Вы находитесь на странице: 1из 10

KEKUASAAN MEDIA MASSA MENGONSTRUKSI REALITAS

Masnur Muslich

Jurusan Sastra Indonesa Fak. Sastra Universitas Negeri Malang

Abstract: The power of mass media newspaper, radio, or television is undeniably


very strong. It constructs the reality through texts which are never free from certain
interests and values. Most of the listeners, readers, and viewers faithfully perceive
the texts, without any reserve, as if the texts presented to them are true
representations of the realities. They are led to the frames created by the
corresponding media. Thus, the public see the reality similar to that of the media.
They are trapped consciously or unconsciously by the patterns of media
construction.

Keywords: mass media, construction, reality, frame, externalization, internalization,


objectification.

Sering tidak disadari seseorang bahwa BERBAGAI PANDANGAN TENTANG


realitas yang disampaikan media massa REALITAS
berbeda dari realitas yang sesungguhnya Terkait dengan realitas tersebut,
terjadi. Lewat teks berita yang didengar dan setidaknya ada tiga teori yang mempunyai
dibacanya, seseorang digiring untuk pandangan yang berbeda, yaitu teori fakta
memahami realitas yang telah dibingkai sosial, teori definisi sosial, dan teori kon-
oleh media massa. Pemahamannya terhadap struksi sosial. Teori fakta sosial berang-
realitas tergantung pada realitas pola media gapan bahwa tindakan dan persepsi manusia
massa. Ia telah terperangkap oleh pola ditentukan oleh masyarakat dan lingkungan
konstruksi media massa. sosialnya. Norma, struktur, dan institusi
Sadar akan betapa kekuasaan media
sosial menentukan individu manusia dalam
massa mengonstruksi realitas, tulisan ini arti luas. Segala tindakan, pemikiran, peni-
disusun. Lewat tulisan ini diharapkan mun- laian, dan cara pandang terhadap apa saja
cul kesadaran setidak-tidaknya memahami
(termasuk peristiwa yang dihadapi) tidak
bahwa media massa ternyata tidak hanya lepas dari struktur sosialnya. Ia adalah
menginformasikan sesuatu tetapi juga me- penyambung lidah atau corong struktur
maknakan sesuatu lewat berita-berita yang
sosialnya. Jadi, realitas dipandang sebagai
disuguhkan kepada khalayak (pembaca atau sesuatu yang eksternal, objektif, dan ada. Ia
pendengar). merupakan kenyataan yang dapat diperla-
kukan secara objektif karena realitas bersi-
fat tetap dan membentuk kehidupan indi-

150
151 BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 2, Agustus 2008

vidu dan masyarakat. Sementara itu, teori stagnan selama ia hidup di tengah masyara-
definisi sosial beranggapan sebaliknya. katnya.
Manusialah yang membentuk perilaku Secara teknis, tesis utama Berger dan
masyarakat. Norma, struktur, dan institusi Luckmann adalah manusia dan masyarakat
sosial dibentuk oleh individu-individu yang adalah produk yang dialektis, dinamis, dan
ada di dalamnya. Manusia benar-benar oto- plural secara terus-menerus. Ia bukan reali-
nom. Ia bebas membentuk dan memak- tas tunggal yang statis dan final, melainkan
nakan realitas, bahkan menciptakan-nya. merupakan realitas yang bersifat dinamis
Wacana-wacana (discourses) ia ciptakan dan dialektis. Realitas bersifat plural ditan-
sesuai dengan kehendaknya. (Lihat Poloma, dai dengan adanya relativitas seseorang
1984:308-310). Jadi, realitas dipandang ketika melihat kenyataan dan pengetahuan.
sebagai sesuatu yang internal, subjektif, dan Masyarakat adalah produk manusia, namun
nisbi. Ia merupakan kenyataan subjektif secara terus-menerus mempunyai aksi kem-
yang bergerak mengikuti dinamika makna bali terhadap penghasilnya. Sebaliknya, ma-
subjektif individu. nusia juga produk masyarakat. Seseorang
Kedua teori itu dipandang sangat atau individu menjadi pribadi yang beriden-
ekstrem dan masing-masing sangatlah titas kalau ia tetap tinggal dan menjadi enti-
kasual. Teori fakta sosial menafikan eksis- tas dari masyarakatnya. Proses dialektis itu,
tensi individu yang mempunyai pikiran, menurut Berger dan Luckmann (dalam
rencana, cita-cita, dan kehendak. Individu Eriyanto, 2002: 14-19), mempunyai tiga
seolah sebagai kapas yang geraknya momen, yaitu eksternalisasi, objektivikasi,
tergantung pada angin sosial. Sebaliknya, dan internalisasi.
teori definisi sosial sangat menonjolkan Eksternalisasi adalah usaha ekspresi
subjek individu, yang menafikan struktur diri manusia ke dalam dunia luar, baik
sosial. Padahal, sebagai makhluk sosial, kegiatan mental maupun fisik. Momen itu
individu sangat membutuhkan perilaku bersifat kodrati manusia. Ia selalu mencu-
sosial: penghargaan, prestise, dan keduduk- rahkan diri ke tempat di mana ia berada. Ia
an atau jabatan sosial. ingin menemukan dirinya dalam suatu
Menyadari kelemahan kedua teori itu, dunia, dalam suatu komunitas. Dan, itulah
muncullah teori konstruksi sosial. Teori yang membedakannya dengan binatang.
yang dikembangkan oleh Peter L Berger Sejak lahir, bahkan sejak masa foetal,
dan Thomas Luckmann tersebut berpan- binatang sudah menyelesaikan masa per-
dangan bahwa realitas memiliki dimensi kembangannya. Tetapi, perkembangan ma-
subjektif dan objektif. Manusia merupakan nusia, supaya bisa disebut manusia , be-
instrumen dalam menciptakan realitas yang lum selesai pada waktu dilahirkan. Ia perlu
objektif melalui proses eksternalisasi, seba- berproses dengan cara berinteraksi dengan
gaimana ia memengaruhinya melalui proses lingkungan dan mereaksinya terus-menerus
internalisasi yang mencerminkan realitas baik fisik maupun nonfisik, sampai ia
yang subjektif. Dengan demikian, masyara- remaja, dewasa, tua, dan mati. Artinya,
kat sebagai produk manusia, dan manusia selama hidup manusia selalu menemukan
se-bagai produk masyarakat, yang keduanya dirinya dengan jalan mencurahkan dirinya
berlangsung secara dialektis: tesis, antitesis, dalam dunia. Sifat belum selesai itu
dan sintesis. Kedialektisan itu sekaligus me- dilakukan terus-menerus dalam rangka
nandakan bahwa masyarakat tidak pernah menemukan dan membentuk eksistensi diri
sebagai produk akhir, tetapi tetap sebagai (Lihat Mursanto, 1993:227).
proses yang sedang terbentuk. Manusia Objektivikasi adalah hasil yang telah
sebagai individu sosial pun tidak pernah dicapai baik mental maupun fisik dari
Muslich, Kekuasaan Media Massa 152

kegiatan eksternalisasi manusia. Hasilnya baru dibentuk oleh makna-makna yang telah
berupa realitas objektif yang terpisah dari diobjektivikasikan. Generasi baru meng-
dirinya. Bahkan, realitas objektif yang identifikasi diri dengan nilai-nilai tersebut.
dihasilkan berpotensi untuk berhadapan Mereka tidak hanya mengenalnya tetapi
(bahkan mengendalikan) dengan si peng- juga mempraktikkannya dalam segala gerak
hasilnya. Misalnya, dari kegiatan ekster- kehidupannya. (Lihat Eriyanto, 2002:15).
nalisasi manusia menghasilkan alat demi Berger dan Luckmann berpandangan
kemudahan hidupnya: cangkul untuk bahwa realitas tidak dibentuk secara ilmu,
meningkatkan pengolahan pertanian atau juga tidak diturunkan oleh Tuhan. Sebalik-
bahasa untuk melancarkan komunikasi. Ke- nya, realitas itu dibentuk dan dikonstruksi
dua produk itu diciptakan untuk meng- manusia. Pemahaman itu menyiratkan
hadapi dunia. Setelah dihasilkan, kedua bahwa realitas berpotensi berwajah ganda
produk itu menjadi realitas yang objektif dan plural. Setiap orang bisa mempunyai
(objektivikasi). Ia menjadi dirinya sendiri, konstruksi yang berbeda-beda atas suatu
terpisah dengan individu penghasilnya. realitas. Setiap orang yang mempunyai
Bahkan, dengan logika -nya sendiri, ia pengalaman, preferensi, tingkat pendidikan,
bisa memaksa penghasilnya. Realitas ob- lingkungan atau pergaulan sosial tertentu
jektif cangkul bisa menentukan bagaimana akan menafsirkan atau memaknakan realitas
petani harus mengatur cara kerjanya. Ia berdasarkan konstruksi-nya masing-masing.
secara tidak sadar telah didikte oleh cangkul Misalnya, peristiwa demonstrasi mahasiswa
yang diciptakannya sendiri. Begitu juga yang marak di Indonesia pada tahun 1997
bahasa. Cara berpikir manusia akhirnya dimaknakan atau ditafsirkan berbeda-beda
ditentukan oleh bahasa yang diciptakannya oleh beberapa kelompok atau kalangan.
sendiri. Bahkan, mereka bisa bersengketa Kelompok tertentu mengonstruksi demon-
dan perang karena bahasa. Realitas objektif strasi mahasiswa sebagai tindakan anarkis,
itu berbeda dengan kenyataan subjektif di luar batas, mengganggu ketenteraman
individual. Realitas objektif menjadi kenya- masyarakat, dan sebagai alat permainan elit
taan empiris, bisa dialami oleh setiap orang politik tertentu. Tetapi, pada saat yang ber-
dan kolektif. samaan, kelompok lain mengonstruksi
Internalisasi adalah penyerapan kem- demonstrasi mahasiswa sebagai tindakan
bali dunia objektif ke dalam kesadaran sub- untuk memperjuangkan nasib rakyat, dan
jektif sedemikian rupa sehingga individu berjuang tanpa pamrih demi kepentingan
dipengaruhi oleh struktur sosial atau dunia rakyat. Kedua konstruksi yang berbeda ter-
sosial. Berbagai macam unsur dari dunia sebut dilengkapi dengan legitimasi tertentu,
yang telah terobjektifkan tersebut akan di- sumber kebenaran tertentu, bahwa yang
tangkap sebagai gejala realitas di luar kesa- mereka katakan dan mereka percayai itu
darannya, dan sekaligus sebagai gejala adalah benar adanya, dan mempunyai dasar
internal bagi kesadaran. Melalui internali- atau bukti yang kuat.
sasi itu, manusia menjadi produk masya- Selain plural, realitas (sebagai produk
rakat. Salah satu wujud internalisasi adalah konstruksi) juga bersifat dinamis. De-
sosialisasi. Bagaimana suatu generasi me- monstrasi mahasiswa (sebagai produk dari
nyampaikan nilai-nilai dan norma-norma konstruksi sosial) selalu terjadi dalam
sosial (termasuk budaya) yang ada kepada dialektika sosial. Dalam level atau tingkat
generasi berikutnya. Generasi berikut diajar individu, dialektika berlangsung antara fak-
(lewat berbagai kesempatan dan cara) untuk tisitas objektif dan makna subjektif demon-
hidup sesuai dengan nilai-nilai budaya yang strasi mahasiswa bagi individu. Dalam level
mewarnai struktur masyarakatnya. Generasi atau tingkat sosial, pluralitas konstruksi
153 BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 2, Agustus 2008

terhadap demonstrasi mahasiswa menga- berita. Realitas adalah produk interaksi


lami proses dialektika juga. Sebagai produk antara wartawan dan fakta. Dalam proses
dari konstruksi sosial, realitas tersebut internalisasi, realitas diamati oleh wartawan
merupakan realitas subjektif dan realitas dan diserap dalam kesadaran wartawan.
objektif sekaligus. Dalam realitas subjektif, Dalam proses eksternalisasi, wartawan men-
realitas tersebut menyangkut makna, ceburkan dirinya untuk memahami realitas.
interpretasi, dan hasil relasi antara individu Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk
dan objek. Setiap individu mempunyai latar melihat realitas. Dengan demikian, teks
belakang (back ground) sejarah, pengeta- berita yang kita baca di surat kabar atau kita
huan, dan lingkungan berbeda-beda, yang dengar di televisi atau radio adalah produk
bisa menghasilkan penafsiran yang berbeda dari proses interaksi dan dialektika tersebut.
pula ketika melihat dan berhadapan dengan Misalnya, peperangan antara tentara Irak
objek. Sebaliknya, realitas juga mempunyai dan tentara Amerika Serikat yang berakhir
dimensi objektif, yaitu sesuatu yang dengan kejatuhan rezim Saddam Husein
dialami, bersifat eksternal, dan berada di yang lalu. Yang pertama, mungkin terjadi
luar diri individu. Dalam kasus demonstrasi eksternalisasi. Wartawan yang datang ke
mahasiswa, misalnya, sebagai realitas daratan Irak mempunyai kerangka pema-
objektif, gerakan mahasiswa memang ada. haman dan konsepsi tersendiri tentang
Kita bisa menyaksikannya. Ia berada di luar peperangan antara tentara Irak dan Amerika
diri kita. Kita bisa membaca selebaran Serikat. Ada yang melihat peperangan di
(pamflet) yang dibawanya dan disebarkan di Irak sebagai kepentingan Amerika Serikat
jalan-jalan, kita bisa melihat dan men- untuk menunjukkan adikuasa atau super
dengarkan bagaimana mahasiswa berorasi power-nya. Ada yang melihat peperangan di
di depan gedung DPR (Dewan Perwakilan Irak sebagai konflik internal rezim Saddam
Rakyat) di pusat Jakarta dan di daerah, dan dan kelompok penentangnya. Ada juga
sebagainya. Dalam perspektif konstruksi yang melihat peperangan di Irak sebagai
sosial, kedua realitas tersebut (realitas sub- buah dari kediktatoran Saddam sendiri atas
jektif dan realitas objektif) saling berdialek- rakyatnya. Berbagai skema dan pemahaman
tika. Seseorang akan mencurahkan ketika itu dipakai untuk menjelaskan peristiwa dan
bersinggungan dengan Kenyataan (ekster- fenomena yang terjadi di Irak. Proses selan-
nalisasi), dan sebaliknya ia juga akan dipe- jutnya adalah internalisasi. Ketika wartawan
ngaruhi oleh kenyataan objektif yang ada berada di Irak, ia melihat banyak peristiwa.
(internalisasi). Ada rumah-rumah penduduk yang terbakar
Itulah berbagai pandangan tentang oleh roket Amerika, ada ratusan mayat ber-
realitas. Lalu, bagaimana dengan realitas serakan di jalan, ada patung Saddam yang
dalam konteks berita yang disampaikan oleh dirobohkan oleh tentara Amerika yang
media massa? Berita dalam media massa dibantu oleh rakyat Irak, dan berbagai peris-
tidak bisa disamakan dengan fotokopi dari tiwa lain. Berbagai peristiwa tersebut diin-
realitas, ia harus dipandang sebagai hasil ternalisasi dengan cara dilihat dan diobser-
konstruksi dari realitas. Karena itu, peris- vasi wartawan. Terjadilah proses dialektika
tiwa yang sama berpotensi dikonstruksi antara apa yang ada dalam pikiran warta-
secara berbeda oleh beberapa media massa. wan dengan apa yang dilihatnya. Akhirnya,
Wartawan atau jurnalis bisa jadi mem- terjadilah teks berita. Oleh karena itu, berita
punyai pandangan dan konsepsi yang merupakan hasil dari interaksi antara kedua
berbeda ketika melihat suatu peristiwa atau proses tersebut.
kejadian, yang terwujud dalam teks berita. Berdasarkan gambaran itu, bagaimana
Realitas bukan dioper begitu saja menjadi posisi khalayak pembaca atau pendengar
Muslich, Kekuasaan Media Massa 154

berita? Pertanyaan itu bisa terjawab dengan hanya melihat satu frame, yaitu jendela
ilustrasi berikut. Tuckman (1978:1) lewat Barat, yang mereka peroleh lewat berita.
bukunya yang berpengaruh Making News
menyatakan bahwa berita adalah jendela KINERJA MEDIA MASSA
dunia . Melalui berita, kita mengetahui apa
yang terjadi di Indonesia, di Malaysia, di Terkait dengan media massa, paradigma
Thailand, bahkan di Irak dan di Lebanon. Peter D. Moss (1999) cukup menarik untuk
Melalui berita, kita mengetahui apa saja disimak. Ia mengatakan bahwa wacana
yang dilakukan elit politik di Jakarta, di media massa merupakan konstruk kultural
Kuala Lumpur, di Bangkok, bahkan di New yang dihasilkan oleh ideologi. Karena itu,
York dan di Tokyo. Akan tetapi, apa yang berita dalam media massa menggunakan
kita lihat, apa yang kita ketahui, dan apa frame atau kerangka tertentu untuk mema-
yang kita rasakan mengenai dunia itu hami realitas sosial. Lewat narasinya, media
tergantung pada jendela yang kita pakai. massa menawarkan definisi-definisi tertentu
Jendela itu berukuran besan atau kecil. mengenai kehidupan manusia: siapa pahla-
Jendela yang besan akan membantu kita wan dan siapa penjahat, apa yang baik dan
memandang dunia lebih luas; sebaliknya apa yang buruk bagi rakyat, apa yang patut
jendela yang kecil akan membatasi pan- dan apa yang tidak patut dilakukan seorang
dangan kita. Selain itu, apakah jendela itu elit, pemimpin, atau penguasa; tindakan apa
berjeruji atau tidak. Apakah jendela itu bisa yang disebut perjuangan, pemberontakan,
dibuka lebar atau hanya bisa dibuka terorisme, pengkhianat; isu apa yang rele-
setengah. Apakah lewat jendela itu kita bisa van atau tidak; solusi apa yang harus diam-
melihat secara bebas ke luar, ataukah hanya bil dan ditinggalkan. Bagi Moss, ideologi
bisa mengintip di balik jeruji. Atau, apakah merupakan seperangkat asumsi budaya
di depan jendela itu ada pohon yang yang menjadi normalitas alami dan tidak
menghalangi penglihatan kita atau tidak. pernah dipersoalkan lagi . Pandangan itu
Ternyata, posisi kita sangat tergantung pada sejalan dengan hipotesis Sapir-Whorf yang
jendela. Dalam berita, jendela itulah yang dikenal dalam linguistik bahwa bahasa itu
disebut frame atau bingkai (Lihat Durham, tidak sekadar deskriptif, yaitu sebagai
1998; Entman, 1993; Fisher, 1997). sarana untuk melukiskan suatu fenomena
Terkait dengan frame atau bingkai itu, atau lingkungan, tetapi juga dapat meme-
Said (1981) pernah memberikan kritik tajam ngaruhi cara kita melihat lingkungan (Lihat
bagaimana Islam dilihat dalam jendela Infante, 1990: 199). Implikasinya, bahasa
Barat. Menurut Said, media-media Barat juga dapat digunakan untuk memberikan
menggambarkan Islam dengan pandangan aksentuasi tertentu terhadap suatu peristiwa
yang ortodoks. Islam digambarkan dengan atau tindakan, misalnya dengan jalan
kekerasan, dengan tradisional. Media ba- menekankan, mempertajam, memperlem-
nyak mewawancarai orang yang itu-itu saja, but, mengagungkan, melecehkan, membe-
pakar yang itu-itu saja, dan dengan pan- lokkan, atau mengaburkan peristiwa atau
dangan yang negatif terus-menerus. Islam tindakan.
identik dengan potong tangan atau hukum Terkait dengan media massa sebagai
rajam yang tidak manusiawi dan teroris. sarana komunikasi massa, selama ini ada
Islam bagi masyarakat Barat identik dengan dua pandangan, yaitu pandangan positivis-
Timur Tengah. Secara geografis, khalayak me dan pandangan konstruktivisme Bagai-
Barat merasakan sangat jauh, walaupun mana fungsi media massa, bagaimana isi
hanya lewat imajinasi. Stereotip tentang dan sifat berita, bagaimana peristiwa
Islam demikian itu terbentuk karena mereka disajikan, dan bagaimana tugas wartawan,
155 BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 2, Agustus 2008

dipahami secara berbeda oleh kedua pan- secara aktif menafsirkan realitas untuk
dangan tersebut. disajikan kepada khalayak.
Dengan cara apa media mengonstruksi
FUNGSI MEDIA MASSA realitas? Media memilih kejadian mana
yang patut diekspos sebagai bahan berita
Pandangan konstruksivisme memahami dan mana yang tidak patut. Dalam peristiwa
tugas dan fungsi media massa berbeda Maluku, misalnya, bisa jadi yang dipilih
dengan pandangan positivisme. Dalam pan- atau diekspos hanya pembakaran tempat-
dangan positivisme, media massa dipahami tempat ibadah, sementara kerukunan antar-
sebagai alat penyaluran pesan. Ia sebagai pemeluk agama yang ada tidak diekspos.
sarana bagaimana pesan disebarkan dari Media juga memilih orang atau tokoh
komunikator (wartawan, jurnalis) ke kha- sebagai sumber berita berdasarkan kriteria-
layak (pendengar, pembaca). Media massa nya sendiri sehingga hasil pemberitaannya
benar-benar sebagai alat yang netral, mem- pun cenderung sepihak. Dengan demikian,
punyai tugas utama penyalur pesan. Tidak media bukan hanya memilih peristiwa dan
ada maksud lain. Kalau media tersebut menentukan sumber berita, melainkan juga
menyampaikan suatu peristiwa atau ke- mendefinisikan peristiwa dan sumber berita.
jadian, memang itulah yang terjadi. Itulah Lewat pemberitaan, media dapat membing-
realitas yang sebenarnya. Tidak ditambah kai peristiwa dengan bingkai tertentu.
dan tidak dikurangi. Peristiwa yang telah terbingkai itulah yang
Dalam pandangan konstruktivisme, me- didengar dan dibaca khalayak. Khalayak
dia massa dipahami sebaliknya. Media tidak dapat melihatnya dari bingkainya
massa bukan hanya saluran pesan, tetapi ia sendiri.
juga subjek yang mengonstruksi realitas,
lengkap dengan pandangan, bias, dan pe-
mihakannya. Di sini, media massa dipan- ISI DAN SIFAT BERITA
dang sebagai agen konstruksi sosial yang Dalam pandangan positivisme, berita
mendefinisikan realitas. (Lihat Bennett, adalah informasi. Ia dihadirkan kepada
1982: 287-288; Hidayat, 1999: 20). khalayak sebagai representasi dari kenya-
Pandangan tersebut menolak argumen yang taan. Kenyataan itu ditulis kembali dan
menyatakan bahwa media sebagai tempat ditransformasikan lewat berita. Berita
saluran bebas. Berita yang kita baca dan dipandang sebagai mirror of reality, karena
kita dengar dari media bukan hanya itu ia harus mencerminkan realitas yang
menggambarkan realitas, bukan hanya hendak diberitakan (Hallin dan Mancini,
menunjukkan sumber berita, tetapi juga 1985:205). Jadi, berita benar-benar linier
konstruksi dari media itu sendiri. Lewat dan lepas dari kepentingan tertentu. Akan
berbagai instrumen yang dimilikinya, media tetapi, dalam pandangan konstruktivisme,
ikut membentuk realitas yang terkemas berita itu ibarat sebuah drama. Ia tidak
dalam pemberitaan. Peristiwa kerusuhan di menggambarkan realitas, tetapi potret dari
Maluku (Indonesia), misalnya, selalu diberi- arena atau panggung pertarungan dari
takan sebagai konflik antaragama. Hal itu berbagai pihak yang berkaitan dengan
bukan menunjukkan realitas yang sebenar- peristiwa. Carey (1989: 21) mengatakan
nya, tetapi juga menggambar bagaimana demikian.
media ikut berperan dalam mengonstruksi News is not information but drama. It
realitas. Apa yang kita baca dan kita dengar does not describe the world but potrays
setiap hari adalah produk dari pembentukan an arena of dramatic forces and action; it
realitas oleh media. Media adalah agen yang exists solely in historical time; and it
Muslich, Kekuasaan Media Massa 156

invites our participation on the basis of jurnalistik. Hal itu karena media massa
our assuming, often vicariously, social lewat wartawan dan krunya tidak bisa
roles within it. lepas dari konteks sosial yang dihadapinya.
Misalnya, peristiwa di Libanon yang saat ini
menjadi perhatian dunia. Media massa se- FUNGSI DAN TUGAS WARTAWAN
cara aktif menugaskan wartawan dan kru-
nya ke tempat kejadian. Mereka secara aktif Kalau begitu, bagaimana fungsi dan
membentuk realitas seperti layaknya sebuah tugas wartawan atau jurnalis? Dalam
drama. Mereka yang setuju dan yang tidak pandangan positivisme, berita dilihat se-
setuju dengan peristiwa itu dipertentangkan. bagai pencerminan realitas. Curran (1996:
Lalu dibumbui dengan analisis dari berbagai 120) mengatakan pesan adalah realitas itu
pihak, tokoh yang terlibat, pakar politik, dan sendiri . Dengan demikian, seorang warta-
beberapa kepala Negara. Tidak cukup itu. wan yang baik adalah wartawan yang
Wartawan masih mendefinisikan siapa- mampu memindahkan realitas itu ke dalam
siapa yang dianggap pahlawan (hero) dan berita. Wartawan dituntut mampu bekerja
siapa-siapa yang dianggap pengkhianat. secara profesional, katanya. Ia harus bisa
Semua itu dikemas dalam berita bagaikan menyingkirkan keberpihakan dan pilihan
drama yang dipertontonkan kepada kha- moral sehingga apa yang diungkapkan
layak. Kita disuguhi adegan berdasarkan dalam berita murni fakta, bukan penilaian
frame media. individu sang wartawan. Wartawan seperti
Dari sini, kita bisa memahami bahwa layaknya seorang pengamat (obsever). Ia
berita tidak pernah vakum dari kepentingan. hanya bertugas memberikan atau mentrans-
Berita adalah hasil dari konstruksi sosial fer apa yang dia lihat dan apa yang dia
yang selalu melibatkan pandangan, ide- rasakan di lapangan. Karena itu, wartawan
ologi, dan nilai-nilai. Bagaimana realitas itu harus bisa berfungsi sebagai pemulung yang
dijadikan berita sangat tergantung pada netral, yang mengambil fakta di lapangan
bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai ada adanya, tidak ditambah dan tidak
(Lihat Schudson, 1991: 141-142). Proses dikurangi. Glasser mengatakan (1999: 191):
pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai ter- What remains fundamentally unchanged
tentu sehingga mustahil berita merupakan is the journalist s naively empirical view
pencerminan dari suatu realitas. Peristiwa of the world, a belief in the separation of
yang sama bisa menghasilkan berita yang fact and values, a belief in the existence
of reality the reality of empirical facts.
berbeda karena ada perbedaan cara melihat
Nowhere is this belief more evident than
atau cara membingkai. Perbedaan realitas when news is defined as something
yang sesungguhnya dalam berita tidak external to and independent of the
dianggap salah; tetapi sebagai suatu kewa- journalist.
jaran. Yang penting, kita (sebagai khalayak
penikmat berita) menyadarinya. Dengan demikian, realitas yang dilaporkan
Oleh karena itu, apabila kita mena- wartawan sama dengan realitas yang
nyakan Bagaimana berita yang baik? pada sesungguhnya. Sebagai pelapor, ia harus
dasarnya kita terjebak pada pandangan mengambil jarak dengan objek yang diliput.
positivisme. Kita sering menuntut bahwa Adanya jarak itu akan membantu wartawan
berita sebaiknya berimbang, liputan dua mendapatkan fakta apa adanya. Adanya
sisi, netral, dan objektif. Teori jurnalistik jarak itu juga akan membatasi kemungkinan
pun memberikan petunjuk (guide) seperti subjektivitas personal yang bermain ketika
itu. Tetapi, dalam praktiknya, sulit diterap- meliput peristiwa. Dengan cara itulah, se-
kan. Praktik jurnalistik berbeda dengan teori
157 BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 2, Agustus 2008

suai dengan pandangan positivisme, objek- Ericsson (dalam Tuckman, 1988: 87)
tivitas pemberitaan bisa diperoleh. mengatakan:
Pandangan konstruktivisme tidaklah News is product of transaction between
demikian. Wartawan dipandang sebagai journalists and their sources. The primary
aktor atau agen konstruksi. Wartawan source of reality for news is not what is
bukan hanya melaporkan fakta atau pe- displayed or what happens in the real
ristiwa, tetapi juga ikut terlibat dalam world. The reality of news is embedded
pendefinisian fakta atau peristiwa. Sebagai in the nature and type of social and their
aktor sosial, wartawan bukan pemulung sources, and in the politics of knowledge
yang mengambil fakta begitu saja. Karena that emerges on each specific newsbeat.
dalam kenyataannya, tidak ada realitas yang (Lihat juga Comfield, 1992: 48)
bersifat eksternal dan objektif yang berada Konsekuensi logis dari agen konstruksi
di luar diri wartawan. Sebaliknya, realitas realitas adalah etika, pilihan moral, dan
itu dibentuk dan diproduksi melewati proses keberpihakan wartawan merupakan bagian
konstruksi yang dilakukan wartawan. Lewat yang integral dan inheren dalam produksi
pemahaman dan pemaknaan subjektif war- berita. Walaupun pandangan positivisme
tawanlah, realitas itu muncul. Seperti dikata- menghendaki agar hal itu dihindari oleh
kan Lichtenberg, realitas hasil konstruksi itu wartawan, dalam kenyataannya tidaklah
selalu terbentuk melalui konsep dan kat- mungkin dihilangkan. Wartawan bukanlah
egori yang kita buat (dalam hal ini war- robot yang bekerja seperti mesin elektronik.
tawan). Kita tidak dapat melihat dunia tanpa Wartawan mempunyai pengetahuan, penga-
kategori, tanpa konsep. Redaksi Lichten- laman, motivasi, keinginan, dan hal-hal lain
berg (1991: 219) sebagai berikut. yang berbau subjektif, yang tidak mungkin
The metaphysical idealist denies that we bisa dilepaskan ketika berhadapan dengan
can know what the world is like fakta sosial. Bahkan, lebih radikal lagi, ia
intrinsically, apart from a perspective. mempunyai preferensi dalam proses kerja-
The world is our construction in the sense nya. Ia bukan dengan cara: melihat, menyi-
that we inevitably encounter it through mpulkan, dan menulis; tetapi lebih sering
our concepts and our categories; we terjadi: menyimpulkan, lalu melihat fakta
cannot see the world concept or apa yang ingin dikumpulkan di lapangan.
category free. Terkait dengan ini, Lippman (1992: 162)
Artinya, kalau seorang wartawan menulis mengatakan:
berita, ia sebetulnya membuat dan mem- For the most part we do not first see, and
bentuk dunia, membentuk realitas. Ia tidak then define; we define first and then see.
mungkin mengambil jarak dengan objek In the great blooming, buzzing onfusion
yang akan diliput (Lihat Hartley, 1990:13). of the outer world we pick out what our
Mengapa demikian? Karena ketika ia culture has already defined for us, and we
meliput suatu peristiwa dan menuliskannya, tend to perceive that which we have
ia secara sengaja atau tidak menggunakan picked out in the form stereotyped for us
dimensi persepsualnya. Ketika ia membuat by our culture.
berita, ia sebetulnya telah menjalin transaksi Di situ jelaslah bahwa wartawan tidak
dan hubungan dengan objek yang dili- bisa menghindarkan diri dari kemungkinan
putnya. Dengan demikian, berita pada subjektivitas. Ia memilih fakta yang ingin ia
dasarnya adalah produk dari transaksi antara pilih dan membuang fakta yang ingin ia
wartawan dan fakta yang ia liput, antara buang.
wartawan dan sumber berita. Secara jelas
Muslich, Kekuasaan Media Massa 158

PENUTUP Entman, Robert M. 1993. Framing:


Uraian tersebut menyadarkan kita, beta- Toward Clarification of a Fractured
pa besar kekuasaan media massa mengon- Paradigm. Political Communication.
Vol. 43. No. 4.
struksi realitas. Kita setiap hari disuguhi
berita hasil konstruksi media. Berita hasil Eriyanto. 2002. Analisis Framing:
pemaknaan media atas dunia. Kita menge- Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media.
tahui dunia hanya lewat jendela atau frame Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.
yang dipasang media. Padahal, jendela itu Fisher, K. 1997. Locating Frames in The
mungkin sempit, berjeruji, dan di depannya Discursive Universe. Sociological Re-
ada pohon penghalang. Anehnya, dunia search Online. Vol. 2. No. 3. Diambil
yang kita lihat sering kita anggap sebagai dari: http://www.socresonline.org.uk/
dunia yang sebenarnya. Kita sering 2/3/4.html.
berdiskusi, berargumentasi, berdebat, bah- Glasser, Theodore L. 1999. Objectivity
and News. Dalam Howard Tamber
kan bertengkar berdasarkan pemahaman
kita terhadap dunia hasil konstruksi media. (ed.). News: A Reader. Oxford: Oxford
University Press.
Hallin, Daniel C. dan Paolo Mancini. 1985.
DAFTAR RUJUKAN Speaking of the President. Dalam Mi-
Bennett, Tonny. 1982. Media, Reality, chel Gurevitch dan Mark R. Ley (ed.).
Signification. Dalam Michael Mass Communication Review Yearbook.
Gurevitch, Tonny Bennett, dan James Vol 4.
Wollacott (ed.). Culture, Society and the Hartley, John. 1990. Understanding News.
Media. London: Methuen. London and New York: Routledge.
Carry, James W. 1989. Communication as Hidayat, Dedy N. 1999. Paradigma dan
Culture: Essays on Media and Society. Perkembangan Penelitian Komunikasi.
Boston: Unwin Hyman. Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi
Cornfield, Michel B. 1992. The Press and Indonesia. Vol. 3. April.
Political Controversy: The Case for Nar- ______________. 1999. Politik Media,
rative Analysis. Political Politik Bahasa dalam Proses Legitimasi
Communication. Vol. 9. No.1. dan Delegitimasi Rezim Orde Baru.
Curran, James. 1996. Rethinking Mass Dalam Sandra Kartika dan M. Mahendra
Communication. Dalam James Curran, (ed.). Dari Keseragaman: Wacana
David Morley, dan Valerie Walkerdine Multikultural dalam Media. Jakarta:
(ed.). Cultural Studies and Communica- LSPP.
tion. London: Arnold. Infante, Dominic A., Andrew S Rabcer, and
____________. 1996. The New Deanna F. Womack. 1990. Building
Revisionism in Mass Comuniation Communication Theory. Prospect
Research: A Reappraisal. Dalam James Heights, IL., Waveland.
Curran, David Morley, dan Valerie Lichtenberg, Judith. 1991. In Defense of
Walkerdine (ed.). Cultural Studies and Objectivity. Dalam James Curran dan
Communication. London: Arnold. Michael Gurevich (ed.). Mass Media and
Durham, Frank D. 1998. News Frames as Society. London: Edward Arnold.
Social Narrative: TWA Flight 800. Lippman, Walter. 1992. Stereotype, Public
Journal of Communication. Vol. 48. No. Opinion, and the Press. Dalam Elliot D.
4. Cohen (ed.). Philosophical Issues in
Journalism. New York: Oxford
University Press.
159 BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 2, Agustus 2008

Moss, Peter D. 1999. Conflict and Schudson, Michael. 1991. The Sociology
Containment in Television News: A of News Production Revisited. Dalam
Case Study . Dalam Mary S. Mander James Curran dan Michael Gurevitch
(ed.). Framing Friction. Urbana: (ed.). Mass Media and Society. London:
University of Illinois Press. Edward Arnold.
Mursanto, RB Riyo. 1993. Peter Berger Tuchman, Gaye. 1978. Making News: A
Realitas Sosial Agama. Dalam Tim Re- Study in the Construction of Reality.
daksi Driyarkara (ed.). Diskursus New York: The Free Press.
Kemsyarakatan dan Kemanusiaan. _____________. 1988. Qualitative
Jakarta: Gramedia. Methods in the Study of News. Dalam
Poloma, Margaret M. 1984. Sosiologi Klaus Bruhn Jensen dan Nicholas W.
Kontemporer. Jakarta: CV Rajawali. Janskowski (ed.). A Hanbook of
Said, Edward W. 1981. Covering Islam: Qualitative Methodologies for Mass
How The Media and The Expert Communication Research. London and
Determine: How We See the Rest of The New York: Routledge.
World. New York: Pantheon Books.

Вам также может понравиться