Вы находитесь на странице: 1из 3

Dosa jariyah yang Terlupakan

Oleh: Samson Rahman

Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah
mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan
dalam Kitab Induk yang nyata (Lawh Mahfudz). (QS Yaasin [36]: 12).

Banyak orang berpikir bahwa setelah kematiannya, dosa-dosanya pun akan terhenti putarannya.
Dia berpikir bahwa dosa-dosanya tidak akan berkembang lagi setelah dia meninggal dunia.
Padahal, selain amal jariyah (pahala yang terus-menerus), ada juga dosa jariyah, yakni
berjalannya segala dosa, kendati telah berkubang tanah.

Barangsiapa yang menyeru orang lain pada kesesatan (tradisi buruk), maka dia akan
menanggung dosa sebagaimana dosa yang dilakukan oleh orang yang mengikutinya tanpa
mengurangi dosa-dosa orang yang mengikutinya. (HR Muslim).

Seseorang yang mengarahkan orang lain pada perbuatan baik, dia akan mendapatkan kebaikan,
sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang mengikutinya. Sedangkan yang mengarahkan pada
kejahatan, dia akan mendapatkan dosa dari orang yang mengikutinya. Sebab, dia telah
memotivasi orang lain untuk melakukan dosa-dosa.

(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada


hari kiamat, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit
pun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu. (QS An-
Nahl [16]: 25)

Amal seorang manusia setelah wafatnya terbagi beberapa bagian. Pertama, seseorang yang
meninggal dunia, maka kebaikan dan kejahatannya telah terputus. Dia tidak mendapatkan apa-
apa kecuali yang telah diperbuatnya selama hidup di dunia.

Kedua, orang yang meninggal dunia, tetapi kebaikan dan keburukannya terus berlangsung.
Kelompok ini terbagi tiga, yakni seseorang yang meninggal, tetapi kebaikan serta dosanya
berlangsung terus. Maka, nasib orang ini di akhirat nanti tergantung dari timbangan amal
kebaikan dan keburukannya. Bila banyak kebaikannya, surga tempatnya, dan bila banyak
kejahatannya, neraka yang menjadi tempat tinggalnya.

Kemudian, orang yang meninggal dunia, tetapi kebaikannya terus mengalir. Dia akan senantiasa
mendapatkan pahala sesuai kadar dan kualitas keikhlasannya kepada Allah. Beruntunglah orang
yang demikian ini. Selanjutnya, orang yang meninggal dunia dan timbangan kejahatannya terus
membengkak. Alangkah buruknya nasib orang yang seperti ini, alangkah malangnya ujung
kehidupannya di sisi Allah.

Imam al-Ghazali, dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menyatakan, Sungguh beruntung orang
yang meninggal dunia, maka putuslah dosa-dosanya. Dan sungguh celaka seseorang yang
meninggal dunia, tetapi dia meninggalkan dosa yang ganjaran kejahatan terus berjalan tiada
hentinya. Alangkah bahagianya mereka yang memiliki amal jariyah dan alangkah sengsaranya
seseorang yang menanam dosa jariyah. Wallahu Alam.

Muslim Wajib Mendamaikan Perseteruan


Admin
October 23, 2010
0 Comment
Artikel Islami

Belakangan ini, berbagai konflik sosial kembali marak terjadi. Konflik yang berujung pada
jatuhnya korban jiwa ini jelas sangat merugikan kita semua, baik sebagai umat maupun bangsa.
Karena itu, pertikaian dan perseteruan semacam ini harus segera dicegah dan diatasi.

Dalam Islam, usaha mendamaikan pihak-pihak yang berseteru merupakan ajaran dasar yang
bersifat sosial. Upaya damai itu dalam Alquran dikaitkan dengan iman dan takwa sebagai bentuk
kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu, bertakwalah kepada Allah dan
perbaikilah perhubungan di antara sesamamu. Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu
adalah orang-orang yang beriman. (QS Al-Anfal [8]: 1).

Upaya damai itu, dalam ayat di atas, dinamakan dengan ishlah, yang secara bahasa bermakna
memperbaiki sesuatu (ja`l-u al-syayi shalahan). Menurut Zamachsyari, ishlah itu merupakan
kelanjutan logis dari iman, dan menjadi kewajiban manusia. Jadi, tidak ada iman dalam arti yang
sebenarnya manakala kita tidak memiliki kepedulian untuk membangun kerukunan dan
keharmonisan dalam masyarakat.

Rasul SAW menerangkan, usaha mendamaikan kelompok masyarakat yang bertikai itu
merupakan kebaikan yang derajatnya lebih tinggi daripada puasa, shalat, dan sedekah.
Sebaliknya, rusaknya keharmonisan dan komunikasi antarkelompok masyarakat tersebut
dipandang sebagai al-haliqah, yaitu sesuatu yang merusak dan menghancurkan sendi-sendi
kehidupan. (HR Abu Daud dan Ahmad dari Abu Darda).

Untuk itu, dalam jangka panjang, upaya damai ini sedikitnya memerlukan tiga langkah. Pertama,
membangun dan menciptakan keadilan di tengah masyarakat, yakni keadilan dalam bidang
ekonomi, politik, hukum, pendidikan, dan sosial budaya.

Kedua, adanya kepastian dan penegakan hukum. Semua pihak yang berseteru harus digiring
untuk mematuhi dan mengikuti hukum sebagai ketetapan dari Allah. Hukumnya sendiri, baik
material maupun formal, haruslah adil. Begitu juga dengan aparat dan petugas penegak hukum.
Mereka harus bertindak adil, tidak memihak, dan tanpa pandang bulu, sesuai prinsip equal before
the law.

Ketiga, partisipasi dan dukungan dari semua pihak untuk membangun kehidupan yang damai dan
sejahtera. Lihat QS Al-Hujurat [49]: 10). Wallahu alam. [Hikmah Republika]

Вам также может понравиться