Вы находитесь на странице: 1из 13

MAKALAH FARMASI SOSIAL

KONDISI SOSIAL MASYARAKAT DENGAN ASUHAN KEFARMASIAN


DAN KESEHATAN

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 1

DIANSARI CITRA LINTONG


ADE FAZLIANA MANTIKA

JURUSAN FARMASI

FAKULTASMATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2017
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang

Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk


optimalisasi peran yang dilakukan oleh apoteker terhadap pasien dalam
melakukan terapi pengobatan sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan
pasien. Apoteker berperan dalam memberikan konsultasi, informasi dan
edukasi (KIE) terkait terapi pengobatan yang dijalani pasien, mengarahkan
pasien untuk melakukan pola hidup sehat sehingga mendukung agar
keberhasilan pengobatan dapat tercapai, dan melakukan monitoring hasil
terapi pengobatan yang telah dijalankan oleh pasien serta melakukan kerja
sama dengan profesi kesehatan lain yang tentunya bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien (ISFI, 2000). Hal tersebut menegaskan
peran apoteker untuk lebih berinteraksi dengan pasien, lebih berorientasi
terhadap pasien dan mengubah orientasi kerja apoteker yang semula hanya
berorientasi kepada obat dan berada di belakang layar menjadi profesi yang
bersentuhan langsung dan bertanggungjawab terhadap pasien.

Pelayanan kefarmasian mulai berubah orientasinya dari drug oriented


menjadi patient oriented. Perubahan paradigma ini dikenal dengan nama
Pharmaceutical care atau asuhan pelayanan kefarmasian (Kemenkes RI,
2011). Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan pola
pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien. Pola pelayanan ini
bertujuan mengoptimalkan penggunaan obat secara rasional yaitu efektif,
aman, bermutu dan terjangkau bagi pasien (Depkes RI, 2008). Hal ini
meningkatkan tuntutan terhadap pelayanan farmasi yang lebih baik demi
kepentingan dan kesejahteraan pasien. Asuhan kefarmasian, merupakan
komponen dari praktek kefarmasian yang memerlukan interaksi langsung
apoteker dengan pasien untuk menyelesaikan masalah terapi pasien, terkait
dengan obat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
(Kemenkes RI, 2011).

I.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana kondisi sosial masyarakat dengan asuhan kefarmasian dan


kesehatan

I.3 Tujuan

1. Mengetahui bagaimana kondisi sosial masyarakat dengan asuhan


kefarmasian dan kesehatan
BAB II
ISI

II.1 Pelayanan Kefarmasian oleh Apoteker

PP 51 Tahun 2009 menyatakan bahwa tenaga kefarmasian adalah


tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian. Tenaga kefarmasian terdiri
atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Apoteker adalah sarjana
farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah
jabatan Apoteker. Sedangkan tenaga teknis kefarmasian merupakan tenaga
yang membantu Apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang
terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi, dan tenaga
menengah farmasi/asisten apoteker. Dalam melakukan praktek profesinya di
apotek seorang apoteker harus memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker
(STRA) dan Surat Ijin Praktek Apoteker (SIPA). STRA adalah bukti tertulis
yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah diregistrasi. SIPA
adalah surat izin yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan
Pekerjaan Kefarmasian pada Apotek atau Instalasi Farmasi Rumah Sakit.

Berdasarkan Kepmenkes Nomor : 1027/Menkes/SK/IX/2004 standar


kompetensi yang harus dimiliki oleh apoteker untuk melakukan pelayanan
kefarmasian, diantaranya:
1. Dapat memberi serta menyediakan pelayanan yang baik.
Apoteker berkedudukan sebagai pengelola apotek diharapkan dapat
melakukan pelayanan kefarmasian yang profesional. Saat melakukan
pelayanan kepada pasien, apoteker sebaiknya mampu untuk
mengintegrasikan pelayanan yang diberikan pada sistem pelayanan
kesehatan secara menyeluruh. Dengan hal tersebut, diharapkan dapat
dihasilkan suatu sistem pelayanan kesehatan berkesinambungan.
2. Memiliki kemampuan dalam menentukan keputusan yang
profesional.
Sebagai apoteker, diharapkan untuk berkompeten dalam bidangnya
dan terus mau untuk belajar sesuai profesinya, sehingga apoteker
tersebut dapat melakukan pengambilan keputusan yang tepat sesuai
dengan efikasi, efektifitas dan efisiensi terkait pengobatan maupun
perbekalan kesehatan lain.
3. Dapat melakukan komunikasi yang baik.
Salah satu kemampuan penting yang harus dimiliki oleh apoteker
adalah mampu untuk melakukan komunikasi yang baik dengan
pasien ataupun profesi kesehatan lainnya sehingga diharapkan
pengobatan yang dilakukan tepat dan tujuan pengobatan dapat
tercapai.
4. Mampu menjadi pemimpin
Apoteker diharapkan bisa menjadi seorang pemimpin dalam suatu
organisasi atau group. Apoteker harus mampu untuk mengambil
suatu keputusan yang efektif dan tepat, dapat menyebarkan informasi
tersebut dan dapat melakukan pengelolaan terhadap suatu hasil
keputusan.
5. Apoteker diharapkan bisa dan memiliki kemampuan dalam mengatur
dan mengelola sumber daya yang ada.
6. Belajar sepanjang masa.
Pengobatan akan selalu berkembang seiring perkembangan
pengetahuan dan teknologi, sehingga diharapkan apoteker akan
selalu belajar untuk mengikuti perkembangan tersebut, sehingga
keilmuan yang dimiliki selalu berkembang sesuai dengan
perkembangan ilmu pengobatan.
7. Membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk
meningkatkan pengetahuan.
Berdasarkan PP 51 Tahun 2009 terkait pekerjaan kefarmasian
disebutkan bahwa dalam melakukan pekerjaan kefarmasian di tempat
pelayanan kefarmasian seperti apotek, rumah sakit dll, seorang apoteker
dapat :
a. Memiliki seorang Apoteker Pendamping untuk menggantikan
tugas Apoteker Pengelola yang telah di lengkapi dengan SIPA;
b. Melakukan penggantian obat bermerk dagang dengan obat
generic dimana zat aktif yang terkandung dalam kedua obat
tersebut adalah sama dan meminta persetujuan kepada pasien/ dan
dokter; dan
c. Melakukan penyerahan obat keras, obat psikotropika dan obat
narkotika kepada pasien atas resep dokter berdasarkan peraturan
undang-undang yang berlaku.
d. Berdasarkan KepMenKes RI No. 1027/MenKes/SK/IX/2004,
apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan
profesi yang telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan
perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan
kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker.
Apoteker merupakan tenaga kesehatan professional yang banyak
berhubungan langsung dengan masyarakat sebagai sumber informasi obat.
Oleh karena itu, informasi obat yang diberikan pada pasien haruslah
informasi yang lengkap dan mengarah pada orientasi pasien bukan pada
orientasi produk. Dalam hal sumber informasi obat seorang apoteker harus
mampu memberi informasi yang tepat dan benar sehingga pasien
memahami dan yakin bahwa obat yang digunakannya dapat mengobati
penyakit yang dideritanya dan merasa aman menggunakannya. Dengan
demikian peran seorang apoteker di apotek sungguh-sungguh dapat
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat (Menkes RI, 2014).

II.2 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan Kep Men Kes


Nomor: 1027/Menkes/SK/IX/2004

Pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical Care) adalah pelayanan yang


berorientasi kepada pasien. Pelayanan kefarmasian ini mengarahkan pasien
tentang kebiasaan/pola hidup untuk mendukung tercapainya keberhasilan
pengobatan, memberikan informasi tentang program pengobatan yang
dijalani oleh pasien, memonitoring hasil pengobatan dan bekerja sama
dengan profesi lain untuk mendukung tercapainya kualitas hidup pasien
yang lebih baik.
Latar belakang dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:
1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di Apotek
adalah pelayanan yang saat ini orientasinya telah bergeser dari obat kepada
pasien yang disebut dengan asuhan kefarmasian (Pharmaceutical Care).
Dengan pergeseran orientasi tersebut, maka apoteker dituntut untuk lebih
aktif dalam berinteraksi langsung dengan pasien dan memberikan pelayanan
kefarmasian yang beriorientasi kepada pasien. Pelayanan kefarmasian antara
lain pelayanan swamedikasi terhadap pasien, melakukan pelayanan obat,
melaksnakan pelayanan resep, maupun pelayanan terhadap perbekalan
farmasi dan kesehatan, sertadilengkapi dengan pelayanan konsultasi,
informasi dan edukasi (KIE) terhadap pasien serta melakukan monitoring
terkait terapi pengobatan pasien sehingga diharapkan tercapainya tujuan
pengobatan dan memiliki dokumentasi yang baik. Oleh karena itu, apoteker
perlu untuk terus meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku
sehingga diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan pasien (Depkes
RI, 2008).
Ditetapkannya standar pelayanan kefarmasian bertujuan untuk
digunakan sebagai pedoman oleh apoteker dalam menjalankan praktek
keprofesiannya, memberikan perlindungan kepada masyarakat dari
pelayanan yang tidak profesional, serta melindungi profesi dalam
menjalankan praktek. Apoteker dituntut untuk melakukan pelayanan
kefarmamsian yang bertanggungjawab dan professional sehingga tujuan
pengobatan pasien dapat tercapai dan kualitas hidup pasien meningkat
(Depkes RI, 2008).
Pelayanan resep adalah permintaan tertulis dokter, dokter hewan, dokter
gigi kepada apoteker untuk menyiapkan dan memberikan obat kepada
pasien berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku. Adapaun
yang termasuk dalam pelayanan resep antara lain : skrining resep,
penyediaan dan penyerahan sediaan farmasi serta perbekalan kesehatan
kepada pasien. Pelayanan resep terdiri dari pelayanan resep obat (golongan
keras, bebas terbatas, dan obat bebas), pelayanan resep obat yang
mengandung psikotropika dan obat narkotika (Depkes RI, 2008).
Pelayanan informasi obat merupakan suatu pelayanan kefarmasian oleh
apoteker dimana apoteker harus dapat memberikan keterangan/informasi
secara tepat dan jelas kepada pasien sehingga tujuan pengobatan dapat
tercapai. Promosi merupakan suatu kegiatan yang memberdayakan
masyarakat dengan melakukan motivasi melalui pemberian inspirasi kepada
masyarakat, sehingga diharapkan masyarakat termotivasi untuk dapat
melakukan peningkatan kualitas hidupnya secara mandiri. Edukasi
merupakan suatu kegiatan yang memberdayakan masyarakat melalui
pemberian pengetahuan terkait tentang terapi pengobatan dan
mengikutsertakan pasien dalam pengambilan keputusan, yang bertujuan
agar tujuan pengobatan dapat tercapai secara optimal. Sedangkan, konseling
adalah suatu proses yang sistematis untuk melakukan identifikasi sehingga
dapat menyelesaikan masalah pasien terkait dengan terapi pengobatan yang
dijalani oleh pasien (Depkes RI, 2008).
Pengelolaan sediaan farmasi maupun perbekalan kesehatan merupakan
suatu kegiatan manajemen yang dimulai dari merencanakan, mengadakan,
menerima, menyimpan dan menyerahkan kepada pasien. Adapun dengan
pengelolaan diharapkan dapat tersedia sediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan jenis, jumlah, waktunya tepat dan memiliki kualitas yang baik
(Depkes RI, 2008).

II.3 Penelitian-penelitian di Indonesia tentang Pelayanan Kefarmasian


Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat maka
dikeluarkan KepMenKes Nomor : 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Dalam standar tersebut
menyebutkan bahwa yang berhak melakukan pelayanan kefarmasian adalah
tenaga kefarmasian yaitu asisten apoteker sebagai tenaga teknis kefarmasian
dan apoteker sebagai penanggung jawab dalam pengobatan kepada pasien.
Walaupun standar mutu pelayanan kefarmasian telah ditetapkan sejak tahun
2004, namun sampai saat ini mutu pelayanan kefarmasian masih dibawah
standar.
Penelitian di Kota Padang (Monita, 2009) menemukan bahwa standar
pelayanan kefarmasian dengan kategori baik hanya mencapai 3%, kategori
sedang 16% dan kategori kurang 81%. Diketahui bahwa faktor pendukung
pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian yaitu (1) motivasi apoteker
dalam bekerja, (2) dukungan PSA dan seluruh staf di apotek, (3) dukungan
dan komitmen bersama stakeholder terkait yaitu pembuat kebijakan dan
regulasi, (4) instansi yang melakukan sosialisasi, monitoring dan pembinaan,
(5) perguruan tinggi, (6) organisasi profesi. Sedangkan faktor penghambat
adalah (1) apoteker belum berperan di apotek, (2) lemahnya dukungan dan
evaluasi oleh pihak manajemen apotek, termasuk pengadaan sarana dan
prasarana, (3) kurangnya sosialisasi, legislasi, dan (4) lemahnya kontrol
regulasi oleh aparat terkait.
Penelitian di Provinsi NTB tahun 2012 tentang pelaksanaan standar
pelayanan kefarmasian pada 3 Rumah Sakit Umum Daerah Kelas C
menemukan bahwa persentase pencapaian standar pelayanan kefarmasian di
Rumah Sakit 17 masih kurang dari 75%. Pencapaian standar pelayanan
kefarmasian untuk Rumah Sakit A yaitu 52,17%, Rumah sakit B 54,78%
dan Rumah Sakit C 44,35%. Beberapa faktor penghambat pelaksanaan
pelayanan kefarmasian yang optimal adalah (1) lemahnya dukungan pihak
manajemen rumah sakit terhadap pelayanan farmasi, (2) pengadaan sarana
dan prasarana penunjang pelayanan farmasi yang masih belum memadai, (3)
kurangnya jumlah tenaga kefarmasian di instalasi farmasi, (4) sistem
dokumentasi instalasi farmasi yang kurang baik, (5) kurangnya evaluasi
yang terus menerus dalam upaya peningkatan kinerja instalasi farmasi
dalam melaksanakan pelayanan farmasi (Sidrotullah, 2012).
Berdasarkan penelitian-penelitian tentang pelayanan kefarmasian yang
pernah dilakukan diketahui bahwa, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
pelayanan kefarmasian oleh apoteker di apotek yaitu kehadiran APA,
motivasi APA, status APA dan kepemilikan apotek.
a. Kehadiran APA
Apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian kefarmasian tempat
dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker (Depkes RI, 2009).
Apoteker bertanggung jawab terhadap setiap kegiatan di apotek mulai
dari pelayanan obat maupun resep, dispensing obat, memberikan KIE
kepada pasien, pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan,
kegiatan administrasi di apotek hingga melakukan monitoring terhadap
obat yang diberikan kepada pasien sehingga tujuan pengobatan dapat
tercapai (IAI, 2014). Oleh karena itu, kehadiran apoteker menjadi salah
satu faktor penting yang mempengaruhi kualitas pelayanan kefarmasian
di sarana pelayanan kesehatan seperti apotek. APA yang lebih sering
hadir diapotek mempunyai skor pelayanan kefarmasian lebih tinggi
dibandingkan dengan APA yang jarang hadir diapotek. Semakin tinggi
tingkat kehadir an APA di apotek, kualitas pelayanan kefarmasiannya
semkin baik ( Harianto, dkk. , 2008).
b. Motivasi APA
Motivasi APA merupakan alasan yang menjadikan dorongan APA
untuk hadir dan melakukan pelayanan kefarmasian di apotek. Motivasi
merupakan kekuatan yang dapat membangkitkan dorongan seseorang.
Motivasi berupa rangsangan keinginan dan pemberian daya penggerak
yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mau bekerja sama,
bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai
kepuasaan (Hasibuan, 2007). Kurangnya motivasi karyawan dalam
bekerja dapat mempengaruhi produktivitas, sehingga mengakibatkan
karyawan bekerja tidak optimal dan tujuan perusahaan tidak tercapai.
Dengan meningkatkan produktivitas diharapkan akan tercapai tujuan dari
perusahaan serta dapat meningkatkan barang atau jasa yang dihasilkan
(Adryanto, 2012).
c. Status APA
Status APA merupakan status pekerjaan apoteker penanggungjawab
apotek dalam menjalankan praktek profesinya dalam beberapa tempat
atau posisi. Status APA dapat dikategorikan menjadi status APA
merangkap dan APA tidak merangkap. Status APA adalah beberapa
posisi dan tanggung jawab yang diduduki oleh apoteker, misalnya
sebagai pegawai negeri, apoteker di apotek lain ataupun pegawai swasta.
Jika APA melakukan pekerjaan profesinya sebagai apoteker di apotek
lain atau APA memiliki pekerjaan lain selain sebagai penanggungjawab
apotek, maka apoteker tersebut dikategorikan sebagai APA status
merangkap. Sedangkan jika APA hanya melakukan praktek
kefarmasiannya pada 1 apotek tanpa ada pekerjaan lain di luar pekerjaan
profesinya maka dikategorikan sebagai APA tidak merangkap.
Berdasarkan PP 51 tentang pekerjaan kefarmasian dinyatakan bahwa
apoteker sebagai penanggungjawab hanya dapat melaksanakan praktik di
1 (satu) Apotik, atau puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit.
Sedangkan untuk apoteker pendamping dapat melaksanakan praktik
paling banyak di 3 (tiga) Apotek, atau puskesmas atau instalasi farmasi
rumah sakit (Depkes, 2009). Kualitas pelayanan kefarmasian pada
kelompok APA yang tidak merangkap lebih baik dibandingkan dengan
kualitas pelayanan kefarmasian pada APA yang merangkap (Handayani,
2006).
d. Kepemilikan Apotek
Kepemilikan apotek merupakan status kepemilikan dari sarana dan
prasarana yang ada di apotek. APA yang memiliki sebagian atau seluruh
saham di apotek cenderung memiliki kualitas pelayanan kefarmasian
lebih baik dibandingkan dengan apotek yang seluruhnya dimiliki olek
pemilik modal (PMA) (Harianto, dkk., 2008). Struktur kepemilikan
memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kinerja perusahaan.
Semakin meningkat proporsi kepemilikan saham perusahaan maka
semakin baik kinerja perusahaan (Ardianingsih, 2010).
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
1. Pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical Care) adalah pelayanan yang
berorientasi kepada pasien. Pelayanan kefarmasian ini mengarahkan
pasien tentang kebiasaan/pola hidup untuk mendukung tercapainya
keberhasilan pengobatan, memberikan informasi tentang program
pengobatan yang dijalani oleh pasien, memonitoring hasil pengobatan
dan bekerja sama dengan profesi lain untuk mendukung tercapainya
kualitas hidup pasien yang lebih baik.
2. Tenaga kefarmasian terdiri atas apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai
Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
Sedangkan tenaga teknis kefarmasian merupakan tenaga yang
membantu Apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang
terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi, dan
tenaga menengah farmasi/asisten apoteker.

Вам также может понравиться