Вы находитесь на странице: 1из 24

Journal Reading

Estimation of Postmortem Interval Using Thanatochemistry


And Postmortem Changes
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Salah Satu Syarat Dalam Menempuh
Program Pendidikan Profesi Dokter Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal
Rumah Sakit Bhayangkara Semarang

Anggota Kelompok:
Edi Suprayitno (12095890) Nabila (12116459)
Febrianto Anggardika (12106159) Nindya Sulistyawati (12116471)
Gilang Setiawan (12106167) Rasyidafdola Gistadevhadi (12116494)
Heru Sulistyoaji (12106179) Adhara Puspa Noorita (301012065583)
Ratih Kumala Dewi (12106256) Muhammad Fahryzal (30101206679)
Dwi Rapita Sari (12116370) Nauvaldi Sasongkojati (30101206698)
Eko Deskurniawan (12116376) Ayu Yuli Asih (30101206821)
Elia Purnama Sari (12116378) Fitri Rachmadani (30101206839)
Fitri Aulia Ananda (12116397)
Pembimbing :

dr. Ratna Relawati, Sp.KF , Msi.Med.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN


MEDIKOLEGAL
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
2016

1
Perkiraan Interval Post Mortem Menggunakan

Thanatochemistry Dan Perubahan Post Mortem

HodaFouad Abdel Salam a, Eman Ahmed Shaat b, Manal Hassan Abdel Aziz a,
Abeer Abdel MoneimSheta a,*, Heba Abdel Samie Mohammed Hussein a
a Forensic Medicine and Clinical, Toxicology, Faculty of Medicine, Alexandria
University, Egypt
b Medical Biochemistry, Faculty of Medicine, Alexandria University, Egyp

Abstrak Pendahuluan: Perkiraan interval postmortem menjadi tujuan yang penting


dalam kedokteran forensik. Setelah kematian, banyak perubahan physiochemical yang
terjadi secara regular dapat diperkirakan waktu kematian. Thanatochemistry adalah
reaksi kimia dalam kematian. Hal ini dapat memberikan ukuran secara kuantitatif,
pengukuran untuk menentukan interval postmortem (PMI). Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk memperkirakan waktu sejak kematian menggunakan metode penilaian
untuk tiga perubahan postmortem; lebam mayat, kaku mayat dan kekeruhan kornea.
Juga, untuk mengevaluasi penggunaan thanatochemistry; kalium (K+) dan level
hipoksantin (Hx) pada humor vitreous (VH) dalam penentuan (PMI) dan
membandingkan akurasi thanatochemistry dan metode penilaian untuk perubahan
postmortem diperkirakan PMI.
Subyek dan metode: Penelitian dilakukan pada kasus-kasus otopsi 70 orang dewasa,
diketahui interval postmortemnya. Perkembangan kekakuan postmortem, lebam mayat
dan kekeruhan kornea dinilai dengan skor numerik. Kalium (K+) dan hipoksantin (Hx)
tingkat di humor vitreous (VH) diukur. Data dianalisis secara statistik dan analisis
regresi linier digunakan untuk mendapatkan persamaan untuk perhitungan PMI.
Hasil: Semua variabel dipelajari dalam penelitian ini secara signifikan berkorelasi
dengan PMI; yang koefisien korelasi tertinggi adalah untuk kekeruhan kornea, diikuti
dengan level potasium K+ di VH kemudian lebam mayat, kekakuan dan yang terakhir

2
hipoksantin di VH. Lima persamaan yang diperoleh dari penelitian ini dapat
memprediksi PMI tapi dengan berbagai tingkat akurasi.
Kesimpulan: Persamaan yang paling akurat yang terutama pada lima variabel yang
diteliti (tiga perubahan postmortem di samping K+ dan tingkat Hx di VH). Selain itu,
metode penilaian untuk perubahan postmortem fisik terbukti lebih bermakna pada
estimasi PMI dibandingkan thanatochemistry dalam kisaran penelitian PMI hingga 60
jam.

3
1. Pendahuluan
Perkiraan interval postmortem adalah tujuan yang penting pada kedokteran
forensik. Penentuan saat kematian penting pada kedua kasus pidana dan perdata. Dari
sudut pandangan hukum pidana, estimasi tepat PMI membantu untuk mengatur waktu
pembunuhan, memverifikasi laporan saksi, batas jumlah tersangka dan menilai
pernyataan mereka. Hal ini juga penting bagi penyelidik forensik, terutama ketika
mereka mengumpulkan bukti yang dapat mendukung atau menolak tindakan
menyatakan tersangka di crime.
Setelah kematian, banyak perubahan physiochemical seperti algormortis, rigor
mortis, hypostasis dan dekomposisi dapat menyebabkan pembusukan semua jaringan
lunak. Kekeruhan Kornea terjadi setelah kematian dengan peningkatan intensitas
sampai kornea, serta kehilangan turgor nya apakah kelopak mata tetap terbuka atau
tidak. Pentingnya perubahan ini adalah bahwa perubahan yang teratur sehingga dapat
digunakan untuk perkiraan waktu kematian. Namun, ada variasi biologis yang cukup
besar dalam kasus-kasus tertentu, oleh karena itu, waktu pasti kematian tidak dapat
dipastikan dengan berbagai metode, tetapi hanya dapat megetahui perkiraan waktu
kematian.
Thanatochemistry adalah reaksi kimia yang terjadi saat kematian. Hal ini
digunakan untuk menggambarkan perubahan yang terjadi dalam komposisi kimia dari
mayat manusia sesegera terjadi kematian. Hal ini dapat memberikan pengukuran
kuantitatif untuk menentukan interval postmortem (PMI). Pengukuran Kalium
merupakan salah satu dari kebanyakan yang diteliti pada infestigasi post mortem.
Konsentrasi intraseluler dari K+ setinggi 2-40 kali konsentrasi K+ dalam plasma.
Setelah kematian, kembali akan terjadi keseimbangan karena tidak aktifnya
mekanisme pemompaan dan dinding sel menjadi semipermeabel kemudian K+ dapat
melewati membran yang bocor dan terjadi keseimbangan tersebut. Hipoksantin adalah
produk degradasi penting dari metabolisme purin. Peningkatan hipoksantin pada
periode postmortem dan terutama berdifusi dari retina ke pusat humor vitreous.
Humor vitreous adalah sangat cocok sebagai media meneliti perubahan kimia,
karena terlindung secara anatomis, dan komposisi berubahnya lebih lambat setelah
kematian dibandingkan dengan CSF dan blood.

4
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperkirakan waktu sejak kematian
menggunakan metode skoring untuk tiga perubahan postmortem; Yaitu lebam mayat,
kaku mayat dan kekeruhan kornea. Studi saat ini juga bertujuan untuk mengevaluasi
penggunaan thanatochemistry; level kalium (K+) dan hipoksantin (Hx) pada VH dalam
penentuan Interval postmortem (PMI) dan membandingkan keakuratan
thanatochemistry dan metode skoring untuk perkiraan perubahan postmortem pada
PMI.
2. Metode
Penelitian dilakukan pada kasus-kasus otopsi 70 orang dewasa, yang diketahui
Interval postmortem, dari departemen medikolegal dari Departemen Kehakiman, di
Kom El Dekka, Alexandria, Mesir. Kasus tersebut kemudian dipilih secara acak
Setelah mengambil persetujuan komite resmi dan etika. Kriteria eksklusi pada Kasus
dengan cedera kepala, cidera mata atau penyakit kronis seperti gagal ginjal untuk
menghindari gangguan dalam anatomi normal secara keseluruhan atau level K.
- Data dikumpulkan dari laporan polisi termasuk; usia, jenis kelamin dan waktu
kematian.
- Pada pemeriksaan postmortem eksternal, pengembangan kekakuan postmortem,
hypostasis dan kekeruhan kornea dapat dinilai dengan score secara numerik (Tabel
1) .10
- Penilaian Laboratorium kalium (K+) dan level hipoksantin (Hx) pada humor vitreous
(VH) dilakukan: dengan mengambil 0,1 ml VH pada mata kanan dari setiap kasusnya
sebagai permulaan otopsi dengan menggunakan tusukan scleral dekat canthus luar,
untuk menghindari perubahan bentuk mata, menggunakan nomor jarum 20-gauge.
Kemudian kelopak ditarik, sehingga lubang dapat terbuka. Kemudian cairan itu ditarik
perlahan-lahan untuk menjaga jarum tetap di tengah untuk menghindari terlepasnya
retina. Setiap spesimen yang tidak jelas kristalnya ditolak; sampel yang telah
membeku pada suhu -70oC untuk diuji hipoksantin dan potassium.
- Kalium ditentukan dalam sampel humor vitreous menggunakan komersial kit kalium
(turbidimetri Metode Biodiagnostic, Mesir) menggunakan Humalyzer SMP,
diproduksi oleh Perusahaan Manusia, Germany.

5
- Hipoksantin ditentukan dalam sampel humor vitreous menggunakan kit komersial
Amplex Red Xanthine / Xanthine Oksidase Assay Kit (Molecular Probes, Inc,
Eugene, OR, USA) yang memanfaatkan metode kolorimetri menggunakan
Humareader Single, diproduksi oleh Human Company, Germany.13
Tabel 1. Skore tiga perbahan postmortem (kaku mayat, lembam mayat, dan
kekeruhan kornea)

3. analysis statistik
Data dianalisis menggunakan statistik (SPSS) versi 18 untuk perhitungan rata-
rata aritmatika, standar deviasi dan chi square, F-test dan uji Fisher. Spearman Rho
dan Pearson koefisien korelasi digunakan untuk menilai tingkat korelasi antara
variabel yang berbeda. Analisis regresi linier digunakan untuk memperoleh persamaan
untuk perhitungan interval postmortem.
Perkiraan keakuratan persamaan yang dihasilkan oleh perhitungan dari
adjusted R2 menggunakan rumus Stein:

Di mana n adalah besar sampel dan k adalah jumlah prediktor. Perbandingan


berpasangan menggunakan repeat ANOVA dan uji post hoc Tingkat signifikansi yang
ditetapkan sebesar p 0,05.
4. Hasil
Usia kasus otopsi berkisar 15-65 tahun dengan rata rata 35.36 13.74 tahun.
Dari 70 kasus yang termasuk dalam penelitian ini, 58 adalah laki-laki (82.9%) dan 12
adalah wanita (17,1%). Penyebab kematian adalah trauma, asfiksia atau Kematian
mendadak.
Interval postmortem yang dilaporkan dalam penelitian ini berkisar 8-60 jam
dengan rata-rata 24.99 11.54 jam. Penelitian kasus otopsi dikelompokkan menjadi
tiga kelompok berdasarkan PMI yang diatur oleh Garg et al.15 dan Ahi dan Garg.

6
Kelompok I termasuk 17,1% kasus dengan PMI mulai dari nol sampai kurang dari 12
jam. Kelompok II meliputi orang-orang dengan PMI mulai dari 12 jam sampai kurang
dari 24 jam. Kelompok III meliputi jumlah tertinggi pada kasus (60% kasus) dengan
PMI mulai dari 24 sampai 60 jam (Tabel 2).
Dalam penelitian ini, hypostasis dikategorikan menjadi empat fase sesuai
dengan tampilan dan gerakan oleh tekanan ibu jari. Hubungan yang signifikan berarti
bila antara skor hypostasis dan PMI dengan 2 = 56,39 dan p 0,0001. Pada PMI
kurang dari 12 jam (kelompok I), sebagian besar kasus berada di skor 3, sedangkan
pada kelompok II dan III dari PMI, semua kasus di nilai 4. Tak satu pun kasus diberi
skor 1 atau skor 2 (Tabel 3).
Mengenai kekakuan postmortem, itu dikategorikan menjadi lima fase sesuai
dengan perkembangan dan resolusi. Hubungan yang signifikan itu melihat antara nilai
kekakuan dan PMI dengan 2= 18.33 dan p = 0,001. Di PMI kurang dari 12 jam
(kelompok I), sebagian besar kasus (83,3%) milik skor 4 sedangkan pada kelompok II,
56,3% kasus milik skor 3 Dalam rentang PMI antara 24 dan 60 jam (kelompok III),
sebagian besar kasus yang ditemukan dalam skor 4. Skor 1 dan 2 tidak diberikan ke
salah satu kasus (Tabel 4).
Demikian pula, kekeruhan kornea postmortem dikategorikan menjadi empat
fase sesuai dengan tingkat kekeruhan. hubungan signifikan dapat dilihat antara nilai
kekeruhan kornea dan PMI 2 = 65,62 dan p 0,0001). Pada PMI kurang dari 12 jam
(kelompok I), sebagian besar kasus (83,3%)termasuuk skore 1. jika kisaran PMI dari
12 sampai dengan kurang dari 24 jam(kelompok II), 81,3% kasus berada di skor 2.
Dalam rentang PMI antara 24 dan 60 jam (kelompok III), jumlah tertinggi kasus
(38,1%) masuk dalam skor 4 dan hanya 2,4% kasus ditemukan dalam skor 1 (Tabel 5).
Selain itu, penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara hypostasis,
kekakuan dan kekeruhan kornea dengan PMI menggunakan koefisien korelasi rho
Spearman dengan p value 60,0001, 0,001 dan <0,0001 dan r = 0.57, 0.4 dan 0.81,
masing-masing (Tabel 6).
Dalam penelitian ini, thanatochemistry dilakukan menggunakan level K+ dan
Hx di VH. Level dari konsentrasi K+ di VH berkisar 5,3-18,9 mmol / l dengan nilai
rata-rata 10.59 2.97 mmol / l. Rerata level K+ di VH dalam kasus laki-laki adalah

7
10.35 2.80 mmol / l, sedangkan dalam kasus perempuan adalah 11.73 3.62 mmol /
l. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara level pria dan wanita (t-test = 1.47 dan
p = 0.15). Selain itu, dengan menggunakan korelasi Pearson, korelasi tidak signifikan
yang diamati antara level K+ di VH dan usia dari kasus (r = 0,08 dan p = 0.49).
Mengenai PMI, tingkat tertinggi K+ di VH ditemukan di PMI berkisar antara 24
hingga 60 jam (kelompok III) dengan nilai rata-rata dari 11.63 3.04 mmol / l
sedangkan yang paling sedikit adalah di PMI kurang dari 12 jam (kelompok I) dengan
rata-rata 8,4 1,65 mmol / l. hubungan signifikan dapat dilihat antara level K+ di VH
dan PMI dengan F-test = 6.01 dan p = 0,004 (Tabel 7).
Korelasi yang sangat signifikan dapat dilihat antara konsentrasi K+ dalam
humor vitreous dan interval postmortem (r = 0.61 dan p 0,0001). Nilai konsentrasi
K+ dari semua 70 kasus diplotkan dibandingkan dengan PMI pada Gambar. 1 Ia
mengungkapkan linear hubungan. Level K+ dalam VH meningkat secara regular
seiring dengan peningkatan PMI dengan kemiringan = 0.16 mmol / l / jam, dengan
intercept = 6.64 mmol / l dan 95% interval kepercayaan 0,11-0,21 jam untuk
kemiringan dan 5,27-8 jam untuk intercept.
Pada hypoxanthin, level berkisar antara 60 sampai 680 lmol / l dengan rata-rata
269,16 140 lmol / l. Rata- rata Level Hx dalam kasus laki-laki adalah 258,12
141,22 lmol / l, sedangkan pada wanita kasus itu 322.50 125,94 lmol / l dengan tidak
adaperbedaan signifikan di antara mereka, di mana t-test = 1.46 dan p = 0.15. Pada
saat yang sama, tidak ada korelasi yang signifikan tercatat antara level Hx di VH dan
usia kasus di mana r = 0,02 dan p = 0.89. Level tertinggi dari Hx di VH ditemukan
pada kasus dengan PMI berkisar 24-60 jam (kelompok III) dengan nilai rata-rata
315,76 134 lmol / l sedangkan yang paling sedikit berada di kisaran PMI kurang dari
12 jam (kelompok I) dengan rata-rata 151,92 34,89 lmol / l. A hubungan yang nyata
antara tingkat Hx di VH dan PMI (F-test = 7.03 dan p = 0,002) (Tabel 8). Sebuah
korelasi yang signifikan tercatat antara konsentrasi Hx di VH dan PMI (r = 0.37, p =
0,001). Gambar. 2 menunjukkan kenaikan yang cukup linier di tingkat Hx dengan
meningkatnya PMI dengan kemiringan = 4.55 lmol / l / jam, intercept = 155,05 lmol /
l dan 95% dari intercept.

8
Persamaan regresi yang berbeda untuk prediksi PMI yang diperoleh dengan
menggunakan salah satu dari sistem penilaian tiga perubahan postmortem; hypostasis,
kekakuan dan kekeruhan kornea, level K+ dan Hx dalam humor vitreous dengan
estimasi kepercayaan (R2), dimana semakin besar nilai R2, semakin tinggi akurasi pada
persamaan. Semua persamaan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah signifikan
dan dapat memprediksi PMI tetapi dengan R2 yang berbeda. Lima persamaan
menunjukkan variabel kekuatan prediksi yang terbaik untuk Persamaan 5 dan
setidaknya dalam Persamaan 2 (Tabel 9).
Penggunaan formula Stein, persamaan R2 dihitung, dengan mengukur kekuatan
prediksi dari persamaan sampel dikasus lain jika berasal dari populasi yang sama. Hal
itu digunakan sebagai validasi hasil persamaan, menggunakan data dari sampel
penelitian. Semakin tinggi nilai persamaan R2, semakin akurat persamaannya. Tabel
10 menunjukkan bahwa persamaan R2 tertinggi adalah untuk persamaan 5 yang 0,75
dan yang paling sedikit adalah untuk Persamaan 2 yang adalah 0.17. Perbedaan daya
prediksi antara R2 dan adjusted R2 dari persamaan disebut persen penyusutan yang
ukuran untuk cross validasi dari persamaan. Setidaknya penyusutan persen pda
persamaan dengan cros validasi yang terbaik. Dalam penelitian ini, penyusutan
persentase terjadi pada Persamaan 5 yang 3% (Tabel 10).
Nilai sisa adalah perbedaan antara PMI sebenarnya dari kasus otopsi yang
diteliti dan hasil perkirakan PMInya dari aplikasi yang didapatkan dari lima
persamaan. Setidaknya dari deviasi absolut rata-rata untuk residual antara aktual dan
nilai-nilai estimasi PMI ditemukan pada Persamaan 5 diikuti oleh Persamaan 4 (Tabel
11) dan (Gbr. 3). Perbandingan berpasangan antara deviasi absolut rata-rata untuk
residual antara aktual dan nilai estimasi PMI diperoleh dari masing-masing lima
persamaan menggunakan repeted ANOVA dan uji post hoc, menunjukkan bahwa
deviasi absolud untuk residual ditunjukkan dari Persamaan 5 dan 4 tidak berbeda
nyata dari masing-masing lainnya, meskipun mereka secara signifikan berbeda dari
Persamaan 1-3. Hal yang serupa, tidak ada perbedaan signifikan yang diamati antara
nilai deviasi absolut rata-rata untuk residual
diperoleh dari Persamaan 1-3 (Tabel 12).

9
Tabel 2. Distribusi kasus otopsi dengan rentang interval postmortem (PMI) yang
berbeda

Tabel 3. Hubungan perbedaan antara skor hipostasis (lebam mayat) dan PMI
(Postmortem Interval) (n=70)

Signifikan bila p0.05

Tabel 4. Hubungan perbedaan antara skor rigiditas (kaku mayat) dan PMI
(Postmortem Interval) (n=70)

Signifikan bila p0.05

Tabel 5. Hubungan perbedaan antara kekeruhan kornea dan PMI (Postmortem


Interval) (n=70)

10
Signifikan bila p0.05

Tabel 6. Korelasi antara PMI (Postmortem Interval) dan skor rigitas (kaku
mayat), hipostasis (lebam mayat) dan kekeruhan kornea pada postmortem

Signifikan bila p0.05

Perubahan postmortem; tingkatan hipostasis (lebam mayat), rigiditas (kaku mayat) dan
kekeruhan kornea, K + (Kalium) dan Hx (Hipoxantin) dalam humor vitreous dengan
perkiraan reliabilitas (R2), dimana semakin besar nilai R2, semakin tinggi akurasi dari
persamaan. Semua persamaan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah signifikan
dan dapat memprediksi PMI (Postmortem Interval) tapi dengan nilai R2 yang berbeda.
Lima persamaan menunjukkan kekuatan nilai prediktor variabel dengan yang terbaik
untuk persamaan nomor 5 dan paling sedikit untuk persamaan nomor 2 (Tabel 9).
Menggunakan rumus Stein, disesuaikan degan perhitumgan R2, yaitu untuk
mengukur kekuatan prediktor dari persamaan dalam sampel lain jika berasal dari
populasi yang sama. Itu digunakan sebagai sarana untuk menghasilkan persamaan

11
yang valid, menggunakan data dari sampel penelitian. Semakin tinggi nilai R2,
persamaan semaki akurat.
Tabel 10 menunjukkan bahwa nilai R2 tertinggi untuk persamaan nomor 5 yaitu
0,75 dan yang paling sedikit adalah untuk persamaan nomor 2 yaitu 0.17.

Tabel 7. Hubungan antara konsentrasi K+ (Kalium) dalam humor vitreus dan


PMI (Postmortem Interval) (n=70)

Signifikan bila p0.05

Perbedaan kekuatan daya prediksi antara R2 dan nilai R2 yang disesuaikan dari
penurunan nilai prosentase untuk menilai persamaan yang valid. Penurunan nilai
prosentase yang paling baik dalam penelitian ini pada persamaan nomor 5 yaitu
penyusutan sebanyak 3% (Tabel 10).
Nilai residu adalah perbedaan antara PMI (Postmortem Interval) yang
sebenarnya dari kasus otopsi yang dipelajari dan PMI (Postmortem Interval) yang
diperkirakan dari penerapan 5 persamaan yang diperoleh dalam penelitian ini. Nilai
yang paling tidak berarti untuk penyimpangan mutlak nilai residual antara nilai nyata
dan nilai-nilai estimasi PMI (Postmortem Interval) adalah untuk persamaan nomor 5
diikuti oleh persamaan nomor 4 (Tabel 11) dan (Gambar. 3).
Perbandingan berpasangan antara nilai rata-rata deviasi absolut untuk residual
antara nilai nyata dan nilai-nilai estimasi PMI (Postmortem Interval) diperoleh dari
masing-masing lima persamaan menggunakan uji ANOVA berulang dan post hoc tes,
menunjukkan bahwa penyimpangan absolut rata-rata untuk nilai residual yang
diperoleh dari persamaan nomor 5 dan nomor 4 tidak berbeda nyata satu sama lain,
meskipun mereka secara signifikan berbeda dari Persamaan nomor 1-3. Pada saat yang
12
sama, tidak ada perbedaan signifikan yang diamati antara nilai rata-rata deviasi absolut
untuk nilai residual yang diperoleh dari persamaan nomor1-3 (Tabel 12).

Tabel 8. Hubunga antara konsentrasi Hx (Hipoxantin) dalam humor vitreus dan


PMI (Postmortem Interval) (n=70)

Signifikan bila p0.05

Gambar 1. Sebaran bidang untuk hubungan antara konsentrasi K+ (Kalium)


dalam humor vitreus dan PMI (Postmortem Interval) dengan interval
kepercayaan 95% (n=70)

13
Gambar 2. Sebaran bidang untuk hubungan antara konsentrasi Hx(hipoxantin)
dalam humor vitreus dan PMI (Postmortem Interval) dengan interval
kepercayaan 95% (n=70)

Tabel 9. Persamaan regresi yang didapat untuk nilai prediktor PMI (Postmortem
Interval)

Signifikan bila p0.05

Tabel 10. Persamaan regresi yang didapat untuk nilai prediktor PMI
(Postmortem Interval) dengan nilai R2 yang disesuaikan dan presentase

14
Signifikan bila p0.05

5. Diskusi
Prinsip estimasi PMI (Postmortem Interval) didasarkan pada ekstrapolasi dan
perhitungan kembali dari keadaan tertentu perubahan postmortem untuk saat
kematian. Ekstrapolasi waktu sejak kematian selalu menerapkan interval atau
perkiraan waktu yang tidak tepat.17 Sementara banyak penelitian tunggal tentang
perubahan postmortem dilakukan, pemeriksaan secara simultan beberapa perubahan
postmortem untuk estimasi waktu kematian jarang dilakukan.18,19
Usia kasus otopsi dalam penelitian ini berkisar 15-65 tahun. Hal ini mengacu pada
tingkat kalium pada vitreous yang belum ditetapkan sebagai metode yang dapat
diandalkan untuk memperkirakan selang waktu postmortem pada anak-anak.20 Ini
dapat dijelaskan oleh diameter secara global yang mewakili jarak difusi dari retina ke
humor vitreous pada periode postmortem lebih kecil pada anak-anak dibandingkan
pada orang dewasa. Akibatnya, penilaian postmortem lebih tinggi pada anak-anak dan
rumus yang digunakan dalam prediksi PMI (Postmortem Interval) untuk orang dewasa
mungkin tidak cocok.21,22
Dalam penelitian ini, sampel humor vitreous ditarik dari mata kanan untuk
menghindari perbedaan yang signifikan dalam konsentrasi K+ antara kedua mata dari
subjek yang sama yang telah dibuktikan oleh Pounder et al.22
Cedera pada mata, penyakit mata, trauma craniocerebral dikeluarkan dalam
penelitian ini untuk menjaga integritas dari keseluruhan mata sebagai nilai vitreous
yang valid.17 Selain itu, penyakit kronis seperti gagal ginjal juga dikeluarkan dalam
penelitian ini. Hal ini dapat dikaitkan dengan fakta bahwa proses postmortem autolitik
dan metabolik, seperti peningkatan Kalium pada postmortem dan tingkat hipoxantin di
humor vitreous, dipengaruhi oleh penyakit kronis.23

15
Kasus otopsi dikelompokkan menjadi tiga kelompok sesuai dengan PMI
(Postmortem Interval) sesuai dengan Garg et al.15 dan Ahi dan Garg.16
Hipostasis (lebam mayat) postmortem adalah salah satu perubahan postmortem
paling jelas. Dalam penelitian ini, hipostasis (lebam mayat) termasuk dalam skor yang
dihitung. Korelasi yang signifikan antara skor hipostasis (lebam mayat) dan PMI
(Postmortem Interval). Prahlow24 dan Houck dan Siegel25 menyatakan bahwa
hipostasis (lebam mayat) postmortem dapat dilihat paling dini 20 menit setelah
kematian, memuncak pada sekitar 3-4 jam. Hal ini menjelaskan tidak adanya kasus,
tidak ada hipostasis (lebam mayat) yang dapat dihapus oleh penekanan ibu jari.

16
Gambar 3. Nilai rata-rata dan jarak konfiden 95% dari deviasi absolut untuk
residual dari lima persamaan. 95% CI: interval konfiden 95%. Abs K : Residu
absolut yang diperoleh dari persamaan 1. Abs H: Residu absolut sisa yang
diperoleh dari persamaan 2. Abs KH: Residu absolut yang diperoleh dari
persamaan 3. Abs CRH: Residu absolut sisa yang diperoleh dari persamaan 4.
Abs CRHKH: Residu absolut sisa yang diperoleh dari persamaan 5.

Pada saat yang bersamaan hal itu menjelaskan sebagian besar kasus hampir tidak
menunjukan lebam mayat pada penekanan ibu jari (skor 3) ditemukan sebelum 12 jam
postmortem dalam penelitian ini sementara semua kasus diatas 12 jam postmortem,
dari semua kasus diatas poin ini memiliki lebam mayat yang tidak dapat dipindahkan
dengan penekanan jempol (skor 4).
Dalam penelitian ini, korelasi yang signifikan tercatat antara PMI dan sejumlah
kaku mayat. Namun, distribusi tidak teratur dari kasus yang diselidiki pada sejumlah
kaku mayat dalam kaitannya dengan PMI tercatat dalam karya ini. DI PMI kurang dari

17
12 jam, banyak kasus dengan skor 4 berada dikisaran PMI antara 12 dan 24 jam,
sebagian besar kasus berada di skor 4. Ini dapat dijelaskan oleh beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi urutan terjadinya serta waktu kaku mayat.
Kekeruhan kornea merupakan salah satu perubahan pemeriksaan postmortem
yang terpenting. Perubahan kekeruhan kornea diyakini menjadi penyebab kedua dalam
perubahan hidrasi. Kadar air yang meningkat dalam stroma kornea merupakan
penyebab utama yang bertanggung jawab atas pembengkakan dan kekeruhan setelah
kematian.

Tabel 12.

Pada penelitian ini kekeruhan kornea mempunyai 4 skor. Sebuah korelasi yang
signifikan tercatat antara skor pada kekeruhan kornea dan PMI. Hasil ini juga disetujui
oleh Honjyo et al.
Pada perbandingan dari ketiga perubahan fisik post-mortem , kekeruhan
kornea lebih kuat berkorelasi dengan PMI, diikuti oleh hipostatis kemudian rigor
mortis. Ini menurut pendapat studi Balci et al yang dimana mereka menyimpulkan
bahwa kekeruhan kornea mempunyai hubungan yang signifikan dengan waktu post-

18
mortem dan dapat digunakan dalam memperkirakan interval post-mortem khususnya
ketika digunakan dengan penemuan post-mortem yang lain.
Pada penelitian ini, nilai konsentrasi K+ di humor vitreus diperoleh pada
zaman sekarang sebanding dengan yang diperoleh Yogiraj et al. tidak ada statistik
yang menyebutkan relasi yang signifikan yang ditemukan antara konsentrasi K+ pada
humor vitreus dan jenis kelamin. Hasilnya serupa dengan )0 et al dan Jashnani et al.
selain itu, tidak ada korelasi yang signifikan yang tercatat antara konsentrasi K+ pada
humor vitreus dengan umur pada kasus yang dikemukakan Garg et al dan Ahi dan
Garg.
Penelitian mutakhir menunjukkan sebuah hubungan yang signifikan antara
level K+ pada humor vitreus dan PMI. Level paling sedikit ditemukan pada PMI
kurang dari 12 jam dan level ini akan bertambah secara berangsur-angsur pada PMI
antara 12 dan 24 jam, untuk mencari lever tertinggi pada PMI didapatkan antara 24
dan 60 jam.
Hasil ini dapat dijelaskan pada keterangan penelitian Jashnani et al yang
menyatakan bahwa setelah meninggal ada kebocoran potassium secara terus menerus
karena keterbatasan mekanik pada membrane. Peningkatan level potassium vitreus
berlanjut dengan peningkatan periode setelah meninggal sampai keseimbangan dengan
plasma sets.
Sebuah korelasi yang bersignifikan tinggi dengan hubungan linier tercatat
antara konsentrasi K+ pada humor vitreus dan PMI. Level K+ pada humor vitreus
meningkat secara teratur bersamaan dengan peningkatan PMI.hasilnya sesuai dengan
penelitian lain, potassium vitreus pada periode post-mortem.
Landaian pada kenaikan level K+ di humor vitreus pada penelitian yang
berbeda adalah range dari 0,14 mmol/l sampai 0,55 mmol/l. Sama halnya dengan
laporan zero our intercepts di literature adalah variable dengan range 3,4 mmol/l
sampai 8 mmol/l.
Variasi landaian dari kenaikan level K+ pada humor vitreus antara penelitian
yang berbeda dapat menunjukkan perbedaan pada range PMI yang diobservasi pada
tiap penelitian, prosedur penyimpanan humor vitreus dan suhu, jumlah kasus otopsi
dan teknik analitik. Selanjutnya suhu lingkungan berperan sangat penting dalam

19
menjelaskan landaian pada kenaikan level K+ di humor vitreus dan zero level
intercept; landaian akan meningkat dengan peningkatan suhu lingkungan sekitar. Ini
ditunjukkan oleh Rognum et al.
Penelitian ini terungkap tidak ada hubungan yang signifikan antara level
hiposantin pada humor vitreus dan umur kasus. Selain itu, tidak ada hubungan yang
signifikan yang ditemukan antara level hiposantin di humor vitreus dengan jenis
kelamin yang bersamaan dengan penelitian Rognum et al.
Hubungan yang signifikan ditemukan antara level hiposantin pada humor
vitreus dan PMI. Level hiposantin mulai meningkat pada grup PMI kurang dari 12
jam, berlanjut meningkat pada grup antara 12 dan 24 jam, untuk mencari level
tertinggi didapatkan antara 24 dan 60 jam. Hasil ini juga dikemukakan oleh Rognum
et al dan Madea et al.
Peningkatan hiposantin akan berkelanjutan peningkatan konsentrasi AMP,
penurunan transformasi hiposantin pada asam urat dan penghambat oksidase santin.
Terdapat suatu korelasi yang signifikan antara konsentrasi Hx dalam VH dan
PMI. Peningkatan Hx sebanding dengan peningkatan PMI.Hal ini sesuai dengan
penelitian Munoz Barus et al., Madea and Passos et al.
Kelandaian dari peningkatan level Hx dalam VH dalam penelitian ini adalah
4,55 mol/l/h. Hal ini menandakan bahwa level Hx dalam VH meningkat 4,55 mol/l
dalam setiap jam peningkatan PMI. Terlebih lagi, pemintasan 0 jam dari level Hx
dalam VH pada penelitian ini adalh 155,05 mol/l.
Kelandaian ini sebanding dengan kelandaian yang dilaporkan pada penelitian
yang dilakukan oleh James et al. Pada waktu yang sama, lebih curam daripada yang
diperoleh oleh Madea et al. dan Munoz Barus et al. Pada sisi lain, lebih datar pada
penelitian Passos et al. Hal ini dapat dijelaskan dari perbedaan suhu lingkungan yang
dibuktikan oleh Rognum et al. dan Madea untuk mempengaruhi peningkatan
kelandaian dari level Hx dalam VH. Selain itu, perbedaan teknik pengukuran juga
mempengaruhi perbedaan yang terjadi.
Penelitian ini menunjukan bahwa konsentrasi K+ dalam VH sangat
behubungan kuat dengan PMI daripada level Hx. Oleh karena itu, perkiraan waktu
kematian lebih tepat menggunakan Potassium Vitreous daripada vitreous Hx. Temuan

20
serupa dilaporkan oleh Madea et al., Munoz Barus et al., dan Madea. Hal ini dapat
dikaitkan dengan fakta bahwa peningkatan pada post-mortem yang mana disebabkan
difusi berhubungan lebih kuat dengan waktu kematian daripada parameter yang
meningkat karena disebabkan terjadinya degradasi post-mortem dan difusi. Madea
menyatakan bahwa pada post-mortem terjadi peningkatan vitreous K+ yang menyebar
dari retina ke pusat bola mata, sementara peningkatan level Hx merupakan hasil
degradasi dari metabolisme adenine nucleotid. Hx dibentuk dari beberapa reaksi
enzimatik kemudian menyebar ke sekitar dengan konsentrasi yang tinggi.
Semua variable penelitian dalam penelitian ini secara signifikan berhubungan
dengan PMI, tetapi nilai koefisien korelasi berbeda di antara variable yang berbeda.
Koefisien korelasi tertinggi pada kekeruhan kornea diikuti oleh level K + dalam VH
dan hypostasis, kekakuan, terakhir pada level Hx dalam VH.
Hubungan-hubungan yang signifikan ini terlihat antara perbedaan variable
dalam penelitian ini ; hypostasis, kekakuan, kekeruhan kornea, K+ dan level Hx dalam
VH dan PMI dengan syarat ada dasar teoritis yang mana PMI dapat diperkirakan.
Semua persamaan diperoleh pada penelitian ini PMI dapat diprediksikan tetapi dengan
perbedaan level dari ketelitian.
Ketelitian dari hasil yang sama pada penelitian sekarang dites dengan metode
yang berbeda; perhitungan dari R2, adjusted R2, persentase dari penyusutan yang mana
berbeda antara adjusted R2 dan R2 dan nilai rata rata dari deviasi absolut pada
residual, yang mewakili perbedaan antara actual dan perkiraan PMI.
Nilai ketelitian tertinggi diperoleh dari persamaan 5 ; di mana kombinasi dari
metode pemeriksaan fisik dan thanatochemistry yang digunakan bersama pada analisis
regresi yang sama, berisikan semua 5 variabel pada penelitian sekarang untuk
memperkirakan PMI. Persamaan ini mempunyai level tertinggi dari R2 dan adjusted R2
. Pada waktu yang sama, paling sedikit mempunyai penyusutan persentase dan paling
sedikit rata rata deviasi absolut selama residual. Hal ini didukung oleh Kaliszan et
al., Henssge et al. dan Ahi dan Garg yang mana menyatakan penentuan dari waktu
kematian harus didasarkan pada kombinasi aplikasi metode berbeda dalam hal untuk
meningkatkan ketelitian.

21
Dalam studi saat ini, Persamaan 4 diikuti Persamaan 5 di tingkat akurasinya, di
mana analisis regresi berganda dipekerjakan untuk memperkirakan PMI
menggunakan tiga tanda fisik perubahan pada postmortem (menggunakan semua
metode yang dijelaskan sebelumnya untuk pengujian akurasi persamaan yang
dihasilkan). Hal ini dapat dijelaskan dengan jumlah variabel yang digunakan dalam
regresi yang sama untuk memperkirakan selang waktu postmortem. Hasil ini
bertepatan dengan Madea yang menyimpulkan bahwa kenaikan jumlah variabel dalam
analisis regresi yang sama (multiple analisis regresi) dapat meningkatkan ketepatan
estimasi waktu kematian. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan berarti antara
nilai penyimpangan mutlak untuk residual diperoleh dari Persamaan 5 dan 4.
Pada saat yang sama, perbedaan yang signifikan tercatat antara nilai
penyimpangan mutlak untuk residual diperoleh dari Persamaan 4 dan 5 dan tiga
persamaan lainnya berhubungan erat dengan variabel thanatochemical (tingkat K + di
VH sendiri dalam Persamaan 1, tingkat Hx di VH sendiri di Persamaan 2 dan tingkat
kedua K + dan Hx dalam Persamaan 3), tanpa perbedaan yang signifikan antara tiga
persamaan tersebut. ini menunjukkan akurasi yang lebih baik dari metode fisik yang
digunakan untuk estimasi PMI dari thanatochemistry dalam postmortem yang
intervalnya hingga 60 jam penyelidikan di pekerjaan saat ini. Lange et al. Dikaji
kembali data dari enam penelitian yang berbeda pada vitreous kalium dan mereka
menyatakan bahwa penggunaan kimia di postmortem dalam penentuan PMI sulit
karena efek dari faktor-faktor lain dan umumnya kecil jumlah kasus yang tersedia bagi
penyidik tunggal.
Honjyo et al. dikonfirmasi kegunaan menggunakan perubahan fisik
postmortem dalam estimasi PMI meskipun kebanyakan dari mereka subjektif dan
memiliki variasi yang luas. Di sisi lain , sistem untuk menilai perubahan fisik pada
postmortem denganmetode yang sederhana dan akurat bagi estimasi PMI tidak
memerlukan alat khusus untuk penilaian mereka.
6. Kesimpulan
Studi ini menunjukkan bahwa persamaan yang paling akurat adalah persamaan
menyangkut semua variabel yang diteliti (tiga postmortem perubahan di samping K +
dan tingkat Hx di VH). Selain itu, metode penilaian untuk Perubahan fisik postmortem

22
ini telah terbukti lebih berharga dalam estimasi PMI dari thanatochemistry dalam
kisaran yang diselidiki dari PMI adalah sampai dengan 60 jam.

23
DISKUSI
1. Apa saja faktor yang mempengaruhi cepat lambat dari kekeruhan kornea (Fikry)
Keadaan kelopak mata
Keadaan menutup tidak ada kontak dengan udara luar dan lebih
lambat memperlambat terjadi kekeruhan kornea
Keadaan membuka ada kontak dengan udara luar lebih
kering mempercepat terjadinya kekeruhan kornea
Lama waktu kematian
Proses transpot aktif pertukaran kalium dan natriun meninggal
energ tidak ada semua bisa masuk hidrasi
2. Bagaimana peran hipoxantin sebagai thanatochemistry dalam proses decomposisi
(Elfin)
Ada 2 proses autolisis dan mikroorganisme
Autolisis: lisisnya sel tanpa campur tangan dari lingkungan dan
mikroorganisme.
Hipoxantin itu dari metab purin nukleus lisis metab tidak terjadi
muncul hipoxantin
Sel-sel yg lisis pertama adalah sel yang mempunyai enzim cotoh pada
pangkreas
Hipoxantin pada mata inti sel autolisis Dekomsisi mempengarui dari
munculnya hipoxantin hipoxantin berdifusi ke dari retina ke bagian
mata depan
3. Perbedaan metode turbidimetri dengan kolorimetri ? (Reta)
Metode pengambilan kalium dan hipoxantin
Turbimetri: analis kuantitatif pada kekeruhan humour vitreus dinilai
dari hantaran cahaya dan banyaknya jumlah partikel
Kolorimetri : dilihat adanya perbedaan warna atau tidak dengan
menggunakan sumber cahaya menilai dari kekeruhan warna

24

Вам также может понравиться