Вы находитесь на странице: 1из 10

MAKALAH

USHUL FIQH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur
dalam Mata Kuliah Ushul Fiqh

Oleh Kelompok 6

Mhd.Malgustiar bin Imran :1113.017


Minda Mardiana :1113.018

Dosen Pembimbing:

PROGRAM STUDI AHWALU SHAKSIYYAH JURUSAN SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SJECH M. DJAMIL DJAMBEK
BUKITTINGGI
1436 H/2014 M
BAB II

PEMBAHASAN

LAFAZ AL-AMM

A. Pengertian lafaz Al-Amm

Secara etimologi amm berarti mencakup dan meliputi. Sedangkan secara


terminologi ( istilah ) ushul fiqh, yaitu :

Lafaz yang meliputi semua pengertian yang patut baginya pada satu kata.

Menurut Abdul wahab khallaf, Am yaitu :

Lafaz yang menunjukkan kepada makna lughawi yang mencakup kepada semua
satuan pengertian, yang maknanya itu sesuai tanpa pembatasan kata tertentu darinya.

Menurut Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, Am yaitu :

Lafaz yang mencakup semua satuannya, tanpa adanya pembatasan,

Maksud lafaz Am adalah lafaz yang mencakup seluruh bagian-bagian yang


terkandung di dalamnya. Misalnya, lafaz laki-laki ( ar-rijal), berarti mencakup semua laki-
laki. Lafaz manusia (an-insan), berarti mencakup semua manusia tanpa terkecuali.
B. Ruang Lingkup Am

Setiap lafaz atau (kata) mengandung dua lingkup pembahasan, yaitu(1) lafaz itu
sendiri, yang tersusun dari huruf-huruf, dan (2) makna atau arti yang terkandung dalam
lafaz itu.

Para ulama ushul membahas persoalan tentang lafaz Am, khushush, mutlaq dan
muqayyad dalam konteks ; apakah berada dalam lingkup kafaz atau lingkup makna.

Jumhur ulama berpendapat bahwa Am itu pada hakikatnyaberada dalam lingkuplafaz,


karena ia menunjukkan pengertian-pengertian yang terkandung di dalamnya, Kalau kita
berbicaratentang Am, berarti kita bicara tentang lafaz, bukan tentang makna. Kita
dapat mengatakan,Lafaz ini Am, dan tidak dapat mengatakan, Maknanya Am. Hal
ini berlaku pula pada lafaz khushush, mutlaqdan muqayyad.

Sebagian kecil ulama berpendapat bahwa Am itu juga menyangkut makna. Kelompok
ini mengemukakan argumen bahwa penggunaan secara umum berlaku dalam bahasa
arabdengan ucapannya :

"Raja itu menyerahkansecara umum (merata ) anugerah dan kenikmatan kepada


manusia. Hujan itu mendatangkan secara umum ( merata ) kesuburan dan
kebaikankepada mereka."

Jumhur ulama berpendapat bahwa lafaz Am dapat juga digunakan untuk makna,
namun penggunaan untuk makna itu hanya secara majazi, bukan dalam penggunaan
yang sebenarnya, sebab kalau ia hakikatnya untuk makna, tentu akan berlaku untuk
setiap makna. Ini merupakankelaziman setiap penggunaan hakiki. Tetapi ternyata tidak
demikian halnya. Karena itu, jelaslah bahwa Am dan mutlak itu menyangkut lafaz atau
ucapan. Umum itu juga tidak berlaku untuk perbuatan karena perbuatan itu berlaku

terhadap satu keadaan dalam satutingkatan, sedangkan Am mencakup segala sesuatu


yang berbeda-beda. Misalnya, kita tidak dapat mengartikan, Pemberian si Amat itu
umum, karena pemberiannya terhadap si A berbedadengan pemberiannya terhadap si
B dari segi hal itu adalah perbuatan memberi.

Qadhi Abdul Wahhab berpendapat bahwa tidak ada yang dapat dikaitkan kepadaAm
kecuali hanya lafaz.

As-Sarkhisi( dari kalangan ulama Hanafi) berpendapat bahwa Am itu tidak dapat
digunakan pada makna kecuali bila penggunaannya hanya secara majazi,
karenanyaperlu penjelasan untuk itu.

Segolongan ulama Irak berpendapat bahwa Am itu dapat digunakan untuk perbuatan
dan hukum, dalam arti menanggungkan ucapan pada umumnya khitab meskipun tidak
ada sasaran akhirnya. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Maidah (5):3

"Diharamkan bagimu bangkat."

Ayat tersebut mengandung pengertian bahwa haram semua perbuatan yang


bernama memakan .

C. Kata yang menunjukkan Kata 'Am ( Umum )

Banyak kata yang menunjukan kata 'Am yang ada dalam nash. Di antaranya ialah
sebagai berikut :
Kata Kullun. Misalnya terdapat dalam surat At-Thur (52) : 21

" Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka
dalam keimanan, kami hubungan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada
mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka, Tiap-tiap manusia terikat dengan
apa yang dikerjakannya."

Kata Jami'. Misalnya terdapat dalam surat Al-Baqarah (2) : 29

" Dia-Lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia
berkehendak ( menciptakan ) langit, lalu dijadikan-nya tujuh langut.Dan dia Maha
Mengetahui segala sesuatu."

C. Kata Jama' yang disertai alif dan lam di awalnya, Misalnya terdapat dalam surat
Al-Baqarah (2) : 233

D. Kata benda tunggal yang di ma'rifah-kan dengan alif lam. Misalnya terdapat
dalam surat Al-'Ashr ( 103) : 2

" Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian."

E. Isim Syarat ( Kata benda yang men-syarat-kan ). Misalnya terdapat dalam surat
An-Nisa (4) : 92

F. Isim nakirah ( Indefinite noun ) yang di-nafi-kan, seperti kata "La Juhana ". Hal ini
contohnya terdapat dalam surat Al-Mumtahanah (60) : 10

G.Isim Maushul ( kata ganti penghubung). Misalnya kata "Alladzina". Contohnya


terdapat dLm surat An-Nisa (4) : 10


"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka )."

D. Pembagian Lafaz 'Am

Lafaz 'Am seperti yang dikemukakan oleh Musthafa Ahmad Khan, sebagaimana
dikutip oleh Prof. Satria Efendi M.Zein, terbagi kepada :

1. Lafaz Umum yang dikehendaki keumumamnya karena ada indikasi yang menutup
adanya takhsish (pengkhususan). Misalnya terdapat dalam surat Hud (11):6

"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberikan rezekinya, dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan
tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh).

Yang dimaksud binatang melata dalam ayat di atas adalah umum, mencakup seluruh
jenis binatang tanpa kecuali, karena diyakini setiap yang melata di permukaan bumi
adalah Allah yang memberikan rezikinya.

2. Lafaz Umum padahal yang dimaksud adalah lafaz Khusus karena ada indikasi yang
menunjukkan makna seperti itu. Misalnya terdapat dalam surat At-Taubat (9):120

" Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang
berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang) dan tidak
patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul.
Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan
kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang
membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpahkan sesuatu
bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian
itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-yiakan pahala orang-orang
yang berbuat baik."

Sepintas lalu dipahami bahwa tersebut menunjukkan makna umum, yaitu setiap
penduduk Madinah dan orang-orang Arab sekiranya termasuk orang sakit dan orang
lemah harus turut menyertai Rasulullah pergi berperang. Namun yang dimaksud
oleh ayat tersebut bukanlah makna umum itu, tetapi hanya orang-orang yang
mampu.

3. Lafaz Umum yang terhindar dari indikasi baik menunjukkan bahwa maksud adalah
makna umumnya atau adalah sebagian cakupannya. Contohnya adalah surat Al-
Baqarah (2):228.

"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali


quru'.Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika nmereka (para suami)
menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana."

Kata "al-Muthallaqat " adalah lafaz 'Am (umum), lafaz itu terbebas dari indikasi yang
menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya itu atau sebagian
cakupannya. Dalam hal ini, menurut jumhur ushuliyyin, bahwa kaidah ushul fiqh
yang berlaku adalah bahwa sebelum terbukti ada pen-takhshish-an, ayat itu harus
diterapkan kepada semua satuan cakupannya secara umum.

D. Pengamalan Hukum Umum

Bila bertemu sebuah Lafaz 'Am yang menunjukkan secara mutlak bahwa ai
mencakup semua afradnya, apakah boleh langsung menetapkan hukum atas
keumumannya itu. Kemudian, apakah wajib berpegang pada kebenaran yang
bersifat 'Am tersebut dan mengamalkan apa yang dituntut oleh lafaz 'Am itu. Atau
harus mencari dalil takhshish yang akan menjelaskannya sebelum mengamalkan
lafaz 'Am itu.Persoalan ini menjadi Perbincangan di kalangan ulama.

1. Di kalangan ulama Hanbali terdapat dua versi :

a. Menyatakan wajib mengamalkan apa yang dituntut keumumannya lafaz itu. Ini
adalah pendapat Ahmad menurut riwayat Abdullah yang diikuti pula oleh Abu Bakar
al-Sairafi.

b. Menyatakan tidak wajib mengamalkan dengan lafaz 'Am secara langsung di saat
itu juga menurut keumumannya. Ini adalah pendapat Ahmad dari riwayat anaknya
Salih dan Abu Harits.

2. Di kalangan Ulama Syafi'i juga terdapat dua versi pendapat :

a. Pendapat terbanyak menyatakan bahwa harus menunggu dan mencari dalil


takhshish dan sebelum itu tidak wajib beramal dengan apa yang dituntut dalil 'Am.

b. Pendapat lainnya menyatakan harus beramal saat itu juga dan tidakboleh
ditangguhkan pelaaksaanaannya.

3. Demikian pula di kalangan ulama Hanafiyah, terdapat dua pendapat :

a. Abu Abdullah al-Jurnani mengatakan bahwa seorang pendengar bila mendengar


dari Nabi dalam bentuk penjelasan tentang hukum, wajib menyakini dalam
keumumannya. Tatapi bila didengernya dari seorang lain ia harus berhati-hati dan
mencari sesuatu yang akan men-takhshishnya. Bila tidak menemukannya, maka lafaz
tersebut harus ditetepkan kepada apa yang ditintut oleh lafaz 'Am.

b.Abu Sofyan menghikayatkan wajibnya menyakini keumuman lafaz 'Am tanpa harus
ditangguhkan dengan rincian dari takhshish secara mutlak, baik diterima dari Nabi
atau dari yang lainnya.
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahw secara garis besarnya, ada dua
pendapat, yaitu :

1. Pendapat jumhur ulama yang mengatakan tidak dapat langsung mengamalkan


golongan ulama ini terdapat pula perbedaan tentang batas-batas pencarian dalil
yang mentakhshishkannya. Sebelum beramal dengan lafaz 'Am itu. Kebanyakan
ulama berpendapat bahwa cukup sampai batas dengan "dugaan kuat" tentang tidak
adanya dalil takhshish. Sedangkan menurut golongan lainnya, harus sampai batas
menyakinkan bahwa memang tidak ada dalil yang mentakhshishkannya.

2. Pendapat yang menyatakan bahwa harus mengamalkan lafaz 'Am setelah


mengetahui adanya lafaz tersebut tanpa menunggu adanya penjelasan yang
mentakhshishnya.
DAFTAR PUSTAKA

PROF. DR. H. AMIR SYARIFUDDIN, Ushul Fiqh Jilid 2, cet2-Jakarta:-PT Logos Wacana Ilmu, 2001

Dr. Mardani, Ushul Fiqh, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta : Oktober 2013

Вам также может понравиться