Вы находитесь на странице: 1из 11

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Sejarah Demokrasi

Demokrasi berasal dari kata Yunani, yaitu demos dan kratos. Demos artinya rakyat dan
kratos artinya pemerintahan. Jadi, konsep dasar demokrasi adalah rakyat berkuasa
(government of rule by the people). Ada pula definisi singkat untuk istilah demokrasi yang
diartikan sebagai pemerintahan atau kekuasaan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya, sebab


dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi negara
dijamin. Istilah demokrasi pertama kali dipakai di Yunani kuno, khususnya di kota Athena,
untuk menunjukkan sistem pemerintahan yang berlaku di sana. Kota-kota di daerah Yunani
pada waktu itu merupakan kota kecil. Penduduknya tidak begitu banyak sehingga mudah
dikumpulkan oleh pemerintah dalam suatu rapat untuk bermusyawarah. Dalam rapat itu
diambil keputusan bersama mengenai garis-garis besar kebijaksanaan pemerintah yang akan
dilaksanakan dan segala permasalahan mengenai kemasyarakatan. Karena rakyat ikut serta
secara langsung, pemerintah itu disebut pemerintahan demokrasi langsung.

Dalam perjalanan sejarah, kota-kota terus berkembang dan penduduknya pun terus
bertambah sehingga denokrasi langsung tidak lagi diterapkan karena hal-hal berikut:

a. Tempat yang dapat menampung seluruh warga kota yang jumlahnya besar tidak mungkin
disediakan.

b. Musyawarah yang baik dengan jumlah peserta yang besar tidak mungkin dilaksanakan.

c. Hasil persetujuan secara bulat atau mufakat tidak mungkin tercapai karena sulitnya
memungut suara dari semua peserta yang hadir.

Istilah demokrasi yang berarti pemerintahan rakyat itu, sesudah zaman Yunani kuno, tidak
disebut lagi. Baru setelah meletusnya Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis, istilah
demokrasi mucul kembali sebagai lawan sistem pemerintahan absolut (monarki mutlak),
yang menguasai pemerintahan di dunia barat sebelumnya.

Di dalam kenyataannya, demokrasi dalam arti sistem pemerintahan yang baru ini mempunyai
arti yang luas, yaitu sebagai berikut:

a. Mula-mula demokrasi berarti politik yang mencakup pengertian tentang pengakuan hak-
hak asasi manusia, seperti hak kemerdekaan pers, hak bermusyawarah, serta hak memilih dan
dipilih untuk badan-badan perwakilan. b. Kemudian, digunakan istilah demokrasi dalam arti
luas, yang selain meliputi sistem politik, juga mencakup sistem ekonomi dan sistem sosial.
Dengan demikian, demokrasi dalam arti luas, selain mencakup pengetian demokrasi
pemerintahan, juga meliputi demokrasi ekonomi dan sosial. Namun yang paling banyak
dibahas dari dulu sampai sekarang ialah demokrasi pemerintahan.

B. Pemahaman Demokrasi dalam Ilmu Politik


Dalam ilmu politik, dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi:
pemahaman secara normatif dan pemahaman secara empirik. Untuk pemahaman yang
terakhir ini disebut juga sebagai procedural democracy.
Dalam pemahaman secara normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang
secara idiil hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah negara, seperti
misalnya kita mengenal ungkapan Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Ungkapan normatif tersebut, biasanya, diterjemahkan dalam konstitusi pada
masing-masing negara, misalnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 bagi
Pemerintahan Republik Indonesia. Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (Pasal 1 ayat 2).
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan Undang-Undang (Pasal 28). Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29 ayat 2).
Kutipan pasal-pasal dan ayat-ayat Undang-Undang Dasar 1945 di atas
merupakan definisi demokrasi normatif dari demokrasi. Tetapi, kita juga harus
memperhatikan bahwa apa yang normatif belum tentu dapat dilihat dalam konteks
kehidupan politik sehari-hari dalam suatu negara. Oleh karena itu, adalah sangat perlu
untuk melihat bagaimana makna demokrasi secara empirik, yakni demokrasi dalam
perwujudannya dalam kehidupan politik praktis.
Kalangan ilmuan politik, setelah mengamati praktik demokrasi di berbagai
Negara, merumuskan demokrasi secara empiric denagn menggunakan sejumlah
indikator tertentu. Berdasarkan definisi yang diajukan Julian Linz, demokrasi secara
empiric menekankan apakah dalam suatu system politik pemerintah memberikan
ruang gerak yang cukup tinggi bagi masyarakatnya untuk melakukan partisipasi guna
memformulasikan preferensi politik mereka memalui organisasi politik yang ada.
Sejauh mana kompetisi antara para pemimpin dilakukan secara teratur untuk mengisi
jabatan politik.
Hampir semua teori bahkan sejak zaman klasik selalu menekankan , bahwa
sesungguhnya yang berkuasa dalam demokrasi adalah rakyat atau demos ,populus.
Oleh karena itu , selalu ditekankan peranan demos yang senyatanya dalam proses
politik yang berjalan.Paling tidak , dalam dua tahap utama : pertama , agenda seting ,
yaitu tahap untuk memilih masalah apa yang hendak dibahas dan diputuskan ; kedua ,
deciding the outcome , yaitu tahap pengambilan keputusan .
Diantara para ilmuwan politik , adalah Robert Dahl yang paling banyak
menaruh perhatian terhadap demokrasi kontemporer. Apa yang dikemukakannya
sebagai indikator sebuah Democratic political order sangatlah bermanfaat untuk
dijadikan kerangka acuan untuk mengamati ada tidaknya demokrasi diwujudkan
dalam suatu pemerintahan negara. Kemudian dari sejumlah prasyarat untuk
mengamati apakah sebuah political order merupakan sistem yang demokratis atau
tidak, Afan Gaffar menyimpulkannya sebagai berikut:
1. Akuntabilitas , yaitu setiap pemegang jabatan harus mempertanggung jawabkan
kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya, mempertanggung jawabkan
ucapan atau kata-katanya, dan yang tidak kalah pentingnya adalah perilaku
dalam kehidupan yang pernah , sedang, bahkan akan dijalaninya.
2. Rotasi kekuasaan, dalam demokrasi , peluang akan terjadinya kekuasaan harus
ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. Jadi tidak hanya satu orang yang
selalu memegang jabatan , sementara peluang orang lain tertutup sama
sekali.Biasanya , partai partai politik yang menang pada suatu pemilu akan
diberikan kesempatan untuk membentuk eksekutif yang mengendalikan
pemerintahan sampai pada pemilihan berikutnya.
3. Rekruitmen politik yang terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi
kekuasan , diperlukan satu sistem rekruitmen yang terbuka. Artinya ,setiap
orang setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan publik
yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan
kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut.
4. Pemilihan Umum. Dalam suatu negara demokrasi, Pemilihan Umum dilakukan
secara teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk
memilih dan dipilih dan bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan
kehendak dan nuraninya.
5. Menikmati hak- hak dasar. Dalam suatu negara demokratis , setiap warga
masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas , termasuk di
d alamnya adalah hak untuk menyatakan pendapat (freedom of expression) ,hak
untuk berkumpul dan berserikat ( freedom of assembly) , dan hak untuk
menikmati pers yang bebas ( freedom of the press ).

C. Perkembangan Demokrasi

Demokrasi mempunyai arti yang penting bagi masyarakat yang


menggunakannya, sebab dengan demokrasi hak masnyarakat untuk menentukan
sendiri jalannya organisasi Negara dijamin. Oleh sebab itu, hampir semua pengertian
yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi
rakyat secara operasional implikasinya di berbagai Negara tidak selalu sama.
Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memmberi peringatan bahwa pada
tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok
mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kabijaksanaan Negara, karena
kebijaksaan tersebut menentukan kehidupan rakyat. Meskipun dari berbagai
pengertian itu terlihat bahwa rakyat diletakkan pada posisi sentral rakyat berkuasa
(government or rule by the people) tetapi dalam praktiknya oleh UNESCO
disimpulkan bahwa ide demokrasi itu di anggap ambiguous atau mempunyai arti
ganda, sekurang kurangnya asa ambiguity atau ketaktentuan mengenai lembaga-
lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan ide, atau mengenai keadaan
cultural serta historis yang mempengaruhi istilah ide dan praktik demokrasi. Berikut
perkembangan demokrasi didunia :
1) Perkembangan Demokrasi di Yunani
Sejarah demokrasi berasal dari sistem yang berlaku di negara-negara kota (city
state) Yunani Kuno pada abad ke 6 sampai dengan ke 3 sebelum masehi. Waktu itu
demokrasi yang dilaksanakan adalah demokrasi langsung yaitu suatu bentuk
pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan politik dan dijalankan secara
langsung oleh seluruh warga negaranya yang bertindak berdasarkan prosedur
mayoritas hal tersebut dimungkinkan karena negara kota mempunyai wilayah yang
relatif sempit dan jumlah penduduk tidak banyak (kurang lebih 300 ribu jiwa).
Selain itu, ketentuan-ketentuan menikmati demokrasi hanya berlaku untuk warga
negara yang resmi, sedangkan bagi warga negara yang berstatus budak belian,
pedagang asing, perempuan dan anak-anak tidak dapat menikmatinya.
Robert A. Dahl membagi perkembangan demokrasi menjadi 2 yaitu, transformasi
pertama: demokrasi Yunani kuno pada masa negara-kota dan transformasi kedua:
perkembangan republikanisme, perwakilan dan logika persamaan.
1. Trabsformasi Pertama : Demokrasi Yunani Kuno
Pada abad kelima sebelum Masehi orang-orang Yunani, terutama sekali
Athena, menyusun sebuah konsep baru tentang kehidupan politik dan praktik-praktik
yang ditimbulkannya di banyak negara-kota. Konsep ini mereka beri nama sebagai
Demokratia atau pemerintahan oleh rakyat, yang berasal dari kata demos yang
berarti rakyat dan kratia yang berarti pemerintahan.
Menurut orang-orang Yunani, demokrasi setidaknya harus memenuhi enam
persyaratan yaitu:
1. Warga negara harus cukup serasi dalam kepentingannya, sehingga mereka
sama-sama memiliki suatu perasaan yang kuat tentang kepentingan umum dan
bertindak atas dasar itu, sehingga tidak nyata-nyata bertentangan dengan tujuan
atau kepentingan pribadi mereka.
2. Mereka harus benar-benar padu dan homogen dalam hal ciri khasnya, jika
tidak akan cenderung menimbulkan konflik politik dan perbedaan pendapat
yang tajam mengenai kepentingan umum. Menurut pandangan ini, tidak ada
negara yang dapat berharap menjadi sebuah polis yang baik apabila warga-
negaranya memiliki perbedaan besar dalam sumberdaya ekonominya dan
jumlah waktu lowong yang mereka punyai, atau apabila mereka menganut
agama yang berbeda-beda, atau menggunakan bahasa yang berlainan, atau
berbeda dalam hal ras, budaya atau (menurut istilah yang kita gunakan
sekarang) kelompok etnis.
3. Jumlah warga-negara harus sangat kecil, yang secara ideal bahkan jauh lebih
kecil dari 40.000 50.000, yang terdapat di Athena di masa Pericles. Jumlah
demos yang kecil itu penting karena tiga alasan, yaitu:
Untuk menghindari keragaman dan ketidakserasian
Agar warga mempunyai pengetahuan tentang kota dan saudara-saudara
mereka sesama warga negara.
Memudahkan dalam berkumpul.
4. Warga-negara harus dapat berkumpul dan secara langsung memutuskan
undang-undang dan keputusan-keputusan mengenai kebijakan. Demikian
kokohnya pandangan ini dipercayai, sehingga orang Yunani mengalami
kesukaran untuk membayangkan adanya pemerintahan perwakilan, apalagi
menerimanya sebagai alternatif yang sah terhadap demokrasi langsung. Tentu
saja, pada waktu-waktu tertentu dibentuk liga, atau konfederasi dari negara-
negara kota itu. Tetapi sistem yang benar-benar bersifat federal dengan
pemerintahan perwakilan telah gagal berkembang, yang tampaknya untuk
sebagian, disebabkan gagasan perwakilan itu tidak dapat berhasil bersaing
dengan kepercayaan yang menonjol dalam keinginan dan legitimasi tentang
pemerintahan langsung dengan majelis-majelis langsung pula.
5. Warga negara berpartisipasi dengan aktif dalam memerintah kota. Orang
memperkirakan bahwa di Athena terdapat lebih dari seribu jabatan yang harus
diisi, sebagian kecil di antaranya dengan pemilihan, tetapi kebanyakan dengan
undian, dan hampir semua dari jabatan ini untuk jangka waktu satu tahun dan
hanya dapat diduduki sekali seumur hidup. Bahkan dengan jumlah rakyat yang
cukup besar di Athena, setiap warga hampir pasti akan menduduki suatu
jabatan untuk jangka waktu setahun, dan sebagian besar akan menjadi anggota
dari Dewan Lima Ratus, yang akan amat penting itu, yang akan menentukan
acara untuk Majelis.
6. Negara-kota harus sepenuhnya otonom. Liga, konfederasi, dan aliansi kadang-
kadang memang penting untuk pertahanan atau perang, tetapi semuanya itu
tidak boleh dibiarkan mengurangi otonomi mutlak dari negara-kota dan
kedaulatan mejelis dalam negara itu. Karena itu pada prinsipnya setiap kota
harus berswasembada, tidak hanya secara politik, tetapi untuk menghindari
ketergantungan yang berlebih-lebihan pada perdagangan luar negeri, kehidupan
yang baik itu sudah pasti pula suatu kehidupan yang sederhana. Dengan cara
begini, demokrasi dihubungkan dengan sifat-sifat kebajikan hidup sederhana,
bukan dengan kemakmuran.
Namun dalam perkembangannya ke depan, konsep demokrasi demikian
mengalami berbagai perubahan-perubahan sesuai perkembangan pengetahuan.
2. Transformasi Kedua : Republikanisme, Logika, Persamaan, dan Perwakilan
Robert A. Dahl menjelaskan bahwa tradisi republiken adalah sejumlah
pemikiran yang sangat tidak sistematis atau terpadu, yang asal-usulnya terdapat
bukan pada gagasan dan praktik demokrasi di dunia Yunani kuno, akan tetapi lebih
banyak pada para pengritik demokrasi Yunani, yang paling terkenal yaitu
Aristoteles. Republikanisme tidak banyak melihat pada Athena yang merupakan
sumber dari demokrasi kuno Yunani melainkan pada Sparta dan Roma serta
Venesia. Tradisi republikanisme mengalami perkembangannya pada abad ketujuh
belas dan kedelapan belas di Amerika Serikat dan Inggris.
Walaupun republikanisme telah menyimpang dari demokrasi Yunani kuno
tetapi masih memiliki beberapa asumsi pemikiran yang sama dengan demokrasi
Yunani yaitu, memandang manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial dan
politik dan memandang setiap orang sejajar di depan hukum.
Kalangan republiken terbagi menjadi dua kelompok yaitu, kalangan
republiken aristokratis-konservatif dan kalangan republiken demokratis yang
berkembang di abad ketujuh belas dan kedelapan belas, yang dalam beberapa hal
memiliki pemikiran bertentangan dengan kalangan republiken konservatif.
Salah satu fokus utama pembahasan kaum republiken adalah mengenai
rakyat itu sendiri. Republiken aristokratis berpandangan bahwa, meskipun rakyat
memiliki peran yang penting dalam pemerintahan namun peranan mereka
sepentasnya terbatas saja. Bagi kalangan republiken aristokratis, fungsi rakyat
hanyalah memilih pemimpin yang cukup memenuhi persyaratan untuk
menjalankan tugas pemerintahan. Karena mereka berpandangan bahwa pemimpin
yang benar-benar memenuhi syarat akan menjalankan pemerintahan sesuai dengan
kepentingan rakyat.
Pemikiran tersebut ditolak oleh para republiken demokratis dengan alasan
bahwa kepentingan umum bukanlah mengimbangkan kepentingan rakyat dan
kepentingan golongan minoritas. Yang dimaksud kepentingan umum adalah
kesejahteraan rakyat.
Berkaitan dengan pemerintahan yang demokratis kalangan republiken
demokratis mengingatkan kemungkinan-kemungkinan munculnya dominasi dari
golongan-golongan minoritas rakyat yaitu unsur-unsur aristokrat dan oligarkhi.
Untuk memecahkan persoalan terjadinya dominasi kepentingan salah satu
golongan masyarakat, republiken aristokratis memberikan jalan keluar berupa
dibentuknya dua buah lembaga dewan perwakilan, yaitu kamar atas atau upper
chamber yang berisikan kalangan aristokrat dan dewan perwakilan rakyat biasa.
Namun konsep ini ditolak oleh kalangan republiken demokratis. Dengan alasan
bahwa dalam sebuah republik yang demokratis, tidak ada satu kelompok pun yang
memiliki keistimewaan.
Meskipun kalangan republiken tidak mampu memberikan solusi untuk
menciptakan sebuah pemerintahan campuran untuk menyelesaikan perbedaan
kepentingan antara golongan minoritas (aristokrat dan oligarkhi) dan golongan
mayoritas (rakyat jelata), tapi ada satu gagasan dari kalangan republiken yang
hingga kini tetap dipertahankan yaitu pemikiran Baron de Montesquieu tentang
Trias Politica, pemisahan kekuasaan menjadi tiga cabang yaitu, legislatif, eksekutif
dan yudikatif.
Gagasan demokrasi Yunani hilang dari dunia Barat ketika Romawi Barat
dikalahkakn oleh suku German dan Eropa Barat memasukkan Abad Pertengahan.
Abad pertengahan di Eropa Barat dicirikan oleh struktur total yang feodal
(hubungan antara Vassal dan Lord). Kehidupan sosial dan spiritual dikuasai Paus
dan pejabat agama lawuja. Kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan
kekuasaan antar bangsawan.
2) Perkembangan Demokrasi di Inggris
Perkembangan demokrasi abad pertengahan menghasilkan dokumen penting
yaitu Magna Charta 1215. Dalam Magna Charta ditegaskan bahwa Raja mengakui
dan menjamin beberapa hak dan hak khusus (preveleges) bawahannya. Selain itu
piagam tersebut juga memuat dua prinsip yang sangat mendasar: pertama, adanya
pembatasan kekuasaan raja; kedua, hak asasi manusia lebih penting dari pada
kedaulatan raja. Momentum lainnya yang menandai kemunculan kembali
demokrasi didunia barat adalah gerakan renaissance dan reformasi. Renaissance
merupakan gerakan yang menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya
Yunani Kuno. Gerakan ini lahir di Barat karena adanya kontak dengan dunia Islam
yang ketika itu sedang berada pada puncak kejayaan peradaban ilmu pengetahuan.
Para ilmuan Islam pada masa itu seperti Ibn Khaldun, Al-Razi, Oemar Khayam,
Al-Khawarizmi dan sebagainya bukan hanya mengasimilasikan pengetahuan Parsi
Kuno dan warisan klasik (Yunani Kuno), melainkan berhasil menyesuaikan
berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang sesuai dengan alam pikiran mereka sendiri.
Dengan kata lain renaissance di Eropa yang bersumber dari tradisi keilmuan Islam
dan berintikan pada pemuliaan akal pikiran untuk selalu mencipta dan
mengembangkan ilmu pengetahuan telah mengilhami munculnya kembali gerakan
demokrasi. Selanjutnya pada abad ke-19 muncul gerakan demokrasi konstitusional.
Dari demokrasi konstitusional melahirkan demokrasi welfare state. Untuk pertama
kali seorang raja berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin
beberapa hak bawahannya.
Pemikir-pemikir yang mendukung berkembangnya demokrasi antara lain:
John Locke dari Inggris (1632-1704) dan Mostesquieu dari Perancis (1689-1755)
yang mencetuskan Trias politica atau teori mengenai pemisahan kekuasaan. Hal ini
dilatarbelakangi pemikiran bahwa kekuasaan - kekuasaan pada sebuah
pemerintahan yang berdaulat tidak dapat diserahkan kepada orang yang sama dan
harus dipisahkan menjadi dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian
diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin. Locke berpendapat
bahwa kekuasaan negara harus dibagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah satu
sama lain; kekuasaan legislatif yang membuat peraturan dan Undang-Undang;
kekuasaan eksekutif yang melaksanakan Undang-Undang dan di dalamnya
termasuk kekuasaan mengadili; dan kekuasaan federatif yang meliputi segala
tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain
(dewasa ini disebut hubungan luar negeri).
Sedangkan Montesquieu membagi kekuasaan dalam pemerintahan menjadi
tiga cabang yang menurutnya haruslah terpisah satu sama lain; kekuasaan legislatif
(kekuasaan untuk membuat Undang-Undang), kekuasaan eksekutif (kekuasaan
untuk melaksanakan Undang-Undang, tetapi oleh Montesquieu diutamakan
tindakan di bidang politik luar negeri), dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan
mengadili atas pelanggaran Undang-Undang). Hal ini adalah untuk mewujudkan
tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam
peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis
lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling
mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip check and balance. Teori ini
kemudian di kembangkan oleh C.F Strong dalam bukunya Modern Political
Constitution.
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu dimaksudkan untuk
memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat
keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa satu
orang/lembaga akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak
keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat padanya. Oleh karenanya,
dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada
pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan
terhadap kekuasaan lainnya. (Montesquieu, The Spirit of Laws, edited by David
Wallacea Carrithers, University of California Press, 1977).
Montesquieu juga menekankan bahwa kebebasan akan kehilangan maknanya,
tatkala kekuasaan eksekutif dan legislatif terpusat pada satu orang atau satu badan
yang menetapkan Undang-Undang dan menjalankannya secara sewenang-wenang.
Demikian pula, kebebasan akan tak bermakna lagi bila pemegang kekuasaan
menghimpun kedua kekuasaan tersebut dengan kekuasaan yudikatif. Seperti yang
dikemukakan oleh Montesquieu, akan merupakan malapetaka bila satu orang atau
badan memegang sekaligus ketiga kekuasaan tersebut dalam suatu masyarakat.
3) Perkembangan Demokrasi Amerika
Pada tahun1215, Magna Charta ditandatangani, kemudian terciptalah
Parlemen atau badan pembuat hukum yang menyatakan bahwa hukum tertulis
lebih berkuasa daripada raja. Dengan demikian kekuasaan keluarga kerajaan mulai
dibatasi dan rakyat mulai mendapatkan sebagian kekuasaan. Selanjutnya kekuasaan
parlemen semakin menguat dengan munculnya berbagai peraturan yang membatasi
kakuasaan raja. Semakin kuat parlemen, semakin banyak hak-hak rakyat untuk
menyatakan pendapatnya. Dasar- dasar demokrasi Inggris inilah yang mengilhami
dan memengaruhi pemerintah Amerika Serikat.
Filsuf Inggris John Locke dan seorang filsuf Perancis Jean-Jeacques Rousseau
memengaruhi penguatan nilai-nlai demokrasi walaupun tidak konklusif merujuk
langsung pada demikrasi (Political Dictionary). John Locke dalam bukunya Two
Treatises menyatakan bahwa di bawah kontak sosial, tugas pemerintahan adalah
untuk melindungi hak-hak alamiah, yang mencakup hak untuk hidup,
kemerdekaan, dan kepemilikan property. Kemudian Rousseau memperluas
pemikiran tersebut dalam bukunya The Social Contract (1762). Kedua filsuf ini
sangat berpengaruh dalam mempersiapkan jalan menuju Demokrasi Amerika di
zaman modern.
DAFTAR PUSTAKA
Herdianto, Heri & Hamdayama, Jumanta, Cerdas, Kritis, Dan Aktif
Berwarganegara. Jakarta: Erlangga, 2010.
Sri Rahayu, Ani, Pendidikan Pancasila & kewarganegaraan (PPKn). Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2013.
Gaffar, Afan, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000.

Вам также может понравиться