Вы находитесь на странице: 1из 6

PROBLEMA INVESTASI MINYAK DAN GAS DI INDONESIA

Mata Kuliah : Hukum Perdagangan Internasional


Dosen Pengampu : Drs. Jumadi M. Anwar, M.Si.

Disusun Oleh:

Noviarin Cerahwati (2012-051-0086)


Bimo Septiandaru (2013-051-0434)
Galih Pradhana (2013-051-0446)

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
A. Latar Belakang Masalah

Industri minyak dan gas Indonesia menghadapi tantangan berat. Produksi

minyak terus menurun, cadangan terbukti kian merosot hingga di bawah 4

miliar barel dan kondisi sumur yang semakin menua. Ironisnya, di tengah

situasi itu, kontraktor migas justru enggan berinvestasi untuk eksplorasi.

Padahal, tanpa eksplorasi, tidak akan pernah ditemukan cadangan migas baru.

Sejatinya, menurut Presiden Asosiasi Perusahaan Migas Indonesia atau

Indonesia Petroleum Association (IPA), Craig Stewart, potensi migas

Indonesia masih sangat besar. Sayangnya, Indonesia menghadapi berbagai

masalah yang menghambat minat perusahaan migas berinvestasi di Indonesia.

Masalah lainnya berkaitan dengan hal ini adalah waktu komersialisasi

semakin panjang. Di era booming minyak di Indonesia, waktu yang

dibutuhkan dari masa penemuan migas ke komersialisasi 2 sampai 5 tahun.

Saat ini waktunya mencapai 10 sampai 15 tahun.

Semakin panjangnya masa pengembangan ini berdampak pada beberapa

blok migas besar di Indonesia saat ini yang sedang dikembangkan atau

menunggu untuk dikembangkan. Beberapa contoh temuan besar itu seperti

proyek Chevron Indonesia Deepwater Development (IDD) yang ditemukan

pada awal 2000 saat ini pengembangannya menunggu proses perpanjangan

PSC. Begitu juga Lapangan Abadi dengan kontraktor Inpex yang ditemukan

pada 2000. Sedangkan lapangan Banyu Urip dengan kontraktor Exxon yang

ditemukan 2001, baru berproduksi tahun ini.

Dengan rendahnya harga minyak dan biaya eksplorasi yang besar di

wilayah Indonesia Timur, kontrak dengan durasi 30 tahun tidaklah cukup bagi

perusahaan.

1
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan suatu


pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah Indonesia masih tetap menarik bagi investor di sektor minyak


dan gas?
2. Apa sajakah faktor-faktor penyebab lelang blok migas mengalami
penurunan minat?

C. Hipotesa

1. Potensi Indonesia masih besar. Semakin besar wilayah sebuah negara

maka semakin besar potensi sumber dayanya.

2. Terdapat beberapa faktor yang berkaitan dengan skema PSC yang terlalu

memberatkan investor, dan beberapa faktor lainnya.

D. Pembahasan

1. Negara seperti Amerika, Cina, Kanada dan Rusia memiliki daerah luas dan

sumber daya alam besar. Indonesia juga demikian. Dibandingkan dengan

negara Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Thailand, potensi Indonesia

jauh lebih bagus. Apalagi jika kita melihat sejarah kesuksesan industri

migas, Indonesia adalah penghasil migas terbesar di Asia Tenggara.

Indonesia, terutama di wilayah Timur, sampai saat masih sedikit

dieksplorasi. Padahal secara geologis, potensinya sangat besar.

2. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Pertama, eksplorasi

di wilayah Timur Indonesia, kebanyakan di laut dalam. Biayanya sangat

mahal. Skema production sharing contract (PSC) yang ada saat ini tidak

menarik bagi kontraktor. Ketentuan PSC Indonesia saat ini terlalu keras,

dan merupakan salah satu yang yang terberat di dunia, jika dibandingkan

2
dengan prospek wilayah kerja yang ada. Apalagi ini diperparah dengan

turunnya harga minyak dunia Penurunan harga minyak juga berpengaruh

terhadap minat eksplorasi. Ini karena dengan pendapatan menurun dan

uang yang tersedia untuk investasi juga menurun, eksplorasi menjadi salah

satu item budget pertama yang dihapus. Dalam situasi ini, perusahaan

minyak akan lebih fokus melakukan investasi pengembangan blok migas

yang sedang mereka kerjakan untuk meningkatkan pendapatan jangka

pendek.

Faktor lainnya yang sangat mempengaruhi minat investasi migas di

Indonesia adalah masalah kepastian hukum. Misalnya, pengenaan Pajak

Bumi dan Bangunan (PBB) pada masa eksplorasi. Sejak terbit Peraturan

Pemerintah (PP) Nomor 79/2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat

Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan Migas, wilayah eksplorasi

mulai dikenai pajak pada kurun waktu 2012-2013. Ini untuk pertama

kalinya dialami oleh industri migas. Padahal kerugian pada saat eksplorasi

menjadi risiko perusahaan migas.

Tentu saja kebijakan ini mengejutkan bagi pelaku industri migas.

Jumlahnya luar biasa besar. Total yang harus dibayarkan adalah US$ 220

juta (Rp 2,9 triliun) untuk 17 kontraktor migas. Masalah PBB ini

menimbulkan ketidakpastian hukum dalam industri migas.Pemerintah

memang menyadari pengenaan pajak eksplorasi tidak tepat dan tak lagi

diberlakukan. Tapi pembatalan itu tidak berlaku surut sehingga pajak tetap

dikenakan bagi perusahaan-perusahaan tersebut. Kasusnya sampai saat ini

masih berjalan di pengadilan pajak. Kontraktor migas yang menghadapi

3
masalah ini diharuskan tetap membayar 50 persen dari pajak yang

ditagihkan supaya bisa mengajukan keberatan di pengadilan.

Karena kasus ini, banyak perusahaan kemudian yang membatalkan

penandatangan PSC. Lelang blok migas pada 2013 gagal terlaksana karena

para peserta mundur di proses penawaran. Munculnya peraturan

pengenaan pajak eksplorasi ini menimbulkan ketidakpastian di industri

migas, sehingga sampai saat ini minat untuk melakukan eksplorasi di

Indonesia belum kembali pulih.

Perlu juga dicatat, pengenaan pajak ini akan berdampak pada pengurangan

bagi hasil keuntungan kontraktor migas. Ini tentu saja membuat PSC

menjadi semakin tidak menarik. Padahal situasi situasi saat ini

mengharuskan PSC bisa lebih mendatangkan minat kontraktor untuk

melakukan eksplorasi menemukan cadangan migas baru. Pada 2014,

memang ada beberapa PSC baru yang ditandatangani. Tapi, dengan segala

permasalahan yang ada, komitmen program kerja yang diberikan

kontraktur pun berkurang.

E. Kesimpulan dan Saran

Ada banyak sekali persoalan, mulai birokrasi perizinan yang rumit,

otonomi daerah, pengambilan keputusan, pasar gas dan beragam masalah

lainnya. Salah satu contohnya, di era otonomi ini, pemerintah daerah bisa

mengambil kebijakan yang berdampak pada industri migas dan pemerintah

pusat kesulitan mengontrolnya. Ini semua diperparah dengan munculnya

berbagai peraturan yang menghambat operasi perusahaan migas, seperti

4
peraturan PBB saat eksplorasi, susahnya membebaskan lahan karena

lemahnya penegakan hukum.

Konsep PSC sebenarnya sudah berjalan baik di Indonesia sejak diterapkan

pada 1960. Konsep PSC ini sebenarnya bisa menyelesaikan permasalahan

krusial yang dihadapi industri migas ketika berhadapan dengan stakeholders di

Indonesia yang begitu beragam. Alasannya, dalam konsep PSC, perusahaan

migas adalah kontraktor bagi pemerintah.

Maka, yang perlu dilakukan adalah revitalisasi eksplorasi. Rumus di bisnis

hulu migas sangat sederhana, bila produksi berkurang maka harus ditemukan

sumber baru. Jika tidak ada temuan baru, maka pemerintah harus mengimpor

migas, dan itu akan banyak mendatangkan aspek negatif. Karena itu eksplorasi

menjadi kunci masa depan industri migas. Industri migas adalah bisnis dengan

resiko besar. Eksplorasi laut dalam bisa menghabiskan US$ 200 juta (Rp 2,6

triliun) dan gagal. Pemerintah harus mempertimbangkan betul apakah

Pertamina harus mengambil resiko menghabiskan uang begitu sebesar itu.

Akan lebih baik, apabila Pertamina bekerjasama dengan perusahaan lain. Saat

ini ada kebutuhan besar di bidang pendidikan, kesehatan dan infratruktur, akan

lebih baik tidak menghabiskan uang pemerintah sangat besar untuk bisnis

dengan resiko besar seperti di industri migas.

Вам также может понравиться