pre-operatif adalah:
 deteksi perluasan tumor primer dan infiltrasinya,
 deteksi kelenjar getah bening regional dan para-aorta,
 deteksi metastasis ke hepar dan paru-paru,
 deteksi metastasis ke cairan intraperitoneal.

3.2.3.1. Penetapan stadium pre-operatif pada karsinoma kolon


Deteksi perluasan tumor primer dan infiltrasinya pada karsinoma kolon
secara ultrasonografik endoskopi belum berkembang. Untuk menetapkan
stadium tumor primer (T), adanya metastasis ke kelenjar getah bening (N),
dan adanya metastasis ke dalam hepar dan paru-paru (M), diperlukan
pemeriksaan Abdomino-pelvic CT-scanning, MRI, ultrasonografi
transabdominal dan foto thoraks.
Rekomendasi Tingkat A
Untuk
Seluruh pemeriksaan metastasiskolon
penderita karsinoma hepar, pemeriksaan
yang pre-operatif
akan menjalani CT Scan
pembedahan
atau MRI lebih sensitif dari pada ultrasonografi trans-abdominal.
elektif, harus menjalani pemeriksaan pencitraan hepar dan paru-paru Metoda
yang paling sensitif
pre-operatif denganuntuk
CT scanmendiagnosis adanya
atau MRI, dan foto metastasis
thoraks. hepar adalah
kombinasi ultrasonografi intra-operatif dan palpasi
Pada penderita yang harus menjalani bedah emergensi, pada saat
pemeriksaan
pembedahan.
ultrasonografi intra-operatif dan pemeriksaan pencitraan CT scan atau
MRI post-operatif.

Rekomendasi Tingkat C
Apabila fasilitas CT scan atau MRI tidak tersedia, maka ultrasonografi
trans-abdominal dapat digunakan untuk mendeteksi metastasis ke
hepar.
20
µ§

3.2.3.2. Penetapan stadium pre-operatif pada karsinoma rekti

a. Pemeriksaan colok dubur:


 bermanfaat terutama pada tumor rektum distal,
 akurasi stadium yang ditentukan oleh pemeriksaan colok dubur sangat
tergantung kepada pengalaman dokter pemeriksa,
 pemeriksaan colok dubur lebih akurat dalam penetapan stadium lokal
lanjut daripada stadium tumor dini, sehingga nilainya untuk kriteria
pemilihan pasien yang akan mendapat terapi lokal adalah terbatas.
b. Ultrasonografi endoluminal trans-rektal:
 menetapkan tingkat infiltrasi peri-rektal tumor primer: akurasi 81 – 96
%,
 menetapkan metastasis kelenjar getah bening peri-rektal: akurasi 60 –
83 %,
 dilakukan oleh spesialis bedah kolorektal (operator dependent),
 digunakan terutama pada T1 yang akan dilakukan eksisi trans-anal,
 digunakan pada T3-4 yang dipertimbangkan untuk terapi neo-adjuvan,
 digunakan apabila direncanakan reseksi trans-anal atau kemo-
radioterapi

c. CT-scan dan MRI:


 memperlihatkan invasi ekstra-rektal dan invasi organ sekitar rektum,
tetapi tidak dapat membedakan lapisan-lapisan dinding usus,
 akurasi tidak
Rekomendasi setinggi
Tingkat A ultrasonografi endoluminal untuk mendiagnosis
Seluruh penderita karsinoma getah
metastasis ke kelenjar rektumbening,
harus menjalani pemeriksaan
 bergunaendoluminal
ultrasonografi untuk mendeteksi metastasis ke kelenjar getah bening
trans-rektal.
Seluruh retroperitoneal dan metastasis
penderita karsinoma ke hepar,
rektum yang akan menjalani pembedahan
elektif, harus menjalani
 berguna pemeriksaan
untuk menentukan pencitraan
suatu hepar dan
tumor stadium paru-paru
lanjut apakah pre-
akan
operatifmenjalani
dengan CT scan
terapi atau MRI,
adjuvan dan foto thoraks.
pre-operatif
Pada penderita yang haruskeadaan
untuk mengevaluasi menjalaniureter
bedahdanemergensi,
buli-buli. pemeriksaan
ultrasonografi
 akurasi pembagian stadium dengan menggunakanCT
intra-operatif dan pemeriksaan pencitraan scan atau
CT-scan MRI
adalah
post-operatif.
80% dibanding MRI 59%. Untuk menilai metastase kelenjar getah
bening akurasi CT-scan adalah 65%, sedang MRI 39%. Spesifisitas
Rekomendasi
pemeriksaanTingkat C
CT-scan pelvis 90%, sedang sensitivitasnya adalah 40%,
Apabiladibanding
fasilitas ultrasonografi
MRI 13%. endoluminal tidak tersedia, pemeriksaan colok
dubur dapat dilakukan untuk menentukan kurabilitas tumor.
Apabila fasilitas CT scan atau MRI tidak tersedia, maka ultrasonografi trans-
abdominal dapat digunakan untuk mendeteksi metastasis ke hepar.
21
µ§

22
4. Terapi
4.1. Latar Belakang

Karsinoma rektum adalah karsinoma saluran cerna yang sering didapatkan di


Indonesia terutama di kota besar, insiden tertinggi adalah pada usia yang
masih produktif yaitu dekade ke 4 dan 5. Sebagian besar penderita datang
berobat dalam stadium lanjut atau bila telah terjadi komplikasi sehingga hasil
akhir dari penatalaksanaan yang kita lakukan jauh dari yang di harapkan.

Tingginya angka kekambuhan lokal, serta gangguan fungsi seksual dan


kandung kencing yang merupakan akibat langsung dari penatalaksanaan
secara menyeluruh dari penyakit ini telah banyak dilaporkan. Masalah lain
yang ada pada negara berkembang adalah lemahnya pencatatan, pelaporan
dan pemantauan penderita yang berakibat tidak adanya angka kekambuhan
dan komplikasi akibat penatalaksanaan dari penyakit ini.

Telah banyak dilaporkan upaya untuk menurunkan angka kekambuhan lokal


dengan menggunakan modalitas terapi yang ada, dua faktor utama yang
berperan adalah pembedahan dengan tehnik eksisi total mesorektum atau
yang lebih dikenal dengan TME (Total Mesorectal Excision) dan kemoradiasi.
Dengan dasar rendahnya angka kekambuhan yang dikemukakan oleh Heald
dkk, serta telah diterimanya diseluruh dunia konsep TME21,22,23 maka tim
penyusun menganjurkan tehnik tersebut dalam penyusunan panduan
penatalaksanaan karsinoma rektum di Indonesia.

Keganasan saluran cerna yang sering dijumpai di Indonesia ini dan insiden
nya cenderung meningkat dengan berubahnya pola diet dari masyarakat.
Distribusi lebih tinggi pada wanita, dan frekuensi tertinggi pada dekade ke
lima.

Di Indonesia dikatakan bahwa antara 70 - 80 % dari penderita tidak dapat


dioperasi karena buruknya keadaan umum atau datang sudah dalam stadium
lanjut, bedasarkan data dari Dep Kes 1984, maka kita dapat menangani kira-
kira 150 penderita pertahun dengan baik.2

4.2. Pembagian Stadium dan Histopatologi


4.2.1. Pembagian Stadium
Sistim pembagian stadium berdasarkan patologi tidak dapat diterapkan jika
terapi yang digunakan adalah prosedur yang menggunakan terapi
neoadjuvan atau radioterapi kontak. Oleh karena itu dipertimbangkan sistim
pembagian stadium secara klinis.

Abrams mencoba menghubungkan ukuran tumor, ada atau tidaknya ulserasi


dan derajat differensiasi dengan stadium akhir berdasarkan pembagian
Dukes. Ulserasi keseluruhan tumor merupakan faktor penentu prognostik
yang penting, di mana 63% karsinoma nonulserasi secara patologis terbatas

23
hanya pada dinding usus, dibanding dengan hanya 28% pada karsinoma
dengan lesi ulserasi.

Sistim pembagian stadium berdasarkan klinis lainnya dibuat oleh suatu


kelompok dari RS Princess Margaret di Toronto berdasarkan beberapa
variabel prognostik, misalnya: ada atau tidak adanya metastasis, apakah
tumor tersebut melekat atau mobil, apakah bentuknya anular dan apakah
terdapat gejala klinis seperti penurunan berat badan, anoreksia, lemah dan
anemia.

Variabel-variabel ini digunakan untuk menentukan 4 kelas secara klinis :


 Kelas I : tidak ada satupun variabel-variabel tersebut di atas
 Kelas II : tumor berbentuk anular atau adanya gejala sistemik
 Kelas III : tumor sudah melekat
 Kelas IV : sudah terdapat metastasis

Angka kelangsungan hidup 5 tahun penderita sangat berhubungan dengan


pembagian kelas-kelas ini dan pembagian stadium berdasarkan Dukes, tetapi
tidak ada hubungan antara stadium klinis dengan sistim Dukes. Mobilitas
tumor merupakan faktor preoperasi yang paling penting yang berhubungan
dengan reseksi kuratif.

Pembagian stadium secara klinikopatologi di Australia menggabungkan baik


gambaran sistemik, stadium patologi dan stadium klinis, berdasarkan hanya
pada karakteristik tumor lokal. York-Mason mengusulkan penggunaan sistim
stadium klinis berdasarkan mobilitas tumor primer, yaitu:
 Stadium Klinis I : tumor bergerak bebas
 Stadium Klinis II : tumor masih mobil
 Stadium Klinis III : tumor dengan gerakan yang terbatas
 Stadium IV : tumor yang sudah terfiksasi

Stadium klinis I-II meliputi pasien-pasien yang masih dapat dilakukan eksisi
lokal kuratif.

Hasil terapi pembedahan pada karsinoma rekti dinilai dari ekstensi


penyebarannya. Klasifikasi berdasarkan penyebaran ini pertama kali diajukan
oleh Dukes pada tahun 1930, di mana dinilai berdasarkan ekstensi
penyebaran langsung dan adanya metastasis ke sistim limfatik. Dibagi
menjadi 3 kategori :
 Stadium A : pertumbuhan ke arah dinding rektum di mana tidak mengarah
ke Jaringan di luar rektum dan sistim limfatik
 Stadium B : pertumbuhan menye-bar ke arah jaringan di luar rektum,
tetapi tidak mengenai sistim limfatik
 Stadium C : pertumbuhan sudah mengenai sistim limfatik

Pada tahun 1967 Turnbull dan kawan-kawan menambahkan stadium D untuk


adanya metastasis jauh. Sistim klasifikasi yang kemudian digunakan adalah
sistim Astler-Coller yang diperkenalkan pada tahun 1954 dan kemudian

24
direvisi tahun 1978, berdasarkan atas kedalaman invasi tumor, keterlibatan
kelenjar getah bening, adanya metastasis jauh, yaitu :
 Stadium A : hanya terbatas pada lapisan mukosa
 Stadium B : sudah masuk dalam lapisan muskularis propria (B1), masuk
dalam lapisan subserosa (B2), masuk sampai ke struktur-struktur yang
berdekatan (B3)
 Stadium C : bila sudah ada keterlibatan kelenjar (C1 sampai C3)
 Stadium D : bila sudah ada metastasis baik secara limfatik atau
hematogen

Pada tahun 1987 American Joint Committee on Cancer24 dan International


Union against Cancer memperkenalkan sistim klasifikasi TNM, di mana
ekstensi tumor (T) dibagi atas T1 s/d T4; adanya keterlibatan kelenjar (N)
dibagi atas : N1 bila < 4 kelenjar, N2 bila > 4 kelenjar, N3 bila terdapat
kelenjar sepanjang pembuluh darah; adanya metastasis jauh (M1).

4.2.1.1. Definisi TNM


Tumor Primer (T)
TX : Tumor primer tak dapat ditentukan
TO : Tidak ditemukan tumor primer
Tis : Carcinoma in situ : invasi intraepithelial ke lamina propria
T1 : Tumor menyebuk submucosa
T2 : Tumor menyebuk muscularis propria
T3 : Tumor menembus muscularis propria ke subserosa atau perikolika
atau Jaringan perirektal
T4 : Tumor menginfiltrasi organ atau struktur atau ke peritoneum
visceral
Kelenjar Limfe Regional (N)
NX : KGB Regional tidak dapat ditentukan
N0 : Tak terdapat keterlibatan KGB regional
N1 : Metastasis ke 1-3 KGB regional
N2 : Metastasis ke 4 atau lebih KGB regional
Metastasis jauh (M)
MX : Tidak dapat ditentukan adanya metastasis jauh
M0 : Tidak ditemukan metastasis jauh
M1 : Ditemukan metastasis jauh

4.2.1.2. Definisi Stadium


Stadium 0 Tis, N0, M0

Stadium I T1, N0, M0


T2, N0, M0

Stadium II T3, N0, M0


T4, N0, M0

Stadium III Semua T, N1, M0


Semua T, N2, M0

Stadium IV Semua T, Semua N, M1

25
4.2.2. Derajat histopatologi
Adenokarsinoma kolorektal sangat berbeda secara gambaran histologi,
beberapa tumbuh relatif berdifferensiasi baik, lainnya menjadi lebih
anaplastik. Secara umum pertumbuhan papiliferous cenderung
berdifferensiasi lebih baik daripada lesi dengan ulserasi dan infiltrasi dalam.

Broders (1925), Grinnell (1939) dan Dukes (1940) memperkenalkan suatu


modifikasi sistim penderajatan secara histologis, di mana terlihat bahwa ada
hubungan erat antara ekstensi penyebaran lesi dengan prognosis akhir
setelah terapi pembedahan.25 Dukes membedakannya menjadi 5 derajat ,
yaitu :
• Derajat I : tumor sangat menyerupai adenoma dengan tanda-tanda
adanya proliferasi aktif epitel, tapi dapat dikenali sebagai malignansi
karena adanya infiltrasi ke lapisan muskularis mukosa.
• Derajat II : tumor dengan sel-sel karsinoma yang ramai berkelompok
tetapi tetap terbatas dalam bentuk yang cukup rata pada satu atau 2
lapisan lebih dalam di sekitar ruang glandula. Umum terlihat adanya
nukleus yang berwarna dan bentuk-bentuk mitosis yang tidak teratur.
• Derajat III : Sel-sel lebih sedikit berdifferensiasi dan diatur dalam suatu
cincin yang tidak rata, seringkali 2 atau 3 baris lebih dalam di sekitar
ruang glomerular. Gambaran mitosis tidak sebanyak pada derajat II.
• Derajat IV : Sel-sel tumor makin anaplastik dan tidak membentuk
struktur glandular sama sekali tetapi meliputi satu per satu jaringan
atau dalam kelompok atau kolom kecil yang tidak teratur.
• Tumor Koloid (atau mukoid) mempunyai sistim pengelompokan sendiri
dan juga bervariasi tergantung pada derajat differensiasinya.

Dukes (1946) memodifikasi sistimnya menjadi 4 kategori, yaitu :


• Derajat keganasan rendah (sama dengan derajat I sebelumnya)
• Derajat keganasan sedang (sama dengan derajat II
sebelumnya)
• Derajat keganasan tinggi (sama dengan derajat III dan IV
sebelumnya)
• Karsinoma Koloid

4.3. Terapi
4.3.1. Pembedahan
Pembedahan tetap merupakan pilihan utama pada penatalaksanaan kanker
kolorektal yang localized. Bab ini memberikan rekomendasi persiapan
operasi, tekhnik operasi dan operasi dalam keadaan darurat serta penyakit
KKR lanjut. Selain hal diatas dikemukakan pula rekomendasi perlunya
spesialisasi dan beban kerja dalam penatalaksanaan KKR.

26
4.3.1.1. Persiapan Preoperatif
Dua hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan pembedahan pada
penderita KKR yaitu terjadinya trombosis vena dan infeksi luka. Berdasarkan
hal tersebut sangat direkomendasikan melakukan tindakan profilaksis berupa
pencegahan tromboemboli vena dan antibiotika profilaksis.26,27
Persiapan kolon secara mekanis juga dilakukan, walaupun kurang didukung
penelitian yang baik. Semua pasien yang akan atau perlu dibuatkan stoma,
baik permanen maupun sementara, harus diperiksa secara pra-bedah oleh
stoma therapist.28

Rekomendasi Tingkat A
Penderita KKR yang akan dilakukan pembedahan harus diberikan:
 profilaksis tromboemboli vena
 profilaksis antibiotika dosis tunggal yang mencakup kuman aerobik dan
anaerobik, diberikan sekitar 30 menit sebelum induksi anestesi

Walaupun tidak ada bukti bahwa persiapan usus memberikan keuntungan,


tidak ada bukti juga yang mengatakan bahwa hal ini tidak memberikan
keuntungan, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa persiapan usus tidak
penting dilakukan.

Rekomendasi Tingkat E
Keputusan untuk menggunakan persiapan usus harus dilakukan secara
individual tergantung dari kebutuhan pasien dan pengalaman dokter
bedah.
4.3.1.2. Transfusi Darah Perioperatif
Hubungan antara transfusi darah dengan meningkatnya resiko kekambuhan
masih terus diperdebatkan. Penelitian meta-analisis mengenai hal ini tidak
ditemukan perbedaan yang signifikan dalam kekambuhan KKR. Karena
kecilnya jumlah pasien yang mengambil bagian dalam percobaan, maka
meta-analisis ini dianggap tidak mencukupi untuk dapat mendeteksi
perbedaan risiko yang kurang dari 20%, menjadi semakin tidak signifikan
setelah semakin umumnya transfusi darah leucodepletion di Inggris.29,30

Rekomendasi Tingkat B
Jika pasien pembedahan kanker kolorektal dianggap memerlukan
transfusi darah, jangan ditunda atas dasar hubungan dengan risiko
meningkatnya kekambuhan.

27
4.3.1.3. Tekhnik Pembedahan Kanker Kolorektal
a. Kanker Kolon
Berbeda dengan pembedahan kanker rektum hanya ada sedikit bukti yang
berhubungan pada pembedahan kanker kolon yang radikal. Dua penelitian
yang yang adaternyata tidak dapat membuktikan efek menguntungkan dari
teknik no touch atau hemikolektomi kiri yang formal, dan tidak ada bukti
bahwa reseksi yang radikal memiliki efek pada outcome pada
penatalaksanaan kanker kolon.

Rekomendasi Tingkat E
Jika organ resektabel (ginjal, ureter, duodenum, hati, kandung kemih,
uterus, vagina, atau perut) terkena tumor, harus dilakukan pertimbangan
dengan hati-hati untuk reseksi (baik sebagian maupun total) organ
tersebut.

b. Kanker Rektum
Saat ini banyak bukti dari penelitian studi kohort skala besar bahwa
penggunaan tehnik total mesorectal excision (TME) dalam penatalaksanaan
kanker rektum dapat mengurangi rekurensi lokal memperbaiki angka survival.
Hal ini dikarenakan oleh circumferential clearance tumor yang dilakukan
dengan baik. TME pada rectum atas dilakukan sesuai dengan prosedur TME
yaitu diseksi secara tajam under direct vision pada holy plane diluar
mesorektum sampai 5 cm dibawah tumor.Sedang pada rektum bagian tengah
dan bawah masalahnya adalah anastomosis rendah mengkibatkan fungsi
rektum yang kurang baik dibandingkan dengan anastomosisi yang lebih
tinggi. Satu hal yang juga penting adalah untuk preservasi syaraf otonom
daerah pelvis agar meminimalisasi terjadinya disfungsi seksual dan kandung
kemih.21,22,23

Rekomendasi Tingkat B
TME sangat direkomendasikan bagi kebanyakan kanker rektum bagi
penderita yang dapat dilakukan pembedahan. TME harus dilakukan
secara total untuk tumor di sepertiga tengah dan bawah rektum, dan
preservasi syaraf-syaraf otonom di daerah pelvis, dengan mengutamakan
reseksi en-bloc dari tumor.

c. Anastomosis
Kebocoran anastomosis adalah komplikasi yang sering terjadi dan dapat
berakibat fatal pada pembedahan kanker kolorektal, sehingga harus
dilakukan langkah-langkah untuk meminimalisasi hal ini. Tidak ada bukti
bagus yang mendukung sebuah teknik secara spesifik, tetapi hasil meta-

28
analisis baru-baru ini mengindikasikan bahwa satu-satunya perbedaan antara
jahitan tangan dengan Stapling adalah sedikit peningkatan risiko terjadinya
striktur dengan menggunakan stapling.32

Faktor risiko untuk dehisensi anastomosis sudah diketahui dengan baik,


seperti jenis kelamin laki-laki, peningkatan umur, dan obesitas. Namun pada
reseksi anterior kebocoran meningkat dengan anastomosis rendah (kurang
dari 5cm dari linea dentata). Untuk hal ini telah dibuktikan penggunaan
defunction stoma berfungsi mengurangi risiko kebocoran pada anastomosis
kolorektal rendah. Kerugian anastomosis rendah lainnya adalah fungsi yang
jelek, dan ini dapat diatasi dengan pembuatan colopouch.31

Rekomendasi Tingkat C
Untuk anastomosis rektal rendah, pertimbangkan untuk memberikan
defunctioning stoma.

Rekomendasi Tingkat C
Untuk anastomosis rektal rendah setelah TME, pertimbangkan
penggunaan colopouch.

Rekomendasi Tingkat E
Tidak semua penderita dapat dilakukan anastomosis rendah, jika
pasien tersebut memiliki risiko kebocoran anastomosis atau fungsi yang
jelek, maka sebaiknya dilakukan kolostomi permanen dengan prosedur
Hartmann.

29
d. Eksisi lokal di Kanker Kolorektal
Beberapa kanker rektum lokal dapat disembuhkan dengan eksisi lokal,
terdapat bukti dari uji acak terkontrol yang menyatakan bahwa prosedur ini
mempunyai morbiditas yang rendah dibandingkan dengan operasi yang
radikal. Ada juga bukti yang menyatakan bahwa eksisi lokal berhubungan
dengan rekurensi lokal yang lebih tinggi daripada operasi radikal, hal ini
mungkin disebabkan residu tumor di kelenjar getah bening.8

Adjuvan radioterapi dan kemoterapi dikatakan dapat angka rekurensi lokal


dari KKR, tetapi regimen yang dapat diandalkan dan diterima secara luas
masih belum dikembangkan. Tumor T1 (yang memiliki penyebaran lokal yang
kecil) sering dilihat cocok untuk eksisi lokal, tetapi harus ditekankan bahwa
keterlibatan ekstensif submukosa berhubungan dengan keterlibatan kelenjar
getah bening hingga 17 %. Berbeda bila kita dapatkan minimal submukosa
(tumor T1 sm1) biasanya sering mempunyai risiko minimal dari keterlibatan
kelenjar getah bening. Kanker kolon dan kadang-kadang rektum bisa dieksisi
oleh polipektomi pada saat kolonoskopi dan umumnya tidak memerlukan
pembedahan lebih lanjut bila kita dapatkan tepi sayatan atau dasar sayatan
tidak bebas tumor.8
Untuk saat ini Tumor T1 sm1 yang dapat dilakukan prosedur ini .

Rekomendasi Tingkat C
Penjelasan kepada penderita tentang morbiditas operasi dan
kemungkinan kambuh kembali harus dilakukan sebelum melakukan
prosedur ini.

Pembedahan selanjutnya untuk polip pedunculated dilakukan jika:


 Pada pemeriksaan histopatologi terdapat tumor dalam radius 1mm
dari tepi sayatan
 Terdapat invasi lymphovascular;
 Tumor jenis poorly differentiated.

e. Pembedahan Laparoskopi pada Kanker Kolorektal


Bukti dari beberapa uji acak terkontrol dan uji kohort mengatakan bahwa
pembedahan laparoskopi untuk kanker kolorektal memungkinkan untuk
dilakukan dan kelebihannya dibandingkan dengan konvensional adalah
berkurangnya nyeri pasca-operasi, penggunaan analgetika, perawatan di
rumah sakit, dan perdarahan.33

Rekomendasi Tingkat A
Pembedahan
laparoskopi dapat
dipertimbangkan untuk

30
f. Penatalaksanaan Obstruksi usus karena KKR

Jika ada kecurigaan obstruksi mekanis usus besar, maka harus dibuktikan
dengan enema barium yang larut dalam air untuk membedakan dengan
pseudo-obstruction.8

Obstruksi mekanis kolon harus bisa dibedakan dari colonic pseudo-


obstruction sebelum pembedahan.

Sudah ada bukti-bukti bahwa pada penderita yang memungkinkan dan


pengalaman pembedahan yang cukup, reseksi tumor dan anastomosis
langsung dapat dikerjakan reseksu segmental memberikan hasil yang lebih
baik dalam hal fungsi dibanding dengan kolektomi subtotal. Bila ada fasilitas
Colonic stenting dapat dikerjakan sebagai tindakan paliatif pada penderita
dengan tumor yang tidak resektabel dengan obstruksi.8

Rekomendasi Tingkat C

Pasien yang memiliki obstruksi malignan di usus besar harus segera


dilakukan reseksi.

Rekomendasi Tingkat A

Jika rekonstruksi setelah mungkin dilakukan, maka reseksi segmental


merupakan pilihan pada lesi di kolon kiri.

Rekomendasi Tingkat D

Jika ada fasilitas dan kemampuan yang memungkinkan, colonic


stenting harus dipertimbangkan sebagai tindakan paliatif.

31
g. Pembedahan untuk Penyakit KKR lanjut

Pada penyakit KKR lanjut dengan metastasis hati dan atau paru reseksi
merupakan pilihan yang terbaik. In situ ablation untuk metastases hati yang
tidak bisa direseksi juga memungkinkan, tetapi keuntungannya belum jelas.8

Bagi pasien yang memiliki tumor primer lokal lanjut atau rekuren, harus
diingat bahwa reseksi tumor dengan pembedahan adalah satu-satunya
harapan untuk sembuh, tetapi harus diingat bahwa kualitas hidup dapat
dipengaruhi oleh hal tersebut. Untuk penyakit yang sudah jelas tidak dapat
dioperasi, intervensi seperti stenting atau laser ablation dapat dijadikan pilihan
terapi paliatif yang berguna.8

Rekomendasi Tingkat D

 Pasien dengan metatasis di hati dan paru-paru harus dipertimbangkan


untuk melakukan reseksi, atau – dalam kasus penyakit hati – in situ
ablation

 Bagi pasien dengan advanced local atau rekuren, harus diberikan


pertimbangan secara hati-hati untuk eksisi bedah atau prosedur
palliative intraluminal.

4.3.1.4. Spesialisasi dan beban kerja pada Pembedahan


Kanker Kolorektal
Bukti dari studi kohort dan kohort historikal memperlihatkan bahwa morbiditas
dan survival dipengaruhi oleh spesialisasi dokter bedah dan rumah sakit,
tetapi bukti yang ada tidak cukup untuk merekomendasikan volume tahunan
secara spesifik. Bukti dari Amerika dimana terdapat akreditasi kolorektal
spesifik, mengindikasikan hasil yang lebih baik dari spesialis, dan bukti dari
Eropa secara meyakinkan membuktikan hasil yang jauh lebih baik setelah
pelatihan spesialis dalam pembedahan kanker rektum.8

Rekomendasi Tingkat B
Pembedahan untuk kanker kolorektal hanya boleh dilakukan oleh dokter
bedah yang sudah dilatih dan diakui. Pembedahan kanker rektum letak
rendah hanya boleh dilakukan oleh mereka yang sudah dilatih untuk
melakukan TME.
4.3.2. Terapi ajuvan

4.3.2.1 Radiasi

32
Pada umumnya terapi pada keganasan rectal lebih kompleks dari keganasan
kolon karena dibutuhkannya pemikiran untuk dilakukan operasi penyelamatan
organ atau pun fungsi. Kekambuhan akibat operasi sangat dihubungkan
dengan dalam penetrasi tumor pada dinding usus dan adanya keterlibatan
kelenjar getah bening.34

Lavery34 mengatakan bahwa terjadinya kekambuhan post operasi pada kasus


keganasan rektum dengan kelenjar getah bening positif adalah mencapai
60%. Sehingga berbagai penelitian jelas memperlihatkan bahwa penambahan
radiasi pada kasus keganasan rekti akan memperbaiki keberhasilan terapi
pada keganasan kolorektal. Kekambuhan sering terjadi dalam 2 tahun
pertama setelah pembedahan, yang menurut Mendenhall angka kekambuhan
mencapai + 20-30%. Perez menyatakan kegagalan lokal pada penderita
dengan ekstensi menembus dinding usus atau dengan keterlibatan kelenjar
adalah 20-70%.38-47

Untuk memperbaiki hasil terapi dan mengurangi kekambuhan lokal diberikan


adjuvan berupa radiasi pra dan pasca bedah serta kemoterapi. 38-47

Radiasi pada karsinoma rekti dapat diberikan baik pada kasus yang
resektabel maupun yang tidak resektabel, dengan tujuan: 35,38,43,45,48,49
 mengurangi risiko rekurensi lokal, terutama pada pasien yang hasil PA
menunjukkan prognosis yang buruk (Stadium Astler-Coller B2, C1, C2 )
 meningkatkan kemungkinan prosedur preservasi sfingter
 meningkatkan tingkat resektabilitas pada tumor yang lokal jauh atau tidak
resektabel
 mengurangi jumlah sel tumor yang viable sehingga mengurangi
kemungkinan terjadinya kontaminasi sel tumor dan penyebaran melalui
aliran darah pada saat operasi

Radiasi pada karsinoma rekti dapat diberikan berupa :


a. Radiasi eksterna
o Postoperatif
Berkembang berbagai penelitian pemberian radiasi maupun tanpa
kemoterapi postoperasi misalnya yang dilakukan di USA dalam bentuk
penelitian GITSG 7175, NSABP-R-01 dan NCCGT. Diperlihatkan
bahwa pemberian radiasi postoperatif disertai pemberian kemoterapi
akan meningkatkan baik angka survival bebas penyakit, kontrol lokal
maupun survival keseluruhan.34

Saat ini banyak dianut bahwa pemberian 5-FU infus bersama


leucovorin bersamaan dengan radiasi postoperatif merupakan terapi
pilihan pada T3N0 keganasan rektal. Saat ini berkembang pemberian
radiasi bersamaan dengan capecitabine yang merupakan derivat 5-FU
bersifat oral dan lebih targeted terhadap sel tumor dengan efektifitas
yang lebih baik.

Penggunaan Capecitabine oral sebagai dengan dosis 825 mg/m2, 2


kali sehari bersamaan dengan radioterapi sebagai radiosensitizer juga

33
mulai diteliti oleh Dunst pada 46 pasien karsinoma rekti lanjut lokal.
Didapatkan angka respons klinis pada 72% kasus, 89% diantaranya
dapat menjalani operasi.55

Rekomendasi Tingkat B
 pemberian radiasi postoperatif disertai pemberian kemoterapi akan
meningkatkan baik angka survival bebas penyakit, kontrol lokal maupun
survival keseluruhan
 pemberian 5-FU infus bersama leucovorin bersamaan dengan radiasi
postoperatif merupakan terapi pilihan pada T3N0 keganasan rektal

Rekomendasi Tingkat C
 pemberian radiasi bersamaan dengan capecitabine 825 mg/m2, 2 kali
sehari, akan meningkatkan angka respons terapi hingga 72%

o Preoperatif
Tindakan ini lebih banyak berkembang di Eropa. Penelitian EORTC
memperlihatkan bahwa pemberian radiasi preoperatif meningkatkan
kontrol lokal dan pada kelompok pasien usia kurang dari 55 tahun akan
meningkatkan survival dari 48% menjadi 80%.34

Penelitian di Swedia memperlihatkan bahwa pemberian radiasi 5 X 5


Gy akan meningkatkan angka survival menjadi 58% (vs 48%) dengan
kegagalan lokal yang menurun menjadi 11% (vs 27%).

Rullier31 mengatakan dengan pemberian radiasi preoperatif pada kasus


keganasan rektal T3 letak rendah yang seyogyanya diperlakukan
dengan tindakan kolostomi permanen (lokasi rata-rata <4,5 cm dari
garis anokutan) menghasilkan dapat dilakukannya tindakan operasi
penyelamatan sphinter pada 62,5% kasus.

Pemberian radiasi preoperatif ini dilaporkan dapat meningkatkan


dilakukan operasi penyelamatan sphinter pada 56% kasus (20 vs
76%), dimana pada 24% kasus tidak didapatkan sisa tumor pada
pemeriksaan patologi anatomi.50

Dari penelitian Medical Research Councils Working Party


menggunakan dosis tunggal 5 Gy atau 20 Gy dalam 10 fraksi
preoperatif didapatkan hasil yang tidak signifikan pada rekurensi lokal
maupun survival dibandingkan dengan bila hanya dilakukan
pembedahan saja. Sebaliknya studi di Toronto menunjukkan adanya
peningkatan yang signifikan dari survival rate pada penderita dengan
Dukes C 35,40,41,48
Beberapa penelitian di Norwegia menggunakan dosis 31,5 Gy dengan
fraksinasi 1,75 Gy/fraksi, 5X/minggu, menunjukkan kontrol lokal,
regresi tumor lengkap terutama pada tumor-tumor yang lokal lanjut

34
(Dukes B2 dan C2) serta penurunan keterlibatan jumlah kelenjar yang
lebih baik pada 4,5% kasus tanpa mempengaruhi survival rate.37,41 Dari
penelitian tersebut juga tampak tidak adanya tambahan morbiditas dan
mortalitas postoperatif yang disebabkan terapi radiasi sebelumnya dan
hanya didapatkan efek samping yang minimal dari usus halus dan buli-
buli.

Rouanet dan kawan-kawan menggunakan dosis 40Gy (18 X 2,1 Gy,


selama 3 minggu), dengan tehnik 3 lapangan radiasi, dan pesawat
aselerator linier 25 MEV pada penderita karsinoma rekti letak 1/3
bawah (jarak < 6 cm dari garis anokutan). Pada 3 minggu pasca
radiasi dilakukan penilaian radiosensitivitas tumor, bila terdapat
pengecilan tumor minimal 30% diberikan booster sampai mencapai
dosis biologik 60 Gy. Hasilnya: sfingter dapat dipertahankan pada 78%
penderita dan kekambuhan lokoregional menjadi 5-11% dibandingkan
3,5 – 20,6% bila hanya dilakukan pembedahan saja. Selain itu batas
distal sayatan dapat diperkecil kurang dari 2 cm, yaitu 16,4 mm;
bahkan Mohuiddin dapat memperkecilnya sampai 15 mm dengan laju
kekambuhan lokal 11% dan survival 5 tahun 72%.45

Tahun 1988-1993 Gondhowiardjo dan Pusponegoro di RSUPN-CM


mengadakan penelitian mengenai pemberian radioterapi preoperatif
pada adenokarsinoma. Pada kasus yang resektabel diberikan radiasi
dosis rendah (5X2Gy) dan kasus yang tidak resektabel dengan dosis
tinggi (RTD 45 Gy). Didapatkan hasil 38% penderita yang tidak
resektabel menjadi resektabel setelah mendapat radiasi dosis tinggi
preoperasi, bahkan 33% diantaranya mengalami remisi lengkap
sehingga dapat dilakukan tindakan reseksi anterior rendah dan
preservasi sfingter. Pada kelompok kasus resektabel yang menerima
radiasi dosis rendah preoperasi didapatkan kekambuhan lokal pada
11,1%.48

Penelitian Mendenhall menggunakan dosis 3500 cGy dalam 20 fraksi,


4000-5000 cGy (180cGy/fraksi) dan 3000 cGy dalam 10 fraksi
menunjukkan kekambuhan lokal – waktu bebas penyakit 96%
dibanding 67% bila hanya dilakukan pembedahan saja, dengan
survival 5 tahun 66% dibanding 40% bila hanya dengan pembedahan
saja.38

Stockholm Rectal Cancer Study Group pada penelitiannya yang


pertama menggunakan dosis 25 Gy preoperatif jangka pendek dalam
5-7 hari (5X5Gy) dengan lapangan radiasi AP/PA, dilanjutkan
pembedahan dalam 1 minggu setelah radiasi menunjukkan hasil
kontrol lokal (pengurangan rekurensi pelvis) yang lebih baik serta
interval bebas penyakit (recurrence free interval) yang lebih panjang,
tanpa peningkatan survival rate. Walaupun didapatkan pula
peningkatan komplikasi dan mortalitas postoperatif terutama pada
penderita usia lanjut, tetapi ini disebabkan adanya penyakit
kardiovaskuler dan bukan karena komplikasi pembedahan itu

35
sendiri.35,40,42 EORTC menggunakan dosis 34,5 Gy dan mendapatkan
hasil yang sama pula.42

Rekomendasi Tingkat A
Pemberian radiasi preoperatif meningkatkan kontrol lokal dan pada kelompok
pasien usia kurang dari 55 tahun akan meningkatkan survival dari 48% menjadi
80%.

Rekomendasi Tingkat C
Pemberian radiasi bersamaan dengan capecitabine 825mg/m2, 2 kali sehari,
akan meningkatkan angka respons terapi hingga 72%, dengan angka
operabilitas mencapai 89%

o Pre vs postoperatif radiasi


Dilaporkan terdapat keuntungan dari radiasi preoperatif dibandingkan
postoperatif adalah bahwa efek samping akan lebih rendah karena
pada keadaan postoperatif kekosongan daerah pelvis akan terisi oleh
usus halus, yang bilamana teradiasi akan menimbulkan gejala.
Sedangkan pada radiasi preoperatif usus halus masih bergerak bebas
dan dapat dimanipulasi untuk memindahkannya kearah luar dari
pelvis,misalnya dengan posisi prone atau keadaan buli-buli penuh.
Minsky melaporkan penurunan efek samping pada radiasi preoperatif
menjadi 13% (vs 48%).

Disamping itu pada tindakan preoperatif bagian usus halus yang


teradiasi dapat direseksi sehingga akan menurunkan angka efek
samping lanjut.

Keuntungan lain radiasi preoperatif adalah terjadinya pengecilan tumor


yang memungkinkan dilakukan operasi penyelamatan organ maupun
fungsi pada keadaan dimana seyogyanya tindakan reseksi abdomino
perineal dilakukan. Juga keadaan ini memungkinkan dilakukan operasi
pada kasus-kasus yang awalnya tidak resektabel.

Keuntungan radiasi postoperatif harus pula dinilai dari beberapa hal


lainnya, misalnya stadium patologik lebih akurat (termasuk keterlibatan
hepar maupun kelenjar yang mungkin belum dapat dideteksi pada
pemberian radiasi preoperatif), dilakukan operasi pada daerah yang
belum teradiasi tanpa keterlambatan.

b. Brakiterapi
•Intracavitary brachytherapy, merupakan kontak terapi radiasi
dimana diberikan radiasi dengan memasukkan aplikator melalui
lumen yang kemudian akan diisi dengan sumber radioaktif misalnya
iridium.

36
•Interstitial brachytherapy, merupakan cara pemberian radiasi
dengan melakukan implantasi menggunakan aplikator jarum atau
kateter plastik yang kemudian akan diisi dengan sumber radioaktif.

Brakiterapi diberikan dalam keadaan keganasan rekti dini. Ini


diperlihatkan pada penelitian Papillon56 yang memberikan radiasi pada
312 kasus dengan menggunakan terapi kontak dan dicapai hasil kontrol
lokal regional 5 tahun 95% dan 96%, preservasi sphinter dapat dilakukan
pada 2/3 kasus, angka survival 5 tahun 75% dengan kematian spesifik
92%. Peneliti di Lyon Institute memberikan terapi pada 119 kasus dini,
juga menggunakan terapi kontak dan dicapai kontrol lokal 89-90%,
dengan tingkat preserving pada 97% kasus dan angka survival 5 tahun
85%.57 National Cancer Institute menggunakan radiasi intrakaviter sebagai
salah satu alternatif pilihan terapi pada kasus keganasan rektum stadium
0 dan stadium 1 (dengan kombinasi radiasi eksterna) pada ukuran tumor <
3 cm, berdiferensiasi baik tanpa ulserasi yang dalam, dan tanpa fiksasi.58

Interstitial brachytherapy dengan dan tanpa radiasi eksterna diberikan


Moushmov59 pada kasus keganasan rektum T1-2 N0 M0 dengan diameter
terbesar 3 cm dan jarak dari anus 5-6 cm. Otmezguine60 melaporkan
kombinasi radiasi eksterna preoperatif dengan tindakan eksisi dan
interstitial brakiterapi perioperatif memberikan hasil kontrol lokal 80% pada
5 tahun dengan tingkat kontrol fungsi sphinter mencapai 100% pada kasus
keganasan rektum letak menengah atau rendah. Maka tindakan ini
dianjurkan dilakukan pada kasus tersebut yang tidak mencapai toleransi
atau menolak operasi. Kovarik61 melaporkan pada kasus keganasan anal
dan rektum baik primer (kombinasi RE dan interstitial BT) maupun kambuh
lokal pasca terapi, didapatkan hasil respons komplit pada 100%
keganasan anal dan 75% pada keganasan rektum, dengan menggunakan
kombinasi radiasi eksterna dan interstitial brachytherapy. Gerard62 juga
mendapatkan angka kelangsungan hidup 5 tahun 64% (T2 – 84%, T3 –
53 %) dengan kontrol lokal 63% dan tingkat preservasi sfingter 73% pada
kasus T2-3 N0-1 M0. Empatpuluhlima kasus yang diteliti adalah kasus
inoperabel dan 18 kasus adalah penderita yang menolak operasi, dengan
umur rata-rata 72 tahun, jarak rata-rata 4 cm. Terapi yang diberikan
adalah kombinasi terapi kontak dengan RE dan interstitial BT. Radiasi
ekterna kombinasi dengan interstitial brachytherapy juga dilaporkan oleh
Martinez63 pada kasus lanjut lokal dengan kontrol lokal 83.4 %. Toulboul64
melakukan tindakan dengan kombinasi radiasi eksterna dan interstitial
brakhytherapy pada kasus keganasan anal T1 – 4, dan pada 12.5 %
disertai keterlibatan kelenjar getah bening didapatkan hasil kontrol lokal
80%, preservasi sfingter dicapai pada 67% kasus dengan 57%
mempunyai fungsi yang sangat baik. Pada kasus dengan panjang tumor
lebih dari 4 cm, dianjurkan juga pemberian kemoterapi. Goes65 pada kasus
kambuh lokal melaporkan bahwa pemberian brakiterapi perioperatif
dikombinasikan dengan tindakan pembedahan eksisi dapat memberikan
hasil kontrol lokal 64%. Kegagalan terapi kebanyakan terjadi karena
metastasis jauh.

37
Puthawala66 melaporkan juga pada kasus keganasan anorektal lanjut lokal
dengan kombinasi radiasi dan dicapai angka kontrol lokal komplit pada
71% kasus, dimana 30% masih didapatkan residu tumor yang dapat
ditindak lanjuti dengan operasi. Hal yang sama dilaporkan oleh Price67
pada kasus keganasan anorektal letak rendah inoperabel. Vordermark36
melaporkan pada kasus T1-4 N0-2 M0 dengan menggunakan kombinasi
radiasi eksterna dengan MMC dan 5-FU dan interstitial brachytherapy
didapatkan hasil angka kelangsungan hidup 5 tahun 84% dengan 5 tahun
kelangsungan hidup tanpa bebas penyakit 79% dan 5 tahun kelangsungan
hidup tanpa kolostomi 69%.

Rekomendasi Tingkat B
 Pemberian endocavitary brachytherapy atau radiasi eksterna
sebagai alternatif pembedahan pada stadium 0
 Pemberian kombinasi radiasi eksterna dengan endocavitary
brachytherapy sebagai alternatif pembedahan pada stadium I dengan
tumor kurang dari 3 cm, berdiferensiasi baik, tanpa ulserasi, fiksasi
maupun keterlibatan kelenjar getah bening

Rekomendasi Tingkat B
 Pemberian endocavitary brachytherapy atau radiasi eksterna
sebagai alternatif pembedahan pada stadium 0
 Pemberian kombinasi radiasi eksterna dengan endocavitary
brachytherapy sebagai alternatif pembedahan pada stadium I dengan
tumor kurang dari 3 cm, berdiferensiasi baik, tanpa ulserasi, fiksasi
maupun keterlibatan kelenjar getah bening

4.3.2.2 Kemoterapi

Walaupun pembedahan adalah pilihan utama terapi KKR, penatalaksanaan


secara paripurna menjadi tanggung jawab tim multidisipliner.

Pasien dengan karsinoma rektum stadium II-III berisiko tinggi untuk


mengalami kekambuhan lokal dan sistemik. Terapi adjuvan harus bertujuan
menanggulangi kedua masalah tersebut. (NCI PDQ). Sebagian besar
penelitian yang menggunakan radioterapi pra- dan pasca bedah saja dapat
menurunkan angka kekambuhan lokal tetapi tidak bermakna dalam angka
survival. Walaupun suatu penelitian di Swedia menunjukkan kelebihan
radioterapi prabedah dibandingkan dengan hanya bedah saja. Dua penelitian
memastikan bahwa 5-FU bersama radioterapi adalah efektif dan dapat
dianggap sebagai terapi standar, dimana pengobatan adjuvan modalitas
kombinasi dengan radiasi dan kemoterapi sesudah pembedahan juga
menghasilkan angka kegagalan lokal (local failure rates) yang lebih rendah.
Penelitian yang membandingkan kemoterapi adjuvan pra- dan pasca bedah

38
harus dapat menjelaskan dampak dari kedua pendekatan tersebut terhadap
fungsi saluran cerna dan beberapa hal yang terkait dengan kualitas hidup,
seperti misalnya preservasi sfingter, disamping sasaran pengobatan yang
konvensional seperti masa bebas penyakit dan survival secara keseluruhan.

Kemoterapi baik secara tersendiri maupun bersama dengan radioterapi, yang


diberikan sesudah pembedahan, merupakan modalitas pengobatan pada
KKR. Sekitar 30% penderita yang didiagnosis sebagai KKR datang sudah
dengan metastasis, dan 25-30% lainnya kemudian berlanjut menjadi penyakit
metastastik.69,70

Dalam beberapa tahun terakhir ini, sudah banyak kemajuan yang dicapai
pada kemoterapi terhadap KKR. Beberapa dekade ini hanya menggunakan 5-
fluorouracil (5-FU) – disusul oleh kehadiran asam folinat /leukovorin (folinic
acid/FA/LV) sebagai kombinasi. Selanjutnya, pemilihan obat diperluas dengan
diterimanya irinotecan sebagai terapi lini pertama pada tahun 1996, oxaliplatin
pada tahun 2004 dan capecitabine (tahun 2004) sebagai pengganti oral
kombinasi 5-FU/FA.71-72

Serangkaian penelitian klinik acak terkontrol menyimpulkan bahwa


pengobatan KKR pasca bedah dengan 5-FU/LV selama 6 bulan sesudah
bedah kuratif adalah standar pada KKR stadium III (tahun 1992), dan bahwa
penderita berusia lanjut mendapat pendekatan kemoterapi yang sama.73-75
Pemberian kemoterapi tersebut secara dua-mingguan (protokol de Gramont)
mempunyai efek yang tidak berbeda bermakna dengan pemberian bulanan
melalui bolus 5 hari berturut-turut (protokol Mayo), yang ternyata lebih
toksik.73,76

a. Penatalaksanaan kemoterapi sebagai terapi adjuvan


Manfaat kemoterapi pada KKR stadium III / stadium Dukes C sudah diterima
sebagai standar. Berdasarkan hasil penelitian Intergroup 0089 dan NCI
Canada Clinical Trials Group, standar yang digunakan adalah pemberian 5-
FU/LV selama 6 bulan.72,77

Chau dkk melaporkan hasil suatu penelitian acak terkontrol terhadap 716
penderita KKR pasca reseksi stadium II (42%) dan stadium III (58%) di mana
penderita menerima 425 mg/m2
5-FU dan 20 mg/m2 LV bolus hari 1-5 selama 6 bulan. Dengan masa
pengamatan median 5,2 tahun, survival 64%. Namun konsensus yang dibuat
oleh kelompok institusi pengobatan kanker di Amerika Serikat yang tergabung
dalam National Comprehensive Cancer Network (NCCN) dan Skotlandia74
menenetapkan untuk stadium II atau Dukes B belum perlu mendapat
kemoterapi. Pertimbangan untuk mendapat kemoterapi pada kelompok
penderita KKR ini dianjurkan bersifat individual berdasarkan faktor risiko
untuk terjadinya penyebaran atau kekambuhan yaitu: usia muda, histologi
derajat keganasan tinggi, invasi ke saluran limfe dan/atau vaskuler, serta
adanya obstruksi atau perforasi pada waktu diagnosis. Faktor prognosis
molekuler seperti ekspresi timidilat sintase, p53, dan adanya instabilitas
mikrosatelit kemungkinan akan dapat dipakai sebagai pegangan untuk bahan

39
pertimbangan pemberian kemoterapi namun masih menunggu hasil-hasil
penelitian yang sedang berjalan.76-81

 Analog 5-FU oral


Penggunaan capecitabine sebagai prodrug 5-FU perlu mendapat catatan
khusus karena faktor kepraktisan serta ekonomi, terutama dalam hal beban
ekonomi, baik terhadap negara dan pasien secara individu. Seitz80 pada
tahun 2001 melaporkan suatu studi fase II, membandingkan pemakaian
capecitabine pada KKR dan kombinasi 5-FU/FA (protokol Mayo) dan
mendapatkan capecitabine unggul dalam laju respons tumor (22% vs 13%;
P< .0001) walaupun sama dalam waktu progresi dan survival keseluruhan.
Dalam pertemuan American Society of Clinical Oncology (ASCO) Scheithauer
melaporkan hasil penelitian fase III membandingkan capecitabine dengan
kombinasi 5-FU/FA pada KKR stadium Dukes C. Capecitabine dengan dosis
1250 mg/m2 dua kali sehari, diberikan pada hari ke 1-14 berturut-turut disusul
masa istirahat 1 minggu dan kemudian dilanjutkan siklus berikutnya dengan
skema yang sama pada kelompok I (n=993), dibandingkan dengan i.v. bolus
5-FU 425 mg/m2 dengan i.v. LV 20 mg/m2 pada hari 1-5, diulang setiap 28
hari pada kelompok II (n=974). Penelitian mendapatkan survival kedua
kelompok tidak berbeda, akan tetapi penderita yang menerima capecitabine
mengalami lebih sedikit efek samping (P<0,001) berupa diarrhea, stomatitis,
nausea/muntah, alopesia and neutropenia, tetapi lebih banyak hand-foot
syndrome. Disimpulkan bahwa capecitabine mempunyai kemungkinan untuk
mengganti 5-FU/FA intravena sebagai obat kemoterapi standar pada KKR.
Penemuan ini dilaporkan pada pertemuan ASCO 2004 bulan Juni yang lalu.
Konsensus pada WCGC di Barcelona pada 2003 menyatakan capecitabine
dapat dipakai sebagai bagian dari kemoradiasi untuk kanker rektum80 dan
pada pertemuan berikutnya tahun 2004 Haller81 menyatakan capecitabine
dapat menggantikan kombinasi 5-FU/FA.

b. Kemoterapi pada KKR lanjut / metastatik


Saat ini, kombinasi irinotecan atau oxaliplatin dengan 5-FU/FA dianggap
standar untuk penderita KKR metastatik. Dengan protokol ini, survival
keseluruhan adalah 15-20 bulan.82-84

Goldberg85 melaporkan hasil akhir dari penelitian N-9741 di mana irinotecan +


bolus 5-FU/FA (IFL) dibandingkan dengan oxaliplatin (FOLFOX4) dan
hasilnya adalah median survival 19,5 bulan pada kelompok FOLFOX4 dan
14,8 bulan pada protokol IFL. Penelitian ini membawa oxaliplatin sebagai
kemoterapi lini pertama pada KKR metastatik menyusul ijin FDA yang telah
dikeluarkan sebelumnya untuk irinotecan.

Di tahun 2000, dua penelitian klinik acak terkontrol membuktikan bahwa


penambahan irinotecan pada protokol yang menggunakan 5-FU, baik secara
bolus maupun infus, meningkatkan angka survival penderita KKR.86 Secara
hampir bersamaan, berbagai penelitian secara sendiri-sendiri mengenai
protokol yang mengandung capecitabine dan oxaliplatin dilaporkan.
Walaupun protokol yang mengandung oxaliplatin mempunyai laju respons
lebih tinggi dibanding irinotecan, angka survival secara keseluruhan tidak
berbeda. Cassidy86 melakukan penelitian fase II terhadap protokol Xelox

40
(capecitabine + oxaliplatin) pada penderita KKR metastatik mendapatkan
respon objektif 55% serta stabilisasi penyakit lebih dari 3 bulan sebesar 30%.
Hal ini merupakan suatu langkah maju pada kemoterapi KKR metastatik dan
sedang ditunggu hasil penelitiannya.

Di Indonesia, masih terdapat kekurangan dalam hal menentukan stadium pra-


bedah, selama pembedahan dan stadium histopatologis. Oleh karena itu,
stadium yang sebenarnya dapat lebih lanjut dari stadium yang dilaporkan.
Karena itu perlu dipertimbangkan pengobatan adjuvan.

c.Protokol-protokol yang sering digunakan:

 Mayo
1. 5-FU 425 mg/m2 dengan bolus IV setiap hari 5 hari berturut-turut satu
jam sesudah LV
2. LV 20 mg/m2 IV setiap hari untuk 5 hari ber turut-turut
3. Frekuensi : ulang setiap 4 sampai 5 minggu.

 de Gramont
1. LV 200 mg/m2 infus 2 jam, diikuti
2. 5-FU400 mg/m2 i.v. bolus diikuti
3. 5-FU 600 mg/m2 infus kontinu 22 jam
4. Frekuensi : hari 1+2, ulang setiap 21 hari

 Dosis
1. capecitabine 1250 mg/m2 bid bila sebagai obat tunggal, capecitabine
1000 mg/m2 bila dikombinasi dengan oxaliplatin/irinotecan
2. irinotecan 250 mg/m2 bila diberikan dengan kombinasi 5-FU/FA setiap
21 hari dan 130 mg/m2 bila dikombinasi dengan capecitabine
3. oxaliplatin 135 mg/m2 bila diberikan dengan kombinasi 5-FU/FA setiap
21 hari dan 85 mg/m2 bila dikombinasi dengan capecitabine

Rekomendasi Tingkat A
1. Stadium I/Dukes A : tidak diberikan kemoterapi
2. Stadium III/Dukes C : kemoterapi 5-FU/FA atau capecitabine, hingga 6
bln
3. Stadium IV/metastasis : kemoterapi 5-FU/FA atau capecitabine, hingga
6 bln ditambah oxaliplatin atau irinotecan, 6 bln

Tingkat Rekomendasi B
Stadium IIA/Dukes B1 : dipertimbangkan pemberian kemoterapi

Rekomendasi Tingkat D
Stadium IIB/Dukes B2 : kemoterapi 5-FU/FA atau capecitabine, hingga 6 bln

41
4.4. Prosedur Standar Pelaksanaan Tindakan
4.4.1. Prosedur Standar Pelaporan Pemeriksaan Patologi Anatomik
Pelaporan pemeriksaan Patologi Anatomik meliputi pelaporan pemeriksaan
makroskopik dan mikroskopik.

4.4.1.1 Pengiriman Jaringan


 Jaringan hasil reseksi kolon/rektum dibelah, dibersihkan dan segera
dikirim kelaboratorium patologi anatomi. Apabila letak laboratorium jauh,
jaringan segera difiksasi dengan formalin bufer10% dan dikirim ke
laboratorium patologi anatomi.
 Kelenjar getah bening yang ditemukan di para aorta maupun percabangan
arteri dikirim dalam kantong terpisah dan diberi label keterangan lokasi
pengambilan.
 Nodul atau massa tumor yang diduga massa tumor metastasis dikirim
dalam kantong terpisah dan diberi label asal/ lokasi pengambilan.
.
4.4.1.2. Pemeriksaan Makroskopik
 Jaringan diperiksa diatas papan pemotongan jaringan
 Diukur berapa panjang usus yang direseksi, diukur diameter kedua ujung
sayatan
 Diukur letak/lokasi tumor diantara kedua ujung sayatan
 Bentuk tumor, apakah polipoid, pedunculated, ulseratif, anular, ulseratif
atau difus
 Apakah ada pertumbuhan polip yang berdekatan atau jauh dari massa
tumor.
 Tumor diukur panjang, lebar dan ketebalan
 Apakah ditemukan perforasi
 Mencari sebanyak mungkin kelenjar getah bening perikolika atau
perirektal
 Memeriksa batas batas sayatan, proksimal, distal dan sekeliling tumor.

4.4.1.3. Pemeriksaan Mikroskopik


a. Menentukan jenis tumor
 Adenokarsinoma
o Adenokarsinoma tanpa komponen musinosum
o Adenokarsinoma dengan komponen musinosum < 50%
o Adenokarsinoma musinosum (komponen musinosum>50%)
 Signet ring cell carcinoma
 Adenosquamous carcinoma
 Medullary carcinoma
 Karsinoma tidak berdifferensiasi
 Karsinosarkoma

b. Menentukan derajat keganasan tumor.

42
Derajat keganasan ditentukan berdasarkan differensiasi tumor dalam
membentuk struktur kelenjar
 Gradasi I : sel tumor yang membentuk struktur kelenjar >95% dari
masa tumor
 Gradasi II : sel tumor berstruktur kelenjar 50-95% dari masa tumor
 Gradasi III : sel tumor berstruktur kelenjar 5-50%, adenokarsinoma
musinosum dan signet ring cell carcinoma.
 Gradasi IV : sel tumor berstruktur kelenjar <5%

c. Jauhnya/ kedalaman invasi massa tumor,


 Tumor masih terbatas di lapisan mukosa (pTis, Dukes A)
 Tumor menginvasi sub mukosa (pT1, Dukes A)
 Tumor menginvasi lapisan muskularis propria (pT2, Dukes B1)
 Tumor menginvasi serosa atau jaringan perikolika/ perirektal (pT3
Dukes B2)
 Tumor menginvasi organ yang berdekatan (pT4)

d. Mencari ada tidaknya invasi pembuluh darah diluar massa tumor, ada dan
tidaknya invasi perineural.
e. Menilai batas batas sayatan, ujung proksimal, distal dan sekeliling masa
tumor.

4.4.2. Prosedur Standar Penatalaksanaan Penderita


 Anamnesis, pemeriksaan fisik termasuk colok dubur
 Endoskopi/ rektoskopi dan biopsi dikirimkan untuk pemeriksaan
histopatologi.
 USG hati dan foto toraks.
 Kadar CEA serum
 Riwayat aktifitas seksual secara singkat, untuk penderita yang masih aktif
berhubungan seksual

4.4.3. Prosedur Standar Penentuan Resektabilitas Tumor


Resektabilitas ditentukan oleh ahli bedah berdasarkan pemeriksaan colok
dubur
Tumor resektabel : Tumor dengan colok dubur masih dapat
digerakan, tidak melekat ke anterior, posterior dan
kedua sisi lateral.
Tumor tidak resektabel : Tumor dengan colok dubur sulit digerakan dan
melekat pada salah satu sisi.
Untuk tumor yang meragukan colok dubur dapat dilakukan dalam pembiusan

4.4.4. Prosedur Standar Penatalaksanaan Bedah

4.4.4.1 Inspeksi abdomen


Penderita dalam posisi Loyd-Davies, anastesi umum atau kombinasi umum
dan regional.

43
Insisi mediana, inspeksi dan eksplorasi rongga abdomen untuk melihat
adanya metastase jauh yaitu palpasi hepar dan kelenjar para aorta , apabila
didapatkan hal tersebut diatas penderita keluar dari penelitian tetapi operasi
paliatif tetap dilakukan.
Pencatatan harus dilakukan terhadap semua temuan intra-operatif, baik
terhadap tumornya maupun akibat radiasi pre-operasi.

4.4.4.2 Prosedur pembedahan


Prosedur pembedahan mengikuti prosedur yang dilakukan oleh Heald dkk,
reseksi dari karsinoma bag tengah dan bawah adalah Reseksi Low Anterior
yang meliputi pengangkatan seluruh mesorektum. Untuk tumor bagian atas 5
cm dari mesorektum distal dari batas tumor harus dieksisi.

Reseksi dimulai dengan membebaskan Sigmoid dari lateral sampai terlihat


ureter kiri, dan dilanjutkan dengan sisi kanan bertemu didepan bifurcatio
aorta.

Arteri mesenterika inferior dipotong 1-2 cm dari percabanganya dengan aorta,


dilanjutkan dengan pembebasan ke arah anal mengikuti daerah avaskuler
yang dapat dicari didepan dari ureter dan pleksus pre-sakralis di bifurcatio
aorta, mesorektum berbentuk bilobar dan pembebasan harus dilakukan
secara tajam dengan penglihatan langsung sampai terlihat otot levator ani.

Terdapat 2 nervus yang harus di preservasi yaitu pleksus hipogastrikus dan


Nervus Erigentes, keduanya keluar dari foramen sakralis dan bergabung
dengan Nervus pre-sakral pada batas dari vesikula seminalis dan diluar dari
fasia Denonvilliers. Ligamentum lateral terdiri dari gabungan ini dan berbentuk
T, hal yang penting diperhatikan adalah pada saat kita melakukan diseksi di
daerah ini harus dekat dengan mesorektum untuk menghindari kerusakan
syaraf tersebut.

Dari poterior diseksi dilanjutkan secara tajam ke lataeral mengikuti dinding


pelvis disebelah medial dari arteri dan vena iliaka interna, hal yang perlu
mendapat perhatian adalah tepi lateral dari Vesikula seminalis dalam rangka
menghindari kerusakan Nervus Erigentes. Pada sisi anterior peritoneum di
insisi mengikuti lengkung refleksi peritoneal dilanjutkan sampai di pertemuan
fasia Denonvilliers dan kapsul posterior dari prostat sampai bagian bawah
tumor, letak tumor menentukan batas akhir dari diseksi.

Mobilisasi fleksura lienalis harus dilakukan untuk menjamin tidak tegangnya


anastomose, sedangkan ileostomi dilakukan untuk menghindari kebocoran
dan hal ini ditenyukan oleh operator setelah anastomose selesai dilakukan.

4.4.4.3 Post-operasi:
Penilaian spesimen dilakukan oleh ahli bedah yang melakukan pembedahan,
dengan memotong sagital spesimen di bagian anterior, penemuan spesimen
yang mencurigakan dicatat, diberi tanda dan dilaporkan ke bagian patologi.

44
4.4.5. Prosedur Standar Pelaksanaan Radiasi

4.4.5.1. Clinical Target Volume (CTV)


terdiri dari tumor primer dan mesenterium serta perirektal, KGB presakral dan
iliaka interna (sampai perbatasan S1-S2). Bila pasien direncanakan untuk
mendapat reseksi abdominoperineal maka anus dimasukkan ke dalam CTV,
sedangkan untuk yang akan menjalani reseksi anterior rendah, maka sfingter
anus tidak masuk dalam CTV

4.4.5.2. Planning Target Volume (PTV)


PTV seharusnya melibatkan jaringan-jaringan yang beresiko terkena tumor,
dengan patokan anatomi :
 Batas atas : promontorium atau 1½ cm di atas promontorium
 Batas bawah : perineum atau 3 cm dari marker anus
 Batas lateral : meliputi pelvic inlet dengan batas 1- 1½ cm dari rim pelvis
 Batas dorsal : keseluruhan sakrum atau 1½ -2cm di belakang aspek
anterior sakrum
 Batas anterior: harus meliputi tumor yang digambarkan dalam
pemeriksaan enema barium dan atau CT-scan. Batas posterior kelenjar
prostat atau vagina sebaiknya dimasukkan.

4.4.5.3 Tehnik Lapangan Pemberian Radiasi


Dapat digunakan:
 Tehnik dua lapangan: AP dan PA
 Tehnik tiga lapangan : PA dan lateral kanan serta lateral kiri
 Tehnik empat lapangan (Sistim Box): lapangan AP dan PA dan lateral
kanan dan kiri
Semakin banyak lapangan yang dipakai akan mengurangi efek samping
maupun komplikasi radiasi. Digunakan blok untuk melindungi sebanyak
mungkin jaringan normal yang tidak mempunyai resiko terhadap penjalaran
tumor

4.4.5.4. Tehnik Radiasi


Tehnik radiasi sangat penting pada karsinoma rekti karena tidak dapat
dihindarkannya adanya usus halus yang masuk dalam lapangan radiasi, yang
menimbulkan bermacam-macam komplikasi selama dan pasca radiasi, dari
yang ringan sampai berat, yaitu timbulnya obstruksi. Karena itu diupayakan
bermacam cara agar seminimal mungkin usus halus terkena, antara lain
dengan :
 memakai blok,
 posisi penderita selama penyinaran dalam keadaan prone agar usus halus
terdorong
 ke kranial dan
 buli-buli terisi penuh, sehingga diharapkan mendorong usus halus ke
kranial

4.4.5.5. Dosis Radiasi

45
a. Preoperatif
• Jangka pendek
5 Gy dengan fraksinasi 5 X 5 Gy
• Jangka panjang
46 Gy dengan fraksinasi 23x2 Gy

b. Postoperatif
40 Gy – 60 Gy dengan fraksinasi 5 X 200 cGy

46
5. Surveilens KKR Pasca Pembedahan Kuratif

5.1. Latar Belakang


Pada tahun 2000 di Amerika kasus baru sekitar 130.200 kasus pertahun,
dengan kematian 56.300. Kematian utama KKR karena kekambuhan. Tujuh
puluh persen kasus bisa dilakukan reseksi kuratif, akan tetapi sekitar 30-50%
kambuh. Enam puluh sampai 80% kekambuhan terjadi pada 2 tahun pertama
setelah reseksi dan 90 % kekambuhan terjadi dalam 4 tahun pertama setelah
reseksi.87 Data Indonesia tentang jumlah KKR pertahun, angka kematian
dan kekambuhan belum pernah dilaporkan. Untuk mengetahui adanya
kekambuhan lebih awal agar bisa dilakukan reseksi ulang, sangat perlu
dilakukan follow-up.

Pasien KKR yang telah menjalani pembedahan yang nampaknya kuratif


dilakukan follow-up dengan alasan:
1. untuk mendeteksi metastase, dengan harapan deteksi awal dan
pengobatan yang tepat akan memperbaiki survival;
2. untuk melakukan survey sisa kolon dan rektum untuk mendeteksi
kekambuhan dalam lumen dan atau keganasan lain atau adanya polip
adenomatosa;
3. untuk memberikan dukungan psikologik terhadap pasien;
4. untuk maksud audit.8,87
Pada bahasan ini kepentingan follow-up didasarkan alasan nomor 1 dan 2.

5.2. Metode Deteksi Dini Kekambuhan

5.2.1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Empat puluh satu (85%) dari 48 kasus yang diketahui kambuh memberikan
gejala seperti batuk, nyeri perut atau panggul, perubahan pola buang air
besar, perdarahan rektum dan kelemahan. Pemeriksaan fisik kurang sensitif
dibanding anamnesis. Bila gejala positif dan pemeriksaan fisik positif pasien
sudah dalam keadaan stadium lanjut sehingga sudah tidak kurabel lagi. Dari
71 kasus kambuh yang memberikan gejala dan tanda positif hanya 1 kasus
yang dapat sembuh dengan pembedahan. Pemeriksaan abdomen (hati, limpa
nodul), pemeriksaan rektal dan atau vaginal bimanual dan pemeriksaan
inguinal merupakan pemeriksaan fisik yang dianjurkan.87 NCCN (2003)
merekomendasikan pemeriksaan fisik termasuk didalamnya pemeriksaan
rektal setiap 3 bulan dalam 2 tahun pertama dan setiap 6 bulan dalam 5
tahun berikutnya.84

47
5.2.2. Laboratorium

5.2.2.1. Test darah samar


Test darah samar mempunyai nilai kecil dalam deteksi kekambuhan, karena
kebanyakan kekambuhan terjadi ekstra luminer. Dari 48 kambuh hanya 6
(12,5%) dengan test darah samar (+).87

5.2.2.2. Test faal hati


Limapuluh persen kekambuhan terletak di hati, alkali fosfatase memberikan
sensitifitas 77%, positif palsu 34%, negatif palsu 4%, sehingga kurang cocok
untuk skrining.87

5.2.2.3. Carcino-Embryonic Antigen (CEA)


CEA berkorelasi dengan volume tumor dengan respons terapi anti tumor dan
berhubungan dengan sisa tumor setelah reseksi. CEA akan menurun menjadi
normal dalam 4-8 minggu setelah reseksi kuratif. Duapuluh sampai 30%
kekambuhan tidak disertai peningkatan CEA, dan sensitifitas dan spesifisitas
untuk mendeteksi kekambuhan antara 70-80%. Monitoring CEA dapat
mendeteksi kekambuhan sekitar 6 bulan sebelum tanda dan gejala klinik
muncul. CEA yang meningkat perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk
memastikan kekambuhan, yang menjadi kontroversi apakah CEA diatas 5
ng/ml, atau peningkatan setelah pemeriksaan 2 x meningkat atau adanya
kurva peningkatan CEA sebagai dasar pemeriksaan lanjut. Suatu uji acak
terkontrol follow-up dengan pemeriksaan intensif CEA dibanding
konvensional, menunjukkan tidak terdapat perbedaan tentang survival kedua
kelompok.87 NCCN merekomendasikan pemeriksaan CEA setiap 3 bulan
untuk 2 tahun pertama dan setiap 6 bulan untuk 5 tahun berikutnya pada
pasien dengan metastasis terbatas yang potensial untuk reseksi, misalnya
potensial untuk reseksi hepar ataupun paru-paru.84

5.2.3. Endoskopi
Tiga sampai tujuh persen KKR terdapat karsinoma sinkronous dan 25%
terdapat adenoma sinkronous sehingga kolonoskopi sampai sekum
diperlukan sebelum operasi atau pada kasus operasi darurat (obstruksi/
perforasi) kolonoskopi sebaiknya dilakukan dalam 3-6 bulan setelah reseksi
dengan tujuan identifikasi karsinoma dan adenoma sinkronous serta
kekambuhan pada anastomosis. Pada endoskopi rutin setelah reseksi
karsinoma kolorektal ditemukan 8% berkembang tumor metakronous dalam
3,7 tahun, dan setelah reseksi karsinoma rektum ditemukan kekambuhan
pada anastomosis pada 13%. Interval ideal antar endoskopi belum
ditetapkan, suatu penelitian prospektif diperlukan.87 Terdapat bukti yang
bertentangan tentang manfaat surveilens endoskopik pasca pembedahan
kuratif karsinoma rectum. Karena insiden KKR meningkat setelah kejadian
pertama dan polip adenomatosa terjadi dengan peningkatan frekuensi,
kebanyakan klinisi merekomendasikan follow-up kolonoskopi pada pasien
setelah reseksi kolorektal seperti pada follow-up pasien dengan polip
adenomatosa.8,88

48
Kebanyakan KKR berkembang dari polip adenomatosa. Penemuan polip ini
pada follow-up kolonoskopi dilanjutkan dengan polipektomi. Telah ada bukti
yang baik yang menyatakan bahwa polipektomi menurunkan risiko
perkembangan KKR. The National Polyp Study menunjukkan bahwa
kolonoskopi setiap tiga tahun sama efektifnya dengan kolonoskopi setiap
tahun dalam mendeteksi adenoma dengan bentuk patologi lanjut. Risiko
untuk kambuhnya polip lebih tinggi bilamana pada kolonoskopi yang pertama
ditemukan polip multiple atau bilamana indeks polip menunjukan bentuk
villous atau dengan adanya komponen displastik lanjut (severe dysplastic
component) Pasien dengan satu atau dua adenoma tubuler tanpa displasia
lanjut (severe dysplasia) disarankan untuk follow-up setiap 5 tahun (SIGN
2003). NCCN merekomendasikan kolonoskopi pasca bedah kolo-rektal
dalam 1 tahun dan diulang lagi 1 tahun berikutnya bilamana ditemukan
abnormalitas atau 3 tahun berikutnya bilamana ditemukan normal. Bilamana
kolonoskopi tidak bisa dilakukan pra-bedah karena adanya obstruksi
disarankan kolonoskopi 3-6 bulan pasca bedah.84

5.3. Kekambuhan loko-regional

Kekambuhan loko-regional khususnya untuk karsinoma rektum, mencakup


kekambuhan anastomosis, tumor bed dan lymfonodi regional. Sensitivitas
endoskopi 97% barium enema kontras ganda juga 97% untuk kekambuhan
intraluminer. Akan tetapi sekitar 2/3 kekambuhan loko-regional terletak ekstra
luminer. CT scan memberikan sensitivitas 95% untuk deteksi kekambuhan
loko-regional. Namun perlu hati-hati dalam menilai masa jaringan lunak
pasca pembedahan maupun pasca penyinaran dengan CT scan karena
terdapat granulasi, edema, perdarahan dan fibrosis, yang bisa sulit
dibedakan dengan kekambuhan. Masa jaringan lunak dapat bertahan sampai
24 bulan, sehingga ulangan dalam 6-12 bulan bisa memastikan, bila terjadi
penurunan besar masa, lebih mengarah ke masa non-kekambuhan. MRI
dan CT scan keduanya sensitif untuk deteksi kekambuhan, tetapi keduanya
tidak mampu membedakan keganasan dan tumor jinak. USG transrektal
bermanfaat untuk deteksi kekambuhan dalam dinding dan lymfonodi, dan
lebih superior dibanding CT scan, USG transvaginal merupakan alternatif lain.
Immunoscintigraphy mempunyai senstivitas yang sangat bervariasi (18-90%)
dan spesificitas yang bervariasi (76-97%) untuk deteksi kekambuhan.
Positron Emission Tomography (PET) scan memberikan hasil yang baik
dalam deteksi kekambuhan yaitu nilai prediksi positif sebesar 89% sementara
nilai prediksi negatif 100%, pemasalahan yang dihadapi adalah harga yang
mahal.87

5.4. Metastasis hepar


USG murah tetapi tergantung operator dan hasil dipengaruhi adanya gas
didalam usus dan adanya kegemukan. Sensitivitas untuk deteksi metastasis
hati hanya 57%, dan bila tumor diameter kurang dari 1 cm hanya 20%. Lebih
dari 50% yang USG nampaknya resektabel ternyata tidak resektabel saat
pembedahan. CT scan mempunyai sensitivitas yang tinggi dalam mendeteksi

49
metastasis hati yaitu antara 78-90%. MRI tidak lebih baik dibanding CT
kontras, dan biayanya mahal. Demikian juga immunoscintigraphy juga lebih
inferior dibanding CT kontras. [18F]fluoro-2-deoxy-D-glucose (FGD)-PET
mempunyai akurasi tinggi (93%) dibanding CT dan CT-portografi (76%),
Sensitivitas FGD-PET 90%,CT 86%, CT portografi 97%, sementara
spesifisitas FGD-PET 100%, CT 58% dan CT portografi 9%. Pasien
asimptomatik terdeteksi metastasis hepar memberikan median survival 16
bulan ( antara 7-41 bulan), sementara yang terdeteksi saat ada simptom
hanya memberikan median survival kurang dari 4 bulan.87

5.5. Metastasis paru


Sekitar 5-10% KKR yang menjalani operasi terdapat metastasis paru, dengan
angka survival 5 tahun setelah reseksi antara 15-35%. Metode optimal dan
interval yang tepat untuk deteksi dini metastasis paru-paru belum ditetapkan.
Pemeriksaan foto paru rutin dapat mendeteksi kasus yang asimptomatik.
Tujuh dari 13 kasus yang ditemukan metastasis tunggal paru dapat dilakukan
reseksi dan empat mendapatkan survival yang panjang. Bilamana radiologis
dicurigai metastasis atau kecurigaan atas dasar penemuan klinik disarankan
dilakukan CT scan. Follow-up agresif untuk deteksi metastasis paru serta
tindakan reseksi segera memberikan manfaat yang baik. Survival 5 tahun
mencapai 40,5% sementara 10 tahun 27,7%. Reseksi komplit dan CEA
sebelum torakotomi normal adalah faktor prognostik independen untuk
survival yang lama.87

5.6. Metastasis tulang


Karsinoma rektum lebih sering ditemukan metastasis ke tulang dibanding
karsinoma kolon Dalam follow-up 10 tahun, diantara 1046 kasus KKR
ditemukan 4% metastasis ke tulang. Pada umumnya sepakat surveilens
adanya metastasis di tulang hanya dilakukan bilamana ada keluhan. Sidik
tulang merupakan metode paling sensitif dalam mendeteksi metastasis.87

50
Rekomendasi Tingkat A
Rekomendasi Tingkat
Surveilens untuk A
menemukan tumor sinkronous, tumor metakronous dan
Surveilens untuk menemukan
kekambuhan sangat diperlukan, tumor
dansinkronous, tumor yang
dipercaya kasus metakronous dandini
ditemukan
kekambuhan
dan dilakukan tindakan yang sesuai dengan cepat akan memperbaiki dini
sangat diperlukan, dan dipercaya kasus yang ditemukan
dan
µ dilakukan
prognosis tindakan yang sesuai dengan cepat akan memperbaiki
pasien.
prognosis pasien.
Rekomendasi Tingkat D
Rekomendasi
Anamnesis danTingkat D
pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan colok dubur, yang
Anamnesis
teliti dilakukan setiap 3 bulan fisik,
dan pemeriksaan dalam termasuk
2 tahun pemeriksaan colok dubur,
pertama dan setiap yang
6 bulan
teliti
dalamdilakukan setiap 3 bulan dalam 2 tahun pertama dan setiap 6 bulan
5 tahun berikutnya.
dalam 5 tahun berikutnya.
Rekomendasi Tingkat C
Rekomendasi
Pemeriksaan CEA Tingkat
rutin C
dilakukan 4-8 minggu pasca pembedahan untuk
Pemeriksaan CEA rutin dilakukan 4-8 setiap
menilai kurabilitasnya. Pemeriksaan minggu3 pasca pembedahan
bulan untuk 2 tahun untuk
pertama
menilai kurabilitasnya.
dan setiap 6 bulan untukPemeriksaan setiap 3pada
5 tahun berikutnya bulan untuk dengan
pasien 2 tahun pertama
dan setiap terbatas
metastasis 6 bulan untuk 5 tahun berikutnya
yang potensial padamisalnya
untuk reseksi, pasien dengan
potensial untuk
metastasis terbatas
reseksi hepar yang
ataupun potensial untuk reseksi, misalnya potensial untuk
paru-paru.
reseksi hepar ataupun paru-paru.
Rekomendasi Tingkat D
Rekomendasi Tingkat Ddilakukan setiap tahun atau bilamana secara klinik
Foto thoraks disarankan
Foto thoraks disarankan
menunjukkan dilakukan
tanda dan gejala setiap tahun
metastase paru. atau bilamana secara klinik
menunjukkan tanda dan gejala metastase paru.
Rekomendasi Tingkat B
Rekomendasi
Kolonoskopi pascaTingkat
bedahB kolorektal dilakukan dalam 1 tahun dan diulang
Kolonoskopi pasca bedah kolorektal
lagi 1 tahun berikutnya bilamana dilakukan
ditemukan dalam 1 tahun
abnormalitas ataudan diulang
3 tahun
lagi 1 tahunbilamana
berikutnya berikutnya bilamananormal.
ditemukan ditemukan abnormalitas
Bilamana atau 3tidak
kolonoskopi tahun
bisa
berikutnya bilamana ditemukan normal. Bilamana kolonoskopi
dilakukan pra-bedah karena adanya obstruksi disarankan kolonoskopi tidak bisa
3-6
dilakukan pra-bedah
bulan pasca bedah. karena adanya obstruksi disarankan kolonoskopi 3-6
bulan pasca bedah.
Pada pusat dimana kolonoskopi belum tersedia, foto kolon kontras ganda
Pada pusat dimana
bisa dipakai sebagaikolonoskopi
penggantinya.belum tersedia, foto kolon kontras ganda
bisa dipakai sebagai penggantinya.
Rekomendasi Tingkat E
Rekomendasi
Pemeriksaan USG, Tingkat E
CT Scan dan MRI dilakukan bilamana pemeriksaan –
Pemeriksaan USG, CT Scan
pemeriksaan diatas menunjukan danadanya
MRI dilakukan bilamana
kecurigaan pemeriksaan
kekambuhan ekstra–
pemeriksaan
luminal, serta diatas
dalammenunjukan adanya
rangka staging kecurigaan
bilamana kekambuhan
ditemukan ekstra
tumor intraluminal
luminal, serta dalam rangka staging bilamana
baik sebagai metakronous maupun kekambuhan. ditemukan tumor intraluminal
baik sebagai metakronous maupun kekambuhan.

51
6. Informasi Dan Edukasi Penderita KKR dan
Keluarganya

6.1. Latar Belakang


Penderita mendengar dirinya menderita KKR akan mengalami stres
psikologis, dan stress ini akan lebih berat bilamana harus operasi dengan
memakai anus buatan, baik temporer ataupun permanen. Selain ketakutan
akan menjalani operasi, dampak bilamana diberikan radiasi dan atau
kemoterapi akan menambah beban pikiran penderita. Tidak jarang penderita
akan mencari alternatif pengobatan lain dan setelah gagal baru kembali ke
dokter dan sudah jatuh dalam stadium lanjut.

Keluarga penderita sering juga turut mengalami stres psikologis. Sering


menanyakan apakah penyakit ini menular ataukah keturunan? Apakah saya
bisa juga terkena kanker tersebut?

Berdasarkan masalah diatas, informasi dan edukasi kepada penderita dan


keluarganya secara intensif sangat diperlukan agar dihindari pengobatan-
pengobatan yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan dan baru kembali dan
ditindak dalam stadium lanjut. Keluarga harus mendapat informasi yang benar
tentang risiko kejadian karsinoma kolorektal serta upaya penanggulangannya.
Dibawah ini akan dibahas pedoman informasi dan edukasi kepada penderita
KKR dan keluarganya.

6.2. Tujuan Informasi dan Edukasi


6.2.1. Terhadap penderita:
 penderita memahami penyakitnya, stadium dan langkah-langkah
pengobatan yang akan dilakukan, serta komplikasi yang bisa dialami
(fisik, kejiwaan, sosial dan seksual),
 beban pikiran (stres) penderita berkurang,
 penderita bisa melakukan pilihan dari berbagai alternatif pengobatan,
 penderita bisa secara disiplin mengikuti program yang telah dirancang,
termasuk follow-up setelah pembedahan, sesuai dengan alternatif yang
dipilih.

6.2.2. Terhadap keluarga penderita:


 mendapatkan pemahaman tentang penyakit KKR dan langkah-langkah
pengobatannya,
 bisa membantu meringankan beban pikiran penderita (menghibur),
 bisa membantu penderita dalam melakukan pilihan alternatif
pengobatan,

52
 bisa membantu penderita dalam berdisiplin mengikuti program
pengobatan,
 memahami kemungkinan adanya risiko terjadinya KKR atau kanker
yang lain pada keluarga, serta siap menjalani surveilens bilamana ada
indikasi,
 menghindari pola hidup yang berisiko untuk terjadinya KKR.

6.3. Metoda dan Sumber Informasi

Keluhan yang sering muncul dari penderita kanker adalah komunikasi yang
buruk dengan para profesional kesehatan serta kurangnya rawatan
lanjutan. Terdapat bukti yang cukup bahwa program pelatihan untuk
profesional kesehatan meningkatkan kemampuan mendengarkan dan
berkomunikasi. Uji acak terkontrol menunjukkan bahwa penderita lebih
memilih informasi yang didasarkan data catatan mediknya dibanding
informasi umum tentang tipe kankernya.

Rekomendasi Tingkat B
Rekomendasi Tingkat B
Perlu dilakukan kursus intensif tentang ketrampilan mendengarkan dan
Perlu dilakukan
memberikan informasi
kursus tentang
intensif kanker
tentangbagi
ketrampilan
profesional
mendengarkan
kesehatan dan
µ memberikan informasi tentang kanker bagi profesional kesehatan

6.3.1. Melibatkan Penderita dalam Membuat Keputusan


Makin meningkat penderita kanker yang ingin dilibatkan dalam mengambil
keputusan tentang pilihan pengobatannya. Satu penelitian deskriptif
menunjukkan bahwa penderita KKR lebih berperan secara pasif dalam
mengambil keputusan dibanding penderita kanker payudara, mungkin karena
faktor umur dan hubungannya dengan seksualitas.

Rekomendasi tingkat D

 Profesional kesehatan harus menghormati keinginan penderita dalam


membuat rencana pengelolaannya.

 Penderita perlu mendapatkan informasi yang jelas tentang risiko


potensial serta keuntungan dari berbagai pilihan pengobatan agar
penderita bisa melakukan pilihan.
53
54
6.4. Peran Perawat Spesialis dalam Tim Multidisiplin

Penderita kanker sering mempunyai keinginan yang sangat kompleks dan


tidak bisa diselesaikan oleh hanya satu disiplin saja. Oleh karena itu tim
multidisiplin perlu dibentuk. Perawat spesialis merupakan anggota tim
multidisiplin dan berperan mengkoordinasikan pemberian dukungan,
nasehat dan informasi untuk penderita dan karier penderita selama dan
setelah sakitnya. Pengamatan menunjukkan bahwa penderita KKR yang
akan mendapatkan stoma pada umumnya lebih mempunyai banyak problem
dibanding yang tidak perlu stoma, sehingga dukungan dan nasehat dari
perawat spesialis stoma sangat bermanfaat.

Rekomendasi Tingkat E

 Semua penderita KKR baru hendaknya mempunyai akses ke perawat


spesialis untuk mendapatkan dukungan, nasehat dan informasi.
RISIKO MENDAPATKAN KKR DARI KELUARGA DENGAN KKR
 Perlu dilakukan kursus intensif tentang ketrampilan perawatan stoma

 Semua penderita yang akan mendapatkan stoma, baik itu permanen


atau temporer, hendaknya dirujuk untuk dinilai dan mendapat informasi
oleh perawat spesialis stoma sebelum masuk rumah sakit.

55
Daftar Pustaka
1. Rose DP, Boyar AP, Wynder EL: International comparisons of mortality rates for
cancer of the breast, ovary, prostate, and colon, and per capita food consumption.
Cancer 58 (11): 2363-71, 1986
2. Sjamsuhidajat R, Natawijana HA, Kartowisastro H. Faktor penyebab dan resiko
kanker usus besar. Simposium Upaya Penemuan Keganasan Usus Besar Secara
Dini, Semarang 1986.
3. NCI CRC Prevention. Colon and Rectal Cancer: Prevention, Genetics, Causes.
http://www.nci.nih.gov/cancertopics/prevention-genetics-causes/colon-and-rectal
4. Tirtosugondo. Simposium Upaya Penemuan Keganasan Usus Besar Secara Dini,
Semarang 1986.
5. Allen JL. 1995
6. Puig-La Calle J, Guillem JG. Genetic Screening and Chemoprevention. In: Audisio
RA, Gerahty JG, Longo WE (eds) Modern management of Cancer of the Rectum.
Springer London 2001
7. Classen, 2004
8. Scottish Intercollegiate Guidelines Network: Management of Colorectal Cancer. A
National Clinical Guideline. March 2003.
9. Eaden JA, Abrams KR, Mayberry JF. The risk of colorectal cancer in ulcerative colitis:
a meta-analysis. Gut 2001; 48:536-35.
10. Gillen CD, Walmsley RS, Prior P, Andrews HA, Allan RN. Ulcerative colitis and
Crohn’s disease: A comparison of the colorectal cancer risk in extensive colitis. Gut
1994;35:1590-2.
11. Bond JH. Colorectal cancer update: Prevention, screening, treatment, and
surveillance for high risk groups. Med Clin North Am 2000;84: 1163-82.
12. Mandel JS, Church TR, Bond JH, Ederer F, Geisser MS, Mongin SJ, et. Al. The effect
of fecal occult blood screening on the incidence of colorectal cancer. N Eng J Med
2000; 343: 1603-7.
13. Winawer SJ, Fletcher RH, Miller L, Godlee F, Stolar MH, Mulrow CD, et al. Colorectal
cancer screening: clinical guidelines and rationale. Gastroenterology 1997; 112:594-
642.
14. Fuchs CS, Giovanucci EL, Colditz GA, Hunter DJ, Speizer FE, Willett WC. A
prospective study of family history and the risk of colorectal cancer. N Engl J Med.
1994; 331: 1669-74.
15. Kune GA, Kune S, Watson LF. The role of heredity in the etiology of large bowel
cancer: data from the Melbourne Colorectal Cancer Study. World J Surg
1989;13:124-9.
16. Scottish Cancer Group. Cancer Genetics Sub-Group. Cancer genetics services in
Scotland: guidance to support the implementation of genetic services for breast,
ovarian and colorectal cancer predisposition. Edinburgh: The Scottish Executive;
2001. [cited 3 Jul 2002]. Available from url:
µhttp://www.show.scot.nhs.uk/sehd/mels/HDL2001_24Guidefull.pdf§
17. King JE, Dozois RR, Lindor NM, et al. Care of patients and their families with familial
adenomatous polyposis. May Clin Proc 2002;75:57-67.
18. Towler B, Irwig I, Glaziou P, Kewenter J, Weller D, Silagy C. A systematic review of
the effects of screening for colorectal cancer using the faecal occult blood test,
hemocult, BMJ 1998; 317:559-65.
19. Rex DK, Weddle RA, Lehman GA, Pound DC, O’Connor KW, Hawes RH, et. Al.
Flexible sigmoidoscopy plus air contrast barium enema versus colonoscopy for
suspected lower gastrointestinal bleeding. Gastroenterology 1990; 98:855-91.
20. Winawer SJ, Stewart ET, Zauber AG, Bond JH, Ansel H, Waye JD, et al. A
comparison of colonoscopy and double contrast barium enema for surveillance after
polypectomy. National Polyp Study Work Group. N Engl J Med 2000; 342: 1766-72.
21. Heald RJ, Moran BJ, Ryall RD, Sexton R, MacFarlane JK. Rectal cancer: the
Basingstoke experience of total mesorectal excision, 1978-1997. Arch Surg 1998;
133: 894-9.
22. Wiig JN, Carlsen E, Soreide O. Mesorectal excision for rectal cancer: a view from
Europe. Semin Surg Oncol 1998; 15: 78-96.

56
23. Martling AL, Hold T. Rutqvist LE, Moran BJ, Heald RJ, Cedemark B. Effect of a
surgical training programme on outcome of rectal cancer in the County of Stockholm.
Stockholm Colorectal Cancer Study Group, Basingstoke Bowel Cancer Research
Project. Lancet 2000; 356: 93-6.
24. AJCC Cancer Staging Manual. Sixth edition. Springer-Verlag New York, 2002.
25. Rosai Juan. Gross technique in surgical pathology. In: Ackerman’s Surgical
Pathology vol I, 8th ed Mosby 1996: 13-28.
26. Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). Prophylaxis of venous
thromboembolism. Edinburgh: SIGN; 2002. (SIGN publication no. 62)
27. Glenny AM, Song F. Antimicrobial prophylaxis in colorectal surgery. Qual Health Care
1999; 8: 132-6.
28. Burke P, Mealy K, Gillen P, Joyce W, Traynor O, Hyland J. Requirement for bowel
preparation in colorectal surgery. Br J Surg 1994; 81: 907-10.
29. Foster RS, Costanza MC, Foster JC, Wanner MC, Foster CB. Adverse relationship
between blood transfusions and survival after colectomy for colon cancer. Cancer
1985; 55: 11965-201.
30. McAlister FA, Clark HD, Wells PS, Laupacis A. Perioperative allogeneic blood
transfusion does not cause adverse sequelae in patients with cancer: a meta-analysis
of unconfounded studies. Br J Surg 1998; 85: 171-8.
31. Rullier E, Laurent C, Gamelon JL, Michel P, Saric J, Pameix M. Risk factors for
anastomotic leakage after resection of rectal cancer. Br J Surg 1998; 85: 355-8.
32. Dehni N, Schlegel RD, Cunningham C, Guiguet M, Tiret E, Parc R. Influence of a
defunctioning stoma on leakage rates after low colorectal anastomosis and colonic J
pouch anal anastomosis. Br J Surg 1998; 85: 1114-7.
33. Maxwell-Armstrong CA, Robinson MH, Scholefield JH. Laparoscopic colorectal
cancer surgery. Am J Surg 2000; 179: 500-7.
34. Lavery IC, Kostner FL, Pelley RJ, Fine RM. Treatment of Colon and Rectal Cancer.
In: Surg Clin North Am. WB Saunders Company. 80 (2), 2000.
35. Cedermark B.,MD,et al.The Stockholm I Trial of Preoperative Short Terma
Radiotherapy in operable Rectal Carcinoma. Cancer 1995; 75:2269-2275
36. Martenson JA,Jr, Gunderson LL. Colon and Rectum. In: Perez .Ca,Brady LW.
Principles and practice of radiation oncology. Philadelphia: JB Lippincott Company,
1992; 1000-1014
37. Dahl Olav,, et al. Low-Dose Preoperative Radiation Pospones Recurrences in
Operable Rectal Cancer. Cancer 1990;66:2286-2294
38. Mendenhall WM, et al. Does Preoperative Radiation Therapy Enhance the Probability
of Local Control and Survival in High-risk Distal Rectal Cancer? Ann Surg
1992;215:696-706
39. Medenhall WM,MD, et al. Preoperative Radiation Therapy for Clinically Resectable
Adenocarcinoma of the Rectum. Ann Surg 1985;202:215-222
40. Holm T, et al. Local recurrence of rectal adenocarcinoma after ‘curative’surgery with
and without preoprative radiotherapy. Br J Surg. 1994:81;452-455
41. Horn Arild, et al. Preoperative Radiotherapy in Operable Rectal Cancer. Dis Colon
Rectum, October 1990;34:546-551
42. Cedermark B.,MD et al. Preoperative Short-term Radiation Therapy in operable
Rectal Carcinoma. Cancer 1990; 66:49-55
43. Mohiuddin M,MD, et al. Patterns of Recurrence Following High-Dose Preoperative
Radiation and Shpincter-Preserving Surgery for Cancer of the Rectum. Dis Colon
Rectum 1993; 36: 117-126
44. Higgins GA, et al. Preoperative Radiation and Surgery for Cancer of the Rectum.
Cancer 1985;58:352-359
45. Rouanet P., et al. Conservative Surgery for Low Rectal Carcinoma After High-Dose
Radiation. Ann Surg 1995;221:67-73.
46. Berard Ph., Papillon J. Role of Pre-operative Irradiation for Anal Preservation in
Cancer of the Low Rectum. World J Surg 1992;16:502-509
47. Lukmanto B., Pusponegoro AD. Perbandingan Angka Kekambuhan Lokal pada
tehnik ‘Sandwich’ dan ‘Non Sandwich’ penderita karsinoma rekti di RSCM, Desember
1992
48. Gondhowiardjo S, Pusponegoro AD. The Recent Role of Radiotherapy in the
treatment of Rectal Cancer. Jakarta International Cancer Conference June, 1995

57
49. Berard Ph, Papillon J. Role of Pre-operative Irradiation for Anal Preservation in
Cancer of the Low Rectum. World J.Surgery 1992;16:502-509
50. Onaitis MW., Noone R.B, Hartwig M., Hurwitz H., Morse M., Jowell P., et al.
Neoadjuvant Chemoradiation for Rectal Cancer: Analysis of Clinical Outcomes from a
13-Year Institutional Experience. Annals of Surgery 2001 June; 233 (6) :1-15.
51. Shukia NK. et. al. Cancer of the Colon, Rectum, and Anal Canal. In :Rath GK,
Mohanti BK eds.Textbook of Radiation Oncology Principles and Practice.B.I.
Churchill Livingstone Pvt Ltd-New Delhi. 2000 : 407-443.
52. Schroen AT, Cress RD.Use of Surgical Prosedures and Adjuvant in Rectal Cancer
Treatment. Annals of Surgery 234 (5), 2001.
53. Hill RP. Experimental Radiotherapy. In : Tannock IF, Hill PH (eds). The Basic Science
of Oncology. New York. Mc. Graw-Hill. Inc. Company. 1994: 31-19.
54. Rullier E.et.al. Preoperative radiochemotherapy and Sphincter-Saving Resection for
T3 Carcinomas of the Lower Third of the Rectum. In: Annals of Surgery. Lippincott
Williams & Wilkins. 2001.
55. Dunst J et al. Capecitabine combined with radiotherapy as neoadjuvant treatment of
locally advanced rectal cancer, ASCO 2003.
56. Papillon. Endocavitary irradiation in the conservative treatment of adenocarcinoma of
the low rectum. World J Surg. 1992. 16 (3) : 451-7.
57. Gerard JP. et.al. The role of radiotherapy in the conservative treatment of rectal
carcinoma-the lyon experience.In : Acta Oncol. 1998. 37 (3) :253-6.
58. National Cancer Institute. Rectal Cancer Treatment Guedelines. 2002.
59. Moushmov M, Pentschev P. Brachytherapy of anorectal cancer. In : Radiobiol
Radiotherapy (Berl). 1989;30 (4) : 320-3
60. Otmezguine Y. et.al. A new combined approach in the conservative management of
rectal cancer. In : Int J Radiat Oncol Biol Phys.1989. 17 (3) : 539-45.
61. Kovarik J, Svoboda VH, Higgins B. Conservative treatment of anorectal tumors.In :
Strahlenther Onkol 1998. 174 (8) : 403-7.
62. Gerard J, Chapet O, Ramaioli A, Romestaing P. In : Long-term control of T2-T3 rectal
adenocarcinoma with radiotherapy alone. Int J Rad Oncol Biol
Phys.2002:1;54(1):142.
63. Martinez A, Edmunson GK, Cox RS, Gunderson LL, Howes AE. Combination of
external beam irradiation and multiple-site perineal applicator (MUPIT) for treatment
of locally advanced or recurrent prostatic, anorectal, and gynecologic malignancies.
Int J Radiat Oncol Biol Phys. 1985. 11 (2) :391-8.
64. Touboul E. et.al. Epidermoid carcinoma of the canal. Results of curative intent
radiation therapy in series of 270 patients. Cancer.1994.15;73 (6): 1569-79.
65. Goes RN.et.al. Use brachytherapy in management of locally recurrent rectal cancer.
Dis Col Rec.1997. 40 (10):1177-9.
66. Puthawala AA, Syed AM, Gates TC, McNamara C. Definitive treatment of extensive
anorectal carcinoma by external and interstitial irradiation. Cancer 1982.1;50(9):
1746-50.
67. Price A, Kerr GR, Arnott SJ. Radioactive needle implants in the treatment of anorectal
cancer. Clin Radiol 1998;39 (2): 186-9.
68. Vordermark D, Sailer M, Flentje M, Thiede A, Kolbl O.Curative-intent radiation
therapy in anal carcinoma: quality of life and sphincter function. 1999.52 (3) : 239-43.
69. Landis SH, Murray T, Bolden S. Cancer statistics 2000. CA: A Cancer Journal for
Clinicians 2000;50(12398-2424).
70. Evans WE, McLeod HL. ABC of colorectal cancer - Epidemiology. BMJ
2000;321:805-808
71. Bisset D, Ahmed F, McLeod HL, Cassidy J. Optimal strategies for the use of the oral
fluoropyrimidines. In: Cunningham D, Haller DG, Miles A, editors. The effective
management of colorectal cancer. London: Aesculapius Medical Press; 2000. p. 51-
62.
72. Hickish T, Boni C, J T. Oxaliplatin/5-fluorouracil/leucovorin in stage II and III colon
cancer: updated results of the international randomized "MOSAIC" trial (Abstract
211). In: 2004 Gastrointestinal Cancers Symposium; 2004; San Francisco, California;
2004.
73. Chau I, Norman AR, PJ R. A randomized comparison between six months of bolus
fluorouracil (5FU)/leucovorin and 12 weeks of protracted venous infusion (PVI) as

58
adjuvant treatment in colorectal cancer: an update with 5 year's follow-up. In: 2004
Gastrointestinal Cancers Symposium; 2004; San Francisco, California.; 2004.
74. SIGN. Scottish Intercollegiate Guidelines network : Management of Colorectal Cancer
- A National Clinical Guidelines. In. Edinburgh; 2003. p. 20-24.
75. Elsaleh H, Powell B, McCaul K, Grieu F, Grant R, Joseph D, et al. P53 Alteration and
Microsatellite Instability Have Predictive Value for Survival Benefit from
Chemotherapy in Stage III Colorectal Carcinoma. Clinical Cancer Research
2001;7:1343-1349.
76. Johnston P, Fisher ER, Rockette HE, Fisher B, Wolmark N, Drake JC, et al. The role
of thymidylate synthase expression in prognosis and outcome of adjuvant
chemotherapy in patients with rectal cancer. Journal of Clinical Oncology
1994;12(12):2640-2647.
77. Wright CM, Dent OF, Barker MA, Newlands RC, Chapuis PH, Bokey EL, et al.
Prognostic significance of extensive microsatellite instability in sporadic
clinicopasthological stage C colorectal cancer. Br J Surg 2000;87:1197-1202.
78. Kahlenberg MS, Sullivan JM, Witmer DD, Petrelli NJ. Molecular prognostics in
colorectal cancer. Surg Oncol 2003;12:173-186.
79. Lawes DA. The clinical importance and prognostic implications of microsatellite
instability in sporadic cancer. Eur J Surg Oncol 2003(29):201-212.
80. Jean-Francois Bosset, David Cunningham, Eduardo Diaz-Rubio, Mario Dicato, Bengt
Glimelius, Rob Glynne-Jones, et al. Expert discussion on rectal cancer. In: World
Congress on Gastrointestinal Cancer; 2003 June 19-23 2004; Barcelona; 2003.
81. Haller J. Chemotherapy in stage III colorectal cancer. In: World Congress in
Gastrointestinal Cancer; 2004; Barcelona; 2004.
82. Andre T, Boni C, Mouneji-Boudiaf L, Navarro M, Tabernero J, Hickish T, et al.
Oxaliplatin, Fluorouracil, and Leucovorin as Adjuvant Treatment for Colon Cancer.
NEJM 2004;350(23):2343-51.
83. Pozzo C, Basso M, B M. A randomized phase III multicentre trial comparing
irinotecan CPT-11 alternating with bolus 5-fluorouracil + folinic acid to bolus 5-
fluorouracil + folinic acid (Mayo Clinic) in first line treatment of metastatic colorectal
cancer (abstract 2213). In: American Society of Clinical Oncology 38th Annual
Meeting; 2002; Orlando, Florida; 2002.
84. NCCN. Colon Cancer Practice Guidelines in Oncology – v.1.2004.
85. Goldberg RM, Morton RF, DJ S. oxaliplatin + CPT-11 or 5-FU/leucovorin in advanced
colorectal cancer: final efficacy data from an Intergroup study (Abstr 215). In: 2004
Gastrointestinal Cancers Symposium.; 2004; San Fransisco; 2004.
86. Cassidy J, J T, C T. Xelox (capecitabine plus oxaliplatin): active first line therapy for
patients with metastatic. J Clin Oncol 2004.
87. Nadig DE, Virgo KS, Longo WE, Johnson FE. Follow up after potentially curative
therapy for rectal cancer. In: Audisio RA, Geraghty JG, Longo WE, Modern
Managemant of Cancer of the Rectum Spinger Verlag London 2001 135-142.
88. Adenis A, Conroy T, Lasser P, Merrouche Y, Monges G, Rivoire M, et al Standars,
Options and Recommendations: Carcinoma of the colon. Electronic J of Oncol
2001;1:83-89

59

Вам также может понравиться